• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tuan Guru sebagai Magnet Politik

Dalam dokumen Sampaikan olehmu dari padaku (Halaman 88-103)

B. Analisa Keterlibatan Tuan Guru Dalam Politik Praktis di Praya Lombok Tengah Tengah

1. Tuan Guru sebagai Magnet Politik

Hampir di setiap partai politik, figur tuan guru menjadi bagian yang tidakterpisahkan. Dunia politik tidak lagi menjadi sesuatu yang tabu,

bahkanseakan-akan telah menjadi sesuatu yang harus di rebut dan diraih.

Tuan guru telahmendapatkan lahan garapan yang baru, setelah sebelumnya lebih banyakmengurus masalah pesantren dan masyarakat secara langsung, kini telahberalih mengurus dunia politik yang secara otomatis telah menyedot energy para tuan guru. Ada yang menyebut tuan guru telah pindah posisi dari mengurus pesantrendan masyarakat ke arah baru, yaitu mengurus kekuasaan atas nama rakyat.Bahkan muncul kesan tuan guru telah berubah secara drastis, yaitu dari tuan guru yang dikenal sederhana menjadi tuan guru yang tidak sederhana alias elitis dan bergelimangharta.

Sosok tuan guru memang identik dengan kharisma yangtinggi di masyarakat. Tuan guru sebagai panutan masyarakat adalah simbol yangoleh Rasulullah dalam sebuah haditsnya ditegaskan bahwa tuan guru adalah pewarispara Nabi.

Tuan guru merupakan penerus tugas para Nabi dan Rasul dalam halmenyampaikan ajaran agama. Maka taat dan patuh pada “jalan” tuan guru diartikansama dengan tunduk pada Nabi. Peranan tuan guru di masyarakat tentu saja sangatvital. Mereka dianggap memiliki kedudukan yang tak terjangkau, terutama olehkebanyakan orang awam. Tuan guru dengan segala kelebihannya serta betapapunkecilnya lingkup kawasan pengaruhnya, masih diakui oleh masyarakat sebagaifigur ideal yang mengindikasikan adanya kedudukan kultural dan structural yang tinggi.

Realitas ini sudah barang tentu memungkinkan tuan guru mempunyaiperanan yang sangat besar di dalam masyarakat yang menjadi pengikutnya,baik di bidang keagamaandan bahkan dalam bidang ekonomi, politik dan sosial kemasyarakatanlainnya.

Keterlibatan para tuan guru dengan politik praktis yang cukup jauhpada masa penjajahan adalah merupakan bukti sejarah yang riil.

Misalnyamereka ikut bergerilya dengan bergabung ke dalam barisan Hizbullah-Sabilillahyang sebagian besar komandannya adalah para tuan

guru. bahkan banyak pesantrenyang menjadi markas barisan tersebut. Dan keterkaitan itu berlanjut hinggasekarang yang nampaknya semakin menjadi ancaman serius bagi peranan,posisi, sekaligus “fungsi” tuan guru yang mulai luntur seiring dengan berjubelnya tuan guru dalam pentas politik, terutama semenjak pemilihan anggota legislatif danpilpres kemarin. Lebih-lebih euforia pilkada saat ini yang memungkinkanbanyak tokoh agamawan lokal ikut serta memanfaatkan akses politik tersebut.

Pergumulan itu ternyata berlanjut dengan membawa- bawaagama sebagai alat kekuasaan, landasan jaminan untuk “mengamankansuara”

atau dijadikansarana dalam perjuangan politik Fungsi dan peran utama tuan guru yang awalnya hanya melulu urusan agama dan kemaslahatan umat mulaiterkikis drastis. Orientasi politik ternyata lebih menggiurkan dari pada sekadarberkutat di pondok-pondok pesantren. pengajian, majlis ta’lim.

Di sini, Nampak mulai terjadi semacam pertarungan sekaligus pertaruhan otoritas dalamkancah politik dan birokrasi yang awalnya dipercayakan pada seorang umaro'(pemimpin). Bukan berarti catatan sejarah tidak pernah menarasikan eksistensiumaro' bukan dan kalangan ulama. Namun, wilayah etis yang diagung-agungkandi antara keduanya menjadi semakin kabur, tentu saja karenakeduanya sesungguhnya mempunyai domain atau wilayah kerja dan “tentorial”yang sama sekali berbeda.

2. Motif Politik Tuan Guru

Sebagai pemimpin informal, tuan guru yang diyakini masyarakat Lombok sebagai orang yang mempunyai otoritas yang sangat besar dan kharismatik. Tuan guru dipandang mempunyai kelebihan-kelebihan luar biasa yang membuat kepemimpinannya diakui secara umum. Hal tersebut tentu saja tidak pernah terlepas dari teks-teks keagamaan yang membuat

posisi tuan guru, pada segala kondisi dan situasi, seolah-olah lebih atas manusia lain.

Pada tataran masyarakat Lombok yang masih tradisional pendapat semacam itu masih melekat. Tuan guru menjadi salah satu elit strategis dalam masyarakat karena ketokohannya sebagai figur yang memiliki pengetahuan luas dan mendalam mengenai ajaran Islam. Lebih dari itu, secara teologis ia juga dipandang sebagai sosok pewaris para Nabi (waratsat al-anbiya). Tidak mengherankan jika Tuan guru kemudian menjadi sumber legitimasi dari berbagai persoalan yang dihadapi masyarakatnya, bukan saja pada aspek hukum-hukum keagamaan, tapi juga hampir dalam semua aspek kehidupannya. Pada titik inilah kita dapat melihat peran-peran strategis Tuan guru, khususnya dalam aspek kehidupan sosial politik di Indonesia.

Keberadaan rtuan guru tidak dapat dilepaskan dari masyarakat.

Sebab masyarakat ialah medan, di mana kiai beramal dan berjuang menegakkan dan menanamkan nilai-nilai keagamaan. Kiai dengan masyarakat ibarat gula dengan manis. Keterpautan keduanya tidak hanya dilandasi asas saling membutuhkan, tetapi kiai ibarat hati bagi tubuh masyarakat Eksistensi kiai begitu mengakar dalam benak dan kultur masyarakat bangsa ini. Keberadaannya disegani, dihormati, dan diagungkan karena memang kiai dan pesantrennya jelas-jelas punya peran dalam pembangunan masyarakat menuju civil society melebihi apa yang telah di lakukan oleh pemimpin struktural di tengah masyarakat.

Terdapat berbagai faktor penting yang menjadi dasar posisi tua guru yang sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat. Pertama, tingginya derajat mobilitas kiai dalam membangun jaringan hubungan dengan komunitas di luarnya, baik sesama kiai ataupun pertemuan dengan

jaringan tertentu, sehingga memungkinkan mereka memperoleh informasi baru yang dimiliki santri dan masyarakat sekitar. Kedua, posisi sentral dan ketokohan kiai di desa dan di pesantren menjadikan mereka sebagai sumber rujukan bagi orang dari luar desa, di mana orang-orang yang datang ke desa tidak bisa mengabaikan eksistensi dan peran kiai. Ketiga, sebagai dampak langsung ataupun tidak langsung dari posisinya, kiai biasanya memiliki kelebihan yang bersifat material dibandingkan dengan masyarakat sekitar, termasuk memiliki akses informasi yang lebih baik.

Karena itu, perbincangan di seputar peran sosial politik Tuan guru dalam medan sosial politik yang tumbuh dan berkembang khususnya pada masyarakat Indonesia, akan selalu melibatkan persinggungan wacana antara agama dan politik. Selain itu, kenyataan empirik juga mengilustrasikan perpaduan antara agama dan politik ini secara terlihat pada peran-peran yang dimainkan sejumlah Tuan guru dalam panggung politik praktis paling tidak selama beberapa dekade terakhir. Di antara efek sosial dari peran ganda yang ditimbulkannya adalah adanya pergeseran kecenderungan masyarakat dalam menetapkan figur kepemimpinan informal, khususnya Tuan guru.

Bersamaan dengan itu, masyarakat masih kuat beranggapan bahwa secara normatif, Tuan guru tetap dipandang sebagai sosok kharismatik yang memainkan peran-peran sosialnya secara signifikan. Ia masih ditempatkan sebagai sumber “fatwa” terakhir ketika masyarakat berada di simpang jalan di antara pilihan-pilihan politik yang membingungkan. Sementara di sisi lain,

fenomena perubahan-perubahan struktur kognisi Tuan guru berkenaan dengan peran-peran sosial politik tersebut berkaitan erat dengan persepsi teologis yang dianutnya. Karena itu, untuk memahami tarik

menarik antara peran ganda Tuan guru dalam rentang kehidupan sosial- politik dan agama, pada akhirnya tidak bisa dilepaskan dari usaha penelusuran akar teologis yang menjadi kerangka dasar perilaku sosial politik yang diperankannya.

Berkaitan dengan aspek teologis ini, di antara hal menarik dari studi yang pernah saya lakukan adalah adanya perbedaan yang signifikan dalam menentukan pilihan-pilihan politik berdasarkan kecenderungan teologis yang dianutnya. Ada di antaranya Tuan guru yang lebih lentur dan sangat mudah berubah, sehingga politik terkesan menjadi “semacam”

sebuah permainan untuk memenuhi kebutuhan pragmatis yang senantiasa berubah dan berkembang. Sementara sebagian lainnya, ada Tuan guru yang terkesan kaku, atau mungkin juga bisa disebut konsisten dengan pendirian awalnya, sehingga tampak menempatkan politik dalam kerangka persoalan prinsip. Perbedaan-perbedaan inilah tampaknya yang kemudian telah ikut membidani lahirnya partai-partai politik yang bernuansa agama dan sekaligus dipelopori oleh figur-figur yang lebih dikenal sebagai Tuan guru ketimbang politisi.

Secara kultural keterlibatan tuan gurutuan guru di Praya dalam bidang politik juga disebabkan tatanan budaya masyarakat Praya, yang menempatkan tuan guru sebagai sosok pemimpin masyarakat dengan berbagai kelebihan yang dimilikinya. Tuan guru merupakan figur yang harus dihormati dan ditaati bahkan sering dikultuskkan.

Fakta ini mengakibatkan kepemimpinan tuan guru tidak terbatas pada lingkup wilayah keagamaan, namun juga merambah hingga keseluruh kehidupan termasuk dalam bidang politik. Keterlibatan tuan guru dalam bidang politik ditandai dengan partisipsi mereka dalam bidang politik.

Michael Rush dan Philip Althof menyebutkan bahwa partisipasi dalam bidang politik terdiri dari bentuk pasif dan aktif yang tersusun mulai dari menduduki jabatan dalam organisasi politik hingga kepada memberi dukungan finansial dengan jalan membayar iuran keanggotaan.

Dalam menjalankan kepemimpinan politiknya, tuan guru menggunakan wewenangnya berdasarkan kharisma (charismatic authority) yang dimilikinya, yang menurut Max Weber adalah suatu kemampuan khusus yang ada pada diri seseorang dan merupakan anugerah dari Tuhan.

Dengan wewenang kharismatik ini, tuan guru diakui sebagai sosok yang memiliki kemampuan memimpin yang berada di atas kemampuan ummat yang dipimpinnya. Kharisma ini terwujud dari kepercayaan dan pemujaan terhadap tuan guru.

Dasar dari wewenang kharismatik ini bukanlah terletak pada suatu aturan (hukum). Namun bersumber dari pribadi tuan guru yang bersangkutan. Kharisma ini semakin meningkat sejalan dengan kemampuan tuan guru untuk membuktikan manfaatnya bagi masyarakat.

Wewenang kharismatis ini dapat berkurang atau hilang sama sekali jika ternyata individu yang bersangkutan melakukan kesalahan-kesalahan yang merugikan masyarakat sehingga kepercayaan masyarakat terhadapnya semakin berkurang.

Di samping wewenang kharismatik yang dimilikinya, tuan guru memiliki wewenang tradisional (traditional authority). Weber menyebutkan wewenang ini sebagai wewenang yang dimiliki seseorang atau sekelompok orang yang telah lama memegang kekuasaan dalam suatu masyarakat.

Wewenang ini bukanlah disebabkan karena kelebihan-kelebihan dan kekhususan yang dimiliki seseorang, namun karena ia telah lama memegang kekuasaan sehingga masyarakat sangat mempercayainya dan mendarah daging dalam kehidupannya. Wewenang tradisional ini terlihat ketika seorang tuan guru muda yang menduduki jabatan strategis dalam kepengurusan partai politik yang berbasiskan umat Islam pada awal keterlibatannya dalam politik praktis tanpa melalui proses pengkaderan yang sewajarnya.

Munculnya tuan guru sebagai top leader dengan cara di atas diterima begitu saja oleh masyarakat karena hal itu dianggap sebagai suatu kelaziman. Hal ini terwujud karena adanya penghormatan dan kharisma yang tinggi pada sosok tuan guru serta adanya tradisi dalam masyarakat dan pelaku politik di Praya, bahwa tuan guru adalah sosok yang mempunyai kemampuan dan akseptabilitas dalam memimpin.

Peran dan kewenangan pengurus partai lebih ditujukan kepada hal-hal yang bersifat teknis operasional guna melancarakan dan menyukseskan keputusan-keputusan yang ditetapkan. Hal di atas paling tidak akan memberikan akibat yang dalam satu sisi tuan guru dapat

“digunakan” sebagai agent dalam penyampaian pesan-pesan politik.

Namun pada sisi lain akan menimbulkan perseteruan kelompok- kelompok keagamaan sebagai ekses dari perbedaan visi politik tuan guru.

Keadaan semacam ini setidaknya terjadi pada tuan guru-tuan guru di Praya, yang dalam kehidupan politiknya diwarnai perbedaan mencolok bahkan sering menjurus kepada persaingan dan pertikaian.

Menurut George Simmel persaingan merupakan dibedakan menjadi dua yaitu, persaingan yang dilakukan untuk mematahkan dan

menghambat kemajuan lawan dan persaiangan yang dijalankan sebagai upaya mencapai tujuan kelompok tanpa menyingkirkan lawan.

Berdasarkan kedua tipe persaingan di atas, fenomena keterlibatan tuan guru-tuan guru di Praya dalam percaturan politik, terlihat adanya perpaduan antara keduanya mengingat di samping mereka bersaing untuk mendapatkan dukungan yang terbesar dari masyarakat, mereka juga terlibat dalam persaingan yang tidak sehat, yakni dengan berupaya saling memojokkan dan menjatuhkan lawan masing-masing.

Di samping persaingan tuan guru antar kelompok keagamaan, di Praya juga terjadi persaingan interen kelompok yang menjurus pada perebutan posisi kedudukan strategis seperti jabatan ketua dan sekeretaris.

Persaingan tuan guru dalam bidang politik ini seringkali membawa implikasi terjadinya pertentangan pada tingkat bawah masyarakat (grass root) yang dengannya masyarakat terpecah dalam berberapa kelompok yang mengatasnamakan agama.

Untuk mempertahankan hegemoni tuan guru terhadap masyarakat dalam kehidupan politik, tuan guru berusaha untuk tetap mendapat mendapat dukungan masyarakat dengan tetap mempertahankan pola-pola kepem impinan yang lama ia terapkan dalam dunia pesantren.

Dengan kata lain, pola-pola kepemimpian tuan guru di pesantren terbawa dan mewarnai dalam kepemimpinan mereka dalam bidang politik.

Di lain pihak, tuan guru menginginkan agar kepentingannya diperjuangkan di samping keinginan mereka untuk dapat mengontrol kekuasaan- kekuasaan politis.

Menurut Ahmad Patoni, alasan yang mempengaruhi seorang kiai terlibat dalam politik praktis, adalah:

a. Alasan teologis.

Para kiai pesantren adalah figur yang lekat dengan penguasaankhazanah ilmu-ilmu keislaman yang bercorak sunni. Dalam perspektf ini,hubungan antara agama (din) dan politik (siyasah) dalam tradisi sunnipada dasarnya mempunyai hubungan dan tidak bisa dipisahkan secarategas. Politik dan agama dinilai sebagai bagian integral dari agama, dankarena itu tidak perlu dijauhi.

b. Alasan dakwah politik

Dakwah merupakan usaha sosalisasi terhadap nilai-nilai keislamankepada masyarakat. Sebagai usaha untuk menyebarkan nilai- nilai yangterkandung di dalam ajaran agama, banyak metode yang dapat ditepuh.Salah satunya adalah lewat jalur politik. Banyak kiai yang berasumsibahwa dengan lewat jalur politik ini, medan dakwah akan semakin luas,terbuka dan dapat berjalan dengan efektif.

Dakwah merupakan misi penyebaran Islam sepanjang sejarah dan sepanjang zaman. Kegiatan tesebutdilakukan melalui lisan (bi al- lisan), tulisan (bi al-kitabah) dan perbuatan (bi al-hal). Ini artinya dakwah menjadi misi abadi untuk sosialisasi nilai-nilai Islam dan upaya rekonstruksi masyarakat sesuai dengan adagium Islam rahmatan lilalamin (ISRA) yaitu rahmat bagi alam semesta atau rahmat untuk sejagat1. Model masyarakat yang ingin diwujudkan adalah umat terbaik atau istilah Al-Qur’an khaira ummah2di mana aktifitas amr makruf nahi munkarberjalan dan terjalin secara berkelanjutan.40

40 Abdullah, Komplementaritas Dakwah kultural dan structural, Jurnal Pengembangan Masyarakat Volume IV, No., 24, Tahun 2017.

Dakwah politik adalah gerakan dakwah yang dilakukan dengan menggunakan kekuasaan (pemerintah); aktivis dakwah bergerak mendakwahkan ajaran Islam supaya Islam dapat dijadikan ideologi negara, atau paling tidak setiap kebijakan pemerintah atau negara selalu diwarnai dengan nilai-nilai ajaran Islam sehingga ajaran Islam melandasi kehidupan politik bangsa.41

c. Alasan solidaritas politik

Hal inilah yang sulit dihindari sehingga menjadikan kiai pesantren mautidak mau harus terjun kedalamnya.

Adapun faktor lain yang mempengaruhi keterlibatan kiai dalam politikpraktis menurut Khoiru Ummatin adalah:

a. Faktor kekuasaan, meliputi cara-cara untuk mencapai hal yangdiinginkan melalui sumber-sumber kelompok yang ada di masyarakat.

b. Faktor kepentingan, merupakan tujuan yang dikejar oleh pelaku- pelakuatau kelompok politik. Untuk mengejar kepentingan ini manusia harusmemiliki kekuasaan, kesehatan, ketrampilan, kasih sayang, keadilandan kejujuran.

c. Faktor kebijaksanaan sebagai hasil dari interaksi antara kekuasaan dankepentingan yang biasanya berbentuk penundang-undangan.

d. Budaya politik, merupakan orientasi subyektif individu terhadap sistempolitik. Kebudayaan politik sebagai orientasi nilai dan keyakinan politikyang melekat dalam diri individu dapat dianalisis dalam

41 Ahmad Sukardi, Pola Dakwah Pada Masyarakat Global, Jurnal Komunikasi Dakwah Vol. 6, No. 1, Mei 2013, 2.

beberapaorientasi, yaitu orientasi kognitif, afektif, dan orientasi evaluatif yangmendasari perilaku politik.

Keterlibatan Tuan guru Dalam Politik PraktisTuan guru merupakan kata yang tidak asing lagi bagi baik dikalangan pondok pesantren, madrasah, maupun ditengah masyarakat pada umumnya.

Karena kemampuannya yang tidak diragukan lagi dalam urusanagama, maupun dalam struktur masyarakan, khususnya di Indonesia.

Dalam masyarakat Lombok pada khususnya, sosok Tuan guru memperoleh pengakuan danposisi yang sangat penting dalam masyarakat guru dianggapsebagai sosok yang luar biasa dan memiliki kekuatan

“ajaib”.Suatu peristiwa yang melibatkan Tuan guru dalam sebuah partai politiktertentu yang dilakukan secara disengaja sehingga tercapai tujuan- tujuantertentu.

Perbuatan ini berkaitan dengan proses perbuatan dan pelaksanaankeputusan politik yang dilakukan oleh seorang Tuan guru yang memiliki tujuan tertentudan bukan sebagai perilaku yang muncul secara kebetulan. Sehingga tindakan-tindakanTuan guru pesantren dalam keterlibatannya dalam politik praktis dapatdigolongkan pada tindakan rasionalitas, instrumental, nilai-nilai rasionalitastradisional dan rasionalitas efektif.

Tuan guru merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat kepadaseseorang yang ahli dalam bidang agama Islam yang mengajarkan beberapakitab kuning atau kitab klasik kepada para santrinya dan memimpin sebuahpondok pesantren. Sedangkan ustadz lebih dikenal sebagai badal atau wakil tuan guru dalam mengajarkan kitab kuning di pondok pesantren.

Sedangkan politikpraktis adalah segala aktivitas atau sikap yangberhubungan dengan kekuasaan dan yang bermaksud untukmempengaruhi, dengan jalan mengubah atau mempertahankan, suatu macambentuk susunan masyarakat. Maksud keterlibatan Tuan guru dan dalam politik praktisyang disini adalah bentuk partisipasi Tuan guru yang bersinggungan dengan Negara melalui sebuah partai politik baik masuk sebagai struktural, maupun sebagaijuru kampanye partai.

Berpusat pada peranannya sebagai guru mengaji danahli agama, para Tuan guru seringkali memainkan peran penting dalam bidang sosial,kemasyarakatan, dan politik Peranan sosial, Tuan guru sering dimintai pertolongan oleh masyarakat untukmemberikan perantaraan kesembuhan bagi orang-orang yang sakit.

Peran dalam kemasyarakatan, Tuan guru sering diundang dalam rapat-rapat baik lokal maupun nasional. Dalam bidang politik, sekarang ini banyak Tuan guru yang terlibatdalam politik praktis baik langsung maupun tidak langsung. Tuan guru langsungterlibat dalam politik, seperti menjadi pengurus partai politik, juru kampanye,ataupun sebagai anggota legislatif. Adapun secara tidak langsung, Tuan guru hanyamemberi dukungan kepada partai politik maupun dukungan kepada calon baiklegislatif maupun eksekutif.

Keterlibatan Tuan guru dalam politik praktis bukan fenomena yang baru lagi.Sejak lama peran serta Tuan guru dalam politik sangat besar. Secara normatif keterlibatan Tuan guru dalam politik mendapat dasar hukum yang kuat dari syari'at.Secara empiris, keterlibatan Tuan guru sebagai tokoh politik telah dicontohkan olehRasullullah. Dasar normatif dan empiris inilah yang menjadi motivasi Tuan guruberpolitik. Dalam sejarah Indonesia, sejak dahulu Tuan guru sudah terlibat dalammasalah

politik, baik dalam pra kemerdekaan, orde lama, orde baru, maupunpada masa reformasi ini, walaupun kuantitas dan kualitas setiap periodeberbeda- beda. Tuan guru mempunyai andil yang cukup besar dalam prosespewarnaan politik di Indonesia.

Ada keterkaitan antara Tuan guru pesantren, organisasi Posisi Tuan guru yang merupakan pemimpin pesantren, mau tidakmau “harus”

terlibat dalam politik praktis karena Tuan guru memiliki "aset” yang tak ternilai harganya dilingkungan pesantren. “Aset” tersebut bisa berupa harisma, pengetahuan agama, para santri, dan para kaum tradisional yang mendukungnya. Tuan guru yang mempunyai pengaruh besar tersebut, memiliki kekuatan barudalam pentas politik di Indonesia. Umumnya seorang Tuan guru pesantren di sampingmemiliki massa dari pesantren, juga memiliki massa dari kalangan tradisionallainnya.

Hal ini mempunyai nilai tersendiri bagi kalangan politisi. Tuan guru yangmempunyai pengaruh tersebut kemudian memiliki posisi strategis dalamkonstalasi politik. Pada era reformasi sekarang, banyak Tuan guru yang terlibat dalam Eko Setiawan Kyai dalam Politik politik praktis, baik langsung maupun tidak langsung.

Keterlibatan para Tuan guru dan ustadz dalam politik praktis sangat beranekaragam. Beberapa wujud keterlibatan Tuan guru dalam politik praktis adalah sebagai berikut:

a. Keterlibatan Tuan guru sebagai pengurus struktural partai politik.

b. Keterlibatan ini biasanya Tuan guru dan ustadz secara langsung menjabatsebagai pengurus partai politik baik di tingkat lokal, wilayah, maupunnasional.

c. Keterlibatan Tuan guru sebagai calon legislatif dan eksekutif.

d. Seorang Tuan guru dalam hal ini langsung mencalonkan diri atau dicalonkanoleh partai politik sebagai calon legislatif maupun eksekutif.

e. Keterlibatan Tuan guru sebagai dalam dukungan suara dan kampanye f. Wujud dukungan suara yang diberikan oleh Tuan guru biasanya

diberikankepada calon yang dikehendaki baik secara langsung maupun tidaklangsung. Secara langsung, misalnya Tuan guru secara terbuka mendukungpartai politik, calon legislatif, maupun eksekutif.

Sedangkan secara tidaklangsung, biasanya para politisi memohon sendiri kepada Tuan guru dengancara minta do’a restunya serta memilih partai politik, calon legislatif,maupun eksekutif yang mereka inginkan.

87 BAB III

DAMPAK KETERLIBATAN TUAN GURU DALAM POLITIK PRAKTIS TERHADAP DAKWAH DI KECAMATAN PRAYA

A. Dampak Keterlibatan Tuan Guru Dalam Politik Praktis Terhadap

Dalam dokumen Sampaikan olehmu dari padaku (Halaman 88-103)