• Tidak ada hasil yang ditemukan

Analisis Qirâ‟ah Sab„ah Terhadap Ayat-Ayat Kisah Menurut Penafsiran ath-

Dilihat dari penafsiranath-Thabarî dan mufassir lainnya, ath-Thabarî merupakan salah satu mufassir yang memasukkan qirâ‟ât dalam penafsirannya. Dalam menafsirkan ayat-ayat kisah, ath-Thabarî menyebutkan ragam qirâ‟ât yang terdapat dalam ayat yang sedang ditafsirkan. Dimana qirâ‟ât tersebut ada yang lebih diunggulkan dari qirâ‟ât yang lain oleh ath-Thabarî, padahal qirâ‟ât tersebut adalah qirâ‟ât mutawâtirah. Penjelasan ini akan di uraikan sebagaimana berikut:

1. QS. Al-Baqarah[2]: 36

Pada ayat ini, terdapat perbedaan qirâ‟ât pada lafaz

اَمَُّلََزَأَف

di

mana imam Hamzah membaca dengan itsbât alif setelah huruf zâi, sedang yang lain hadzf alif. Pada permasalahan ini ath-Thabarî memilih qirâ‟ât selain imam Hamzah, disebabkan lafaz

اَمُهَجَرْخَأَف

dengan

اَمَُلَاَزَأَف

makna keduanya sama, dan ini tidak tepat karena terjadi pengulangan makna. Pemilihan atas satu qirâ‟ât tersebut tidak berimplikasi terhadap penafsirannya, karena pada dasarnya iblis memang menggoda/menggelincirkan Adam dan Hawa melalui ular. Sebagaimana pendapat tersebut telah dijelaskan dalam tafsir ath-Thabarî dengan beragam riwayat dari para sahabat dan tâbi„în.

Di antara riwayat yang dipilih ath-Thabarî ialah dari Muhammad bin Qais, dia berkata: Allah melarang Adam dan Hawa memakan dari satu pohon dalam surga dan membebaskannya makan apa saja padanya sesuka hati mereka. Lalu syetan datang dan masuk dalam

perut ular, kemudian mengajak Hawa berbicara dan menggoda Adam seraya berkata:54

َس َي ْس َي ـ َ اَم ِى َ

ل ِن ٰطْي َّ شلا َي ّدْتِيّل

اَم ِى َ ل ّر ٗو ا َم

َي اَم ِىْن َغ ْن ّم

اَم ّىّحٰء ْي َس

َ لا َ ك َو ا َم اَم ِ

كى ٰىَن اَم ِ

كُّة َر ْن َغ ّه ّذ ٰو ّة َر َج َّشلا ٖٓا َّ

ْ ل ّا ن َ ا اَن ْي ِ ّنْي َ كَح

ك َ ل َم ْو َ

ا اَن ْي ِ

كَح

َن ّم َذْد ّدّل ٰخْلا ٢٠

ٖٓاَم ِى َم َسا ك َو َ ْي ّ نّا

اَم ِ ك َ َن ّم َ ل َۙنْي ّد ّص هنلا ل ٢١

Artinya:“Kemudian setan membisikkan pikiran jahat kepada mereka agar menampakkan aurat mereka (yang selamaini) tertutup. Dan (setan) berkata, “Tuhanmu hanya melarang kamu berdua mendekati pohon ini, agar kamu berdua tidak menjadi malaikat atau tidak menjadi orang yang kekal (dalam surga).” Dan dia (setan) bersumpah kepada keduanya, “Sesungguhnya aku ini benar-benar termasuk para penasihatmu,”(QS. Al-A„râf[7]: 20-21)

Dari ayat di atas dapat diketahui bahwa iblis telah berbicara kepada keduanya secara langsung, baik dia terlihat oleh mata mereka maupun tersembunyi pada makhluk yang lain, karena menurut perkataan Arab, tidaklah logis dikatakan “Si fulan menyumpah fulan dalam hal begini dan begini” jika dia menyebabkan sesuatu yang dengannya dia sampai kepadanya tanpa menyumpahnya.55Sedangkan menurut mufassir lainnya seperti Ibnu Katsîr, asy-Syaukânî dan al-Baidhâwi mengatakan bahwa lafaz

اَمَُّلََزَأَف

(menggelincirkan mereka) dan

اَمَُلَاَزَأَف

(menyingkirkan mereka)

keduanya memiliki makna yang sama, hanya saja menurut al-

54 Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî , Jâmi„ al-Bayân „an Ta‟wîl ay Al-Qur'an, juz 1, h. 530.

55 Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî , Jâmi„ al-Bayân „an Ta‟wîl ay Al-Qur'an, juz 1, h. 531.

Qurthubî lafaz

اَمَُّلََزَأَف

lebih mengena makananya dari pada lafaz

اَمَُلَاَزَأَف

.

2. QS. Al-Baqarah[2]: 51

Pada ayat ini, telah di dapati adanya perbedaan qirâ‟ât pada lafaz

َجْدَعاَو

.ath-Thabarî sepakat terhadap kedua qirâ‟ât (

َجْدَعاَو

dan

َجْدَعَو

). Menurut ath-Thabarî keduanya mengandung makna yang

sama dan tidak ada perbedaan yang mendasar baik dari segi bahasa dan penakwilan. Adapun perbedaan qirâ‟ât tersebut tidaklah berimplikasi terhadap penafsirannya ath-Thabarî karena mengingat bahwa Allah memang berjanji kepada Mûsâ akan menemuinya di bukit Thursinai selama empat puluh malam. Telah diceritakan di dalam tafsirnya bahwa Allah berjanji kepada Mûsâ akan menemuinya di bukit Thursinai dalam rangka penyampain Taurat selama empat puluh malam. Sebagaian ahli nahwu Basrah mengatakan bahwa maksud dari

ًةَلْ يَل َْيِعَبْرَا

ialah lewat dari empat puluh malam. Menurut ath-Thabarî pendapat tersebut menyalahi sejumlah riwayat dan zhahir ayat, maka tidak dibenarkan bagi seorang pun untuk mengalihkan makna zhahir kepada makna batin kecuali dengan dalil yang benar.56

Menurut Wahbah az-Zuhailî kata

َجْدَعاَو

bermakna sama dengan bentuk

َجْدَعَو.

Aslinya ialah wazan

اَنْلَعاَف

menunjukkan terjadinya

56 Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî , Jâmi„ al-Bayân „an Ta‟wîl ay Al-Qur'an, juz 2, h. 61.

pekerjaan secara timbal balik dari dua orang, tetapi kaidah ini tidak cocok di sini, sebab Allah berjanji kepada Mûsâ sementara dari pihak Mûsâ tidak ada janji kepada Allah.57

3. QS. Al-Baqarah[2]: 125

Pada ayat ini, bacaan dan tafsir yang benar menurut ath-Thabarî ialah

اْوُذَِّتخاَو

dengan tafsiran perintah untuk mengambil maqam Ibrâhim sebagai mushallâ. Tafsirannya adalah ketika Ibrâhîm di uji oleh Rabbnya dan ketika Allah jadikan rumah itu (Baitullah) sebagai tempat berkumpul. Rumah yang dijadikan Allah sebagai tempat berkumpul adalah Baitul Haram58 dan menjadi tempat berlindung bagi orang yang mencari perlindungan.59 Kemudian Allah memerintahkan kepada Rasulnya dan orang-orang beriman, serta semua makhluknya yang telah dibebani syari‟at untuk mengambil maqam Ibrâhîm sebagai mushallâ tempat shalat, peribadahan dan sebagai penghormatan dari Allah kepada Ibrâhîm.60Beliau memilih qirâ‟ât tersebut karena adanya hadis yang shahîh dari Nabi Muhammad Saw yang diriwayatkan oleh „Umar bin Khatthâb selaku sahabat Nabi. Adapun perbedaan qirâ‟ât tersebut tidaklah berimplikasi terhadap penafsiran ath-Thabarî karena pada hakikatnya makna keduanya (

اْوُذََّتخاَو

،

اْوُذَِّتخاَو

) tidaklah melenceng atau sesat sehingga dapat dikompromikan. Hal ini senada dengan tafsir

57 Wahbah bin Musthafâ az-Zuhailî, Tafsir al-Munîr fi al- „Aqîdah wa asy-Syarî „ah wa al-Manhaj, (Dimasyqi: Dâr al-Fikr al-Ma „âshir, 1418), juz 1, h. 159.

58 Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî , Jâmi„ al-Bayân „an Ta‟wîl ay Al-Qur'an, juz 3, h. 25.

59 Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî , Jâmi„ al-Bayân „an Ta‟wîl ay Al-Qur'an, juz 3, h. 29.

60 Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî , Jâmi„ al-Bayân „an Ta‟wîl ay Al-Qur'an, juz 3, h. 32-38.

al-Qurthubî bahwa lafaz

اْوُذَِّتخاَو

berkedudukan sebagai perintah sedangkan

اْوُذ ََّتخاَو

sebagai khabar, hanya saja al-Qurthubî tidak mengunggulkan di antara dua qirâ‟ât tersebut sedang ath-Thabarî mengunggulkan di antara keduanya.

4. QS. Al-Baqarah[2]: 249

Telah diketahui bahwa pada ayat ini terdapat perbedaan qirâ‟ât pada lafaz

ًةَفْرُغ

. Bagi mereka yang membaca dengan dhammah huruf ghain maknanya adalah air yang berada di telapak tangan orang yang menciduk. Sedang bacaan dengan fathah huruf ghain maknanya adalah satu kali cidukan. Ath-Thabarî tidak memilih/mempermasalahkan perbedaan qirâ‟ât yang ada karena makna keduanya bisa digabungkan atau dikompromikan menjadi orang yang menciduk air dengan telapak tangan yakni satu kali cidukan dan air yang berada di telapak tangan orang yang menciduk bermakna sama.

5. QS. Al-Baqarah[2]: 251

Pada ayat ini, ath-Thabarî sepakat terhadap perbedaan qirâ‟ât yang ada. Menurutnya qirâ‟ât tersebut tidak ada satu huruf pun yang menyalahi makna lainnya dan ini di baca oleh ahli qirâ‟ât dan kelompok umat.Ath-Thabarî hanya memaparkan makna dari perbedaan qirâ‟ât tersebut dan tidak berpengaruh terhadap penafsirannya.

6. QS. Al-Baqarah[2]: 259

Pada lafaz

ْوَّنَسَتَ ي

ath-Thabarî lebih memilih qirâ‟ât ahli Madinah, Makkah, Basrah dan Syam dengan alasan telah tertulis di

dalam mushaf kaum muslimin dengan istbât hâ‟. Sedang pada lafaz

اَىُزِشْنُ ن

ath-Thabarî tidak mempermasalahkan perbedaan qirâ‟ât

tersebut. Beliau hanya menjelaskan makna dari lafaz

زاشنلْا

dan

راشنلْا

yang kedua lafaz tersebut maknanya saling berdekatan yaitu

mengembalikan dan menghidupkan. Kemudian lafaz

ُمَلْعَا َلاَق

ath-

Thabarî lebih cenderung kepada qirâ‟ât penduduk Kufah yaitu imam Hamzah dan al-Kisâî. Menurut ath-Thabarî bacaan yang tepat adalah dengan menyambungkan huruf alif dan men-sukûn-kan huruf mîm

(

ْمَلْعا

) dalam bentuk perintah dari Allah Swt kepada orang yang Dia

hidupkan kembali setelah sebelumnya mematikannya. Sehingga makna ayat tersebut menjadi: Allah berfirman kepadanya,

“Ketahuilah sekarang, bahwa Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu.” Pemilihan qirâ‟ât tersebut karena ayat sebelumnya merupakan bentuk perintah dari Allah Swt sebagai teguran dan seruan kepada orang yang dihidupkan kembali setelah matinya.61

Penakwilan ath-Thabarî tersebut berbeda dengan yang dikatakan oleh al-Makki, ia mengatakan: kalimat tersebut tidak mungkin datang dari Allah Swt, yakni perintah kepada orang tersebut untuk menyakininya. Karena orang tersebut telah diperlihatkan bagaimana kekuasaan-Nya, dan ditampakkan juga kepadanya sesuatu yang dapat membuatnya yakin dan mengakui kekuasaan Allah Swt. oleh karena itu tidak perlu lagi ada perintah dari Allah untuk menyakini kemampuan-Nya. Adapun jika orang

61 Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî , Jâmi„ al-Bayân „an Ta‟wîl ay Al-Qur'an, juz 5, h.483-484.

tersebut memerintahkan kepada dirinya sendiri untuk menyakininya, maka makna itu sangat baik.62

Terlihat jelas bahwa qirâ‟ât yang diunggulkan ath-Thabarî berpengaruh terhadap penafsirannya, karena tafsiran dari ayat tersebut berbeda jauh dengan tafsiran mufassir lainnya. Seperti dalam tafsir al-Munîr dijelaskan bahwa ketika semua itu sudah jelas baginya, maka ia berkata, “Saya yakin akan semua ini, saya telah melihatnya dengan kedua mata kepala saya sendiri dan saya yakin dengan seyakin-yakinnya bahwa Allah Swt Maha Kuasa atas segala sesuatu, tidak ada sesuatu apa pun yang sulit bagi-Nya.63

7. QS. Al-Baqarah[2]: 260

Pada ayat ini, ath-Thabarî lebih memilih qirâ‟ât yang membaca dengan huruf shâd dibaca dhammah

َّنُىْرُصَف

, karena bacaan ini paling tinggi di antara dua dialek bahasa, paling populer dan paling banyak dibaca dikalangan orang Arab. Walaupun ath-Thabarî lebih memilih qirâ‟ât tersebut akan tetapi ath-Thabarî tidak mengingkari qirâ‟ât yang lain.

Berdasarkan content (isi) penafsiran ath-Thabarî terhadap ketujuh ayat-ayat kisah dalam surah Al-Baqarah di atas yang di dalamnya terdapat ragam qirâ‟ât (qirâ‟ah sab„ah) dapat disimpulkan bahwa perbedaan ragam qirâ‟ât sebagian tidak berimplikasi terhadap makna maupun penafsiran. Namun ada sebagian qirâ‟ât yang membawa implikasi terhadap penafsiran ath-Thabarî, pengaruh tersebut karena ketidaksesuaiannnya terhadap tatanan bahasa Arab dan ta‟wîl/makna dari ayat tersebut. Adapun dari ketujuh ayat-ayat kisah di atas yang dapat

62 Abû „Abdullah Muhammad bin Ahmad bin Abî Bakr bin Farh al-Anshârî al- Khazrajî Syams ad-Dîn al-Qurthubî, al-Jâmi„ Li Ahkâm Al-Qur'an, juz 3, h. 298.

63 Wahbah bin Musthafâ az-Zuhailî, Tafsir al-Munîr fi al- „Aqîdah wa asy-Syarî „ah wa al-Manhaj, juz 3, h. 35.

dikompromikan makna dan penafsirannya yakni pada ayat 36, 51, 125, 249, 251, dan 260. Sedangkan pada ayat 259, makna dan penafsirannya menurut penulis tidak dapat dikompromikan karena penafsiran antara ath-Thabarî dan mufassir lainnya tidak sejalan dan tidak mungkin Allah Swt. memberi perintah langsung kepada „Uzair kecuali melalui perantara. Dari sini terlihat bahwa terkadang ath-Thabarî menolak qirâ‟ât mutawâtirah disebabkan tidak sesuai dengan tatanan bahasa Arab dan ini menjadi bukti atas kekentalan lughawi nya ath-Thabarî.

Adapun perbedaan antara ath-Thabarî dengan mufassir lainnya adalah mereka tidak mentarjih atau mengunggulkan qirâ‟ât satu dengan lainnya. Hanya saja memaparkan makna dibalik perbedaan qirâ‟ât tersebut. Dalam tafsir ayat-ayat kisah, sejauh yang penulis teliti ath- Thabarî hanya mentarjih/mengunggulkan qirâ‟ah sab„ah saja. Akan tetapi terkadang ath-Thabarî menyebutkan qirâ‟ah „asyarah di dalam ayat kisah, hanya saja memaparkan makna dari perbedaan bacaan tersebut, dan pada akhirnya beliau lebih mengunggulkan bacaan qirâ‟ah sab„ah dari pada qirâ‟ah „asyarah. Pengunggulan terhadap qirâ‟ah sab

„ah tersebut, ath-Thabarî tidak cenderung pada qirâ‟ât imam tertentu.

Beliau hanya mengunggulkan qirâ‟ât satu dengan yang lainnya karena bacaan tersebut kurang sesuai makna dan panafsirannya.

111 BAB V