Ilmu qirâ‟ât merupakan salah satu disiplin ilmu yang agung, karenanya kebesaran dan keagungan makna-makna Al-Qur‟an dapat diketahui. qirâ‟ât juga merupakan ilmu yang mempunyai kedudukan yang tinggi, sebab berkaitan dengan kitab samawi paling mulia dan utama, yaitu Al-Qur‟an al- Karîm yang diturunkan oleh Allah Swt sebagai petunjuk bagi manusia, syari‟at yang jelas, dan jalan yang sempurna bagi kehidupan manusia, kitab yang diutamakan atas kitab-kitab yang lain.1
Lafazh )ةءارق( secara etimologis merupakan bentuk mashdar dari )أرق(
yang mengandung arti bacaan.2 Yang di maksudkan di sini adalah perbedaan- perbedaan dalam bacaan sebagian dari ayat-ayat Al-Qur‟an
Sedangkan secara terminologis terdapat berbagai ungkapan atau redaksi yang dikemukakan oleh para ulama sehubungan dengan pengertian ilmu qirâ‟ât ini. Menurut Abû Syâmah al-Dimasyqî (w. 665/1266) sebagaimana yang dikutip oleh Wawan Djunaedi:
ِع ْل ُم
ْلا ِق َر َءا ِتا ْل ٌم ِع َك ْي ِب ِف َي ِة َد ِءا َأ َك ِل َم ْلا ِتا ُق ْرآ َوا ِن ْخ ِت َلا ِف ْ ي َه َم ا ْع ُز ِّ
و ِل ا َن ِقا ِل ِو
1 Ahmad Fauzi, “Variae Lectiones (Qirâ‟ât) Dalam Perspektif Gabriel Said Reynolds,” dalam Jurnal Al-Furqan:Ilmu Al-Qur‟an dan Tafsir, Vol. 2, No 1 Juni 2019, h.
46.
2Hasanuddin AF, Perbedaan Qirâ‟ât dan Pengaruhnya Terhadap Istinbâth Hukum dalam Al-Qur‟an, (Jakarta : PT RajaGrafindo Persada, 1995), Cet. Ke 1, h. 111.
“Ilmu qirâ‟ât adalah sebuah disiplin ilmu yang mempelajari cara melafalkan kosa kata Al-Qur‟an dan perbedaanya yang disandarkan pada perâwî yang mentransmisikannya.”
Dapat dikatakan bahwa Abû Syâmah al-Dimasyqî menganggap ilmu qirâ‟ât sebagai sebuah disiplin ilmu yang berbicara tentang tata cara artikulasi dan ragam perbedaan lafal Al-Qur‟an dimana ilmu ini berasal dari informasi para pe-râwî yang bersumber dari Rasulullah Saw.3 Sama halnya dengan pendapat Syekh „Abd al-Fattâh al-Qhâdhî (w 1402/1982) yang merumuskan definisi qirâ‟ât, sebagaimana yang dikutip oleh Ahsin Sakho Muhammad:
ِع ْل ٌم ُ ي ْع َر ُف ِب ِو َك ْي ِف َي ُة ُّنلا ْط ِق ْل ِبِ
َك ِل َم ْلا ِتا ُق ْرآ ِن َّي ِة َو َط ِر ْي ُق َد ِئا َأ َه ِّتا ا َف ًقا َو ا ْخا َلا ِت َم ا ًف َع َع ْز ِو ِّل ُك َو ْج ٍو
ِل َن ِقا ِل ِو
“Ilmu qirâ‟ât ialah ilmu yang membahas cara-cara mengucapkan dan melafazkan kata-kata Al-Qur‟an, baik yang disepakati (oleh ahli qirâ‟ât) atau yang diperselisihkan, dengan selalu menisbahkan semua bacaan tersebut kepada para pe-râwî-nya masing-masing”.4
Lain halnya dengan az-Zarqani (w. 769/1367) yang menganggap bahwa qirâ‟ât tidak hanya sebagai artikulasi lafaz, akan tetapi sebagai salah satu madzhab qirâ‟ât yang sumbernya adalah riwayat. Definisi yang diungkapkan az-Zarqani sebagaimana yang dikutip oleh Romlah Widayati adalah sebagai berikut:
ُى َو َم َى ْذ ٌب َي ْذ ُب َى ِا َل ْي ِو ِا َم ٌما ْن ِم
َأ ِئ َّم ِة ْلا ُق َّر ِءا َُم ِلا ًف ِب ا َغ ْ ي ِو
ُر ُه ِف ُّنلا ْط ِق ْل ُق ِبِ
ْرآ ْلا ِن
ِر ِْي َك َع َم ِّتا َف ِا ق
ِّرلا َ َحا و ِت ُّطلاو ُر ِق َع ْن َس , ُو َو ٌءا َك َأ َى َنا ِذ ِه ْلا ُم َخ َلا َف ُة ُن ِف ْط ُْلا ِق
ُر ْو ِف ْم َأ ُن ِف ْط َى ْ ي َئ ِق َِتا ا
“Qirâ‟ât adalah salah satu madzhab dari beberapa madzhab artikulasi (kosa kata) Al-Qur‟an yang dipilih oleh salah seorang imam Qirâ‟ât yang berbeda dengan madzhab lainnya di mana periwayatan dan tariqnya
3Wawan Djunaedi, Sejarah Qirâ‟ât Al-Qur‟an di Nusantara, (Jakarta Pusat : Pustaka STAINU, 2008), Cet. Ke-II, h 20-21.
4Ahsin Sakho Muhammad, Membumikan Ulumul Qur‟an, (Jakarta Selatan: PT Qaf Media Kreativa, 2019), Cet. Ke I, h 27.
disepakati/diterima. Adapun perbedaan tersebut terletak pada cara pengucapan huruf maupun bentuk-bentuk perbedaan kosa katanya”.5
Definisi yang di ungkapkan oleh az-Zarqani sama halnya dengan definisi yang di ungkapkan oleh Muhammad „Alî as-Shâbûnî sebagaimana yang dikutip oleh Hasanuddin AF adalah sebagai berikut:
ِقلا َرا َء َم : ُت َى ْذ ٌب ْن ِم َم َذ ِىا ِب ُّنلا ْط ِق ْلا ِف ُق ْرآ َي ْذ ِن ُب َى ِب ِا َم ِو ٌما َن ِم ا َْل ِئ َّم ْلا ُق ِة َّر ِءا َم َى ًب ْذ ا
َُي ِلا ُف َغ ْ ي َر ُه ِف ُّنلا ْط ِق ْلا ِبِ
ُق ْرآ ْلا ِن
ِر ِْي َك َو ِى َي َث ِب
َت ٌة َِب َس ِن ا ْي ِد َى ِا ا َر َل ُس ْو ِل م.ص الله
“Qirâ‟ât yaitu suatu madzhab tertentu dalam cara Al-Qur‟an, yang dianut oleh salah seorang imam Qirâ‟ât yang berbeda dengan madzhab lainnya, berdasarkan sanad-sanad nya yang bersambung sampai kepada Rasulullah SAW”.6
Dari definisi-definisi yang dikemukakan oleh para ulama Al-Qur‟an diatas, dapat disimpulkan bahwa ilmu qirâ‟ât adalah cara mengucapkan lafaz-lafaz Al-Qur‟an sebagaimana yang diucapkan Nabi Saw dan perbedaan ragam bacaan yang dianut oleh masing-masing madzhab imam qirâ‟ât dan para pe-râwî-nya.
Terlepas mengenai perbedaan qirâ‟ât (bacaan), kadang-kadang suatu kata yang terdapat dalam Al-Qur‟an dibaca lebih dari satu cara, sesuai dengan yang pernah diajarkan Nabi Saw. Dia menegaskan:
ُا ْن ِز ْلا ُق َل ْرآ َع َل ُن َس ى ْ ب َع ِة ْح ُر َأ ف
“Al-Qur‟an diturunkan atas tujuh huruf”7
Para ulama berbeda pendapat dalam memahami makna sab„ah ahruf/tujuh huruf. Sehingga Ibn Hayyân mengatakan: “Ahli ilmu berbeda pendapat tentang arti kata sab„ah ahruf menjadi tiga puluh lima
5Romlah Widayati, Implikasi Qirâ‟ât Syadzdzah Terhadap Istinbâth Hukum, (Ciputat, Tangerang Selatan: Transpustaka, 2015), Cet. Ke 1, h 14-15.
6 Hasanuddin AF, Perbedaan Qirâ‟ât dan Pengaruhnya Terhadap Istinbâth Hukum dalam Al-Qur‟an, h. 114.
7 Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur‟an, (Jakarta: Amzah, 2019), Cet. Ke-4, h 45-46.
pendapat”.Beberapa pendapat di antaranya yang dianggap paling mendekati kebenaran adalah sebagai berikut menurut Mannâ‟ Khalil al-Qattân:8
a. Sebagian besar ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan sab„ah ahruf adalah tujuh macam bahasa dari bahasa-bahasa Arab mengenai satu makna. Adapun ketujuh bahasa tersebut ialah bahasa Quraisy, Huzail, Saqif, Hawazin, Kinanah, Tamim dan Yaman.
b. Sebagian ulama menyebutkan bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh wajah yaitu: „Amr (perintah), nahyu (larangan), wa„d (janji), wa„îd (ancaman), jadal (perdebatan), qishshah (cerita) dan mastal (perumpamaan).
c. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf adalah tujuh macam hal yang di dalamnya terjadi ikhtilaf yaitu : ikhtilaful asma‟, perbedaan dari segi I‟rab, perbedaan dalam tashrîf, perbedaan dalam taqdîm, perbedaan dalam segi ibdal, perbedaan karena ada penambahan dan pengurangan, perbedaan lahjah seperti bacaan tafkhîm dan tarqîq, fath dan imâlah, izhâr dan idghâm, tahqîq dan tashîl, isymâm dan lain-lain.
d. Sebagian ulama ada yang berpendapat bahwa bilangan tujuh itu diartikan secara harfiah (bukan bilangan antara enam dan delapan), tetapi bilangan tersebut hanya sebagai lambang kesempurnaan menurut kebiasaan orang Arab.
e. Segolongan ulama berpendapat bahwa yang dimaksud dengan tujuh huruf tersebut adalah qirâ‟ât tujuh.9
Banyak riwayat yang membahas mengenai sab„ah ahruf, di antaranya hadis riwayat „Abdullah bin Mas„ûd r.a, yang menyatakan:
8 Mannâ‟ Khalil al-Qattân , Studi Ilmu-Ilmu Al- Qur‟an,terj. Oleh Mudzakir AS, (Bogor: Litera Antarnusa, 2016), Cet. Ke-17, h 227.
9 Mannâ‟ Khalil al-Qattân, Studi Ilmu-Ilmu Qur‟an, terj.Oleh Mudzakir AS, h. 227- 232.
َُّللا َيِضَر ٍدوُعْسَم ِنْب َِّللا ِدْبَع ْنَع " َناَك :َلاَق ،َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص َِّللا ِلوُسَر ْنَع ،ُوْنَع
َعْ بَس ىَلَع ٍباَوْ بَأ ِةَعْ بَس ْنِم ُنآْرُقْلا َلَزَ نَو ،ٍدِحاَو ٍفْرَح ىَلَع ٍدِحاَو ٍبَبِ ْنِم َلَزَ ن ُلَّوَْلا ُباَتِكْلا ِة
،ٍماَرَحَو ، ٍل َلاَحَو ،ٍرِمآَو ،ٍرِجاَز ، ٍفُرْحَأ اوُمِّرَحَو ،ُوَل َلاَح اوُّلِحَأَف ، ٍلاَثْمَأَو ،ٍوِباَشَتُمَو ،ٍمَكُْمَُو
ُِب اوُلَمْعاَو ،ِوِلاَثْمَِب اوُِبَِتْعاَو ،ُوْنَع ْمُتيُِنُ اَّمَع اوُهَ تْ ناَو ،ِوِب ُْتُْرِمُأ اَم اوُلَعْ فاَو ،ُوَماَرَح اوُنَمآَو ،ِوِمَكْحْ
اَّنَمآ :اوُلوُقَو ،ِوِِبِاَشَتُِب ِباَبْلَْلا وُلوُأ َّلِْإ ُرَكَّذَي اَمَو ،اَنِّبَر ِدْنِع ْنِم ّّلُك ِوِب
ٔٓ
“Dari „Abdullah bin Mas„ûd r.a bahwasannya Rasulullah Saw bersabda:
kitab yang pertama diturunkan dari satu pintu dan satu huruf, sedangkan Al- Qur‟an diturunkan dari tujuh pintu dan dengan tujuh huruf: ancaman, perintah, halal, haram, muhkam, mutasyAbîh dan perumpamaan; maka halalkanlah yang dihalalkannya, haramkanlah yang diharamkannya, kerjakanlah yang diperintahkannya, tinggalkanlah yang dilarangnya, ambillah pelajaran dari perumpamaanya, kerjakanlah muhkamnya, imanilah mutasyAbîhnya dan katakanlah kami beriman kepadanya, semuanya datang dari sisi Tuhan kami”.
Menurut ath-Thabarî riwayat yang mengatakan bahwa Al-Qur‟an diturunkan dari tujuh pintu dan diturunkan atas tujuh huruf11 maknanya sama.
Maksudnya Rasulullah Saw memberitahukan tentang keutamaan dan kemuliaan yang diberikan Allah Swt kepada umatnya dan tidak diberikan kepada umat lainnya, karena semua Kitab yang diturunkan kepada para Nabi sebelum Kitab kita yang dirurunkan kepada Nabi Muhammad Saw adalah satu bahasa, yang jika dialihkan ke bahasa lain maka disebut terjemahan dan penafsiran, bukan bacaan seperti yang di turunkan oleh Allah Swt. Sementara
10 Abû „Abdullah al-Hâkim Muhammad bin „Abdullah bin Muhammad bin Nu„aim an-Naisâbûrî, al-Mustadrak „Alâ ash-Shahîhaini, (Beirut: Dâr al-Kutub al-„Ilmiyah, 1411), juz 2, h. 317.
11 Ath-Thabarî menyatakan bahwa sab„ah ahruf/tujuh huruf adalah tujuh gaya bahasa (cara baca) pada satu kata yang maknanya sama. Seperti kata:
,لا ,لاعت ,لبقأ,ملى
,بىرق ,ىونح ,ىدصق
yang semuanya berarti „kemarilah‟. Lihat Abû Ja‟far Muhammad ibn Jarîr ath-Thabarî, Jâmi„ al-Bayân „an Ta‟wîlay Al-Qur‟an, juz 1 h. 57-58.Kitab suci kita diturunkan atas tujuh bahasa, dengan bahasa mana saja seseorang membacanya dia dianggap telah membacanya maka bukan menerjemahkannya, juga bukan menafsirkannya. Inilah makna dari sabda Rasulullah Saw “Bahwa Kitab yang pertama diturunkan atas satu huruf, sedangkan Al-Qur‟an diturunkan atas tujuh huruf”.12
Adapun sabda Nabi Saw “Bahwa kitab yang pertama diturunkan dari satu pintu, sedangkan Al-Qur‟an diturunkan dari tujuh pintu”. Penjelasannya adalah Kitab yang diturunkan Allah kepada Nabi-Nya tidak lepas dari hudûd, hukum-hukum, dan halal haram, seperti kitab Zabûr yang diturunkan kepada Nabi Dâud as. hanya berisi nasihat dan petuah, atau kitab Injîl yang diturunkan kepada Nabi „Îsâ as. hanya berisi pujian-pujian dan ajakan untuk saling menyayangi serta memaafkan, begitu juga dengan kitab-kitab lain yang hanya berisi sebagian dari makna yang tujuh, yang mana semuanya dikandung oleh Kitab suci Al-Qur‟an yang dikhususkan untuk Rasulullah Saw dan umatnya.13
Kebolehan membaca dengan berbagai cara adalah suatu kelapangan yang Allah berikan kepada umat Islam, terutama orang Arab pada masa Al-Qur‟an diturunkan, sebab mereka mempunyai dialek atau lahjah yang berbeda antara satu suku dengan suku lainnya. Suatu ungkapan yang mudah diucapkan oleh seseorang mungkin bagi orang lainnya sulit. Maka untuk memberikan kemudahan, Rasulullah Saw membolehkan membaca Al-Qur‟an sesuai dengan lahjah yang ia kuasai. Akan tetapi semua ini harus berdasarkan atas petunjuk Nabi Saw.14
Membaca Al-Qur‟an dengan berbagai bentuk bacaan, seperti yang diajarkan para imam qâri‟ yang diterima dari Nabi haruslah melalui
12Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî , Jâmi„ al-Bayân „an Ta‟wîl ay Al-Qur'an, (Kairo: Maktabah Ibnu Taimiyah, t.t), juz 1 h. 70-71.
13Muhammad bin Jarîr ath-Thabarî , Jâmi„ al-Bayân „an Ta‟wîl ay Al-Qur'an, juz 1 h. 71.
14 Kadar M. Yusuf, Studi Al-Qur‟an, h. 46.
mushâfahah. Artinya walaupun secara teoritis orang dapat menguasai bentuk bacaan melalui buku-buku yang ia pelajari, namun ia tidak boleh membaca seperti yang disebutkan dalam buku tersebut. Jadi, seseorang hanya boleh membaca Al-Qur‟an dengan menggunakan qirâ‟ât yang ia pelajari dari gurunya secara talaqqî dan mushâfahah. Karena hanya bacaan itulah yang pasti dan jelas dengan melalui pendengaran dan mushâfahah.15
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Qirâ’ât