mushâfahah. Artinya walaupun secara teoritis orang dapat menguasai bentuk bacaan melalui buku-buku yang ia pelajari, namun ia tidak boleh membaca seperti yang disebutkan dalam buku tersebut. Jadi, seseorang hanya boleh membaca Al-Qur‟an dengan menggunakan qirâ‟ât yang ia pelajari dari gurunya secara talaqqî dan mushâfahah. Karena hanya bacaan itulah yang pasti dan jelas dengan melalui pendengaran dan mushâfahah.15
B. Sejarah Perkembangan Ilmu Qirâ’ât
ْيَلَع اوُءَرَ ق ٍفْرَح اَُّيَُّأَف ، ٍفُرْحَأ ِةَعْ بَس ىَلَع َنآْرُقْلا َكُتَّمُأ َأَرْقَ ت ْنَأ َكُرُمَْيَ َالله َّنِإ :َلاَقَ ف ِو
.اوُباَصَأ ْدَقَ ف )ملسلما هاور(
ٔٚ
“Ketika Nabi berada di dekat parit Bani Ghaffar, ia didatangi Jibril seraya mengatakan: Allah memerintahkan agar membacakan Al-Qur‟an kepada umatmu dengan satu huruf. Ia menjawab “aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, karena umatku tidak dapat melaksanakan perintah itu”. Kemudian jibril datang lagi untuk yang kedua kalinya dan berkata: Allah memerintahkanmu agar membacakan Al-Qur‟an kepada umatmu dengan dua huruf. Nabi menjawab: aku memohon kepada Allah ampunan dan maghfirah-Nya, umatku tidak kuat melaksanakannya. Jibril datang lagi untuk yang ketiga kalinya, lalu mengatakan: Allah memerintahkan agar membacakan Al-Qur‟an kepada umatmu dengan tiga huruf. Nabi menjawab: aku memohon ampunan dan maghfirah-Nya, sebab umatku tidak tidak dapat melaksanaknnya.
Kemudian jibril datang lagi untuk yang keempat kalinya seraya berkata:
Allah memerintahkan kepadamu agar membacakan Al-Qur‟an kepada umatmu dengan tujuh huruf, dengan huruf mana saja mereka baca, mereka tetap benar”. (HR.Muslim).
Dari hadis diatas menyebutkan sumber mata air Bani Ghifar yang berada didekat Madinah. Berarti awal munculnya qirâ‟ât yaitu ketika Nabi sesudah hijrah ke Madinah yang sudah majemuk masyarakatnya dengan perbedaan berbagai dialek.18 Ada pendapat lain yang mengatakan bahwa qirâ‟ât mulai diturunkan di Makkah bersamaan dengan turunnya Al-Qur‟an.19 Pendapat ini diperkuat oleh hadis dari „Umar bin Khatthâb r.a, ia berkata:
،َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص َِّللا ِلوُسَر ِةاَيَح ِفِ ِناَقْرُفلا َةَروُس ُأَرْقَ ي ٍميِكَح َنْب َماَشِى ُتْعَِسَ
ُالله ىَّلَص َِّللا ُلوُسَر اَهيِنْئِرْقُ ي َْلَ ٍةَيرِثَك ٍفوُرُح ىَلَع اَىُؤَرْقَ ي َوُى اَذِإَف ،ِوِتَءاَرِقِل ُتْعَمَتْساَف
17 Imam Muslim, Shahîh Muslim, Bab Bayân Annal Qur‟an „Alâ Sab‟ati Ahruf Bayân Ma„nahu, (Indonesia: Dâr Ihya al-Kutub al-„Arabiyah, t.t ), Juz 1 h. 326-327.
18 Muhammad Imamul Umam, “Ahruf Sab„ah dan Qirâ‟ât”,h. 22.
19Iwan Romadhan Sitorus, “Asal Usul Ilmu Qirâ‟ât”, dalam Jurnal El-Afkar, Vol 7 No. 1 Januari-Juni 2018, h. 75.
ِئاَدِرِب ُوُتْ بَّ بَل َُّثُ ،َمَّلَس َّتََّح ُوُتْرَظَتْ ناَف ،ِةَلاَّصلا ِفِ ُهُرِواَسُأ ُتْدِكَف ،َكِلَذَك َمَّلَسَو ِوْيَلَع َأ ِو
ْو
َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص َِّللا ُلوُسَر اَهيِنَأَرْ قَأ :َلاَق ؟َةَروُّسلا ِهِذَى َكَأَرْ قَأ ْنَم :ُتْلُقَ ف ،يِئاَدِرِب ،
ِتَِّلا َةَروُّسلا ِهِذَى ِنَِأَرْ قَأ َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص َِّللا َلوُسَر َّنِإ َِّللاَوَ ف ،َتْبَذَك :ُوَل ُتْلُ ق َلوُسَر َح :ُتْلُقَ ف َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص َِّللا ِلوُسَر َلِإ ُهُدوُقَأ ُتْقَلَطْناَف ،اَىُؤَرْقَ ت َكُتْعَِسَ
َروُس ِنَِتْأَرْ قَأ َتْنَأَو ،اَهيِنْئِرْقُ ت َْلَ ٍفوُرُح ىَلَع ِناَقْرُفلا ِةَروُسِب ُأَرْقَ ي اَذَى ُتْعَِسَ ِّنِِإ ،َِّللا َة
:َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص َِّللا ُلوُسَر َلاَقَ ف ،ِناَقْرُفل ا ُماَشِى َح ْأَرْ قا ،ُرَمُع َح ُوْلِسْرَأ «
َأَرَقَ ف »
:َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص َِّللا ُلوُسَر َلاَق ،اَىُؤَرْقَ ي ُوُتْعَِسَ ِتَِّلا َةَءاَرِقلا ِوْيَلَع ْتَلِزْنُأ اَذَكَى «
َُّثُ »
:َمَّلَسَو ِوْيَلَع ُالله ىَّلَص َِّللا ُلوُسَر َلاَق ُرَمُع َح ْأَرْ قا «
: َلاَقَ ف ،ُتْأَرَقَ ف » ْتَلِزْنُأ اَذَكَى «
َُّثُ »
: َلاَق ُوْنِم َرَّسَيَ ت اَم اوُءَرْ قاَف ، ٍفُرْحَأ ِةَعْ بَس ىَلَع َلِزْنُأ َنآْرُقلا اَذَى َّنِإ «
» )يراخبلا هاور(
ٕٓ
“Aku („Umar bin Khatthâb) mendengar Hisyâm bin Hakîm membaca surat Al-Furqân di masa hidup Rasulullah Saw, lalu aku sengaja mendengar bacaannya. Tiba-tiba dia membacanya dengan bacaan yang bermacam-macam yang belum pernah dibacakan Rasulullah kepadaku.
Hampir saja aku serang dia dalam salat, namun aku berusaha menunggu dengan sabar sampai dia salam. Begitu dia salam aku tarik leher bajunya, seraya aku bertanya, “Yang mengajarkannya adalah Rasulullah sendiri”. Aku gertak dia, “kau bohong”, demi Allah, Rasulullah telah membacakan kepadaku surah yang kau baca tadi (tetapi tidak seperti bacaanmu), maka kuajak dia menghadap Rasulullah dan kuceritakan peristiwanya. Lalu Rasulullah menyuruh Hisyâm membaca surah Al-Furqân sebagaimana yang dibaca tadi. Kemudian Rasulullah berkomentar, “Demikianlah bacaan surat itu diturunkan”.
Lalu Rasulullah berkata lagi, “Sesungguhnya Al-Qur‟an itu diturunkan dalam tujuh huruf”, maka bacalah mana yang kalian anggap mudah.
(HR Al-Bukhari).
20 Muhammad bin Ismâ„îl Abû „Abdullâh al-Bukhârî, Shahîh Bukhârî, (tt.p. Dâr Thawaq an-Najâh, 1422), Juz 9, h. 17.
Hadis diatas menceritakan mengenai „Umar ibn Khatthâb yang mendapati Hisyâm bin Hakîm saat membaca surah Al-Furqân, dimana antara bacaan „Umar dan Hisyâm terdapat perbedaan. Perlu diketahui bahwa surah Al-Furqân merupakan surah Makkiyah, berarti dapat diambil kesimpulan sementara bahwa awal munculnya qirâ‟ât yaitu sejak Nabi masih di Mekkah.21
Masing-masing pendapat itu mempunyai dasar yang sama kuat, namun masih bisa dikompromikan bahwa qirâ‟ât memang mulai di turunkan di Mekkah bersamaan dengan turunnya Al-Qur‟an. Namun saat di Mekkah qirâ‟ât belum begitu dibutuhkan karena belum ada perbedaan dialek, hanya memakai satu lahjah yaitu Quraisy. Qirâ‟ât mulai dipakai setelah Nabi Muhammad Saw di Madinah, di mana mulai banyak orang yang masuk Islam dari berbagai kabilah yang bermacam-macam dan dengan dialek yang berbeda.22
Setelah Nabi Muhammad Saw wafat, para sahabat melanjutkan tradisi yang telah diajarkan oleh Nabi yaitu mengajarkan bacaan Al- Qur‟an kepada para murid-murid mereka. Ada diantara mereka yang masih tetap di Madinah dan Mekkah mengajarkan Al-Qur‟an kepada murid-murid mereka, seperti sahabat Ubay bin Ka„ab (w. 30 H),
„Utsmân bin „Affân (w. 35 H), Zaid bin Tsabit (w. 45 H), Abû Hurairah (w. 59 H), „Abdullah bin „Ayyash (w. 64 H), „Abdullah bin „Abbâs (w.
68 H), „Abdullah bin al-Saib al-Makhzumi (w. 68 H).23
21 Muhammad Imamul Umam, “Ahruf Sab„ah dan Qirâ‟ât”, h. 22.
22 Ahmad Saepuloh, “Qirâ‟ât Pada Masa Awal Islam”, dalam Jurnal Episteme, Vol.
9, No. 1, Juni 2014, h. 30-31.
23Mudawi Ma‟rif, “Penafsiran Qira‟ah Ganda (Studi Komparasi AntaraKitab Jâmi„
al-Bayân „an Ta‟wîlay Al-Qur‟an Karya Abû Ja‟far Muhammad ibn Jarîr ath-Thabarî dan Tafsir Mafâtih al-Ghaib Karya Fakhr ad-Dîn ar-Râzî dalam Ayat Ahkam)”, Disertasi UIN Sunan Ampel Surabaya, 2019, h. 46.
Pada tahun 12 H setelah kejadian perang “Yamamah” banyak sekali para penghafal Al-Qur‟an yang berguguran dalam medan perang,24hal ini menimbulkan kekhawatiran dalam diri „Umar bin Khatthâb. Karena orang-orang ini merupakan pengahafal Al-Qur'an yang amat baik, „Umar merasa cemas jika bertambah lagi angka yang gugur. Kemudian „Umar menghadap Abû Bakar dan mengajukan usul kepadanya agar mengumpulkan dan membukukan Al-Qur'an dalam satu mushaf karena dikhawatirkan akan musnah, karena dalam peperangan Yamamah telah banyak penghafal Al-Qur'an yang gugur.25 Namun hal ini tidak langsung dilaksanakan karena masih ada penolakan diantara mereka untuk melaksanakannya, akan tetapi dengan izin Allah Swt. demi kepentingan bersama maka terkumpullah satu Al-Qur‟an dengan susunan yang tertib yaitu tertulis surah-surah dan ayat-ayatnya. Pada masa Khalifah Abû Bakar ini pengumpulan Al-Qur‟an belum mencakup perbedaan qirâ‟ât, akan tetapi mencakup beberapa surah dan ayat yang telah didengar Zaid dari Nabi Muhammad Saw yaitu periode akhir hayat Nabi.26
Selanjutnya pada masa Khalifah „Utsmân bin „Affân terjadi perselisihan antara kaum muslimin di daerah Azzerbaijan dan Armenia yang disaksikan langsung oleh Hudzaifah bin al-Yaman (w. 36 H/656 M) mengenai tidak adanya Al-Qur‟an standar yang menyatukan cara bacanya. Perselisihan tersebut hampir saja menimbulkan perang saudara sesama umat Islam, sebab mereka berlainan dalam menerima bacaan ayat-ayat Al-Qur‟an karena oleh Nabi diajarkan cara bacaan yang relevan dengan dialek mereka masing-masing. Tetapi karena mereka
24 Terhitung tujuh puluh penghafal Al-Qur'an dari kalangan sahabat gugur.
25 Muhammad Ichsan, “Sejarah Perkembangan dan Pemeliharaan Al-Qur'an Pada Masa NAbî Muhammad Saw dan Sahabat”, dalam Jurnal Substantia, Vol. 14, No. 1, April 2012, h. 4-5.
26 Lilik Ummi Kaltsum, “Pergeseran Urgensitas Pencantuman Ragam Qirâ‟ât Dalam Literature Tafsir”, (Penelitian Individual UIN Syarif Hidayatullah, 2013), h. 22.
tidak memahami maksud tujuan Nabi, lalu tiap-tiap suku menganggap hanya bacaan mereka sendiri yang benar, sedangkan yang lain salah sehingga mengakibatkan perselisihan.27 Berdasarkan kasus ini Hudzaifah mengusulkan kepada Khalifah „Utsmân agar menuliskan kembali Al- Qur‟an untuk dijadikan sebagai master atau pedoman yang standar.
Berdasarkan usul itu, „Utsmân membentuk tim yang terdiri dari empat orang: Zaid ibn Tsabit (w. 45 H) sebagai ketua, Sa‟id ibn „Ash al-Amawi (w. 59 H), „Abdullah ibn Zubir al-Asadî (w. 73 H), „Abdurrahman ibn Harîts ibn Hisyâm al-Makhzûmi (w. 43 H) sebagai anggota.28
Sebelum pelaksanaan tugas ini, „Utsmân memberlakukan beberapa syarat, yaitu pertama “ jika terjadi perselisihan dalam soal tulisan dengan Zaid bin TsAbît, maka hendaklah ditulis dengan bahasa Quraisy, karena Al-Qur‟an diturunkan dengan bahasa Quraisy. Pesan ini disampaikan mengingat Zaid adalah orang Anshar, sedang ketiga anggotanya berasal dari suku Quraisy. Kedua, qirâ‟ât yang diakomodir dalam mushaf adalah qirâ‟ât yang sudah mencapai derajat Ahad tidak dimasukkan dalam mushaf standar.29 Untuk memudahkan kinerja keempat anggota tim yang telah dibentuk, Khalifah menyuruh seseorang untuk datang kepada Umm al-Mu‟minîn Hafsah binti „Umar agar meminjam sementara mushaf yang telah tersusun pada masa Abû Bakar untuk dijadikan panduan kerja tim.30
Kerja keempat anggota tim tersebut bisa dibilang sukses, karena berhasil memproduksi beberapa kopi mushaf Al-Qur‟an yang disebut dengan istilah mushaf„Utsmâni. Jumlah mushaf yang diproduksi masih
27 Haeruman Rusandi, “Memaknai Kembali Qirâ‟ât Al-Qur‟an”, dalam Jurnal Elhikmah: Pendidikan dan Kajian Keislaman Vol. III, No. 2, Juli-Desember 2010”, h. 46.
28 Faizah Ali Syibromalisi, “Pengaruh Qirâ‟ât Terhadap Penafsiran”, (tt.p.: t.p., t.t.), h. 10.
29 Faizah Ali Syibromalisi, “Pengaruh Qirâ‟ât Terhadap Penafsiran”, h. 11.
30 Wawan Djunaedi, Sejarah Qirâ‟ât Al-Qur‟an Di Nusantara, h. 51.
diperselisihkan oleh para ulama. Ada ulama yang menyebutkan bahwa jumlah mushaf yang dibuat sebanyak empat kopi, ada yang mengatakan lima kopi, bahkan ada juga yang mengatakan sampai tujuh kopi.
Menurut as-Suyuthî sebagaiman yang dikutip oleh Wawan Djunaedi, pendapat yang paling masyhur adalah pendapat yang menyebutkan bahwa jumlah mushaf yang diproduksi sebanyak lima kopi.31
Setelah pembukuan dan penggandaannya selesai, Khalifah „Utsmân bin „Affân mengirimkan mushaf tersebut ke daerah-daerah disertai dengan seseorang yang sebagian besar bacaannya sesuai dengan bacaan yang berkembang di daerah tersebut. Para huffâzh yang dikirim itu adalah: Zaid bin Tsabit diperintahkan mengajarkan qirâ‟ât di Madinah,
„Abdullah bin al-Saib dikirim ke Mekkah, al-Mughirah bin Syihab dikirim ke Syam, Abû „Abd ar-Rahmân as-Salmi dikirim ke Kufah,
„Amir bin „Abd al-Qais dikirim ke Basrah. Dari para sabahat inilah banyak pula madarasah-madrasah yang mengajarkan tentang qirâ‟ât.32
Sedangkan ahli qirâ‟ât dari kalangan tâbi„în juga telah menyebar di beberapa tempat. Tâbi„în yang tinggal di Madinah adalah Ibnu Musayyah, Salim, Sulaimân bin Yasar dan „Atha‟ saudaranya, Mu„âdz bin al-Qari, „Urwah bin Zubair, „Abdurrahmân bin Hurmuz, Ibn Syihab az-Zuhri, Muslim bin Jundab, dan Zaid bin Aslam. Di Mekkah adalah
„Atha‟ bin Abû Rabah, Mujâhid, Thawus, „Ikrimah, Ibnu Abû Malikah,
„Ubaid bin „Umar, dan lain-lain. Sedang di Bashrah adalah „Amir bin
„Abd Qais, Abû al-„Aliyah, Abû Raja‟, Nashr bin „Ashim, Yahya bin Ya‟mar, Jabir bin Zaid, al-Hasan, Ibnu Sirin, Qatadah, dan lain-lain.
Kemudian di Kufah adalah „Alqamah, al-Aswad, Masruq, „Ubaidah, ar- Rabi‟ bin Khayyan, al-Haris bin Qais, „Amr bin Syurahbil, „Amr bin
31 Wawan Djunaedi, Sejarah Qirâ‟ât Al-Qur‟an Di Nusantara, h. 52.
32 Ahmad Saepuloh, “Qirâ‟ât Pada Masa Awal Islam”, h. 34.
Maimun, Abû„Abdurrahmân as-Sulami, Wazir bin Khubisî, „Ubaid bin Fadhalah, Abû Zura‟ah bin „Amr, Sa‟id bin Jabir, an-Nakha„i dan asy- Sya„bi. Sedang yang tinggal di Syam adalah al-Mughirah bin Abî Shihab az-Zuhri (murid „Utsmân bin „Affân), Khulid bin Sa„id (sahabat Abû Darda‟), dan lain-lain.33
Dari hasil didikan generasi tâbi„în, maka semakin banyak orang yang cenderung dan berminat tentang ilmu qirâ‟ât. Banyak diantara mereka yang memusatkan perhatian terhadap ilmu qirâ‟ât, sehingga di beberapa kota besar terdapat pula pakar-pakar qirâ‟ât dari generasi ini.
Seperti di Mekkah terdapat Imam Ibnu Katsîr yang menjadi salah seorang Imam qirâ‟ât, Hamid bin Qais al-A‟raj dan Muhammad bin Muhaisin. Di Madinah terdapat nama-nama seperti Abû Ja‟far Yazîd bin Ya„qûb, Syaibah bin an-Nasah dan Nâfi‟ bin Nu‟aim (salah seorang imam qirâ‟ât). Di Kufah nama-nama yang termasyhur adalah Yahya bin Wathab, „Âshim bin Abî Najûd, Hamzah dan al-Kisâî. Tiga nama yang terakhir itu termasuk imam qirâ‟ât yang tujuh. Manakala para qâri‟ yang tinggal di Basrah ialah „Abdullah bin Abû Ishak, „Isa bin „Umar, Abû
„Amr bin al-A‟la (salah seorang imam qirâ‟ât), „Ashim bin Jah dan Ya„qûb bin al-Hadrami. Di Syam tercatat juga nama-nama yang masyhur, diantaranya „Abdullah Ibnu „Âmir (salah seorang imam qirâ‟ât), „Atiyah bin Qais al-Kilabi, Ismâ„îl bin „Abdullah bin Muhâjir, Yahya bin Haris dan Syuraikh bin Yazîd al-Hadrami.34
Perkembangan selanjutnya telah ditandai dengan munculnya masa- masa pembukuan qirâ‟ât. Para ahli sejarah telah menyebutkan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qirâ‟ât adalah Imam Abû Ubaid al-Qasim bin Salam (w. 224 H). Ia menulis kitab yang diberi nama
33 Misnawati, “Qirâ‟ât Al-Qur‟an dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum”, dalam Jurnal Mudarrisuna, Vol. 4, No. 1, Januari-Juni 2014”, h. 89-90.
34Iwan Romadhan Sitorus, “Asal Usul Ilmu Qirâ‟ât”,h. 76-77.
al-Qirâ‟ât yang menghimpun qirâ‟ât dari 25 orang pe-râwî. Pendapat lain menyatakan bahwa orang yang pertama kali menuliskan ilmu qirâ‟ât adalah Husain bin „Utsmân bin Tsabit al-Baghdâdi ad-Dharir (w. 378 H), dengan demikian sejak itu qirâ‟ât menjadi sebuah disiplin ilmu dalam Ulum Al-Qur‟an. Menurut Sya‟ban Muhammad Ismâ„îl kedua pendapat tersebut dapat disesuaikan. Orang yang pertama kali menulis masalah qirâ‟ât dalam bentuk prosa adalah al-Qasim bin Salam, dan orang yang pertama kali menulis tentang qirâ‟ah sab„ah dalam bentuk puisi adalah Husain bin „Utsmân bin Tsabit al-Baghdâdi35
Pada penghujung abad ke-3 Hijriyah, Ibnu Mujâhid menyusun qirâ‟ah sab„ah dalam karyanya yang berjudl Kitab al-Sab‟ah. Beliau hanya memasukkan beberapa imam qirâ‟ât saja, yang mana qirâ‟ât yang mereka ajarkan merupakan jenis-jenis qirâ‟ât yang bersetandar ketat serta memiliki kesesuian dengan mushaf „Utsmâni dan mereka berjumlah tujuh orang. Walaupun demikian, masih banyak lagi para imam qirâ‟ât yang tidak dimasukkan dalam kitabnya, hal ini terjadi karena qirâ‟ât tersebut tidak memilki standar persyaratan yang telah disepakati.36
Banyak sekali kitab-kitab qirâ‟ât yang telah ditulis oleh para ulama setelah Kitab Sab‟ah ini. Yang paling terkenal diantaranya adalah at- Taysir fi al-Qirâ‟ât as-Sâbi„ dan Jâmi„ al-Bayân fi al-Qirâ‟ât as-Sab„37 karya Imam Abû „Amr ad-Dânî (w. 444 H), matan asy-Syâthibî fi Qirâ‟ât as-Sab„ karya Imam asy-Syâthibî (w. 591 H), an-Nasyr fi Qirâ‟ât al-„Asyr karya Ibn al-Jazari (w. 751 H) dan Ithaf al-Fudala‟ al-
35Muhammad Nur Amin, “Implikasi Qirâ‟ât dalam Penafsiran Surah Ar-Rahmân (Studi Tafsir Rûh al-Ma„âni)”, h. 29-30.
36 Muhammad Nur Amin, “Implikasi Qirâ‟ât dalam Penafsiran Surah Ar-Rahmân (Studi Tafsir Rûh al-Ma„âni)”, h. 30.
37 Kitab ini merupakan kitab qirâ‟ah sab‟ah yang paling luas cakupannya dalam periwayatan. Ada lebih dari 500 riwayat dan thariq yang bermuara ke Imam Tujuh. Melihat cakupannya yang demikian banyak, ad-Dânî meringkas periwayatan dari Imam Tujuh menjadi dua pe-râwî saja dari setiap Imam.
Basyar fi al-Qirâ‟ât al-Arba‟ata „Asyar karya Imam ad-Dimyati al- Banna. Dan masih banyak lagi kitab-kitab lain tentang qirâ‟ât serta membahasnya dari berbagai segi secara luas, hingga saat ini.38
2. Syarat- Syarat Diterimanya Qirâ‟ât
Dapat diketahui bahwa qirâ‟ât bukanlah merupakan hasil ijtihad (ciptaan, rekaan) para ulama ahli qirâ‟ât, karena ia bersumber dari Nabi Muhammad Saw. Namun demikian untuk membedakan mana qirâ‟ât yang benar-benar berasal dari Nabi Muhammad Saw dan mana yang bukan, maka para ulama ahli qirâ‟ât menetapkan pedoman atau persyaratan tertentu.39
Terdapat sedikit perbedaan pendapat di kalangan para ahli qirâ‟ât dalam menetapkan persyaratan bagi qirâ‟ât yang tergolong shahîh, namun pada prinsipnya sama. Adapun persyaratan tersebut sebagaimana yang dikutip oleh Hasanuddin AF adalah sebagai berikut:
1. Al-Makki ibn Abî Thâlib (w. 347 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a. Qirâ‟ât harus sesuai dengan segi kaedah nahwu (tata bahasa Arab).
b. Qirâ‟ât harus sesuai dengan Rasm al-Mushaf (Rasm „Ustmâni).
c. Qirâ‟ât harus disepakati oleh ahli qirâ‟ât pada umumnya.
2. Ibn Khalawayh (w. 370 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
a. Qirâ‟ât harus sesuai dengan Rasm al-Mushaf yakni Rasm Ustmâni.
b. Qirâ‟ât harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
c. Qirâ‟ât harus bersambung periwayatannya.
3. Al-Kawasyi (w. 680 H) menetapkan persyaratan sebagai berikut:
38 Muhammad Nur Amin, “Implikasi Qirâ‟ât dalam Penafsiran Surah Ar-Rahmân (Studi Tafsir Rûh al-Ma„âni)”, h. 31.
39 Hasanuddin AF, Perbedaan Qirâ‟ât dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur‟an, h 138.
a. Qirâ‟ât harus memilki sanad yang shahîh.
b. Qirâ‟ât harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab.
c. Qirâ‟ât harus sesuai dengan Rasm al-Mushaf (Rasm
„Ustmâni).40
4. Sedangkan menurut Ibnu al-Jazari (w. 833 H) menetapkan persyaratan sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Imamul Umam sebagai berikut:
a. Qirâ‟ât harus sesuai dengan kaidah-kaidah bahasa Arab.
b. Qirâ‟ât tidak menyalahi Rasm „Ustmâni.
c. Memilki sanad yang shahîh (diriwayatkan oleh râwî yang adil dan dhabit) serta diriwayatkan secara mutawâtir.41
Dari keempat model persyaratan tersebut diatas, tampak bahwa pada dasarnya dari tiga persyaratan yang mereka tetapkan pada hakikatnya adalah sama yaitu: harus memilki sanad yang shahîh, harus sesuai dengan Rasm al-Mushaf (Rasm „Ustmâni), dan harus sesuai dengan kaidah bahasa Arab. Menurut al-Jazari sebagaimana yang dikutip oleh Muhammad Ali Mustafa Kamal bahwa ketiga sayarat tersebut harus terpenuhi dalam sebuah qirâ‟ât, artinya jika ketiga syarat terpenuhi maka qirâ‟ât tersebut dianggap mutawâtir dan sesuai dengan bacaan Al- Qur‟an. Jika hanya syarat yang pertama dan ketiga yang terpenuhi, namun tidak ada kecocokan dengan penulisan Al-Qur‟an yakni Rasm
„Ustmâni, maka qirâ‟ât tersebut dianggap sebagai qirâ‟ât syadzah42, sebagaimana pendapat Abû Darda‟, „Umar, Ibnu Mas„ûd dan lain-
40Hasanuddin AF, Perbedaan Qirâ‟ât dan Pengaruhnya Terhadap Istinbath Hukum Dalam Al-Qur‟an, h. 139.
41Muhammad Imamul Umam, “Ahruf Sab‟ah dan Qirâ‟ât”, h. 28.
42 As-Suyûthî mendefinisikan qirâ‟âtsyadzah sebagai berikut:
ُى َو ُّل ُك ِق َر ٍة َءا َ ف َق ْت َد ُر ْك ًن َا ا ْو َأ ْك َ ث َر ِم ْن
َأ ْر َك ْلا ِنا ِق َر َءا ِة ْلا َم ْق ُ ب ْو َل ِة
“qirâ‟âtsyadzah adalah qirâ‟ât yang tidak memenuhi salah satu kriteria atau lebih dari kriteria-kriteria keabsahan qirâ‟ât”, lihat Romlah Widayati, Implikasi Qirâ‟ât Syadzah Terhadap Istinbath Hukum, h. 51.
lainnya. Oleh karena itu qirâ‟ât syadzah tidak boleh dibaca di dalam atau di luar shalat.43
3. Macam-Macam Qirâ‟ât
Secara garis besar macam-macam qirâ‟ât terbagi menjadi dua, yaitu qirâ‟ât ditinjau dari segi kuantitas dan qirâ‟ât ditinaju dari segi kualitas.44Qirâ‟ât ditinjau dari segi kuantitas:45
1. Qirâ‟ah Sab„ah (qirâ‟ât tujuh) yaitu qirâ‟ât yang disandarkan kepada imam qirâ‟ât yang tujuh mereka adalah „Abdullah al- Katsîr ad-Dari, Nâfi‟ bin „Abdurrahmân bin Abî Nu‟aim,
„Abdullah al-Yasibi, Abû„Amr, Ya„qûb (al-Kisâî), Hamzah, dan
„Ashim.
2. Qirâ‟ât„Asyarah (qirâ‟ât sepuluh), yaitu qirâ‟ât tujuh ditambah tiga ahli qirâ‟ât yaitu Yazîd bin al-Qa‟qa al-Maksumi al-Madani, Ya„qûb bin Ishak dan Khalaf bin Hisyâm.
3. Qirâ‟ât Arba„ah „Asyarah (qirâ‟ât empat belas), yaitu qirâ‟ât sepuluh ditambah empat imam qirâ‟ât yaitu Hasan al-Bashri, Muhammad bin „Abdurrahmân, Yahya bin al-Mubarak dan AbûMuhammad Sulaimân ibn Mahran al-A‟masî al-Asadî.
Apabila ditinjau dari segi kualitas qirâ‟ât dapat diklasifikasikan menjadi enam tingkatan,46 yaitu:
1. Qirâ‟âtMutawâtir, yaitu sanad qirâ‟ât yang diterima oleh sejumlah pe-râwî yang tidak mungkin bersepakat untuk
43Muhammad Ali Mustafa Kamal, Epistemologi Qirâ‟ât Al-Qur‟an, (Yogyakarta:Deepublish, September 2014), Cet Ke-1, h. 57.
44La Ode Muhammad Sayifuddin, Dkk, Implementasi Metode Pembelajaran Qirâ‟ah Sab‟ah dengan Bacaan Imam Nâfi‟ Riwayat Qâlûn dan Warsy Pada Santri Jam‟iyatul Qurra di Pondok Pesantren Modern (PPM) al-Syaikh Abdul Wahid Kota Baubau”, dalam Jurnal Diskursus Islam Vol. 06, No. 3, Desember 2018, h. 7.
45Ratnah Umar, “Qirâ‟ât Al-Qur‟an (Makna Dan Latar Belakang Timbulnya Perbedaan Qirâ‟ât”, dalam Jurnal al-Asas, Vo. II, No. 2, Oktober 2019, h. 37.
46Ahmad Fathoni, “Ragam Qirâ‟ât Al-Qur‟an”, dalam Jurnal Suhuf, Vol. 2, No. 1, 2009”, h. 58.