• Tidak ada hasil yang ditemukan

ANALISIS YURIDIS TERHADAP POLEMIK DI MASYARAKAT

Dalam dokumen Rangkuman Karya Tulis Ilmiah di Bidang Hukum (Halaman 163-168)

D. Metodologi

III. ANALISIS YURIDIS TERHADAP POLEMIK DI MASYARAKAT

Mengingat armada perikanan Indonesia masih belum mampu memanfaatkan sumber daya ikan di Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia dan berdasarkan ketentuan UNCLOS 1982 tersebut di atas, Indonesia memberi kesempatan kapal ikan berbendera asing (KIA) beroperasi di ZEEI. Berkaitan dengan kapal asing, umumnya tidak lepas isu tetang "pencurian" ikan oleh nelayan dan kapal asing.

Hal ini karena adanya dugaan sebagian besar (70 persen) dan sekitar 7000 (tujuh ribu) kapal perikanan berbendera Indonesia yang telah memperoleh izin dari pusat dan beroperasi di perairan ZEEI, ternyata masih dimiliki pihak asing, terutama Thailan, Filipina, Taiwan dan RRC.

Kondisi demikian disebabkan masih belum optimalnya pengendalian pemanfaatan sumber daya perikanan seperti:

(a) kurangnya sarana dan alat penegakan hukum di laut yang menyebabkan intensitas dan efektifitas monitoring dan pengawasan menjadi berkurang.

(b) pengendalian pemanfaatan sumber daya ikan ditangani oleh berbagai intansi, sehingga memerlukan koordinasi.

(c) belum diberdayakannya petugas pengawas sumber daya ikan (WASDA) dan pengawas kapal (WASKI) secara optimal.

1. Masalah Nelayan dan Pengusaha.

Menurut Ketua DPP Gabungan Pengusaha Perikanan Indonesia bahwa masyarakat perikanan di tanah air resah dengan munculnya RUU tersebut, demikian juga kalangan pengusaha perikanan mengancam isi draf RUU tersebut karena menurut mereka RUU tersebut sangat merugikan nelayan maupun pengusaha. RUU tersebut bila diterapkan bukan saja membuat pengusaha perikanan semakin terjepit juga akan mematikan investasi di sektor tersebut.

Ada bagian dari RUU yang sangat mengancam pengusaha.

Seperti denda maupun ancaman hukuman yang dikenakan bila terjadi suatu pelanggaran.

"Pengusaha diancam denda sampai Rp 100 miliar atau kurung­

an 8 tahun terhadap pelanggaran kalau terjadi pelanggaran/

pencemaran/perusakan dalam hal penangkapan ikan".

Di samping itu pengusaha juga melihat RUU itu sangat bertentangan dengan iklim investasi yang kini tengah digalakkan.

Kalau RUU itu diterapkan maka investor akan takut menanamkan modalnya di Indonesia, sebab terlalu besar risikonya.

2. Masalah Pelihara Ikan yang merugikan Mayarakat di denda 6 miliar.

Siapa yang menyangka kalau ikan yang selama ini dijadikan pemuas hobbi sebagian orang, bisa membawa si pemiliknya ke penjara. Tidak tanggung-tanggung, bila seseorang memelihara, ataupun mengedarkan ikan yang merugikan bagi masyarakat dan lingkungan, ancamannya adalah denda Rp. 6 miliar dan penjara maksimal 6 tahun.

Separuh dari ketentuan pidana yang diatur dalam RUU Perikanan memang ditujukan pada aktivitas illegal fishing atau penangkapan ikan dengan bahan kimia yang dilarang atau menimbulkan pencemaran dan kerusakan sumber daya ikan dan laut. Namun Pasal 58 RUU Perikanan membuka kemungkinan para pemelihara ikan terkena sanksi pidana.

Ketentuan Pasal 70 RUU Perikanan tersebut berbunyi, "Setiap orang dan/atau badan hukum dengan sengaja mengadakan, mengedarkan, dan memelihara ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan, dan/atau lingkungannya sebagaimana dimaksud Pasal 16 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan denda paling banyak Rp 6.000.000.000,- (enam miliar rupiah)1'.

Dari penjelasan Pasal 16 ayat (1) RUU Perikanan diketahui bahwa larangan tersebut dimaksudkan untuk melindungi sumber daya ikan yang kita miliki agar tidak hilang atau punah terutama ikan asli Indonesia. Bunyi selengkapnya Penjelasan pasal 16 ayat (1) RUU Perikanan adalah sebagai berikut:

"Larangan mengadakan, mengedarkan, dan memelihara induk, calon induk, dan/atau benih ikan yang merugikan masyarakat, pembudidayaan ikan sumber daya ikan lainnya, dan/atau lingkungannya dimaksudkan untuk melindungi sumber daya ikan yang kita miliki tidak hilang atau punah terutama ikan asli Indonesia (indigenous specie s), juga dimaksudkan untuk melindungi ekosistem yang ada".

Ketentuan Pasal 16 seperti disebutkan sebelumnya masih terkait dengan pasal-pasal sebelumnya di bawah Bab IV tentang Pengelolaan Perikanan, khususnya Pasal 15. Dalam Pasal 15 disebutkan, pemerintah mengatur pemasukan dan/ atau pengeluaran jenis induk, induk dan/atau benih ikan ke dalam atau dari Wilayah Pengelolaan Perikanan Republik Indonesia.

Lebih jauh, ancaman denda lebih berat yang diatur dalam RUU disediakan bagi orang atau badan hukum yang membudidayakan ikan hasil rekayasa genetika yang dapat membahayakan sumber daya ikan dan lingkungan serta kesehatan manusia. Perbuatan ini diancam dengan denda maksimal Rp 7 miliar.

Himpunan Nelayan Seluruh Indonesia mendesak Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat untuk menunda proses pembahasan dan pengesahan RUU Perikanan karena dinilai makin menyudutkan posisi nelayan dan usaha kecil lainnya.

Secara mendasar terdapat satah definisi dan pengertian yang sangat krusial dalam jiwa RUU Perikanan di mana nelayan dibatasi sebagai orang yang bekerja menangkap ikan hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari. "Definisi yang dipersempit int sangat menyimpang sebab jika menangkap ikan tidak lagi untuk kebutuhan sehari-hari maka bisa digolongkan bukan lagi nelayan”.

Ketentuan yang termuat dalam Bab I Pasal 1 butir 9 RUU Perikanan tersebut, mengecilkan arti nelayan dan makin membuat profesi nelayan semakin dimarjinalkan. Hampir bisa dipastikan tidak ada nelayan yang dapat dikatagorikan sebagaimana definisi di atas karena usaha penangkapan maupun budi daya ikan yang ditekuni umumnya merupakan usaha komersial sebagai sumber penghi­

dupan. Jadi dapat dikatakan bahwa ketentuan di atas rasanya cuma cocok untuk suku di pedalaman Papua misalnya, yang menangkap ikan dengan tombak dan memang untuk makanan sehari-hari.

Oleh karena itu menurut HSNI definisi nelayan harus segera diubah terlebih dahulu dan harus dipandang sebagai sebuah profesi, bukan sekedar kaum wong cilik yang bisa dimarjinalkan begitu saja.

Jika tidak maka definisi di atas bisa digolongkan pelanggaran HAM atas hak nelayan untuk berusaha yang dilindungi undang-undang.

Maka definisi yang seharusnya dicantumkan dalam RUU Perikanan menyangkut nelayan adalah orang yang sumber utama mata pencahariannya berasal dari usaha perikanan/penangkapan ikan dan selanjutnya tinggal diatur soal skala usahanya.

Demikian juga mengenai Pungutan Perikanan, di mana HNSI menilai akibat salah pengertian terhadap profesi nelayan menyebab­

kan sejumlah ketentuan berikut dalam RUU Perikanan juga 3. Masalah Nelayan.

menyudutkan posisi nelayan terutama soal pungutan hasil perikanan (PHP).

Pasal 39 ayat 2 menyebutkan kewajiban membayar pungutan perikanan tidak dikenakan bagi nelayan dan pembudidayaan ikan yang hasilnya hanya untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari.

Dengan begitu, seluruh nelayan yang memiliki kapal ikan berukuran 2GT, 5GT, 15 GT, 25 GTatau kapal kecil lainnya akan tetap dikenakan PHP karena umumnya berusaha secara komersial sebagai mata pencaharian. Pada hal dalam ketentuan sebelumnya kapal ikan 30 GT ke bawah bebas PHP. Karena itu, ketentuan terbaru di atas akan mendapat penolakan yang keras dari nelayan dan pembudidayaan ikan karena ketentuan PHP diperluas kepada kapal nelayan yang tidak menangkap ikan untuk kebutuhan sehari- hari.

4. Masalah Koperasi

Dalam RUU tersebut masalah koperasi tidak disebutkan secara eksplisit. Ini menunjukkan adanya pergeseran kebijakan yang tidak lagi berpihak kepada koperasi dan gerakan ekonomi rakyat.

5. Masalah Pengadilan Perikanan

Pembentukan RUU Pengadilan Khusus Perikanan harus segera dibentuk, hal bermula dari kekecewaan atas proses peradilan selama ini terhadap pelaku penangkapan ikan ilegal yang dirasa tidak adil, sementara pencurian ikan di wilayah perairan Indonesia oleh Kapal- kapal asing jumlahnya kian meningkat.

TNI-AL sangat perhatian sekali terhadap pembentukan UU Pengadilan Khusus Perikanan ini, ketidakadilan itu dicontohkan KSAL seperti terjadi di Pengadilan Negeri Gresik. Kapal asing pencuri ikan divonis bebas dan hanya dikenai biaya perkara seribu rupiah. Padahal satu kasus pelanggaran izin berlayar negara ini dirugikan setidaknya Rp 30 Juta.

158

IV. PENUTUP

Dalam dokumen Rangkuman Karya Tulis Ilmiah di Bidang Hukum (Halaman 163-168)