Asas hukum adalah konsep-konsep pembimbing bagi pemben
tukan hukum dijabarkan lebih lanjut dan dikonkretkan
Menurut Prof. Moeljatno, S.H., menyatakan bahwa: Biasanya asas legalitas ini dimaksud mengandung tiga pengertian, yaitu:
1. Tidak ada perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana kalau hal itu terlebih dahulu belum dinyatakan dalam suatu aturan undang-undang;
2. Untuk menentukan adanya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi, (kiyas);
3. Aturan-aturan hukum pidana tidak berlaku surut.
Selanjutnya dinyatakan bahwa harus ada aturan undang-undang jadi aturan hukum yang tertulis terlebih dahulu, itu dengan jelas tampak dalam pasal 1 KUHP, yang dalam teks Belanda disebutkan :
"wettelijke strafbepaling" yaitu aturan pidana dalam perundangan.
Kemudian asas, bahwa dalam menentukan ada atau tidaknya perbuatan pidana tidak boleh digunakan analogi (kiyas) pada umumnya masih dipakai oleh kebanyakan negara-negara. Di Indonesia dan juga di negeri Belanda pada umumnya masih diakui prinsip ini, meskipun ada juga beberapa sarjana tidak dapat menyetujuinya.
Dalam sebuah makalahnya Prof. Mr. Roeslan Saleh, berpendapat bahwa ada 3 (tiga) ciri asas-asas hukum antara lain adalah:
1. Pertama-tama dia menunjukkan bahwa asas-asas hukum adalah dari sistem hukum, oleh karena dia adalah pikiran-pikiran dasar dari sistem hukum;
2. Selanjutnya dia menunjukkan bahwa asas-asas hukum bersifat lebih umum dari pada ketentuan undang-undang dan keputusan- keputusan hukum, oleh karena ketentuan undang-undang dan keputusan-keputusan hukum adalah penjabaran dari asas-asas hukum;
3. Akhirnya definisi ini menunjukkan bahwa beberapa asas hukum berada sebagai dasar dari sistem hukum, beberapa lagi di belakangnya, jadi di luar sistem hukum itu sendiri, sesungguhnya demikian mempunyai pengaruh pada sistem hukum tersebut.
Lebih lanjut dinyatakan bahwa asas-asas hukum adalah pikiran- pikiran dasar yang menjadi fundamen dari suatu sistem hukum, walaupun tidak seluruhnya masuk ke dalamnya. Rumusan ini berlaku juga untuk hukum pidana.
Makna asas legalitas yang tercantum di dalam Pasal 1 ayat 1 KUHP, dirumuskan di dalam bahasa latin:"Nullum delictum nulla poena sine praevia legi poenali", menurut Prof. Dr. Loebby Loqman, S.H., M.H., yang dapat diartikan harfiah dalam bahasa Indonesia dengan Tidak ada delik, tidak ada pidana tanpa ketentuan pidana yang mendahuluinya". Sering juga dipakai istilah latin:" Nullum crimen sine lege stricta", yang dapat diartikan dengan:"Tidak ada delik tanpa ketentuan yang tegas". Menurutnya, Hazewmkel-Suringa memakai kata-kata dalam bahasa Belanda" Geen delict, geen straf zondereen voorafgaande strafbepaling", untuk rumusan yang pertama dan "Geen delict zonder een precieze wettelijk bepaling" untuk rumusan yang kedua.
Selanjutnya dinyatakan bahwa ada 2 (dua) hal yang dapat ditarik sebagai kesimpulan dari rumusan tersebut.
1. Jika sesuatu perbuatan yang dilarang atau pengabaian sesuatu yang diharuskan dan diancam pidana maka perbuatan atau pengabaian tersebut harus tercantum di dalam undang-undang pidana.
2. Ketentuan tersebut tidak boieh beriaku surut, dengan satu ... kekecualian yang tercantum di dalam pasal 1 ayat (2) KUHP.
Hampir semua KUHP di dunia ini termasuk Indonesia ketinggalan zaman, demikian dikatakan oleh Prof. Dr. Jur. Andi Hamzah, Kemajuan teknologi terutama teknologi informasi yang demikian pesat
tidak dapat dikejar dengan pembaruan hukum pidana. Memang ada negara-negara yang sesudah Perang Dunia II berusaha menciptakan KUHP baru yang lebih sesuai dengan zaman, seperti Jerman dan Austria yang menciptakan KUHP baru pada tahun 1875, diikuti oleh RRC tahun 1979 dan Portugal tahun 1986. Ada pula negara yang terus menerus mengubah dan menambah KUHP nya yang sudah tua seperti Belanda dan Perancis.
Menurutnya, setelah memperhatikan beberapa putusan pengadilan termasuk putusan Mahkamah Agung akhir-akhir ini, terutama dalam kasus korupsi, nyata bahwa asas-asas hukum pidana kurang dikuasai oleh jaksa, hakim dan advokat. Kelihatan sekali bahwa, beberapa putusan menyimpang dari asas yang berlaku. Asas-asas hukum pidana yang dimaksud di sini terutama tercantum di dalam Buku I KUHP, seperti asas legalitas, hukum transitoir, percobaan, penyertaan dan gabungan delik (concursus) dan sistem pidana. Lebih sulit lagi jika asas-asas ini harus disesuaikan dengan hukum pidana khusus seperti delik korupsi, money laundering.
Putusan hakim yang rancu ini sebagian besar juga disebabkan oleh surat dakwaan jaksa yang rancu dan sering keluar dari asas-asas hukum pidana yang beriaku. Sebab lainnya ialah kurang memadainya pengetahuan hukum kita akan asas-asas hukum pidana ditambah dengan pendidikan dan latihan jaksa, hakim, dan advokat yang penyelenggara merasa tidak perlu mendalami ulang asas-asas hukum pidana, karena dipandang bahwa para saijana hukum itu sudah dibekali dengan sempurna di bangku kuliah fakultas hukum, bahkan sudah ada yang sudah memperoleh ijazah Strata 2 ilmu hukum. Oleh karena itu perlu dianjurkan agar pendidikan jaksa, hakim dan advokat dilakukan secara terpadu, lebih intensif dan iebih lama sebagaimana halnya yang dilakukan oleh Belanda, Jepang dan lain-iain.
Hukum Transitoir
Menurut Prof. Andi, yang kurang dipahami juga ialah apabila ada perubahan perundang-undangan seteiah perbuatan dilakukan yang
diterapkan ialah ketentuan yang paling menguntungkan terdakwa.
Yang paling menguntungkan menurut van Hamel, ialah yang paling iunak (minder streng) (van Hamel, 1926:134). Ketidakpahamnya sebagian orang akan asas ini nyata daiam proses bahkan diiakukan oleh pakar hukum pidana, mengapa Undang-Undang Nomor31 Tahun 1999Tentang PemberantasanTindak Pidana Korupsi, tidak ada aturan peralihan tentang ketentuan mana yang diberlakukan terhadap terdakwa kasus korupsi yang melakukan perbuatan sebelum undang- undang tersebut berlaku tetapi diadili sesudah berlaku?. Rupanya tidak diingat, bahwa sudah ada ketentuan umum mengenai itu, yaitu pasal 1 ayat (2) KUHP yang biasa disebut hukum transitoir. Sehingga semua yang telah diatur di dalam ketentuan umum tidak perlu diatur di dalam ketentuan khusus, kecuali ketentuan khusus itu sendiri menyimpang. Ketika bertindak sebagai Saksi Ahli dalam Pengadilan MK tersebut antara lain menyatakan bahwa: Ahli sama sekali tak pernah berpendapat korupsi adalah extra ordinary crimes. Korupsi itu banyak macamnya, mulai dari yang kecil sampai yang besar. Mulai sopir pelat merah menjual bensin itu korupsi. Orang membuat perjalanan tujuh hari, empat hari sudah pulang, tiga hari itu korupsi.
Menurut ahli, korupsi adalah ordinary crimes sama dengan mencuri, Acara pidana tidak boleh diberlakukan surut. KPK tidak memiliki wewenang untuk memeriksa, menyidik, maupun menuntut sebelum undang-undang diundangkan. Kalau KPK memberlakukan itu KPK memberlakukan surut. Kalau KPK tidak menyidik, masih ada jaksa penyidik, polisi penyidik. Bahkan jaksa lebih pengalaman dalam menyidik.
Sekitar Pro dan Kontra terhadap Asas Retroaktif
Seperti telah saya sebutkan terdahulu dalam tulisan ini bahwa masalah pro dan kontra terhadap ilmu pengetahuan (hukum), merupakan hal yang biasa dalam dunia ilmu pengetahuan karena ilmu pengetahuan dapat disanggah dari berbagai sudut, tergantung dari
mana kita melihatnya, dalam hal ini asas retroaktif atefu berlaku surut suatu undang-undang seperti yang baru-baru ini Mahkamah Konstitusi telah melakukan penolakannya atau judicial review yang diajukan oieh tersangka Bram HD Manoppo, rekanan Gubernur non aktif Nanggroe Aceh Darussalam (NAD) Abdullah Puteh, terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK). Dalam putusannya Mahkamah Konstitusi telah menyatakan bahwa KPK tidak berwenang mengambil alih perkara- perkara Tindak Pidana Korupsi sebelum undang-undang KPK diundangkan pada tanggal 27 Desember 2002. Jadi KPK hanya boleh menangani kasus-kasus korupsi yang terjadi tiga tahun terakhir atau setelah tanggal 27 Desember 2002. Hal ini menimbulkan terjadinya pro dan kontra di dalam masyarakat, bahkan hampir semua pakar hukum pidana mendukung putusan Mahkamah Konstitusi tersebut, Masyarakat mempertanyakan, konsistensi Mahkamah Konstitusi, mengapa menolak asas retroaktif? Yang menyebabkan putusan tersebut mendapat reaksi dari berbagai kalangan.
1. Yang pro terhadap putusan Mahkamah Konstitusi, antara lain menyatakan bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dapat dipersalahkan karena hanya menguji undang-undang terhadap undang-undang dasar, apakah sudah sesuai atau justru bertentangan.
Pasal 2 8 1, Undang-Undang Dasar 1945 menyatakan bahwa: "hak untuk diakui secara pribadi di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apapun".
Berkaitan dengan putusan Mahkamah Konstitusi tersebut perlu dipertanyakan apa dan bagaimana sebenarnya yang dimaksud Majelis Permusyawaratan Rakyat yang pada waktu itu melakukan amandemen terhadap Undang-Undang Dasar 1945 dan menerapkan asas retroaktif dalam pasal 2 8 1 tersebut? Perlu
diketahui bahwa asas retroaktif di banyak negara tidak dianut lagi secara kaku atau secara utuh. Asas retroaktif sudah diklasifikasi pada asas retroaktif absolut dan retroaktif parsial (terbatas) Seperti diketahui bahwa asas retroaktif pada hakikatnya tumbuh dan berkembang dalam masyarakat individualistis, yang pada waktu itu pelanggaran yang dilakukan oleh individu yang merugikan kepentingan umum atau negara, tetapi tidak dapat ditindak karena ketentuan hukum yang ada pada waktu itu tidak berlaku terhadap pelaku tindak pidana (tidak berlaku surut).
Meskipun pemberantasan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN), merupakan kepentingan umum, namun demikian penerapan asas retroaktif kurang tepat dalam kasus ini, oleh karena hukum pidana kita menganut asas legalitas seperti tercantum dalam pasal 1 ayat 1 KUHP, yang masih menjadi salah satu hukum positif kita di negara ini.
2. Yang tidak setuju atau yang menentang terhadap putusan Mahkamah Konstitusi
Apabila kita mencermati dalam Ketentuan Umum pasal 1 Undang- Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi, antara lain dinyatakan bahwa:
1) Tindak pidana korupsi adalah tindak pidana sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20Tahun2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
2) Penyelenggara Negara adalah penyelenggara negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang bersih dan bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme.
3) Pemberantasan tindak pidana korupsi adalah serangkaian tindakan untuk mencegah dan memberantas tindak pidana
korupsi upaya koordinasi, supervisi, monitor, penyelidikan, penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di pengadilan, dengan peran serta masyarakat berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Mengapa pemerintah memberi kekuasaan yang seluas- luasnya kepada Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi?
Dalam pasal 9 dinyatakan antara lain sebagai berikut:
Pengambilalihan penyidikan dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam pasal 8, dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan alasan:
a. laporan masyarakat mengenai tindak pidana korupsi tidak ditindaklanjuti;
b. proses penanganan tindak pidana korupsi secara beriarut- tarut atau tertunda-tunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungjawabkan;
c. penanganan tindak pidana korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku tindak pidana korupsi yang sesungguhnya;
d. penanganan tindak pidana korupsi mengandung unsur korupsi;
e. hambatan penanganan tindak pidana karena campur tangan dari eksekutif, legislatif, yudikatif; atau
f. keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian dan kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggung
jawabkan.
Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi telah diberi tugas-tugas, wewenang dan kewajiban yang sangat luas.
Komisi ini menjadi lembaga terakhir dan satu-satunya harapan untuk menegakkan hukum guna memberantas korupsi sampai
keakar-akarnya, sehingga komisi ini diberi kewenangan dan tugas yang luar biasa, extra ordinary, bagi pemberantasan korupsi yang merupakan kejahatan yang luar biasa. Dikatakan bahwa korupsi merupakan masalah multi dimensi yang tidak saja berkaitan dengan masalah hukum tetapi menyangkut pula aspek sosial budaya, aspek psikoiogis maupun aspek filosofis.
Sehingga yang menjadi akar permasalahan adalah keberadaan dan tumbuh suburnya korupsi tidak semata-mata berada pada aspek hukum, melainkan terletak pula pada aspek lainnya.
Sementara itu ketika memberikan kesaksiannya Sejalan dengan pendapat tersebut maka Prof. Dr. Satjipto Rahardjo, S.H., dalam sebuah tulisannya, menyatakan antara lain bahwa: Kita suka mengobral pendapat, korupsi di negeri ini merupakan kebejatan yang berdimensi luar biasa. Maka cara- cara yang digunakan untuk menghadapi juga berkualitas iuar biasa. Ini berarti tidak tradisional dan konvensional, tetapi terbuka untuk bertidak lebih progresif dan berani melakukan pembebasan. Penjagaan dan pemaknaan terhadap Undang- Undang Dasar tidak boleh dibelenggu doktrin, asas, dan teori status quo. Lebih lanjut dikatakan bahwa, keinginan untuk memberantas korupsi bukan hal yang baru, bukan ditandai garis start 27 Desember2002, tetapi sudah sejak 30 tahun.
Lalu mengapa para terdakwa koruptor harus menikmati kelonggaran release and discharge? Perdebatan tentang penggunaan asas retroaktif tidak menyentuh substansi karena sudah lebih dari 30 tahun kita ingin melakukan pemberantasan korupsi yang kini semakin parah. Jadi, yang kita hadapi dalam kontroversi penggunaan asas retroaktif sebenarnya tidak menyangkut hal substansial. Penggunaan asas retroaktif memang bias menjadi masalah besar jika kita memproyeksikannya pada latar belakang alam pikiran hukum liberal. Di situ asas non retroaktif menjadi salah satu pilar
penting untuk mengamankan bastion perlindungan individu.
Untuk itu, prosedur menjadi andalan.
Kemudian Prof. Satjipto menyatakan, dalam suasana serba luar biasa ini, marilah kita bertindak progresif dengan berani membebaskan diri dari dominasi teknikalitas, prosedur, doktrin, serta asas konvensional, jika itu membelenggu kita untuk keluar dari penderitaan. Aneka putusan Mahkamah Konstitusi (MK) sebaiknya berkualitas milestone dalam perjalanan negara hukum. Kehadiran MK yang progresif saat ini amat dibutuhkan. Progresif berarti tidak submitif, pasrah bongkokan terhadap kata-kata, terhadap doktrin, dan asas yang dominan. Kata kuncinya adalah berani melakukan pembebasan. UUD akan menjadi living constitution hanya jika penjaganya berdedikasi tinggi untuk membebaskan diri dari absolutisme pikiran dan teori serta dari penjara positivisme yang kaku dan dogmatis. Hukum, UUD bukan hanya peraturan dan logika, tetapi lebih pada itu memiliki tujuan sosial lebih mulia untuk rakyat.
Tak kurang dari Ketua Komisi III DPR Teras Narang dalam kesaksiannya di Mahkamah Konstitusi antara lain bahwa: UU No. 30 tahun 2002 adalah perintah UU No. 31 tahun 1999. Tindak pidana korupsi kejahatan luar biasa (extra ordinary crimes). DPR memberi kewenangan kepada KPK untuk mengambil alih semua tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai.
Korupsi adalah kejahatan luar biasa dan tidak lagi menjadi masalah lokal, tetapi internasional. Itu ditegaskan dengan adanya United Nation Convention Against Corruption yang berisi keprihatinan Negara peserta konvensi atas gawatnya masalah dan ancaman yang ditimbulkan oleh korupsi yang merusak nilai demokrasi, nilai dan keadilan.
Kalau PBB menganggap korupsi dalam konvensi apakah kita akan menganggap korupsi sebagai kejahatan biasa-biasa saja. Hal yang demikian dikatakan oleh Ketua KPK tersebut, ketika menjadi saksi dalam Mahkamah Konstitusi. Selanjutnya dikatakan bahwa: Pasal 68 UU No. 30/2002 tidak bertentangan dengan pasal 28 UUD 1945. Bram Mannopo tidak dijerat dengan pasal 68 UU No. 30/2002 melainkan dengan pasal 68 UU No. 30/2002. Tak ada pelanggaran hak konstitusional pemohon.
Diakui oleh Presiden bahwa penegakkan hukum di tahun 2004 masih lemah, khusus masalah pemberantasan korupsi, meskipun telah banyak tindakan yang dilakukan oleh pemerintah, namun masih banyak kekurangannya. Untuk itu Presiden menegaskan Indonesia tidak boleh menjadi tempat yang menguntungkan atau surga bagi koruptor.
Selanjutnya dikatakan bahwa: Saya telah memerintahkan Kapolri Jenderal Da'i Bachtiar serta Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh, untuk mencari mereka yang belum ditemukan, kata Presiden, ketika berdialog dengan para pelaku Bisnis Pasar Modal di gedung Bursa Efek Jakarta, Senin 3/1.
Untuk mengatasi masalah terebut, Presiden mengatakan Indonesia harus memiliki perjanjian ekstradisi dengan negara- negara yang selama ini menjadi tempat pelarian bagi para koruptor tersebut. Selain berbagai peraturan perundang- undangan harus dibuat untuk mencegah terjadinya tindak pidana korupsi. Pada acara yang dihadiri oleh sejumlah pejabat tinggi negara itu, selanjutnya Presiden menegaskan bahwa berbagai tindak pidana korupsi yang terjadi di masa lalu tidak boleh terulang lagi.
Salah satu upaya memerangi korupsi, Kejaksaan Agung mengajukan gugatan perdata untuk mempailitkan para terpidana korupsi yang belum memenuhi kewajiban membayar
denda dan utang-utangnya. Selain itu kejaksaanjuga akan melacak aset kekayaan para terpidana di dalam dan di luar negeri. Dalam pelacakan ini kejaksaan sudah berkoordinasi dengan beberapa instansi seperti Bank Indonesia dan sudah menandatangani Mutual Legal Assistence (MLA) yaitu permohonan bantuan hukum terhadap negara-negara yang diperkirakan menjadi tempat persembunyian aset koruptor.
Untuk melacak aset-aset koruptor di luar negeri, Kejaksaan Agung bersama Departemen Luar Negeri, POLRI, Departemen Hukum dan HAM, serta Bank Indonesia, membentuk tim pelacak aset koruptor.
Apa yang telah menjadi komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi harus dilaksanakan dengan baik oleh aparat penegak hukum yang didukung oleh segenap masyarakat, akan membawa perekonomian di dalam masyarakat akan lebih baik, dan apabila seseorang melakukan korupsi tidak akan mendapat tempat di dalam, sehingga kepastian hukum akan tercapai.