• Tidak ada hasil yang ditemukan

Ada suatu pepatah hukum Romawi, yang berbunyi: “SI VIS PACEM PARA BELUM” yang berarti “hendak damai, siap kan perang”.

Demikianlah suatu proses perdata. Dua pihak yang me- miliki kepentingan yang berlawanan, tampil ke muka per- si dangan pengadilan untuk menyelesaikan “perang” atau

“per seng ketaan” mereka, demi menuju penyelesaian per- seng ke ta an itu melalui suatu putusan hakim.

Karena untuk kepastian hukum, maka tiap putusan ha- kim yang telah dijatuhkan harus selalu dianggap benar dan sah, kecuali jika ada putusan pengadilan yang lebih tinggi yang membatalkannya. Hal ini sesuai asas “RES YDICATA PRO VERI TATE HABETUR”; atau serupa tetapi tak sama, asas lain yang bunyinya “res Judicata jus facit inter partes” (pu tusan hakim menimbulkan hak antara para pihak yang beperkara);

atau juga asas yang bunyinya “res judicate pro veritate accip­

itur” isi daripada suatu putusan hakim sebagai benar).

Kewajiban para pihak untuk membela kepentingannya

ma sing-masing di muka persidangan pengadilan dengan me nun jukkan alat bukti (the burden of producing evidence) dan me ya kinkan hakim kebenaran alat bukti itu (the burden of persuasion).

Tetapi, dalam hal, sama sekali tidak ada alat bukti yang diajukan kedua pihak sama kuat adalah kewajiban hakim untuk membebani salah satu pihak atau kedua pihak dengan beban pembuktian (the burden of proof).

Tentu saja pelaksanaan beban pembuktian itu diatur dengan asas tertentu yang bersifat restrictief; bersifat mem- batasi kebebasan hakim sehingga dapat terhindarkan pe- nyalah gunaan jabatan atau wewenang; de tournament de pouvoir.

Asas beban pembuktian diatur oleh Pasal 163 HIR (pasal 283 R.bg., 1865 KUH Perdata) yang isinya:

“Barangsiapa yang mengaku mempunyai hak atau yang mendasarkan pada suatu peristiwa untuk menguatkan haknya itu atau untuk menyangkal hak orang lain harus membukti­

kan adanya hak atau peristiwa itu.”

Ini berarti bahwa baik penggugat maupun tergugat, da- pat dibebani dengan pembuktian. Terutama penggugat wajib untuk membuktikan gugatannya, dan tergugat wajib untuk membuktikan sangkalannya.

“Reo negate actori incumbit probation;” kalau tergugat tidak mengakui gugatan, maka penggugat harus membukti- kannya. Tetapi tidak berarti setiap tergugat menyangkali gu- gatan, selalu pihak penggugatlah yang harus membuktikan.

Dalam hal ini hakim harus teliti mempertimbangkan sesuai kasus yang dihadapinya. Sebab bisa saja, Reus excipiendo it actor; tergugat dianggap sebagai penggugat jika ia menyang-

http://pustaka-indo.blogspot.com

kal. Dengan kata lain, ada kalanya tergugat pun dapat dibe- bani pembuktian jika ia menyangkali gugatan penggugat.

Penggugat tidak diwajibkan membuktikan kebenaran sang kalan tergugat, demikian pula sebaliknya tergugat tidak diwajibkan untuk membuktikan kebenaran peristiwa yang diajukan oleh penggugat.

Secara terperinci, penulis dapat mengemukakan bebera- pa asas yang terpenting dalam masalah beban pembuktian;

1. Yurisprudensi berpendapat bahwa hakim di dalam mem- bebani pembuktian, hendaknya yang dibebani dengan pem buktian itu adalah yang paling sedikit dirugikan, jika ia harus membuktikannya.

Sebagai contoh yang mudah, jika kita melihat dalam kasus pidana. Jika si A dituduh oleh si B bahwa si A mencuri cincin berlian milik si B. Maka tentu saja pihak yang paling sedikit dirugikan jika dibebani untuk mem- buktikan (seandainya ini adalah kasus perdata) adalah si B. Adapun pihak yang paling banyak dirugikan jika dibebani untuk membuktikan adalah si A yang dituduh.

Mengapa demikian?

Si A sebagai orang yang dituduh, berarti masih mengan- dung dua kemungkinan;

a. ataukah ia benar mencuri;

b. ataukah ia sama sekali tidak mencuri.

Seandainya si A sama sekali tidak mencuri, bagaimana mung kin ia membuktikannya bahwa ia benar tidak men- curi? Terlalu berat bagi Si A untuk dibebani. Adapun bagi si B, dengan tindakanya menuduh si B selaku pencuri tentu mendasarkan pada suatu kecurigaan atau dugaan- dugaan tertentu. Sehingga berdasarkan kecurigaan atau

http://pustaka-indo.blogspot.com

dugaannya, bukanlah sesuatu yang berat baginya untuk membuktikannya. Paling tidak masih lebih ringan bagi si B untuk di bebani pembuktiaan daripada si A.

Walaupun kasus ini perkara pidana, tetapi pembaca pasti dapat menerapkan jika dihadapkan pada kasus perdata.

2. Asas yang kedua, yang masih berkaitan erat dengan asas pertama di atas, adalah asas “negative non sunt proban­

da”, asas bahwa sesuatu yang bersifat negatie, sulit untuk dibuktikan.

Sesuatu yang bersifat negatie biasanya ditandai dengan perkataan “TIDAK”.

Misalnya: Si A menyatakan bahwa ia tidak ber utang ke- pada si B. Atau si X menyatakan bahwa ia tidak menu- bruk mobil si Z, dan lain-lain.

Sehubungan dengan hal ini, G.W. Paton1 menuliskan bahwa: “Should not be forced on a person without very strong reasons.”

Dalam hal ini, penulis meyetujui jika dikatakan bahwa membuktikan sesuatu yang bersifat negatie itu, sulit untuk dibuktikan. Tetapi, penulis tidak sependapat jika dikatakan bahwa membuktikan sesuatu yang negatie itu MUSTAHIL dibuktikan.

Mengapa penulis menganggap bahwa sesuatu yang ber- sifat negatie, TIDAK MUSTAHIL untuk dibuktikan?

Di bawah ini penulis memberikan contoh:

Jika si Polan diwajibkan untuk membuktikan ketidak- beradanya di Yogyakarta pada jam 12 siang, tanggal 27 Maret 1981. Berarti si Polan disuruh untuk mem- buktikan sesuatu yang negatie. Maka si Polan dalam hal ini dapat membuktikan ketidakberadaannya diYogya-

http://pustaka-indo.blogspot.com

karta pada saat tersebut diatas, dengan cara membukti- kan keberadaannya pada jam 12 siang, tanggal 27 Maret 1981 di Makassar.

Dari contoh yang penulis berikan di atas membuktikan bahwa sesuatu sifatnya negatie, tidak mustahil untuk di- buktikan. Tetapi tetap merupakan sesuatu yang sulit un- tuk membuktikannya.

Karena itu penulis tetap sependapat, bahwa hakim ja- ngan membebani suatu pihak untuk membuktikan se- suatu yang negatie; kecuali jika terpaksa sekali dilihat dari segi kasusnya.

Sehubungan dengan pendapat penulis ini, yurisprudensi Mahkamah Agung tertanggal 15 Maret 1972 (No. 547 K/

Sip/1971) memutuskan bahwa pembuktian yang dibe- bankan kepada pihak yang harus membuktikan sesuatu yang negatie adalah berat daripada beban pembuktian pihak yang harus membuktikan sesuatu yang positif, yang tersebut terakhir ini termasuk pihak yang lebih mampu untuk membuktikan.

3. Asas yang ketiga adalah asas iktikad baik.

Asas ini berbunyi bahwa iktikad baik selamanya harus dianggap ada pada setiap orang yang menguasai sesuatu benda. Barang siapa menggugat akan adanya iktikad bu- ruk bagi bezutter itu, harus membuktikannya.

Jadi, dengan asas ini adalah telah ditetapkan bahwa jika peng gugat dalam gugatannya mendakwa/menyatakan ada nya iktikad buruk pada si tergugat yang merupakan be zitter dari barang yang digugat si penggugatlah yang ha rus di bebani dengan pembuktian (lihat Pasal 533 BW).

4. Asas yang keempat adalah asas bahwa jika seseorang te- lah memulai menguasai sesuatu untuk orang lain maka

http://pustaka-indo.blogspot.com

selalu dianggap meneruskan penguasaan tersebut, ke- cua li jika terbukti sebaliknya.

Sebagai kasus imajiner untuk menjelaskan asas ini, da- pat penulis berikan contoh:

Si A dan si B sedang menunggu berangkatnya bus juru- san Pdi stasiun bus. Karena si A ini ke kamar kecil, si A menitipkan kopernya kepada si B yang kebetulan duduk satu bangku dengannya. Si B menerima “tugas gra tis“

itu dari si B, dan bersedia untuk menjaga koper si A itu selagi si A di kamar kecil. Ketika si A sudah/masih di kamar kecil, datang seorang wanita yang meng aku pada si B sebagai nyonya si A yang disuruh oleh si A untuk mengambil koper yang tadi dititipkan si A kepada si B. Si B percaya dan menyerahkan koper itu pada wanita yang mengaku nyonya A tadi. Tetapi, setelah wanita itu pergi dengan membawa koper si A, tiba-tiba muncul si A dari kamar kecil meminta kopernya. Si B mau melepaskan tanggung jawab.

Tetapi berdasarkan asas ini, maka si B tetap dianggap bertanggung jawab atas kopor si A sehingga hukum se- lalu menganggap si B meneruskan penguasaan itu (ber- tanggung jawab) kecuali jika terbukti sebaliknya. Jadi, dalam hal ini beban pembuktian untuk membuktian bahwa koper itu benar telah diserahkan kepada wanita itu, jatuh pada si B. (lihat Pasal 535 BW).

5. Asas yang menyatakan bahwa barang siapa yang me- nguasai suatu benda bergerak, dianggap sebagai pemilik- nya. Sehingga, jika seseorang menggugat orang yang me ng usai suatu benda bergerak, si penggugatlah yang sela manya harus dibebani dengan pembuktian (lihat Pasal 1977 ayat 1 BW).

http://pustaka-indo.blogspot.com

6. Asas bahwa adanya keadaan memaksa harus dibuktikan oleh pihak debitur (lihat Pasal 1244 BW).

7. Asas bahwa siapa yang menuntut penggantian kerugian yang disebabkan suatu perbuatan melanggar hukum, ha rus membuktikan adanya kesalahan (lihat Pasal 1365 BW).

8. Asas yang menyatakan bahwa siapa yang menunjukkan tiga kuitansi yang berturut-turut terakhir dianggap telah membayar semua cicilan. Sehingga, jika ada sese orang yang menggugat si pemegang tiga kuitansi ter akhir ber- turut-turut itu, dialah (penggugat) yang harus dibebani dengan pembuktian (lihat Pasal 1394 BW).

9. Asas risiko pembuktian, yaitu bahwa barang siapa dibe- bani dengan pembuktian lalu ternyata tidak mampu un- tuk membuktikan, harus dikalahkan dalam perkara itu.

10. Asas yang menyatakan bahwa barang siapa yang menya- takan sesuatu yang tidak biasa, harus membuktikan hal yang tidak biasa itu. (Lihat putusan Mahkama Agung), yang (tertanggal 21 November 1956, Nomor 162 K/

Sip/195).

11. Asas yang menyatakan bahwa jika isi suatu surat dapat di- artikan dua macam, yaitu menguntungkan dan merugi- kan bagi si penanda tangan surat, maka si penanda tangan yang harus dibebani untuk membuktikan positum nya.

(Li hat Putusan M. A. tanggal 11 September 1957, No- mor 74 K/Sip/1955)

Ednnote:

1. G.W. Paton “A text book of Jurisprudence”. Oxford, At the Claren- don Press, 1964, hlm. 542.

http://pustaka-indo.blogspot.com

http://pustaka-indo.blogspot.com

Audi Et Alteram Partem “Dengarlah juga pihak lainnya”

Di samping adanya asas-asas beban pembuktian yang merupakan hasil pemikiran para ahli hukum, juga undang- undang dan yurisprudensi, maka di dalam ilmu pengetahuan hukum dikenal juga “teori-teori beban pembuktian” yang me ru pakan pedoman bagi hakim di dalam memutuskan sia- pa yang harus dibebani dengan pembuktian dalam setiap ka- sus yang diperiksanya.

A. Teori Negativa Non Sunt Probanda

Teori ini bertitik tolak pada asas beban pembuktian

“Negativa non sunt probanda” asas yang menyatakan bahwa sesuatu yang negatie sifatnya sulit untuk dibuktikan.

Asas ini, sehingga penganut teori ini menyatakan bahwa barang siapa yang mengemukakan sesuatu, ialah yang harus membuktikannya, jadi bukan pihak yang me nyang kalinya.

Karena teori ini bersifat menguatkan belaka, sehingga beberapa ahli hukum menamainya juga dengan nama “teori

TEORI-TEORI BEBAN PEMBUKTIAN

Bagian Kedelapan

http://pustaka-indo.blogspot.com

bloot airmatif” antara lain Asser-Anema-Verdam.1 Dan juga Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H.2

Dewasa ini menganut teori “Negativa non sunt probanda”

ini sudah tidak ada lagi. Karena dangan teori ini, hampir selalu penggugatlah yang dibebani pembuktian.

Teori pertama ini menganggap bahwa sesuatu yang si fat- nya negatie, adalah di luar batas kemampuan untuk di buk ti - kan, karena itu sesuai adagium berbunyi: Ultra posse nemo obli gatur (tiada orang berkewajiban melakukan lebih da ri pada kemampuannya), maka orang yang menyatakan/me nge mu ka- kan sesuatulah yang harus dibebani dengan pem buktian.

Tentu saja teori itu tidak selamanya benar dalam setiap kasus. Pembaca dapat melihatnya sendiri jika telah mem baca keseluruhan buku ini.

B. Teori Hak

Dasar dari teori ini adalah bahwa “HAK”lah yang men- dasari proses perdata. Dengan lain kata, proses perdata itu se- nantiasa melaksanakan “hak” yang dimiliki perorangan. De ngan de mikian, teori ini berpendapat bahwa tujuan dari hu kum se - cara perdata adalah semata-mata untuk mem per tahankan hak.

Dengan demikian, barang siapa yang mengemukakan atau mengaku mempunyai sesuatu hak, dialah yang dibebani de ngan pembuktian.

Perbedaannya dengan teori Negativa non sunt probanda adalah karena kalau pada teori pertama ini penggugat harus membuktikan keseluruhan. Adapun menurut teori “hak” ini, tidak seluruh peristiwa harus dibuktikan si penggugat.

Penganut teori ‘hak” ini antara lain Asser-Anema-Ver- dam, membagi peristiwa itu ke dalam:

http://pustaka-indo.blogspot.com

a. Peristiwa umum.

b. Peristiwa khusus.

1. Peristiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak (rechtserzeugende Tatsachen).

2. Peristiwa khusus yang bersifat merintangi timbul- nya hak (rechtshindernde Tatsachen).

3. Peristiwa khusus yang bersifat membatalkan hak (recht s vernichtende Tatsachen).

Penganut teori ini membagi beban pembuktian sebagai berikut:

a. Pihak penggugat wajib untuk membuktikan adanya pe- ris tiwa khusus yang bersifat menimbulkan hak.

b. Pihak tergugat wajib untuk membuktikan.

1. Tidak adanya peristiwa-peristiwa umum.

2. Adanya peristiwa-peristiwa khusus yang bersifat me rintangi timbulnya hak.

3. Adanya peristiwa khusus yang bersifat mem batal- kan hak.

Untuk jelasnya penulis memberikan contoh kasus ima- jiner sebagai berikut:

Si Baco menggugat kapada Basse, bahwa si Basse telah menerima mobil Toyota plat DD. 2731981 yang dibeli si Basse dengan harga Rp 15.000.000,- dari si Baco, tetapi si Basse belum membayarnya. Dalam hal ini berdasarkan teori

“hak” ini, karena ternyata si Basse menyangkali gugatan si Baco, beban pembuktiannya dibagi:

a. Si Baco selaku penggugat, harus membuktikan bahwa:

1. Perjanjian jual beli memang telah terjadi antara dia dengan si Basse.

http://pustaka-indo.blogspot.com

2. Benar harga yang disepekati adalah Rp. 15.000.000 3. Benar mobil itu sudah diserahkan kepada si Basse

se laku pembeli.

b. Si Basse selaku tergugat, harus membuktikan bahwa:

1. Dia telah membayar harga yang sejumlah Rp 15.000.000,- itu kepada si Baco selaku penjual.

2. Atau membuktikan adanya cacat pada persesuaian kehendak.

P. A. Stein3 tidak menyetujui teori ini dengan alasan bahwa teori ini hanya mampu memecahkan masalah jika gugatan si penggugat didasarkan pada “hak”.

Bagaimana dalam gugatan perceraian?

Menurut Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H.,4 kelemahan lain dari teori ini adalah karena teori ini terlalu banyak kesimpulan yang abstrak dan tidak memberi jawaban atas persoalan-persoalan tentang beban pembuktian dalam suatu persengketaan yang bersifat prosesuil.

C. Teori De Lege Lata (Menurut Hukum Positif) Menurut teori ini, dengan si penggugat mengajukan gu- gatannya berarti bahwa si penggugat meminta kepada hakim agar hakim menerapkan ketentuan hukum yang ber laku terhadap peristiwa yang diajukan.

Karena itulah, maka si penggugat harus dibebani pem- buktian untuk membuktian kebenaran dari peristiwa yang diajukannya, dan kemudian mencarikan dasar hukumnya untuk diterapkan pada peristiwa itu.

Sebagai contoh: jika si A menggugat tentang suatu per - janjian, maka si A harus mencari dalam undang-un dang apa syarat-syarat sahnya suatu perjanjian, lalu membuktikannya.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Dalam contoh ini, si A tentu harus berdasarkan Pasal 1320 BW dan karena Pasal 1320 BW tidak menyebutkan ada- nya cacat dalam persesuaian kehendak, sehingga si A pun tidak perlu membuktikan adanya cacat dalam persesuaian kehendak itu. Tentang adanya cacat dalam persesuaian ke- hendak itu, pihak lawanlah yang harus membuktikannya. Ini berarti hakim hanya dapat mengabulkan gugatan jika unsur- unsur yang ditetapkan oleh hukum/undang-undang itu ada. Bagaimana dengan persoalan yang tidak diatur dalam undang-undang? Inilah kelemahan teori ini.

D. Teori Ius Publicum (Hukum Publik)

Teori ini menekankan bahwa walaupun hukum acara perdata adalah bagian dari hukum privat, tetapi bagai ma na- pun kepentingan publik termasuk di dalamnya. Sebab, ke pen- tingan peradilan adalah juga kepentingan publik. Karena itu, teori ini cenderung untuk menginginkan agar hakim diberi wewe nang yang lebih besar di dalam mencari kebenaran.

Teori ini menghendaki agar bagi para pihak dibebani dengan kewa jib an yang bersifat hukum publik, di mana ke wajiban itu harus disertai dengan saksi pidana.

Tentu saja teori ini terlalu berlebihan untuk diterapkan di Indonesia dewasa ini.

E. Teori Audi Et Alteram Partem

Teori ini adalah berdasarkan pada asas hukum acara per data pada umumnya, yaitu asas “AUDI ET ALTERAM PAR TEM”, asas kedudukan yang sama secara prosesuil dari kedua pihak yang beperkara.

Asas ini mewajibkan hakim agar memberi kesempatan yang sama bagi para pihak untuk menang secara prosesuil.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Ka rena itu, hakim harus membagi beban pembuktian kepada para pihak yang beperkara secara patut, di mana ada kalanya hanya tergugat, dan ada kalanya kedua-duanya.

Dengan asas ini, hakim benar-benar harus adil membagi beban pembuktian itu, sehingga kalau penggugat menggugat ter gugat mengenai perjanjian jual beli itu dan bukannya ter- gugat yang harus membuktikan tentang tidak adanya per- janjian tersebut antara penggugat dan tergugat.

Kalau tergugat mengemukakan bahwa ia membeli se- suatu dari penggugat, tetapi bahwa jual beli itu batal karena kompensasi, maka tergugatlah yang harus membuktikanbah- wa ia mempunyai tagihan terhadap penggugat. Penggugat dalam hal ini tidak perlu membuktikan bahwa ia tidak mem- punyai utang pada tergugat.

Endnote:

1. Asser-Anema-Verdam. “Mr. C. Asser’s Handleiding tot de beoefening van hat Nederland Burgelijk Recht”. Vijfde – Deel: Van Bewijs, NV, Uitgevers Maat schappij, W.E.J.T Jeenk Uillink, Zwolle 1934 hlm.

64.

2. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 104.

3. Mr. P. A. Stein. “Compendium can het – Burgelijk Procesrecht”, Kluwer, Deventer, 1973, hlm. 118.

4. Prof. Dr. R.M. Sudikno Mertokusumio, SH. Op.Cit, hlm. 105.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Sifat dari beban pembuktian itu sendiri dapat digo long- kan ke dalam tiga sifat; penggolongan ke dalam tiga sifat ini adalah se bagai penyempurnaan pembagian yang penulis dahulu be dakan hanya atas dua sifat.1

Ketiga sifat beban pembuktian itu adalah masing-masing:

1. Sifatnya yang kasuistik.

2. Sifatnya yang yuridis.

3. Sifatnya yang historis.

A. Sifatnya yang Kasuistik

Hukum positip kita di Indonesia hanya mengatur satu Pasal mengenai asas beban pembuktian secara umum yaitu Pasal 163 HIR (sama bunyinya dengan Pasal 285 R.bg. Pasal 1865 – BW) yang bunyinya:

“Barang siapa menyatakan mempunyai sesuatu hak atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.”