http://pustaka-indo.blogspot.com
A S A S - A S A S H U K U M
P E M B U K T I A N P E R DATA
http://pustaka-indo.blogspot.com
Sanksi Pelanggaran Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2002 tentang HAK CIPTA, seba- gaimana telah diubah dengan Undang-Undang No. 7 Tahun 1987 jo. Undang-Undang No. 12 Tahun 1997, bahwa:
1. Barangsiapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau menyebarkan suatu ciptaan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 49 ayat (1) dan ayat (2) dipidana dengan pidana penjara masing-masing paling singkat 1 (satu) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp 1.000.000,- (satu juta rupiah), atau pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 5.000.000.000,- (lima miliar rupiah).
2. Barangsiapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau menjual kepada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran Hak Cipta atau Hak Terkait sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp 500.000.000,- (lima ratus juta rupiah).
http://pustaka-indo.blogspot.com
Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.
A S A S - A S A S H U K U M
P E M B U K T I A N P E R DATA
http://pustaka-indo.blogspot.com
Prof. Dr. Achmad Ali, S.H., M.H.
HUKUM PEMBUKTIAN PERDATA
© 2012 Achmad Ali Edisi Pertama. Cetakan Ke-1
Kencana. 2011.0075
Hak Penerbitan pada Prenada Media
Dilarang mengutip sebagian atau seluruh isi buku ini dengan cara apa pun, termasuk dengan cara penggunaan mesin fotokopi, tanpa izin sah dari penerbit
Cover Irfan Fahmi
Percetakan Fajar Interpratama Offset Lay-out SatuCahayapro
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT)
PROF. DR. ACHMAD ALI, S.H., M.H.
Hukum Pembuktian Perdata Jakarta: Kencana, 2012
Ed. 1. Cet. 1; xii, 177 hlm; 21 cm
1. Hukum I. Judul
ISBN 978-602-8730-74-7 001.42
Cetakan ke-1, Januari 2012
K E N C A N A
PRENADA MEDIA GROUP Jl. Tambra Raya No. 23 Rawamangun - Jakarta 13220 Telp: (021) 478-64657, 475-4134 Faks: (021) 475-4134
Email: [email protected] Http: www.prenadamedia.com INDONESIA
http://pustaka-indo.blogspot.com
KATA PENGANTAR ... v DAFTAR SINGKATAN ... ix
BAGIAN PERTAMA
PEDAHULUAN ... 1 A. Hukum sebagai Suatu Sistem ... 1 B. Pengertian Hukum Acara Perdata ... 3 C. Perbedaan antara Hukum Acara Perdata
dan Hukum Acara Pidana ... 8 D. Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum
Acara Pidana Internasional ... 13 BAGIAN KEDUA
HUKUM PEMBUKTIAN PADA UMUMNYA
DALAM PROSES PERDATA ... 15 A. Arti Membuktikan ... 15 B. Pengertian Hukum Pembuktian ... 22 C. Perbedaan Pembuktian Yuridis dan Pembuktian
Ilmiah Lainnya ... 23 D. Letak Hukum Pembuktian ... 25 E. Hukum Pembuktian dalam Sollen dan Sein ... 30 F. Apakah yang Harus Dibuktikan (Quad Erat
Demostrandum) dan Apa yang Tidak Perlu
Dibuktikan ... 32
DAFTAR ISI
http://pustaka-indo.blogspot.com
G. Siapa yang Mengajukan Alat Bukti ... 44
H. Siapa yang Menilai Pembuktian ... 51
BAGIAN KETIGA TUJUAN PEMBUKTIAN ... 57
BAGIAN KEEMPAT ASAS-ASAS HUKUM PEMBUKTIAN ... 61
A. Asas Audi Et Alteram Partem ... 61
B. Asas Ius Curia Novit ... 63
C. Asas Nemo Testis Indoneus In Propris Causa ... 64
D. Asas Ne Ultra Petits ... 65
E. Asas De Gustibus Non Est Disputandum ... 65
F. Asas Nemo Plus Juris Transferra Potest Quam Ipse Habet ... 66
BAGIAN KELIMA ALAT-ALAT BUKTI DALAM PROSES ... 69
A. Pengertian Alat Bukti ... 73
B. Klasiikasi Alat Bukti ... 73
C. Apakah Ada Alat Bukti Lain di Luar Ketujuh Alat Bukti yang Secara Tegas Itu? ... 77
D. Empat Cara Mengajukan Alat Bukti ... 78
E. Kekuatan Pembuktian (Visprobandi) dari Alat-Alat Bukti ... 80
F. Bagaimana Kekuatan Pembuktian dari Alat Bukti di Luar HIR dan R.bg. (Termasuk buku IV BW) ... 85
G. Teori-Teori Pembuktian ... 87
H. Teori-teori Pembuktian ... 90
I. Alat Bukti Kesaksian (Testimony) ... 92
J. Alat Bukti Persangkaan-persangkaan ... 93
http://pustaka-indo.blogspot.com
K. Pengakuan (Confession, Bakentenis) ... 95
L. Sumpah Sebagai Alat Bukti ... 95
BAGIAN KEENAM PENGERTIAN BEBAN PEMBUKTIAN ... 99
BAGIAN KETUJUH ASAS BEBAN PEMBUKTIAN ... 119
BAGIAN KEDELAPAN TEORI-TEORI BEBAN PEMBUKTIAN ... 117
A. Teori Negative Non Sun Probanda ... 117
B. Teori Hak ...118
C. Teori De Lege Late (Menurut Hukum Positip ... 120
D. Teori Ius Publicum (Hukum Publik) ... 121
E. Toori Audi Et Alteram Partom ... 122
BAGIAN KESEMBILAN SIFAT BEBAN PEMBUKTIAN ... 123
A. Sifat Yang Kasuistis ... 123
B. Sifat Yang Yuridis ... 127
BAGIAN KESEPULUH BEBERAPA PERMASALAHAN BEBAN PEMBUKTIAN DALAM TEORI DAN PRAKTIK .... 131
A. Permasalahan Teoretis ... 131
B. Permasalahan Dalam Yurisprudensi ... 136
BAGIAN KESEBELAS TINJAUAN SOSIOLOGI HUKUM TERHADAP BEBAN PEMBUKTIAN ... 141
A. Sedikit tentang Kegunaan Sosiologi Hukum ... 141
B. Tugas Hakim dalam Kacamata Sosiologi Hukum ... 145
http://pustaka-indo.blogspot.com
C. Beban Pembuktian dari Optik Sosiologi Hukum .... 148
BAGIAN KEDUA BELAS PERRJANJIAN PEMBUKTIAN ... 153
A. Pengertian Perjanjian Pembuktian ... 153
B. Isi Perjanjian Pembuktian ... 153
C. Hal-hal yang Terlarang untuk Diperjanjikan ... 154
D. Kaitan Perjanjian Pembuktian dengan Alat Bukti Tulisan ...155
E. Hal-hal Lain Mengenai Perjanjian Pembuktian ... 155
DAFTAR LITERATUR LANGSUNG ... 157
DAFTAR LITERATUR TIDAK LANGSUNG ... 163
DAFTAR ISTILAH ASING ... 167
DAFTAR NAMA ORANG ... 173
DAFTAR PERATURAN/UNDANG-UNDANG ... 173
DAFTAR YURISPRUDENSI ... 177
http://pustaka-indo.blogspot.com
DAFTAR SINGKATAN
No = nomor
hn = tahun
Prof = Prefessor S.H. = Sarjana Hukum M.A. = Master of Art R.M. = Raden Mas
M.A = Mahkamah Agung
P.N. = Pengadilan Negeri P.T. = Pengadilan Tinggi
hlm = halaman
vs = versus
Mr. = Master in de Rechten
KUH Perdata = Kitab Undang-Undang Hukum Perdata
KUH Dagang/KUHD = Kitab Undang-Undang Hukum Dagang
KUHP = Kitab Undang-Undang Hukum Pidana
KUHAP = Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana
BPHN = Badan Pembinaan Hukum Na- sional
http://pustaka-indo.blogspot.com
UU = undang-undang R.I = Republik Indonesia H.R. = Hoge Raad
BW = Burgelijk Wetboek S. = Staatsblad
Stbl. = Staatsblad
R.M. hemis = Rechtgeleerd Magazijn he mis (nama majalah)
N.J.B. = Nederland Juristenbland (na ma majalah)
A.A. = Ars Aequi (nama majalah) WvK = wetboek van koophandel Rv. = Wetboek van Burgelijke Rechts-
vordering
Km = kilometer
DD = tanda plat Sulawesi Selatan untuk kendaraan bermotor darat
Bag. = Bagian
Ed. = Editor
Pdt. = perdata
K = Kasasi
AS = Algemene Bepaling van Wetgeving CV = Comenditaire Vennootschap HIR = Herzien Indonesis Reglement I.S. = Indische Staatsregeling
P4D = Panitia Penyelesaian Perselisihan Per buruhan Daerah
PP = Peraturan Pemerintah SK = surat keputusan
http://pustaka-indo.blogspot.com
R.bg. = Rechtsregkement Buitengewesten RD = Reglement op de Rechterlijke Or
ganitatie
S.E.M.A. = Surat Edaran Mahkamah Agung
http://pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
Ius Vigilanticus Scriptum est
“Hukum ditulis untuk orang-orang yang berjaga-jaga”
PENDAHULUAN
Bagian Pertama
A. Hukum sebagai Suatu Sistem
Di dalam setiap karya penulis tentang hukum, selalu yang pertama penulis kemukakan adalah “Hukum sebagai Suatu Sistem” karena cari fokus inilah munculnya berbagai masalah, berbagai bidang hukum.
Hukum sebagai suatu sistem berarti hukum itu harus dilihat, harus diterima, dan harus diterapkan sebagai suatu keseluruhan yang terdiri dari bagian-bagian yang saling kait- mengait satu sama lain.
Atau sebagaimana yang dikemukakan oleh Prof. Dr.
R.M. Soedikno Martokusumo, S.H.1 bahwa sistem adalah suatu ke sa tuan, suatu kebulatan di mana setiap problem baru mendapatkan jawabannya atau penyelesaiannya. Juga yang dirumuskan oleh Van Vollenhoven bahwa, “Innerlijke samen
hang waarin ieder nieww probleem zijn antwoord vindt.”
Sehubungan dengan hukum sebagai suatu sistem maka sistem hukum itu sendiri memiliki unsur-unsurnya, yang secara garis besarnya terbagi atas:
http://pustaka-indo.blogspot.com
1. lembaga legislatif;
2. lembaga peradilan;
3. kebiasaan.
Jadi,terlihat bahwa lembaga peradilan adalah salah satu unsur dari sistem hukum. Peradilan merupakan salah satu pelaksanaan hukum dalam hal ada tuntutan hak yang kon - krit melalui pengadilan.
Tuntutan hak yang konkret itu sehubungan dengan asas
“hakim yang pasif ” yang didasarkan pada asas “Wo kein Kla
ger ist, ist kein Richter” (di mana tidak ada tuntutan/penuntut, maka tidak ada hakim).
Setiap masalah hukum tidak bisa kita lepaskan dari sistem hukum itu secara keseluruhan, sehingga setiap yuris harus se- nantiasa mengingat hukum sebagai sistem. Hal ini dapat kita lihat bahwa seorang petugas hukum tidak boleh membuat statement ataupun aturan dalam bentuk ataupun isi yang bertentangan dengan konstitusi misalnya, sekalipun statementnya atau atur- an nya itu tidak berada dalam bidang hukum publik.
Atau di bidang peradilan misalnya tidak mungkin pu- tus an pengadilan negeri dapat membatalkan putusan Mah- kamah Agung.
Setiap sistem hukum selalu mengenal pembagian, hanya saja pembagian itu selalu dilihat dari berbagai sudut.
Pembagian yang konvensional, yang paling banyak di- terima orang sementara ini adalah:
a. hukum publik;
b. Hukum privat.
Sehubungan dengan tempat “hukum acara perdata” itu sendiri, pada umumnya para ahli hukum memasukkannya
http://pustaka-indo.blogspot.com
di bidang hukum privat, termasuk penulis sendiri.
Walaupun di dalam kenyataannya memang ada beberapa ahli hukum isinya yang memasukkan hukum acara perdata sebagai bagian hukum publik, dengan alasan bahwa ditinjau dari segi lembaga pengelolanya serta aparat termasuk hakim, maka hukum acara perdata termasuk hukum administrasi ne gara, dalam hal ini hukum publik tentunya.2
Penulis sendiri menganggap hukum acara perdata se- ba gai bagian dari hukum privat, tidaklah secara konsekuen.
Hanya saja jika pembagian hukum atas publik dan privat ma- sih mau dipertahankan, maka letaknya hukum acara per data dimaksudkan untuk mempertahankan hukum per data/privat materiil.
Tetapi, seandainya kita mau keluar dari pembagian hu- kum publik dan privat, maka penulis lebih cenderung me- nem patkan hukum acara perdata dalam bidang “hukum per
adilan”.
Penulis cenderung untuk membuat suatu bidang hukum baru, yang disebut “hukum peradilan” yang mencakupi hu- kum acara perdata, hukum acara pidana, dan hukum acara lain nya. Sebab, menurut pandangan penulis pembagian atas publik dan privat dewasa ini sulit untuk dipertahankan, meng ingat batasan antara kepentingan umum dan kepen ting- an perorangan sudah sulit dipisahkan secara tegas. Apalagi de- ngan munculnya bidang-bidang hukum baru, se perti hukum lingkungan hidup, hukum angkasa, dan sebagainya.
B. Pengertian Hukum Acara Perdata
Salah satu pembagian hukum secara ortodoks (the or
tho dox classiication) adalah pembedaan antara dua bidang hu kum:
http://pustaka-indo.blogspot.com
a. substantive law;
b. procedural law.
Pembagian seperti ini ditemukan di dalam sistem Hu- kum Anglo Saks (common law) di USA, Inggris, dan negara- negara comonwealth-nya.
Hukum acara perdata menurut pembagian di atas, ter- masuk dalam bidang procedural law (hukum proses). Adapun hukum perdata materiil dan hukum dagang ter masuk dalam bidang substantive law (hukum materiil).
George Whitecross Patton3 tidak menyetujui pembedaan di atas, alasan Patton adalah: “Firstly, the whole law remedies does not belong to procedure, and secondly, there are rigths in the realm procedure just as in that of substantive law....” Jadi, pertama, karena keseluruhan hukum, bukan hanya hu kum proses adalah bersifat “pemulihan hak”; dan kedua, di dalam hukum proses pun terdapat pengaturan hak dan ke wajiban.
Jika kita mengikuti jalan berpikir dari Patton di atas, maka kita melihat bahwa di dalam hukum materiil (substantive law) pun di samping mengatur hak dan kewajiban, juga ber- sifat pemulihan hak. Di lain pihak hukum proses (procedural law) pun di samping bersifat pemulihan hak, juga berisikan hak dan kewajiban.
Karena itulah, sehingga Patton4 menganggap pembedaan antara “substantive law dengan procedural law” adalah ke sa- lahan pembuat undang-undang.
Yang dimaksud sebagai pemulihan hak adalah: “...A power damages, s a remedial right ...” Jadi, merupakan suatu kemampuan untuk memulihkan kembali hak melalui ganti kerugian.
Lain lagi pandangan kaum realis, yang beranggapan bah-
http://pustaka-indo.blogspot.com
wa baik di dalam “substantive law” maupun “procedural law”
ti dak berisikan hak dan kewajiban, tetapi keduanya bersifat pe mulihan hak.
Di dalam kenyataannya, hukum proses (the law pro ce
dural) pun menciptakan hak dan kewajiban, atau lebih te pat- nya lagi menciptakan:
a. hak untuk menuntut ganti kerugian;
b. kebebasan untuk menutut;
c. kebebasan untuk memulihkan haknya;
d. kekebalan (immunities).
Antara lain diketahui bahwa walaupun di dalam hukum acara ada suatu hak untuk menuntut jawaban dari seorang saksi, di mana saksi itu berkewajiban untuk memberi jawab- an, tetapi seorang saksi pun memiliki hak istimewa (the pri
vilege) untuk menolak memberi jawaban, jika dengan ja- wab annya nanti ia bisa terlibat sebagai terdakwa. (Ini contoh dalam hu kum acara pidana)
Oleh karena itulah, penulis berpendapat bahwa pem- be daan antara hukum materiil (substantive law) dan hu kum acara (procedural law) jangan atas kriteria “hak dan ke wa- jiban” serta “pemulihan”.
Suatu cara pembedaan lain adalah apa yang dikemukakan oleh Charles F. Hamphill J.R. & Phyllis D. Hamphill5 yang membedakan atas:
a. substantive law;
b. adjective law (procedural law).
Dikatakan bahwa substantive law adalah:
“...hat area of the law which sets forth, deines. And creates rights, as distinguished from so called ADJECTIVE LAW, or PRO CE DURAL
http://pustaka-indo.blogspot.com
LAW, which provides the legal and method for enfor cing or obtaining those rights.
For example, the substantive law states that RAPE is an un lawful and forcible sexual assault on a female. Adjective law, for example, may provide that a female victim in a rape prosecution may not be cross examined as to whether she was previously chaste, unless some other witness testiies in open court that the victim was of questionable morals.
Jadi, mereka memberikan batasan tentang substantive law sekaligus dengan membandingkannya dengan adjective law. Tetapi mereka pun memberikan penjelasan tersendiri lagi tentang adjective law:
“...hat body of the law which provides procedure and methods for enforcing legal rights. Adjective law is synonymous with procedural law. It is that part of the law concerned with methods for enforcing or maintaining rigths. Adjective (pro cedural) law is distinguished from substantive law that body of law which the courtc are established to administer.”
Dengan mengetahui perbedaan antara hukum materiil dan hukum proses (hukum acara), juga dengan mengetahui letak persamaannya, akan lebih mudah kita memahami pe- ngertian daripada hukum acara perdata sendiri sebagai bagian dari hukum pada umumnya.
Menurut Prof. Dr. R. Wiryono Prodjodikoro,S.H.,6 bah- wa hukum acara perdata adalah rangkaian peraturan-per- aturan yang membuat cara bagaimana orang harus bertindak ter hadap dan di muka pengadilan dan cara bagaimana peng- adilan itu harus bertindak, satu sama lain untuk melaksanakan berjalannya peraturan hukum perdata.
Deinisi di atas kurang menjelaskan apa kaitan hukum acara perdata dengan hukum sebagai satu sistem tersendiri.
Kait an antara pengertian hukum acara perdata dengan hu -
http://pustaka-indo.blogspot.com
kum sebagai satu sistem, dapat lebih telihat dalam pe ngertian hukum acara perdata yang diberikan oleh Prof. Dr. R.M.
Soedikno Martokusumo, S.H7.
“Hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya menjamin ditaatinya hukum perdata materiil dengan perantaraan hakim. Dengan perkataan lain, hukum acara perdata adalah peraturan hukum yang menentukan bagaimana caranya menjamin pelaksanaan hukum perdata materiil.”
Selanjutnya beliau menjelaskan lagi, bahwa:8
“...Lebih konkret lagi, dapatkah dikatakan bahwa hukum acara per- data mengatur tentang bagaimana caranya mengajukan tuntutan hak, memeriksa serta memutuskan dan pelaksanaan daripada pu- tus annya. Tuntutan hak dalam hal ini tidak lain adalah tindakan yang bertujuan memperoleh perlindungan hukum yang diberikan oleh pengadilan untuk mencegah “eigenrichting” atau tindakan meng hakimi sendiri. Tindakan menghakimi sendiri merupakan tindakan untuk melaksanakan hak menurut kehendaknya sendiri yang bersifat sewenang-wenang tanpa persetujuan dari pihak lain yang berkepentingan, sehingga akan menimbulkan kerugian. Oleh ka rena itu tindakan menghakimi sendiri ini tidak dibenarkan, dalam hal ini kita hendak memperjuangkan atau melaksanakan hak kita.”
Mengapa penulis mengatakan bahwa pendapat dari Prof.
Dr. R.M. Soedikno Martokusumo, S.H. di atas lebih me nam- pakkan kaitan yang erat antara pengertian hukum acara per- data di satu pihak dan hukum sebagai satu sistem di pihak lain, tidak lain karena di dalam uraian tersebut tampak pem- ba gian atas:
a. Hukum materiil.
b. Hukum formal.
Dengan memerhatikan apa yang telah dikemukakan di atas, penulis tiba pada kesimpulan, bahwa Hukum acara per
data adalah serangkaian aturanaturan hukum bagi warga ma syarakat yang ingin mempertahankan keperdataannya
http://pustaka-indo.blogspot.com
de ngan perantaraan hakim di muka persidangan pengadilan, da lam rangka melaksanakan aturanaturan hukum materiil.
Mengapa penulis lebih cenderung untuk menggunakan istilah “aturan” daripada “peraturan”, karena istilah “per- aturan” lebih memberi makna hukum yang tertulis belaka, sedangkan istilah “aturan” selain hukum tertulis juga hukum tidak tertulis (di Indonesia adalah hukum adat).
Mengapa pula penulis harus menegaskan perkataan “di muka persidangan pengadilan”, karena hukum for mal ti dak ahanya meliputi hukum acara perdata belaka yang mem pro- sesnya di muka sidang pengadilan. Kita pun mengenal bagian daripada hukum acara yang tidak ber langsung di muka sidang pengadilan, seperti arbitrasi dan notaris.
Demikian pula jika kita hanya menggunakan istilah “di muka pengadilan” masih bisa menimbulkan pengertian yang ambivalensi, karena bisa diartikan hanya di muka “gedung pengadilan”, padahal maksudnya tidak demikian.
C. Perbedaan antara Hukum Acara Perdata dan Hukum Acara Pidana
Jika kita ingin memberdakan antara hukum acara per - data dan hukum acara pidana, maka akan ditemukan ba nyak sekali perbedaannya, antara lain penulis dapat me nge mu- kakan beberapa di antaranya di bawah ini:
1. Perbedaan dari segi inisiatif pengajuan perkaranya Di dalam hukum acara pidana inisiatif untuk meng aju kan perkara pidana ke muka persidangan pengadilan adalah jaksa selaku penuntut umum yang mewakili kepentingan umum, sedangkan dalam hukum acara perdata, inisiatif untuk meng- ajukan perkara perdata ke muka persidangan peng adilan ada-
http://pustaka-indo.blogspot.com
lah pihak penggugat (the plaintif) yang mewakili ke pen ting- annya sendiri secara perorangan.
Jadi, dalam hal ini terlihat kepentingan umum pada hu- kum acara pidana dan kepentingan perseorangan pada hu- kum acara perdata.
2. Perbedaan dari segi keterikatan hakim pada alat-alat pembuktian
Di dalam hukum acara pidana, hakim tidak semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, tetapi di sam ping terikat pada alat bukti yang sah, hakim harus terikat pada keyakinannya sendiri atas kesalahan si terdakwa. Inilah yang dalam sistem Hukum Anglo Saks dinamakan “beyond reasonable doubt”, se dangkan di dalam hukum acara perdata, hakim hanya se- mata-mata terikat pada alat bukti yang sah, sehingga dika ta- kan bahwa dalam hukum acara perdata cukup dengan “pre
ponderance of evidence” sebagaimana yang dikatakan oleh Mc Cormich,9 bahwa:
“Evidence preponderates when it is more convicing to the trier than the opposing evidence”.
3. Perbedaan dari segi kebenaran yang ingin dicapai Di dalam hukum acara pidana, sebagai konsekuensi dari keterikatan hakim pada keyakinannya sendiri, sehingga di katakan bahwa hakim dalam perkara pidana bertujuan untuk mencari “kebenaran materi”, sedangkan di dalam hu- kum acata perdata, karena hakim hanya semata-mata terikat pada alat bukti yang sah, sehingga dikatakan hanya mencari
“kebenaran formal”.
Dalam hubungan ini ada motto: Lebih baik membebas-
http://pustaka-indo.blogspot.com
kan 1000 orang bersalah, daripada menghukum satu orang yang tak salah.
4. Perbedaan dari segi pemisahan peristiwanya dan hukumnya
Di dalam hukum acara pidana, terdapat perpaduan an- tara penetapan peristiwa dan penemuan hukum, sedang kan di dalam hukum acara perdata ada pemisahan. Para pihak hanya membuktikan “peristiwa” yang diperseng ketakannya saja, se- dang soal “hukumnya” adalah menjadi tugas hakim, sesuai asas IUS CURIA NOVIT (hakim dianggap akan hukumnya).
Jadi, di dalam hukum acara pidana jaksa tidak mem- buk tikan. Jaksa mempunyai inisiatip penuntutan dan dalam tu duh annya menentukan tema ke arah aman proses harus di arahkan, tetapi kemudian untuk selanjutnya jaksa sama ke dudukannya dengan pembela, dan hakim dalam diskusi per sidangan. Karena itu, menurut Enschede,10 dalam hukum acara pidana lebih tepat dikatakan bahwa hakimlah yang membuktikan.
5. Perbedaan dari segi penghentian pemeriksaan perkara Di dalam hukum acara pidana, kalau suatu perkara pi- dana sudah sekali diajukan oleh kejaksaan ke muka per si- dangan pengadilan, maka diteruskan atau tidaknya perkara itu pada asasnya tidak tergantung atas kehendak dari jaksa atau terdakwa. Pada asasnya kejaksaan tidak berwenang un- tuk men cabut tuntutannya, sedangkan di dalam hukum acara perdata, pada asasnya para pihak yang berperkara be bas un- tuk menghentikan pemeriksaan perkara itu sebelum ha kim menjatuhkan putusannya. Misalnya, dalam hal ada per da mai- an antara penggugat dan tergugat.
http://pustaka-indo.blogspot.com
Dikatakan pada asasnya, karena ada pengecualian ter- tentu yang dalam seri hukum acara perdata terbitan ber- ikutnya akan penulis bahas secara khusus.
6. Perbedaan mengenai beban pembuktian
Di dalam hukum acara pidana, masalah beban pem buk- tian (the burden of proof) tidak sepenting dan seserius dalam hukum acara perdata: untuk menjelaskan lebih lanjut dapat ditemukan dalam bab-bab berikutnya dalam buku ini.
7. Perbedaan dari segi aktif dan pasifnya hakim
Di dalam hukum acara pedata, pada dasarnya merupa- kan sengketa para pihak, di mana luas ruang lingkup per- sengketaan itu ditentukan oleh para pihak. Di sinilah terli- hat sikap pasif dari hakim (verhanlungs maxim), jadi proses perdata merupakan “penyelesaian persengketaan”, sedang kan di dalam hukum acara pidana, bukan penyelesaian perseng- ketaan. Hal in terlihat bahwa di dalam hukum acara pidana, walaupun terdakwa sudah mengadakan pengakuan, hakim tidak boleh meneriman begitu saja pengakuan terdakwa, te- tapi harus aktif menyelediki kebenaran pengakuan itu, se dang tadi di dalam hukum acara perdata hakim wajib menerima peng akuan tergugat. Di sini, terlihat bahwa dalam hukum acara pidana hakim bersifat aktif (eventual maxim).
8. Perbedaan dari segi kepentingan yang dilindungi Dari sudut kepentingan yang dilindungi, maka di dalam hukum acara pidana mengahadapi dua kepentingan:
1. kepentingan umum;
2. kepentingan hukum.
Adapun di dalam hukum acara perdata, dua pihak
http://pustaka-indo.blogspot.com
yang berperkara sama bobot kepentingannya, sehingga ber - laku asas AUDI ET ALTERAM PARTEM,11 yaitu baik pi- hak penggugat maupun tergugat harus diperlakukan sa ma.
Dalam arti kata kans untuk kalah dan menang sama, ter gan- tung nantinya pada pembuktian mereka sehingga ke dua nya memiliki kepentingan hukum yang sama.
Di dalam hukum acara pidana tidak demikian. Ke pen - ting an yang diwakili jaksa adalah kepentingan umum, se - dang kan kepentingan yang diwakili terdakwa adalah ke - pen tingan perseorangan. Kepentingan perseorangan di sini mem butuhkan kepastian hukum yang menuntut per lin dung- an hukum. Kepentingan umum menghendaki agar yang salah dihukum, sedangkan kepentingan hukum meng hen daki agar yang tidak salah tidak dihukum.
9. Perbedaan dari segi sanksinya
Di dalam hukum acara pidana, selain sanksi deinitif se- per ti hukum penjara, denda dan lain-lain dikenal juga ada nya sanksi yang bersifat sementara, misalnya pe nahanan se be lum vonis dengan pertimbangan untuk mem perlancar per si dang an atau untuk kepantingan lain, misalnya terdakwa di kha watir- kan melarikan diri atau meng ulangi perbuatannya. Ada pun di dalam hukum acara perdata tidak dikenal sanksi sementara.
Sebagai catatan, perlu penulis kemukakan bahwa sita
konservatoir bukanlah sanksi sementara.
10. Perbedaan dari segi sifat hukum
Di dalam hukum acara pidana, tujuan hukuman adalah dengan sengaja membebankan nestapa kepada si pelaku.12 Ada pun di dalam hukum acara perdata tujuan hukuman ada- lah untuk melindungi subjek hukum lain di luar si pelaku.
http://pustaka-indo.blogspot.com
D. Perbedaan Hukum Acara Perdata dengan Hukum Acara Perdata Internasional
Hal yang paling menonjol yang membedakan antara hu- kum acara perdata dean hukum acara perdata inter nasional adalah:
– Di dalam hukum acara perdata, para pihak hanya ber- kewajiban membuktikan peristiwanya, sedangkan me- nyangkut hukumnya adalah menjadi tugas hakim.
– Adapun di dalam hukum acara perdata internasional, para pihak di samping harus membuktikan peristiwa nya yang dipersengketakan, juaga harus dapat membuktikan
“HUKUM APA YANG BERLAKU”. Dengan kata lain, hu kum negara manakah yang berlaku? Negara penggu- gat kah? Ataukah negara tergugat? Ataukah negara lain- nya lagi?
Endnote:
1. Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo, S.H. “Kuliah Ilmu Hukum”.
Pendidikan Pascasarjana Hukum, Lembaga Pendidikan Doktor, Universitas Gajah Mada Yogyakarta, 1981...
2. Dr. Sunarjati Hartono, S.H, “Kapita Selekta Perbandingan Hukum”, Penerbit Alumni, Bandung, 1976, hlm. 72.
3. George Whitecross Patton, “A Text Book of Jurisprudence”. Oxford at the Clarendon Press, 1964, hlm. 535.
4. Ibid. hlm. 535.
5. Charless F. Hempill, J.R. & Phyllis D. Hemphill. “he Dictionary of Practical Law”. Prentice-Hall, Inc. Englewoud Clifs, N.J. 07632, hlm. 13.
6. Prof. Dr. Wirjono Prodjodikoro, S.H. “Hukum Acara Perdata Indo
nesia”. Penerbit Sumur Bandung, 1980, hlm. 13.
7. Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo S.H. “Hukum Acara Per
data Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 2.
8. Ibid.
http://pustaka-indo.blogspot.com
9. Edward W. Cleary. “Mc.Cormick’s Handbook of Law of Evidence”.
St. Paul, Minn, West Publishing, Co. 1972, hlm. 793.
10. Enschede. “Bewijzen in het strafrecht”. R.M. hemis 1966 al. 5/6, hlm. 506.
11. Lihat tesis penulis untuk meraih gelar master dalam hukum acara perdata.
12. Prof. Mr. M.M. Djojodiguno, dalam kuliah Perkembangan Ilmu Hukum Umum, oleh Prof. Iman Sudiyat, S.H.
http://pustaka-indo.blogspot.com
HUKUM PEMBUKTIAN PADA UMUMNYA
DALAM PROSES PERDATA
Bagian Kedua
A. Arti Membuktikan
Bukti, pembuktian atau membuktikan dalam Hukum Ing- gris sering menggunakan istilah dua perkataan, yaitu: proof dan evidence. Adapun dalam hukum Belanda disebut “bewijs”.
Tetapi, walaupun demikian, arti dari “membuktikan” itu sendiri banyak sekali, dan karena itu, untuk memahami pe - nger tian hukum pembuktian itu sendiri tentu saja kita ter- lebih dahulu harus memahami arti dari pembuktian atau mem buktikan itu sendiri. Apalagi untuk kita kaitkan dengan pe ngertian “alat bukti” dan pengertian “beban pembuktian”.
Oleh karena membuktikan memiliki pengertian yang sangat luas, yang tidak hanya terdapat dalam bidang hukum saja, maka terlebih dahulu kita akan mengemukakan arti membuktikan secara umum.
Untuk itu, sebuah pengertian yang sangat menarik telah dikemukakan oleh Prof. Dr. R.M. Soedikno Mertokusumo,1 sebagai berikut:
Juris Ignerantia Nocet,Facti Non Nocet
“Tidak mengenal hukum adalah merugikan, tidak mengenal fakta-fakta tidak merugikan”
http://pustaka-indo.blogspot.com
1. Kata membuktikan dikenal dalam arti logis. Pembuktian di sini berarti memberi kepastian yang bersifat mu t lak, karena berlaku bagi setiap orang dan tidak me mung - kinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksi- oma, yaitu asas-asas umum yang dikenal dalam ilmu pe ngetahuan, dimungkinkan adanya pembuktian yang ber sifat mutlak yang tidak memungkinkan adanya bukti lawan. Berdasarkan suatu aksioma, bahwa dua garis yang sejajar tidak mungkin bersilang dapat dibuktikan bah wa dua kaki dari segitiga tidak mungkin sejajar.
Ter hadap pembuktian ini tidak dimungkinkan adanya buk ti lawan. kecuali pembuktian itu berlaku bagi setiap orang. Di sini aksioma dihubungkan menurut ketentuan lo gika dengan pengamatan-pengamatan yang diperoleh dari pengalaman, sehingga diperoleh kesimpulan yang memberi kepastian yang bersifat mutlak.
2. Kata membuktikan dikenal juga dalam arti konvensional.
Di sisi pun membuktikan berarti juga memberi kepastian, hanya saja bukan kepastian mutlak, selain kepastian yang nisbi atau relatif sifatnya, yang mempunyai tingkatan- ting katan:
a. Kepastian yang didasarkan atas perasaan belaka. Ka- rena didasarkan atas perasaan belaka maka ke pas tian ini besifat intuitif, dan disebut conviction intime.
b. Kepastian yang didasarkan atas pertimbangan akal, maka oleh karena itu disebut conviction raisonnee.
3. Membuktikan dalam hukum acara mempunyai arti yu- ridis. Di dalam ilmu hukum tidak dimungkinkan ada nya pembuktian yang logis dan mutlak yang berlaku bagi se tiap orang serta menutup segala kemungkinan akan bukti lawan, akan tetapi merupakan pembuktian yang
http://pustaka-indo.blogspot.com
kon vensional yang bersifat khusus. Pembuktian dalam arti yuridis ini hanya berlaku bagi pihak-pihak yang ber perkara atau yang memperoleh hak dari mereka. De- ngan demikian, pembuktian dalam arti yuridis tidak menuju kepada kebenaran mutlak, hal ini terlihat bahwa ada kemungkinannya bahwa pengakuan, kesaksian, atau surat-surat itu tidak benar atau dipalsukan. Maka dalam hal ini dimungkinkan adanya bukti lawan.
Suatu pendapat yang menarik di kemukakan oleh H.
Drion.2 Bahwa pembuktian yuridis itu adalah pembuktian yang “historis”.
Dari uraian H. Drion, penulis dapat menjelaskannya sebagai berikut; bahwa dikatakan pembuktian yuridis adalah pembuktian historis, karena ada yang hendak dibuktikan da- lam suatu persengketaan perdata ataupun perkara pidana ada- lah sesuatu yang “sudah terjadi”, sesuatu yang sudah ber ada di masa silam. Jadi, pembuktian yuridis yang bersifat his toris ini mencoba menetapkan apa yang terjadi secara inconcreto.
Suyling3 menyatakan bahwa pembuktian secara yuridis tidak hanya berarti memberi kepastian kepada hakim, tetapi juga berarti terjadinya suatu peristiwa yang tidak tergantung pada tindakan para pihak (seperti pada pe rseng ketaan) dan tidak pula tergantung pada keyakinan hakim (seperti pada peng akuan dan sumpah).
Di lain pihak, Eggens4 mengatakan bahwa membuktikan seperti menetapkan peristiwa hukum, tetapi juga dalam arti luas menetapkan hubungan hukumnya sendiri.
Tentang pengertian dari istilah “evidence” itu sendiri, pe nulis tertarik dengan apa yang diuraikan secara panjang lebar oleh Sir Roland Burrows.5 Yang memberikan deinisi
http://pustaka-indo.blogspot.com
tentang pembuktian itu, deinisi mana pula diikutinya de- ngan penjelasan, dituliskannya bahwa:
“Evidence, as used in judicial proceeding, has several meanings.
he two mainsenses of the word are: irstly, the means, apart from argument and inference, whereby the court is informed as to the issues of fact as ascertained by the pleadings; secondly, the subject
matter of such means. he word is also use to denote that some fact may be admitted as proof and also in some cases that some fact has relevance to the issues of fact. In a real sense evidence is that which may be placed before the court in order that it may decide the issues of fact. here also are other shades of meaning that it is not necessary to discuss here. hus it has bean held that “evidence” in the inheritance (Family Provision) Act, 1938, covers all the material that persons outside a court of law take into consideration when deciding how to act (Re Vrindt, Vrindt V. Swain, (1940) Ch, 920). Evidence, in the irst sense, means the testimony, whether oral, documentary or real, which may be lagally received in order to prove or disprove some fact in dispute....”
Deinisi yang dikemukakan oleh Sir Roland Burrows di ata memang cukup panjang, tetapi dari deinisi itu menjadi sangat jelaslah pengertian dari “evidence” itu sendiri.
Sebagaimana dikatakan Sir Roland bahwa ada dua pe- nger tian yang utama dari kata “evidence”, yaitu:
1. Bagian dari alasan dan kesimpulan, dengan jalan mana pe ngadilan mengetahui peristiwa yang dipersengketaan sebagai suatu kepastian.
2. Pokok dari persoalan apa saja.
Jadi, arti kedua ini adalah arti luasnya.
Selain itu, perkataan “evidence” juga menurut Sir Roland digunakan:
a. Untuk menunjukkan beberapa fakta yang mungkin di- kenali sebagai bukti.
b. Dan juga dalam beberapa kasus tentang beberapa fakta
http://pustaka-indo.blogspot.com
yang mempunyai relevansi dengan peristiwa yang di per- sengketakan.
Dari sekian banyak pengertian tentang “evidence itu Sir Roland memberi arti yang paling khusus, yaitu bah- wa pembuktian atau alat bukti ditempatkan di muka peng- adilan agar pengadilan dapat memutus peristiwa yang diper- sengketakan, jadi pengertian utamanya adalah selaku alat yang menghasilkan putusan.
Dalam arti alat bukti, maka mencakupi:
– kesaksian;
– whether oral;
– documentary atau real.
Yang mana menurut hukum agar peristiwa yang diper seng- ketakan itu terbukti ataukah tidak terbukti.
Adapun pengertian “evidence” di dalam “INHERI TAN
CE” (Family Provision) Act 1938, dikatakan sebagai me li puti seluruh alat-alat tentang person yang di luar suatu peng adil- an, dan digunakan untuk menjatuhkan putusan.
Sir Roland mengakui masih banyak lagi pengertian pem - buktian lain, tetapi tidak relevan dibicarakan dalam pem bi- caraan mengenai hukum pembuktian ini.
Berlainan dengan Sir Roland, maka Milton C. Jacobs6 mengemukakan pengertian pembuktian dari segi tujuannya, rumusan mana didasarkan pada putusan pengadilan dalam perkara Clark melawan Brooklyn Heights R. Co.:
“he object of evidence is to inform the trial tribunal of the material facts, which are relevant as bearing upon the issues, in oder that the truth may be elicited and a just determination of the controversy reached.”
Jadi, dari segi tujuannya Milton C. Jacobs melihat adanya dua tujuan pembuktian:
http://pustaka-indo.blogspot.com
1. untuk mencapai kebenaran;
2. untuk dapat menghasilkan puusan.
Kedua tujuan itu dicapai dengan jalan memberikan ba- han-bahan tentang peristiwa yang dipersengketakan kepada peng adilan. Bahan-bahan mana tentu saja yang relevan de- ngan persoalan yang dipersengketakan.
Dengan membedakan antara istilah “proof” dan isti- lah “evidence”, maka Milton C. Jacobs membedakan sebagai berikut:7
“Evidence is the medium of proof, proof is the efect of evidence.”
Jadi, dalam hubungan ini “evidence” itu adalah alat buktinya, se dangkan “proof” adalah hasil atau akibat yang timbul dari alat bukti. Lebih lanjut dikatakan oleh Milton C. Jacobs,8 bah wa istilah evidence merupakan penggunaan umum bagi pem buk- tian yang terjadi di muka pengadilan atau proses peng adilan.
Di kalangan ahli hukum Indonesia, maka Prof. Dr. R.
Su pomo9 mengemukakan pengertian pembuktian dengan mem bedakannya sebagai berikut:
a. Pengertian yang luas.
Pembuktian adalah membenarkan hubungan dengan hukum. Misalnya hakim mengabulkan tuntutan peng gu- gat, maka pengabulan ini berarti bahwa hakim me na rik kesimpulan bahwa yang dikemukakan oleh peng gu gat sebagai hubungan hukum antara penggugat dan ter - gugat adalah benar. Berhubung dengan itu, maka mem - buktikan dalam arti yang luas adalah memperkuat ke - simpulan hakim dengan syarat bukti yang sah.
b. Pengertian yang terbatas.
Bararti bahwa yang perlu dibuktikan itu hanyalah hal-
http://pustaka-indo.blogspot.com
hal yang dibantah oleh tergugat. Hal ini yang diakui ter- gugat tidak perlu dibuktikan lagi.
Menurut Anema,10 membuktikan adalah memberi ke- pas tian kepada hakim tentang peristiwa-peristiwa hukum de ngan alat-alat tertentu untuk dapat mengabulkan akibat hukum yang dihubungkan dengan peristiwa-peristiwa itu oleh hukum.
Prof. R. Subekti, S.H.11 memberikan arti membuktikan de ngan mengikat hakim untuk membenarkan kebenaran pe ris tiwa/hak yang dipersengketakan oleh para pihak dalam suatu perkara.
Penulis sendiri berpendapat bahwa pengertian mem- buk ti kan yang perlu kita persoalkan di sini hanyalah pe- nger tian membuktikan dalam hukum acara perdata, karena pembicaraan kita saat ini berada dalam bidang hukum acara perdata.
Penulis dalam hal ini, dapat memberikan batasan seka- dar sebagai pegangan, bahwa pembuktian dalam proses per- data adalah:
“Upaya yang dilakukan oleh para pihak untuk me nye lesaikan per- seng ketaan mareka atau untuk memberi ke pas tian tentang benar terjadinya peristiwa hukum tertentu, de ngan menggunakan alat bukti yang ditentukan hukum, se hingga dapat dihasilkan suatu pe ne tapan atau putusan oleh pengadilan.”
Mengapa penulis harus membatasi dengan dua hal:
a. untuk menyelesaikan persengketaan; atau
b. untuk memberi kepastian tentang benar terjadinya pe- ris tiwa hukum tertentu.
Karena, kalau hanya untuk menyelesaikan persengke ta an saja, bagaimana halnya dengan pembuktian dalam perkara-
http://pustaka-indo.blogspot.com
perkara voluntair di mana di situ tidak ada persengketaan.
Demikian juga kita tidak bisa mengatakan bahwa pem - buktian hanya untuk menghasilkan putusan, karena pada umumnya pengertian “putusan” hanya berlaku bagi peng- adilan yang sesungguhnya (contentieuse jurisdicte), yaitu da - lam hal persengketaan ada, sedangkan dalam peradilan vo- luntair hanya dihasilkan “penetapan”.
B. Pengertian Hukum Pembuktian
Sama halnya dengan pengertian “pembuktian”, maka pe- ngertian hukum pembuktian pun terdapat banyak pendapat di kalangan yurist.
Prof. R. Subekti, S.H12 mengemukakan bahwa hukum pem buktian memberikan aturan tentang bagaimana berlang- sung nya suatu perkara di muka hakim.
Penulis kurang menyetujui batasan yang terlalu umum itu, karena bukan hanya hukum pembuktian yang memberi- kan aturan tentang bagaimana berlangsungnya suatu per kara di muka hakim, melainkan keseluruhan aturan hukum acara, baik hukum acara perdata maupun hukum acara lain nya, ju- ga memberikan aturan tentang bagaimana berlangsungnya sua tu perkara di muka hakim.
Penulis lebih setuju deinisi yang dikemukakan oleh Edward W. Cleary,12 bahwa:
“he law of evidence is the system of rules and standards by which the admission of proof at the trial of law suit is regulated.”
Deinisi Cleary di atas lebih menampakkan kekhususan hu- kum pembuktian dalam peranannya melalui pembuktian di muka persidangan, juga menunjukkan suatu sistem hu kum dan standar bagi keseluruhan aturan pembuktian.
http://pustaka-indo.blogspot.com
Oleh karena itu, lebih tepatnya jika penulis merumus- kan batasan tentang pengertian hukum pembuktian sebagai berikut:
“Hukum pembuktian adalah keseluruhan aturan tentang pembuktian yang menggunakan alat bukti yang sah se bagai alatnya dengan tujuan untuk memperoleh kebenaran melalui putusan atau penetapan hakim.”
C. Perbedaan Pembuktian Yuridis dan Pembuktian Ilmiah Lainnya
Sehubungan dengan terdapatnya perbedaan pembuktian yuridis dan pembuktian ilmiah, maka menurut Lord Jus tice Danning.14 Baik dalam pembuktian yuridis maupun pem - buktian ilmiah lainnya adalah:
“he degree of probality which a reasonable and just man wuld reqiure to come to a conclusion....depens on the conclusion to which he is required to come ...”
Mengapa ada perbedaan antara pembuktian dan pem- buk tian ilmiah? Semuanya akan penulis kemukakan secara terperinci di bawah ini. Sehubungan dengan itu, Edwin C.
Concrad15 menyatakan bahwa:
“He learns early in his practice that legal rules of evidence are not and never will be based on principles of science. He does comprehend, that science is science and law is law and never the twain shall meet.”
Walaupun antara pembuktian yuridis dan pembuktian ilmiah adalah “never the twain shall meet”, tetapi bukan ber- arti tidak bisa dibuktikan, karena itu penulis memberikan tiga perbedaan antara keduanya:
1. Pembuktian yuridis adalah bersifat historis (lihat pen- dapat H. Drion,15 artinya yang ingin dibuktikan secara yuridis itu adalah suatu peristiwa yang telah terjadi, se-
http://pustaka-indo.blogspot.com
suatu yang berada di masa lampau. Adapun pem buk tian eksakta khususnya dan pembuktian ilmiah lain nya adalah untuk membuktikan sesuatu yang di masa sekarang.
2. Di dalam pembuktian ilmiah, tidak dibedakan antara pi hak yang mengajukan pembuktian dan pihak yang me nilai pembuktian. Walaupun ada perbedaannya te ta- pi tidak secara tegas terpisah. Lain halnya de ngan pem- buk tian yuridis, di mana antara pihak yang meng ajukan pem buktian dan pihak yang menilai pem buktian itu di- bedakan secara terpisah, yaitu:
a. Yang mengajukan alat bukti adalah:
(i) dalam perkara perdata: para pihak;
(ii) dalam perkara pidana: Jaksa.
b. Yang menilai pembuktiannya itu adalah hakim.
3. Hasil dari pembuktian ilmiah lebih pasti dan eksak da- ripada hasil pembuktian yuridis. Misalnya, dalam pem- buktian yuridis, jika seorang tergugat mengakui telah berutang kepada penggugat, maka sekalipun tergugat ber dusta, oleh hakim hal itu harus diterima sebagai ter- bukti benar telah berutang.
Sehubungan dengan hal ini, perlu diketahui adanya perbedaan antara sistem peradilan Anglo Saks di negara-negara com
mon law, dengan sistem peradilan kontinental, seperti yang dianut di Indonesia (sebagai akibat warisan penjajahan Be- landa). Perbedaannya yang sehubungan dengan masalah pem buktian ini adalah:
– Dalam sistem kontinental, hakimlah yang memeriksa baik peristiwanya maupun hukumnya.
– Dalam sistem Anglo Saks, hakim memeriksa segi hu kum - nya dan juri menangani segi fakta atau peristiwanya. Dalam
http://pustaka-indo.blogspot.com
hal ini juri hanya menyatakan “guilty or not guilty”, selanjut- nya tugas hakim untuk followup masalah hukumnya.
Dari apa yang telah penulis kemukakan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa di dalam hukum pembuktian dibedakan atas:
1. Siapa yang mengajukan alat bukti.
2. Siapa yang menilai alat bukti.
D. Letak Hukum Pembuktian
Sering timbul keraguan kita, apakah hukum pembuktian hanya merupakan bagian dari hukum acara perdata atau kah bagian hukum perdata materiil? Pertanyaan ini timbul de- ngan pengaturan masalah pembuktian dalam buku IV KUH per data kita.
Sebenarnya pengaturan masalah pembuktian dalam bu- ku IV KUH perdata adalah sama dengan penempatan se se- orang yang “salah kamar”, karena hukum pembuktian adalah bagian dari hukum acara perdata, bukan hukum perdata materiil.
Penyebab dari “salah kamar” itu adalah harus ditinjau dari segi historis hukum acara perdata di Eropa.
Dahulu dikenal adanya:
a. Hukum Formal dengan unsur-unsur materiil.
b. Hukum Formal dengan unsur-unsur formal.
Penulis sadar, hal ini mungkin akan membingungkan be berapa pembaca. Penulis sendiri pun sebelumnya pernah mengkaji benar-benar masalahnya dan menjadi bingung sendiri. Sebab, bukankah hukum formal adalah formal, dan yang materiil itu adalah hukum materiil?
http://pustaka-indo.blogspot.com
Di zaman dahulu di Eropa, sebagian besar yuris berpan- dangan adanya dua jenis hukum formal dan adanya dua jenis hukum materiil.
Hukum formal yang memiliki unsur-unsur materiil adalah hukum formal yang memuat tentang hak dan kewa jiban, misalnya pembuktian, termasuk hukum formal yang memiliki unsur-unsur materiil, karena di dalam pembuktian diatur ten- tang hak dan kewajiban para pihak untuk mem buktikan.
Berbeda dengan hukum formal yang hanya memiliki unsur-unsur formal, adalah semata-mata hal yang murni pro sesuil sifatnya, misalnya: hakim memakai toga, para pi- hak duduk didepan meja hakim, dan sebagainya.
Karena pertimbangan bahwa hukum pembuktian ada- lah hukum formal yang memiliki unsur-unsur materiil, maka dimasukkan ke dalam Buku IV KUH Perdata (BW).
Menurut anggapan penulis, seyogianya pembagian se- ma cam itu tidak dianut lagi pada zaman kini, karena hanya me nimbulkan kebingungan belaka.
Pembuat undang-undang di negeri Belanda pun, sebagai tempat asal BW Indonesia, sudah tidak mengakut pembagian demikian itu. Terbukti dari BW baru Belanda yang tidak lagi me masukkan pengaturan hukum pembuktian dalam BW baru itu.
Sebagai gambaran agar pembaca lebih memahaminya, pe nulis di bawah ini mencantumkan BW baru BELANDA da lam sistematikanya;17
– Yang telah diundangkan:
Buku I : Hukum Perorangan dan Hukum Keluarga Buku II : Badan-badan Hukum
– Yang telah disetujui parlemen, tetapi belum diundang kan:
http://pustaka-indo.blogspot.com
Buku III : Hukum Harta Benda Umumnya Buku IV : Hukum Warisan
Buku V : Hak-hak Benda
Buku VI : Bagian Umum Hukum Perikatan – Yang masih dalam persiapan:
Buku VII : Perjanjian-perjanjian Khusus
Buku VIII : Alat-alat Pengangkutan dan Pengangkutan Buku IX : Hak-hak atau hasil pikiran
Selain itu, hukum pembuktian adalah termasuk hukum acara perdata, ketentuannya dapat kita lihat pada konstitusi ris yang mencantumkannya huruf “i” dari lampiran pokok- pokok penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan ke- pada RIS menurut pasal 51 yang berbunyi bahwa: “...Asas- asas pokok hukum acara perdata, termasuk didalamnya hu kum pembuktian....”
Dari beberapa uraian di atas, cukup kuatlah alasan pe- nu lis jika mengatakan bahwa hukum pembuktian adalah ba- gian dari hukum acara perdata.
Dewasa ini, selama belum ada Undang-Undang Hukum acara perdata yang baru, maka HIR, RBG, dan buku IV BW masih tetap berlaku bagi hukum pembuktian.
Khususnya hukum pembuktian dalam Buku IV BW di- susun khusus untuk acara contradictoir dalam bidang hu- kum harta kekayaan di muka hakim perdata. Adapun bagi acara declaratoir atau peradilan voluntair pada asasnya tidak tidak berlaku hukum pembuktian dari Buku IV BW, kecuali diperlakukan secara analog.19
Di dalam perkembangannya dewasa ini, hukum pem- buktian lebih banyak dikembangkan oleh DOKTRINA (para ahli hukum) dan YURISPRUDENSI (putusan peradilan). Dan
http://pustaka-indo.blogspot.com
diharapkan bahwa di dalam hukum acara perdata itu kita ke lak diatur di dalamnya secara lebih lengkap dan se suai zaman.
Di atas telah penulis kemukakan bahwa hukum pem- buk tian yang diatur di dalam BW Buku IV hanya berlaku untuk perkara contradictoir, dan tidak diperuntukkan bagi perkara-perkara voluntair atau declaratoir.
Tetapi walaupun demikian, hukum pembuktian yang diatur oleh Buku IV BW, diperlakukan secara analogi maupun a contrario bagi perkara decralaratoir (atau peradilan semu).
Karena, isi aturan pembuktian yang terdapat dalam Buku IV BW, aturan pembuktian yang terdapat dalam HIR atau R.bg.
maka sama saja, bahwa jika dikatakan Buku IV BW hanya ber laku bagi perkara-perkara contradictoir, demikian pula HIR dan R.bg.
Dari mana dapat diketahui bahwa hukum pembuktian yang diatur oleh Buku IV BW, HIR, dan R.bg. hanya ber laku bagi perkara-perkara contradictoir? Ini diatur oleh yu ris- prudensi, dengan putusan H.R. tertanggal 19 Desember 1932 bahwa BW Buku IV semata-mata hanya diperuntukkan bagi perkara-perkara contradictoir.
Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud sebagai perkara-perkara contradictoir adalah perkara persengketaan perdata yang sesungguhnya, di mana jelas ada pihak yang ber sengketa, ada penggugat dan ada tergugat. Dalam hal ini pengadilan menghasilkan “putusan” yang sifatnya dime- nang kan salah satu pihak yang berperkara, entah penggugat, entah tergugat. Demikan juga dalam hal adanya pihak ketiga yang melakukan intervensi.
Adapun perkara decralatoir adalah perkara yang di ba- wah yurisdiksi peradilan voluntair (peradilan semu), dalam hal mana pengadilan tidak memberikan dua pihak yang
http://pustaka-indo.blogspot.com
berperkara, karena hanya ada satu pihak yang memohonkan penetapan, misalnya si A memohonkan kepada pengadilan agar ia ditetapkan sebagai wali dari anaknya, dan sebagainya.
Jadi, dalam hal ini pengadilan hanya menghasilkan suatu
“penetapan”, bukan “putusan”.
Tadi dikatakan, bahwa walaupun hukum pembuktian dalam Buku IV BW, HIR, dan R.bg. hanya diperuntukkan bagi perkara contradictoir, namun diperlukan secara analogi atau a contrario bagi perkara decralatoir.
Sebagaimana diketahui analogi dan a contrario adalah jenis penafsiran yang digunakan dalam hukum perdata.
Perbedaan antara analogi dan a contrario adalah bahwa:
– analogi memperluas suatu aturan hukum;
– a contrario mempersempit suatu aturan hukum.
Contoh klasik dari analogi, ialah:
BW mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hu- bungan sewa-menyewa. Kemudian dianalogikan bahwa wa- lau pun undang-undang hanya mengatur tentang “jual-beli”—
adalah suatu bentuk “peralihan hak”—maka pengadilan se jak puluhan tahun yang lampau telah mem per luas undang- undang, dengan menganalogikan bahwa bukan hanya “jual beli” yang tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa, me- lainkan semua bentuk peralihan hak lain nya pun, tidak me- mutuskan hubungan sewa-menyewa. Jadi, hibah pun misalnya, juga tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa.
Contoh klasik dari argumentum a contrario adalah Un- dang-Undang Perkawinan mengatur bahwa wanita yang ber cerai dari suaminya, mempunyai masa idah 300 hari, di ma na dalam masa iddah itu wanita tersebut belum boleh melangsungkan perkawinan baru. Yang diatur hanyalah wa-
http://pustaka-indo.blogspot.com
nita. Bagaimana dengan pria yang bercerai? Undang-undang tidak mengatur, tetapi berdasarkan a contrario, di per oleh hasil- nya aturan yang menganggap bahwa karena undang-undang hanya mengatur bagi wanita, maka berarti sebagai lawan nya, yaitu pria yang tidak mempunyai masa idah.
Aturan hukum pembuktian yang khusus mengatur ten- tang perkara-perkara yang decralatoir atau peradilan vo lun- tair, ternyata hanya diatur dalam satu Pasal HIR, yaitu Pasal 145 ayat 2 yang dapat penulis simpulkan esensi aturannya tentang penge cualian aturan orang bisa menjadi saksi (baca sendiri isi pasal 145 ayat 2 HIR). Selebihnya diterapkan hu- kum pem buktian bagi perkara contradictoir berdasarkan analogi dan a contrario tadi.
Pada hakikatnya, penafsiran analogi dan a contrario itu adalah perwujudan dari asas putusan yang dicetuskan oleh Aristoteles, bahwa perkara yang sama seyogianya diputus sama dan perkara yang tidak sama seyogianya diputus tidak sama.
Adanya analogi dan a contrario selaras dengan kewajiban hakim yang tidak boleh tidak harus memutus perkara yang telah diajukan padanya berdasarkan asas IUS CURIA NOVI, di mana walaupun undang-undang tidak mengaturnya, ha- kim harus menciptakan hukumnya.
E. Hukum Pembuktian dalam Sollen Sein
Ada semacam pembagian dunia penelitian hukum atas:
a. Dunia sollen (dunia cita).
b. Dunia sein (dunia nyata).
Untuk jelasnya, penulis menggambarkannya dengan se- cara skematik.
http://pustaka-indo.blogspot.com
Jika kita membandingkan skema di atas dengan letak da ripada hukum pembuktian itu sendiri, dapatlah pe nu- lis mengatakan bahwa hukum pembuktian terletak di dalam dunia sollen maupun di dalam dunai sein. Ter utama karena hukum pembuktian adalah termasuk pada hukum formal yang lebih menonjol peranannya sebagai pelaksanaan.
Jadi, sebagai aturan tentang pembuktian, yang meru- pa kan bagian dari aturan hukum acara perdata, maka dapat di katakan hukum pembuktian ini termasuk dalam dunia sollen.
Adapun sebagai “law enforcement” maka pembuktian itu termasuk dalam dunia sein.
Pengertian “law enforcement” sendiri berarti pelaksanaan hukum. Tetapi dalam hal ini penulis perlu menggarisbawahi bahwa pelaksanaan hukum itu ada dua macam:
1. Pelaksanaan hukum secara otomatis (tanpa sengketa).
2. Pelaksanaan hukum dalam hal ada persengketaan (pada umumnya melalui peradilan).
Pelaksanaan hukum secara otomatis dapat kita rasakan sen diri dalam kehidupan kita sehari-hari. Kita mengendarai mo bil atau motor di arah jalan kiri, kita mengasuh anak-
Undang-undang TERTULIS
Putusan NORM pengadilan Sollen
TIDAK TERTULIS KEBIASAAN PERILAKU PERJANJIAN Sein LAW ENFORSEMENT KESADARAN HUKUM
http://pustaka-indo.blogspot.com
anak kita, kita membayar ketika kita membeli barang dan se- bagainya.
Maka dalam hubungan ini, hukum pembuktian yang ter masuk dalam dunia sein adalah termasuk dalam jenis pe- laksanaan hukum di dalam hal ada sengketa perdata.
Karena itulah mempelajari hukum pembuktian harus pula menghayati sein.
F. Apakah yang Harus Dibuktikan (Quoderat
Demonstrandum) dan Apa yang Tidak Perlu Dibuktikan Pada zaman dahulu, ada yang beranggapan bahwa yang dapat dibuktikan hanyalah “peristiwa”, sedangan “hak” tidak dapat dibuktikan. Pendapat tersebut sudah tidak diterima dewasa ini.18
Sehingga dewasa, ini hal-hal yang dapat dibuktikan (Quod Erat Demonstrandum) adalah:
a. Peristiwa (factum).
b. Hak (ius).
Dapat dibuktikannya hak kita bisa lihat pada Pasal 163 HIR (Pasal 283 R.bg., Pasal 1865 BW) yang isinya me nyatakan:
“Barangsiapa menyatakan mempunyai suatu hak atau menyebutkan suatu peristiwa untuk meneguhkan haknya atau untuk membantah adanya hak orang lain, maka orang itu harus membuktikan adanya hak atau peristiwa itu.”
Selain itu, yurisprudensi pun menerima pendapat ten- tang dapat dibuktikannya hak.
Sekarang penulis terlebih dahulu ingin melihat, apakah yang dimaksudkan peristiwa dan apa pula yang dimaksud hak.
http://pustaka-indo.blogspot.com
1. Pengertian peristiwa
Pengertian “peristiwa” yang dapat dibuktikan di dalam hukum pembuktian ini berbeda dengan pengertian “peristi- wa hukum”.
Peristiwa hukum sebagaimana yang kita ketahui adalah
“Peristiwa yang oleh hukum diberi akibat hukum.”
Adapun peristiwa yang harus dibuktikan jauh lebih luas lagi, yaitu sesuatu yang kompleks sifatnya, karena peristiwa ini merupakan suatu keseluruhan dari keadaan, ke jadian, hu bungan dan sebagainya. Jadi, bukan ha nya suatu kejadian, bahkan sering kali tidak dilihat secara keseluruhan oleh pan- caindra.
2. Pengertian hak
Dalam bahasa Belanda, dikenal adanya dua jenis “hu- kum”:
a. Hukum objektif.
b. Hukum subjektif.
Sebenarnya jika diterjemahkan ke dalam bahasa Indo- nesia, maka hukum objektif itu adalah “hukum” itu sendiri, sedangkan hukum subjektif adalah “hak”.
Menurut Prof. Holand20 yang dimaksudkan sebagai
“hak” adalah:
“One man’s capasity of inluencing the acts of an other, by means, nota of his own strength, but of the opinion or the force of society.”
Jadi, menurut Prof. Holand, hak merupakan kemampuan seseorang untuk memengaruhi perbuatan/tindakan orang lain, bukan dengan jalan kekuatannya sendiri, melainkan di- da sar kan pada pendapat atau kekuatan masyarakat.
http://pustaka-indo.blogspot.com
Atau seperti yang dikatakan oleh Ernest Barker21, bahwa:
“My right in general are my part and portions of a whole system of right, as expressed an embodied in my particular person, an they are part and portion”.
Jadi pada asasnya, kata Ernest Barker, hak adalah bagian dari keseluruhan sistem hukum.
Atau menurut Dias22 bahwa:
“A right is a claim, whether enforceable or not, which resides by virtue of a rule of law in any given person, that another person, also by virtue of law, shall behave in a particular way.”
Jadi, Dias lebih memandang hak itu sebagai suatu tun- tutan yang karena adanya suatu kaidah hukum yang di pu- nyai oleh seseorang terhadap orang lain, agar orang lain itu berbuat/ber tindak menurut suatu kaidah tertentu itu.
Bagi sistem hukum Barat, hak adalah alat untuk me- mung kinkan manusia memperkembangkan jiwa raganya se- cara sepenuhnya. Demikian kata Ernest Barker.23
Adapun bagi kita di Indonesia, hak itu bukanlah un tuk digunakan secara sepenuhnya, melainkan juga ha rus me mer- hatikan kepentingan kolektif. Menurut pe nu lis, ke bebasan yang sebebas-bebasnya justru ada lah ke ti dakbebasan. Marilah penulis mem berikan sebah con toh se bagai berikut: Jika si A dengan sebebas-bebasnya meng gu nakan haknya untuk meng- gunakan mobil pribadinya de ngan kecepatan maksimal 120 kilometer perjam ditengah ke ra maian kota, apakah yang ter- jadi? Malapetakalah yang akan menimpa orang lain yang juga adalah pemakai jalan ra ya, sehingga kebebasan bagi si A adalah ketidak bebasan bagi orang lain.
Oleh karena itu, penulis lebih cenderung mengartikan hak itu sebagai:
http://pustaka-indo.blogspot.com
“Kebebasan untuk berbuat sesuatu menurut hukum, dengan me
merhatikan kepentingan kolektif.”
Perkataan memerhatikan kepentingan kolektif di sini, bukan berarti lantas kepentingan pribadi si pemilik hak su- dah diatasi sama sekali oleh kepentingan kolektif, karena itu penulis tidak menggunakan kata “tunduk” ke pada kepentin- gan kolektif, tetapi “memerhatikan” ke pen ting an kolektif. Ini berarti antara kepentingan pribadi dan kepentingan kolektif harus selaras.
Sehubungan dengan hal di atas, ada pepatah hukum yang menyatakan:
“Quod licet jovi non licet bovi”, apa yang boleh dilakukan oleh seseorang belum berarti yang lain juga boleh melakukannya.”
Setelah kita mengetahui pengertian “peristiwa” dan
“hak”, timbullah pertanyaan, dari suatu peristiwa, apanya yang harus dibuktikan?.
Jawabannya adalah bahwa yang harus kita buktikan pa- da suatu peristiwa adalah “kebenarannya”. Bahwa peristiwa tersebut benar telah terjadi.
Di dalam hukum pembuktian, tidak semua peristiwa itu harus dibuktikan. Untuk mengetahui mana yang harus di- buktikan dan mana yang tidak perlu dibuktikan, maka penu- lis di bawah ini menjelaskannya dengan gambar berikut.
Jadi, ada dua macam peristiwa dalam hubungannya dengan pem buktian ini:
1. Peristiwa yang irelevan (tidak relevan).
2. Peristiwa yang relevan.
Sehubungan dengan peristiwa yang relevan dan irele van ini, ada ahli hukum lain yang menggunakan istilah:
http://pustaka-indo.blogspot.com
1. Ratio Decidendi.
2. Obitar Dictum.
a. Ratio Deciendi
Ratio decidendi ini adalah inti dari suatu perkara yuri- dis, yakni bagian yang dianggap mempunyai sifat yang menentukan. Dengan kata lain, Ratio decidendi adalah faktor yang sejati (material fact), faktor esensi yang jus- tru mengakibatkan suatu putusan demikian.
b. Obiter Dictum
Kebaikan dari ratio decidendi adalah obiter dictum ini.
Jadi, merupakan bagian dari peristiwa yuridis yang ti- dak penting diperhatikan.
(mengenai hal ini, lebih mendetailnya dapat dibaca pada hlm. 30-31, Prof. Kusumadi Pudjosewojo, S.H., “Pe do
man Pelajaran Tata Hukum Indonesia).
Peristiwa yang irelevan ini sudah jelas tidak perlu dibuk- tikan, berdasarkan asas “MINIMA NON CURAT PRAETOR”, yaitu bahwa hakim tidak memerhatikan hal-hal yang remeh, atau asas lain “NULTA SED NON MULTUM”, yaitu banyak
Keterangan gambar:
A = Peristiwa yang tidak relevan.
B = Peristiwa yang relevan.
B1, B2, B3, dan B4 adalah peristiwa relevan yang tidak perlu dibuktikan.
http://pustaka-indo.blogspot.com
dalam jumlah, tetapi tidak ada yang penting.
Tetapi perlu diketahui, bahwa tidak semua peristiwa yang relevan yang perlu dibuktikan.
Ada empat peristiwa relevan yang tidak perlu dibuktikan (dalam gambar penulis sebagai B1, B2, B3, dan B4), yaitu:
1. Peristiwa prosesuil.
2. Peristiwa notoir.
3. Peristiwa yang sudah merupakan pengetahuan umum.
4. Peristiwa yang oleh undang-undang sendiri telah diten- tukan bahwa tidak perlu dibuktikan lagi.
Baiklah, di bawah ini penulis menjelaskan masing-ma- sing dengan lebih mendetail.
ad. 1. Peristiwa prosesuil
Yang penulis maksudkan sebagai peristiwa prosesuil adalah peristiwa yang terjadi di muka persidangan pengadil- an yang memeriksa perkara yang bersangkutan yang harus di buk tikan tadi.
Penulis dalam hal ini dapat membagi peristiwa prosesuil itu atas:
a. Peristiwa prosesuil murni.
b. Peristiwa Prosesuil yang tidak murni.
Yang penulis maksudkan sebagai peristiwa prosesuil mur ni, adalah peristiwa-peristiwa yang terjadi di muka per si - dangan pengadilan, yang bersifat yuridis prosesuil, mi sal nya peng gugat mengadakan pengakuan murni, sehingga per kara itu bisa diputus dengan dasar pengakuan murni dari ter gugat itu.
Adapun yang penulis maksudkan sebagai peristiwa pro- sesuil yang tidak murni adalah peristiwa-peristiwa yang ter-
http://pustaka-indo.blogspot.com
jadi di muka persidangan, yang sebenarnya hanya peristiwa biasa, tetapi karena mempunyai pengaruh terhadap peristiwa pemeriksaan, maka harus dicatat dalam berita acara. Misal- nya, si tergugat atau si penggugat ketika sedang diperiksa di muka persidangan, tiba-tiba menguap dengan membuka mulut lebar-lebar, yang berakibat secara kebetulan seekor lalat masuk menyangkut di kerongkongannya, sehingga ia ke labakan dan berjingkrak-jingkrak, atau mungkin pingsan karena sesak nafas, sehingga menimbulkan kegemparan di persidangan, atau menyebabkan terjadinya gangguan pada pemeriksaan perkara tersebut.
Peristiwa prosesuil ini dianggap diketahui hakim se- hingga tidak perlu dibuktikan lagi.
ad. 2. Peristiwa notoir
Ini harus berhati-hati untuk menyatakan atau meng- galangkan suatu peristiwa ke dalam NotoirFeiten atau pe- ris tiwa notoir ini, karena kadang-kadang suatu peristiwa ke- lihatannya adalah peristiwa notoir, padahal bukan.
Peristiwa notoir itu sendiri adalah suatu peristiwa yang di anggap peristiwa yang sudah diketahui oleh orang yang me miliki penidikan cukup dan telah mengenal keadaan masa di mana ia hidup, tanpa mengadakan penelitian lebih lan jut lagi, termasuk pula peristiwa yang diketahuinya dari sumber-sumber umum (mass media misalnya) tanpa meng- adakan peristiwa yang cukup untuk digunakan sebagai argu mentasi pembenaran bagi suatu tindakan yang sifatnya merupakan sifat yang memiliki arti. (Bandingkan pula pen- dapat P.A. Stein24 dan pendapat Prof.Dr. R.M. Sudikno Mer- tokusumo.25
Atau pendapat Prof. Mr. A. Pitlo,26 bahwa tidaklah ter-
http://pustaka-indo.blogspot.com
masuk dalam peristiwa notoir jika peristiwa-peristiwa yang secara kebetulan diketahui hakim yang bersangkutan, atau hakim yang menyaksikannya ketika terjadi atau hakim yang bersangkutan mempunyai keahlian perihal suatu kejadian atau keadaan.
Ini berarti bahwa “private knowledge” dari hakim atau yang dalam istilah hukum kontinental disebut “Eigen Weten
schap des Rechters”, masih memerlukan pembuktian dan tidak termasuk peristiwa notoir.
Misalnya, hakim kebetulan melihat tergugat mengadakan perjanjian jual beli rumah yang kini dipersengketakan, di mana hakim itu sendiri yang kebetulan memeriksa per kara- nya, maka dalam hal ini terjadinya perjanjian jual beli rumah itu masih tetap harus dibuktikan oleh para pihak, karena ini hanya merupakan “Eigen Wetenschap des Rechters” dan bukan Notoir Feiten.
Lazimnya peristiwa notoir ini diartikan sebagai pe ris- tiwa yang diketahui umum. Oleh sebab itu, maka hakim ber- pendidikan tinggi dan sudah tentu dianggap ber pe nge tahuan luas juga, harus tahu juga peristiwa notoir ini, sehingga tidak perlu dibuktikan lebih lanjut.
Sebagai contoh, bahwa hari kemerdekaan Republik Indo nesia jatuh pada tanggal 17 Agustus 1945, hal ini tidak me merlukan pembuktian lagi di muka pengadilan. Adalah tidak eisien apabila harus didatangkan seorang saksi sejarah yang membuktikan bahwa proklamasi Indonesia itu benar tang gal 17 Agustus 1945.
Dalam hal timbul perselisihan akan hal semacam itu su lit untuk dimasukkan dalam golongan “diketahui umum”, sehingga dalam hal demikian perselisihan akan timbul, peris- tiwa yang bersangkutan masih harus dibuktikan. Demikian