TUJUAN PEMBUKTIAN
E. Asas De Gustibus Non Est Disputandum
Asas “De Gustibus Non Est Diputandum” ini sebenarnya suatu asas yag aneh, karena diterpakan dalam hukum. Asas ini berarti bahwa mengenai selera tidak dapat diperseng- ketakan.
Asas ini dalam hukum pembuktian merupakan “hak mutlak” pihak tergugat. Di mana sebagai contoh:
Jika si A menggugat si B bahwa si B telah berutang kepada si A sejumlah Rp 10.000,- tetapi sebenarnya si B sama sekali ti dak pernah berutang kepada si A. Namun ketika dalam pemeriksaan di muka persidangan pengadilan perdata, si B mengadakan pengakuan murni (aveu pu et simple) bahwa ia benar telah berutang sejumlah Rp 10.000,- kepada si A.
Hakim berdasarkan asas “De Gustibus Non Est Diputandum”,
http://pustaka-indo.blogspot.com
tidak boleh menolak pengakuan si B, meskipun misalnya, hakim itu yakin sekali bahwa si B sebenarnya tidak pernah ber utang kepada si A, selaku penggugat. Hukum pembuktian per data, memberikan kepada tergugat kebenaran dalam hal pengakuan, sepanjang tidak bertentangan dengan asas lainnya. (Lihat asas ke VI di bawah ini).
Dalam hal si B di atas, oleh hukum dianggap si B sama saja menyumbangkan secara sukarela uangnya sejumlah Rp 10.000,- kepada si A. Dan siapa pun tidak bisa melarang seseorang untuk menyumbangkan hartanya sendiri.
D. Asas Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet
Asas ini menentukan bahwa tidak ada orang yang dapat mengalihkan banyak hak daripada yang ia miliki.
Dihubungkan dengan asas sebelumnya, yaitu “De Gus
tibus Non Est Diputandum”, maka dapatlah penulis mem beri contoh sebagai berikut:
Jika menggugat rumah yang terletak di Jl. G. Lampobatang No 5 adalah rumah si A, bukan rumah milik si B. Dalam perkara ini, yang digugat adalah si B, yang kebetulan menguasai rumah itu. Di dalam persidangan itu si B selaku tergugat mengadakan pengakuan murni, bahwa “benar rumah itu adalahmilik si A”. Padahal sebenarnya si B hanyalah penyewa atau hanya menjaga rumah Jl. G. Lampobatang No. 5 itu. Pemilik rumah itu sendiri adalah Tuan A.
Dalam hal ini pengakuan murni si B tetap bukan meru- pakan alat bukti yang sah, karena bertentangan dengan asas
“Nemo Plus Juris Transferre Potest Quam Ipse Habet” ini, karena si B tidak berhak mengakukan sesuatu sebagai milik
http://pustaka-indo.blogspot.com
orang lain, padahal ia sendiri bukan pemilik rumah itu.
Lain halnya jika rumah di Jl. G. Lampobatang No. 5 itu adalah benar milik si B, maka pengakuannya itu oleh hukum pembuktian diartikan sebagai sumbangan si B kepada si A.
Endnote:
1. Milton C. Jacobs. Civil Trial Evidence. Second edition, New York, hlm. 2.
http://pustaka-indo.blogspot.com
http://pustaka-indo.blogspot.com
G. W. Paton1 menyatakan bahwa:
“In a civil case a reasonable preponderance of propability is suicient for a ferdict, but in criminal case the crown must prove the guilt of the prisoner beyond reasonable doubt...”
Dan karena keterikatan hakim perdata akan alat-alat bukti itulah, sehingga peranan alat bukti dalam proses per- data sangat menentukan, berbeda dengan hakim pidana yang
“beyond reasonable doubt”.
Masalah alat bukti, seperti halnya dengan masalah pem- buktian pada umumnya senantiasa merupakan permasalah- an yang rumit untuk diselesaikan.
Kesukaran itu terutama dapat dilihat pada zaman dahulu kala pada peradilan yang masih primitif.
Ada tiga kesulitan yang dihadapi oleh pengadilan pri mi- tif, sehingga ia hampir-hampir tidak dapat dan tidak mam pu menyelesaikan masalah pembuktian itu, yaitu:
1. Sebagai akibat kurang mampunya mereka mengadakan analisis terhadap alat-alat bukti.
ALAT-ALAT BUKTI DALAM PROSES PERDATA
Bagian Kelima
Errare Humanum Est, Turpe In Errope Perseverare
“Membuat kekeliruan ialah sifat manusia, akan tetapi tidaklah baik untuk terus mempertahankan kekeliruan ....”
http://pustaka-indo.blogspot.com
2. Sebagai akibat meratanya kebiasaan bersumpah palsu (per jury) pada masa itu.
3. Sebagai akibat ketakutan dari setiap pengadilan akan ke - mungkinan terjadinya pelanggaran yang mendobrak ke - pentingan warga masyarakat melalui putusannya.
Hal-hal inilah di Eropa, di masa lalu yang mengakibatkan titik awal bagi pengadilan mulai melepaskan tang gung jawab pu tusan pengadilan dari faktor tanggung jawab manusia, dan dialihkan kepada tanggung jawab kepada Tuhan melalui an caman doa dan siksaan yang dapat me nimpa orang yang me lakukan sumpah palsu.
Penggunaan sumpah sebagai alat bukti dalam pemerik- saan di muka pengadilan ada manfaatnya, tetapi juga ba nyak kelemahannya. Seperti yang juga dikemukakan oleh G. W.
Pato2 bahwa:
“he ordeal by oath may be useful, if it is used where there is no evidence, or where the fact are exclusifaly within the knowledge of one party, but there is always the danger that a weak court my resort to it, even where there is evidence, in order to avoid either the diiculty of deciding or the danger which my result from a decision againts a popular igure...” Demikianlah juga pendapat dari Diamond3. Jadi kegunaan yang utama dari sumpah sebagai alat buk- ti itu, jika di dalam satu kasus memang tidak terdapat alat bukti lain sama sekali.
Di zaman dahulu, hingga pada tahun 1833 di Inggris berlaku apa yang dinamai Compurgation (wager of law) dalam pelaksanaan utang piutang, di mana para pihak di atas mana diletakkan beban pembuktian (the burden of proof) di- pe rintahkan untuk bersumpah bersama dengan dua belas orang saksi yang dipercaya.
Apa yang dimaksudkan sebagai Compurgation dijelas-
http://pustaka-indo.blogspot.com
kan oleh Peter J. Dorman4 sebagai berikut:
“... In England, a type of trial in which a defence consisted of the defendand’s swearing that the claim against him was unfouded and producing the requisite number (usually eleven) of compurgators, or oath helpers, to swear that they believed the defendant. he efect of the defense was a vardict for the devendant. Wager of law or compurgation was allowed only in cases of debt on simple contract and only on be half of people of good character. Also called compurgation. Abolished in 1833”.
Mungkin lebih jelas lagi jika kita melihat rumusan compurgator yang dituliskan Charles F. Hemphill J.R. &
Phillis D. Hamphill5 bahwa:
“... An individual who takes the witness stand and testiies as a cha racter witness in favour of someone accused of crime, or for a de
fendant in a civil action.”
Mengapa penulis secara panjang lebar membicarakan ten tang compurgation atau wager of law ini, karena menurut para ahli justru compurgation inilah merupakan permulaan dari “lisensi sumpah palsu”, hal mana kemudian memang se- kali terjadi dan digunakan orang semata-mata agar ia dapat mengalahkan gugatan lawannya.
Di zaman dahulu di Eropa, khususnya di Inggris, masih ada lagi cara-cara untuk pembuktian yang berkaitan dengan kepercayaan, antara lain:
– Besi yang sangat panas.
– Air.
– Meneguk roti suci.
Yang bagaimana pelaksanaannya secara mendetail, hing- ga kini masih merupakan teka-teki.
Efektivitas dari alat-alat bukti yang berkaitan dengan ke- per cayaan itu adalah karena dapat mempengaruhi psikologis seseorang yang memang merasa bersalah. Sebagai contoh:
http://pustaka-indo.blogspot.com
ka rena seseorang menyadari bahwa dirinya bersalah, maka ke tika ia disuruh menelan roti suci untuk membuktikan ke - ju jurannya dalam menyatakan sesuatu, mulutnya sudah ter- lebih dahulu kering karena ketakutan, sehingga berakibat su lit nya ia menelan roti suci itu. Ini sebagai pengaruh psiko- lo gis dari rasa bersalahnya.
Kemudian karena perkembangan dan kemajuan zaman, maka dunia peradilan pun khususnya mengenai alat-alat buk ti nya mengalami kemajuan.
Pembuktian kemudian tidak lagi di serahkan pada Tuhan Yang Maha Kuasa semata-mata seperti sumpah, tetapi juga kem bali diserahkan efektivitas manusia dan benda-benda lain sebagai alat untuk membuktikan, atau yang lazim nya di- namai “alat bukti” (evidence).
Mulailah peranan alat bukti tertulis atau surat (writings) men jadi lebih menonjol, khususnya dalam lalu lintas ke per - dataan. Karena di dalam lalu lintas keperdataan, dua pihak yang me la kukan perhubungan hukum senantiasa de ngan sengaja te lah menyiapkan alat bukti terlebih da hulu, seandainya ke- lak mereka terlibat dalam perselisihan. Dan bukankah ha ki- kat dari hukum itu sendiri untuk me nye lesaikan konlik ke- pentingan yang terjadi di dalam masyarakat.
Logika manusia pun mulai digunakan, jika ternyata alat bukti lain sukar atau tidak ada sam sekali. Maka dikenal
“persangkaan-persangkaan” (prasumption) sebagai alat bukti yang tidak bersifat langsung.
Di samping itu, seperti yang telah dikatakan di atas, bahwa manusia pun muncul sebagai salah satu atau beberapa alat bukti. Ini terlihat dalam alat bukti kesaksian, di mana pihak ketiga yang terjun kepersengketaan untuk membuktikan ter jadi atau tidak terjadinya suatu hubungan hukum atau
http://pustaka-indo.blogspot.com
pe ristiwa yang dipersengketakan. Juga pihak yang terlihat lang sung bisa menjadi alat bukti, dalam hal pihak tergugat me ngadakan pengakuan.