• Tidak ada hasil yang ditemukan

Siapakah yang Menilai Pembuktian

DALAM PROSES PERDATA

H. Siapakah yang Menilai Pembuktian

gia nya jika kelak diatur oleh undang-undang tidak dibatasi dari segi usianya, karena ada orang tua yang berusia 70-90 tahun tetapi belum pikun, sedangkan ada yang baru 50 tahun sudah pikun.

Karena itulah pengaturannya harus di atur dari segi “pi- kun nya”. Tentu saja ini pun bukan persoalan yang terlalu mu- dah, karena kriteria kepikunan masih bisa diperdebatkan lagi.

Jadi, kita kembali kepada masalah siapakah yang harus mengajukan alat bukti, jawabannya adalah semua orang yang menjadi pihak formal di depan pengadilan, termasuk pula pihak yang sekaligus adalah pihak materiil.

ajukan dan meyakinkan hakim dan alat buktinya, sesuai asas

“VERHANDLUNGO MAXIME”.

Selain menilai pembuktian sebagai salah satu tugas ha- kim, maka tugas hakim yang lain sehubungan dengan ma- sa lah pembuktian ini adalah untuk membebani pembuktian kepada para pihak yang berperkara.

Oleh karena itu, dapatlah disimpulkan bahwa tugas ha - kim yang utama dalam kaitannya dengan masalah pem buk- tian ini adalah:

a. Membebani pembuktian kepada para pihak.

b. Menilai pembuktian yang diajukan para pihak.

Dan justru kedua tugas hakim itulah yang paling ber- pengaruh pada putusan akhirnya.

Tugas-tugas hakim yang lain tentunya masih banyak, antara lain:32

a. Hakim sebagai penegak hukum dan keadilan wajib meng gali mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.

b. Hakim yang sudah diserahi perkara tidak boleh menolak untuk memeriksa dan mengadilinya dengan dalih bahwa hu kum tidak atau kurang jelas, tetapi wajib untuk me- me riksa dan mengadilinya.

c. Tugas hakim itu tidak berakhir hanya dengan menjatuh- kan putusan saja, akan tetapi juga menyelesaikan pada pelak sanaannya (eksekusi).

d. Khususnya dalam perkara perdata, hakim harus mem- bentuk pihak-pihak yang berperkara dan berusaha se- mak simal mungkin untuk mengatasi segala hambatan dan rintangan untuk terwujudnya peradilan sederhana, cepat, dan biaya ringan.

http://pustaka-indo.blogspot.com

Jika kita ingin menyimpulkan tugas hakim pada garis besarnya, dapatlah kita bagi menjadi tiga, yaitu:

1. mengonstatir;

2. mengkualiisir;

3. mengkostituir.

Agar bagi pembaca awam jelas, baiklah penulis mem be- rikan suatu contoh imajiner;

Si A menggugat si B, bahwa pada tanggal 17 Agustus 1981, ketika mobil Mercy berplat DD 952 diparkir oleh si A di depan rumahnya yang terletak di tepi Jl. G. Lampobatang No. 5 Ujungpandang, tiba-tiba ditabrak oleh mobil Toyota biru dengan plat DD 511 milik si B yang dikendarai oleh si B sendiri. Kecepatan mobil si B itu adalah sangat kencang dan diperkirakan melebihi kecepatan maksimum yang di- tentukan bagi kendaraan jika berada dalam kota.

Akibatnya mobil milik si A rusak berat dan menderita kerugian seharga mobil Mercy itu. Untuk itu si A menggugat pada si B agar si B antara lain dihukum untuk membayar ganti kerugian sejumlah mobil Mercy itu...bdan seterusnya....

Menghadapi perkara di atas, hakim pertama-tama harus mengonstatir, benarkah telah terjadi peristiwa tarakan de- ngan kronologis dan akibat yang sesuai dengan yang dinya- takan si A dalam gugatannya?

Untuk ini, hakim harus dapat membuktikan terjadinya peristiwa tadi. Dalam hal ini, bukanlah kewajiban hakim untuk aktif mengadakan penyelidikan agar memperoleh bukti-bukti, melainkan pihak pengugatlah yaitu si A yang ha- rus mampu mengajukan alat bukti yang dapat membuktikan bahwa benar peristiwa tabrakan itu telah terjadi.

Sebaliknya bagi si B, jika menyangkali perbuatan si A,

http://pustaka-indo.blogspot.com

juga harus mampu mengajukan alat bukti yang mem buktikan ketidakbenaran gugatan ini.

Dalam hal ini, misalnya si A berhasil membuktikan ter- jadinya peristiwa tabrakan tadi, maka tugas hakim se lan- jutnya adalah mengadakan kualiikasi peristiwa. Jadi meng- kualiisir.

Peristiwa tabrakan itu, kemudian dapat dikualiisir oleh hakim, sebagai perbuatan melawan hukum (Onrechtma­

tigdaad) berdasarkan Pasal 1365 BW (KUH Perdata).

Atas dasar kualiikasi sebagai perbuatan melawan hukum itulah, hakim kemudian melakukan konstituiring, memutus perkara itu dengan menghukum si A selaku penggugat.

Di dalam tahap konstituiring inilah hakim melakukan penalaran silogisme atas logika.

Melihat keseluruhan tugas hakim yang telah penulis ke mukakan di atas, dapatlah jelas diketahui bahwa hakim tidak hanya bertugas untuk menemukan dan mengharapkan hukum, tetapi jauh lebih berat lagi, yaitu menciptakan hukum dalam hal hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Karena itulah Cardozo33 menyatakan:

“he law which is the resulting product is not found but made. he process in its highest reaches is not discovery, but creation”

Yang lebih berat lagi, bahwa hakim dalam menjalankan tugas-tugasnya itu senantiasa mempertahankan posisi ob- jek tifnya yang merupakan hal yang paling prinsip dalam ke - se luruhan jabatan dan fungsinya selaku hakim. Apalagi jika dikaitkan dengan pepatah yang bersifat asas pula, bahwa “Nemo judex idoneus in proris cause,” yaitu bahwa tidak se orang pun dapat menjadi hakim yang baik bagi dirinya sendiri.

Mungkin asas tersebut kekecualiannya hanyalah bagi

http://pustaka-indo.blogspot.com

orang-orang pilihan, seperti para rasul dan nabi, paling tidak para sahabat Nabi seperti Umar bin Khatab misalnya.

Untuk menjamin terlaksananya posisi objektif para ha- kim, penulis menyarankan kira-kira sudah tepatlah jika segi inansial dan kesejahteraan ekonomis para hakim men jadi perhatian dari pemerintah kita, agar godaan untuk me- nyimpang dari prinsip objektivitas itu bisa dicegah, paling ti dak dikurangi seminimal mungkin, sehingga asas lain yang juga merupakan asas penting dalam hukum pem buk- tian perdata, “AUDI ET ALTERAM PARTEN”, juga bisa ter- wujudkan dalam dunia sein.

Endnote:

1. Prof. Dr. R.M. Sudikno Metokusumo, S.H. “Hukum Acara Perdata Indonesia”. Penerbit Liberty, Yogyakarta, 1981, hlm. 96-97.

2. Prof. Mr. H. Drion. “Bewijzen in hetrecht”. R.M. hemis 1966 af1 5/6.

3. Prof. Mr. H. Wiersma. “Bewijzen in het Burgelijk Gding”. R.M.

hemis 1966 af1 5/6.

4. Ibid.

5. Charless F. Hempill, J.R. & Phyllis D. Hemphill. “he Dictionary of Practical Law”. Prentice-Hall, Inc. Englewoud Clifs, N.J. 07632, hlm. 13.

6. Milton C. Jacobs. “Civil Trial Evidence”. Second edition, New York, hlm. 1.

7. Ibid.

8. Ibid.

9. Prof. Dr. R. Supomo. “Hukum Acara Perdata Pengadilan Negeri”.

Penerbit Fasco, Jakarta, 1958, hlm. 88-85.

10. Asser-Anema-Verdan. “Van Bewijs” N.V. Uit Gevers Maatschappij W. E. J. Tjeenk Willing, Zwolle, 1955, hlm. 35.

11. Prof. R. Subekti, S.H. “Hukum Pembuktian”. Penerbit Pradny- paramita, Jakarta, 1978, hlm. 5-6.

12. Prof. R. Subekti, S.H. Ibid.

http://pustaka-indo.blogspot.com

13. Edward W. Cleary. “McCormick’s Handbook of the Law of Evidence”.

St. Paul Minn, West Publishing Co. 1972, hlm. 1.

14. Prof. H. Drion, Op.Cit. hlm. 416.

15. Journal of Forensic Science, vol. 9. No. 4, hlm. 445.

16. Prof. H. Drion, op­cit.

17. Conpendium Hukum Belanda, hlm. 9.

18. Achmad Ali, S.H. “Pembuktian Dalam Proses Perdata”.Ujung pan- dang, 1980, hlm. 6.

19. Ibid.

20. Wisa B. R. “Gutlines of Jurisprudence”. 1959, hlm. 31.

21. Ernest Baker. “Principles of Social and Political heory”. 1963, hlm.

137.

22. Wisa, B. R, Op.Cit., hlm. 34.

23. Ernest Baker, op­cit, hlm. 137.

24. Prof. Dr. R.M. Sudikno Metokusumo, S. H. Op.Cit, hlm. 86.

25. Ibid.

26. Prof. Mr. A. Pitlo. “Pembuktian dan Daluarsa”(terjemahan). Pe- nerbit PT. Intermasa, Jakarta, 1976, hlm. 16.

27. Prof. R. Sukardono, S.H, “Penggunaan Upaya­upaya Pembuktian dalam Prosedur Perdata”. Majalah Lembaga Pembinaan Hukum Nasional, 1971 No. 12, hlm. 49.

28. Judith Bhklar. Legalism. Cambridge, Harvard University Press, 1964, hlm. 34.

29. Roesco Pound. “An Introduction to the Philosophy of Law”. New Haven”. Yale University Press, 1959, hlm. 47.

30. Asser-Scolten-WIARDA. “Mr. C. Asser’s Hanleiding tot de beoefening van het Nederland Bugerlijk Recht”. Earste Deel Earste Stuk: Familia recht, N, V. Witgevers Mastschappij N. E. J. TjeenkWillink, Zwolle, 1947, hlm. 539.

31. Star Bussmann. “Hoofdstukkan van burgerlijk Rechtsvardering”.

Harlem Deerven F. Bahn, N. V. 1948. 131.

32. Undang-Undang Pokok kekuasaan Kehakiman. (UU No. 14 Tahun 1978).

33. Benyamin N. Cardozo LLD. “he Narure of Judicvial Process”. New Haven, Yale University Press, 1977.

http://pustaka-indo.blogspot.com