• Tidak ada hasil yang ditemukan

DALAM PROSES PERDATA

D. Letak Hukum Pembuktian

hal ini juri hanya menyatakan “guilty or not guilty”, selanjut- nya tugas hakim untuk follow­up masalah hukumnya.

Dari apa yang telah penulis kemukakan di atas, dapatlah disimpulkan bahwa di dalam hukum pembuktian dibedakan atas:

1. Siapa yang mengajukan alat bukti.

2. Siapa yang menilai alat bukti.

Di zaman dahulu di Eropa, sebagian besar yuris berpan- dangan adanya dua jenis hukum formal dan adanya dua jenis hukum materiil.

Hukum formal yang memiliki unsur-unsur materiil adalah hukum formal yang memuat tentang hak dan kewa jiban, misalnya pembuktian, termasuk hukum formal yang memiliki unsur-unsur materiil, karena di dalam pembuktian diatur ten- tang hak dan kewajiban para pihak untuk mem buktikan.

Berbeda dengan hukum formal yang hanya memiliki unsur-unsur formal, adalah semata-mata hal yang murni pro sesuil sifatnya, misalnya: hakim memakai toga, para pi- hak duduk didepan meja hakim, dan sebagainya.

Karena pertimbangan bahwa hukum pembuktian ada- lah hukum formal yang memiliki unsur-unsur materiil, maka dimasukkan ke dalam Buku IV KUH Perdata (BW).

Menurut anggapan penulis, seyogianya pembagian se- ma cam itu tidak dianut lagi pada zaman kini, karena hanya me nimbulkan kebingungan belaka.

Pembuat undang-undang di negeri Belanda pun, sebagai tempat asal BW Indonesia, sudah tidak mengakut pembagian demikian itu. Terbukti dari BW baru Belanda yang tidak lagi me masukkan pengaturan hukum pembuktian dalam BW baru itu.

Sebagai gambaran agar pembaca lebih memahaminya, pe nulis di bawah ini mencantumkan BW baru BELANDA da lam sistematikanya;17

– Yang telah diundangkan:

Buku I : Hukum Perorangan dan Hukum Keluarga Buku II : Badan-badan Hukum

– Yang telah disetujui parlemen, tetapi belum diundang kan:

http://pustaka-indo.blogspot.com

Buku III : Hukum Harta Benda Umumnya Buku IV : Hukum Warisan

Buku V : Hak-hak Benda

Buku VI : Bagian Umum Hukum Perikatan Yang masih dalam persiapan:

Buku VII : Perjanjian-perjanjian Khusus

Buku VIII : Alat-alat Pengangkutan dan Pengangkutan Buku IX : Hak-hak atau hasil pikiran

Selain itu, hukum pembuktian adalah termasuk hukum acara perdata, ketentuannya dapat kita lihat pada konstitusi ris yang mencantumkannya huruf “i” dari lampiran pokok- pokok penyelenggaraan pemerintahan yang dibebankan ke- pada RIS menurut pasal 51 yang berbunyi bahwa: “...Asas- asas pokok hukum acara perdata, termasuk didalamnya hu kum pembuktian....”

Dari beberapa uraian di atas, cukup kuatlah alasan pe- nu lis jika mengatakan bahwa hukum pembuktian adalah ba- gian dari hukum acara perdata.

Dewasa ini, selama belum ada Undang-Undang Hukum acara perdata yang baru, maka HIR, RBG, dan buku IV BW masih tetap berlaku bagi hukum pembuktian.

Khususnya hukum pembuktian dalam Buku IV BW di- susun khusus untuk acara contradictoir dalam bidang hu- kum harta kekayaan di muka hakim perdata. Adapun bagi acara declaratoir atau peradilan voluntair pada asasnya tidak tidak berlaku hukum pembuktian dari Buku IV BW, kecuali diperlakukan secara analog.19

Di dalam perkembangannya dewasa ini, hukum pem- buktian lebih banyak dikembangkan oleh DOKTRINA (para ahli hukum) dan YURISPRUDENSI (putusan peradilan). Dan

http://pustaka-indo.blogspot.com

diharapkan bahwa di dalam hukum acara perdata itu kita ke lak diatur di dalamnya secara lebih lengkap dan se suai zaman.

Di atas telah penulis kemukakan bahwa hukum pem- buk tian yang diatur di dalam BW Buku IV hanya berlaku untuk perkara contradictoir, dan tidak diperuntukkan bagi perkara-perkara voluntair atau declaratoir.

Tetapi walaupun demikian, hukum pembuktian yang diatur oleh Buku IV BW, diperlakukan secara analogi maupun a contrario bagi perkara decralaratoir (atau peradilan semu).

Karena, isi aturan pembuktian yang terdapat dalam Buku IV BW, aturan pembuktian yang terdapat dalam HIR atau R.bg.

maka sama saja, bahwa jika dikatakan Buku IV BW hanya ber laku bagi perkara-perkara contradictoir, demikian pula HIR dan R.bg.

Dari mana dapat diketahui bahwa hukum pembuktian yang diatur oleh Buku IV BW, HIR, dan R.bg. hanya ber laku bagi perkara-perkara contradictoir? Ini diatur oleh yu ris- prudensi, dengan putusan H.R. tertanggal 19 Desember 1932 bahwa BW Buku IV semata-mata hanya diperuntukkan bagi perkara-perkara contradictoir.

Sebagaimana diketahui bahwa yang dimaksud sebagai perkara-perkara contradictoir adalah perkara persengketaan perdata yang sesungguhnya, di mana jelas ada pihak yang ber sengketa, ada penggugat dan ada tergugat. Dalam hal ini pengadilan menghasilkan “putusan” yang sifatnya dime- nang kan salah satu pihak yang berperkara, entah penggugat, entah tergugat. Demikan juga dalam hal adanya pihak ketiga yang melakukan intervensi.

Adapun perkara decralatoir adalah perkara yang di ba- wah yurisdiksi peradilan voluntair (peradilan semu), dalam hal mana pengadilan tidak memberikan dua pihak yang

http://pustaka-indo.blogspot.com

berperkara, karena hanya ada satu pihak yang memohonkan penetapan, misalnya si A memohonkan kepada pengadilan agar ia ditetapkan sebagai wali dari anaknya, dan sebagainya.

Jadi, dalam hal ini pengadilan hanya menghasilkan suatu

“penetapan”, bukan “putusan”.

Tadi dikatakan, bahwa walaupun hukum pembuktian dalam Buku IV BW, HIR, dan R.bg. hanya diperuntukkan bagi perkara contradictoir, namun diperlukan secara analogi atau a contrario bagi perkara decralatoir.

Sebagaimana diketahui analogi dan a contrario adalah jenis penafsiran yang digunakan dalam hukum perdata.

Perbedaan antara analogi dan a contrario adalah bahwa:

analogi memperluas suatu aturan hukum;

a contrario mempersempit suatu aturan hukum.

Contoh klasik dari analogi, ialah:

BW mengatur bahwa jual beli tidak memutuskan hu- bungan sewa-menyewa. Kemudian dianalogikan bahwa wa- lau pun undang-undang hanya mengatur tentang “jual-beli”—

adalah suatu bentuk “peralihan hak”—maka pengadilan se jak puluhan tahun yang lampau telah mem per luas undang- undang, dengan menganalogikan bahwa bukan hanya “jual beli” yang tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa, me- lainkan semua bentuk peralihan hak lain nya pun, tidak me- mutuskan hubungan sewa-menyewa. Jadi, hibah pun misalnya, juga tidak memutuskan hubungan sewa-menyewa.

Contoh klasik dari argumentum a contrario adalah Un- dang-Undang Perkawinan mengatur bahwa wanita yang ber cerai dari suaminya, mempunyai masa idah 300 hari, di ma na dalam masa iddah itu wanita tersebut belum boleh melangsungkan perkawinan baru. Yang diatur hanyalah wa-

http://pustaka-indo.blogspot.com

nita. Bagaimana dengan pria yang bercerai? Undang-undang tidak mengatur, tetapi berdasarkan a contrario, di per oleh hasil- nya aturan yang menganggap bahwa karena undang-undang hanya mengatur bagi wanita, maka berarti sebagai lawan nya, yaitu pria yang tidak mempunyai masa idah.

Aturan hukum pembuktian yang khusus mengatur ten- tang perkara-perkara yang decralatoir atau peradilan vo lun- tair, ternyata hanya diatur dalam satu Pasal HIR, yaitu Pasal 145 ayat 2 yang dapat penulis simpulkan esensi aturannya tentang penge cualian aturan orang bisa menjadi saksi (baca sendiri isi pasal 145 ayat 2 HIR). Selebihnya diterapkan hu- kum pem buktian bagi perkara contradictoir berdasarkan analogi dan a contrario tadi.

Pada hakikatnya, penafsiran analogi dan a contrario itu adalah perwujudan dari asas putusan yang dicetuskan oleh Aristoteles, bahwa perkara yang sama seyogianya diputus sama dan perkara yang tidak sama seyogianya diputus tidak sama.

Adanya analogi dan a contrario selaras dengan kewajiban hakim yang tidak boleh tidak harus memutus perkara yang telah diajukan padanya berdasarkan asas IUS CURIA NOVI, di mana walaupun undang-undang tidak mengaturnya, ha- kim harus menciptakan hukumnya.