BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Burnout
2.1.2 Aspek-Aspek Burnout
Kelelahan emosional mengacu pada perasaan yang dialami individu secara emosional dalam jangka panjang, lelah dan letih.
Depersonalisasi merujuk pada kecenderungan untuk mengembangkan sikap negatif, dan bahkan sikap sinis terhadap orang lain. Komponen ketiga adalah hilangnya atau berkurangnya perasaan prestasi pribadi yang berasal dari pekerjaan dan karyawan sering mengevaluasi dirinya sendiri secara negatif (Maslach, 1996).
Burnout merupakan kondisi psikologis pada individu yang tidak dapat mengatasi stres kerja yang dialaminya sehingga menyebabkan stres yang berkepanjangan dan kemudian menimbulkan gejala-gejala seperti kelelahan emosional, kelelahan fisik, kelelahan mentall, dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri. (Liliweri., A, 2015).
Spector (2008) mendukung teori yang dikemukakan oleh Maslach tentang burnout yang merupakan hasil interaksi individu dengan orang lain terutama yang berhubungan dengan pekerjaan yang mereka jalani.
habisnya tenaga, mudah merasa letih, merasa jenuh, mudah tersinggung oleh hal-hal kecil, merasa sedih, tertekan, merasa terjebak dalam pekerjaannya sendiri, perkembangan emosi negatif yang kemudian dapat menimbulkan munculnya sikap negatif terhadap diri sendiri, pekerjaan, orang lain, dan perusahaan yang ia tempati.
Cordes & Doughert (1993) mengatakan bahwa meningkatnya kelelahan emosional, yang merupakan sumber dari perasaan emosional individu terperas habis sehingga tidak lagi dapat meningkatkan psikologis mereka. Ketika pekerja merasakan kelelahan (exhaustion), mereka cenderung berperilaku overextended atau mengulur-ulur baik secara emosional maupun fisikal. Mereka cenderung tidak mampu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, bahkan tetap merasa lelah meski sudah berisitirahat dengan cukup, dan merasa kurang energi dalam melakukan aktivitas lainnya (Maslach & Leiter, 1997).
Kelelahan emosi mengacu pada terkurasnya dan berkurangnya sumberdaya emosional pada diri individu. Terdapat beberapa kondisi yang menyatakan kelelahan emosi seperti perasaan frustasi, sedih, putus asa, hampa, perasaan tertekan, mudah tersinggung, merasa terbebani dengan tugas yang diemban, mudah marah tanpa alasan yang jelas dan menimbulkan perasaan tidak mampu dalam memberikan pelayanan psikologis (Maslach,
2001). Kelelahan emosional adalah aspek kunci dari burnout sindrom, individu rentan dalam merasakan kelelahan emosi, dan merupakan kondisi dimana sumber kognitif dan juga meosi individu bekerja terlaluu berat dan melelahkan. Singkatnya depersonalisasi ialah merupakan sebuah usaha untuk membuat jarak antara individu dengan lainnya (Maslach, dkk., 2001).
b. Depersonalization
Depersonalization merupakan sikap dan perasaan negatif yang dirasakan individu terhadap klien atau orang-orang disekitarnya, hal ini ditandai dengan adanya kecenderungan individu menjauhi lingkungan pekerjaanya, apatis atau kurang peduli dan merasa kurang dipedulikan oleh lingkungan pekerjaan dan juga orang- orang yang terlibat dalam pekerjaannya.
Depersonalization juga diartikan sebagai proses penyeimbangan antara tuntutan pekerjaan dengan kemampua n yang dimiliki oleh individu. Hal ini bisa berupa sikap sinis yang diperlihatkan oleh individu terhadap orang-orang yang berada dalam ruang lingkup kerja yang sama dan kecenderungan untuk menarik diri serta mengurangi keterlibatan diri dalam dunia kerja.
Perilaku tersebut diperlihatkan sebagai upaya melindungi diri dari perasaan kecewa, karena penderitanya menganggap bahwa dengan berperilaku seperti itu, maka mereka akan aman dan terhindar dari ketidakpastian dalam pekerjaan.
Depersonalisasi (depersonalization) sangat erat kaitannya dengan sikap negatif, sikap kasar dan cenderung menjaga jarak dengan orang-orang disekitarnya, menarik diri dari lingkungan sosial dan cenderung tidak peduli dengan lingkungan maupun individu lainnya yang berada di lingkungan yang sama. Sikap lain yang diperlihatkan ialah berkurangnya idealisme, berhubungan seperlunya saja, berpendapat secara negatif, dan bersikap sinis terhadap orang lain, dan juga sukar untuk menolong orang lain (Edelwich dan Brodsky,1980).
c. Low of Personal Accomplishment
Low of Personal Accomplishment merupakan penilaian diri negatif dan perasaan tidak puas yang dirasakan oleh individu terkait dengan performa pekerjaan, dimana individu tersebut menilai rendah kemampuan dirinya sendiri, cenderung mengalami ketidakpuasan terhadap hasil kerjanya sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain dalam pekerjaaannya, merasa tidak mampu untuk mencapai suatu prestasi atau tujuan dalam pekerjaannya. Perasaan tidak mampu dalam menyelesaikan pekerjaan, merasa diri tidak kompeten, tidak edukatif, serta tidak mampu mengatasi tuntutan pekerjaan yang disebabkan dari kurangnya dukungan sosial dari orang-orang sekitarnya yang menyebabkan rasa putus asa terhadap diri sendiri.
Menurut Maslach & Leiter (2008) Personal Accomplishment merupakan komponen yang melambangkan dimensi mengenai penilaian diri yang hilang, ketidakcakapan dan kurangnya prestasi serta produktivitas dalam bekerja.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Burnout
Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout menurut Maslach &
Leiter (1997), antara lain:
a. Work Overloaded
Kemungkinan munculnya faktor ini ialah akibat dari ketidaksesuaian antara pekerja dengan pekerjaan yang ia hadapi.
Individu melakukan pekerjaan yang berlebihan dengan rentan waktu yang sedikit. Overload juga terjadi akibat dari pekerjaan yang dikerjakan melebihi dari kapasitas kemampuan individu yang bersangkutan.
b. Reward for Work
Kurangnya reward atau penghargaan yang diberikan oleh perusahaan atau organisasi terhadap individu dapat menurunkan semangat individu dalam bekerja dan dapat mengakibatkan munculnya burnout. Reward atau penghargaan terdiri dari eksternal dan internal. Reward eskternal dapat diberikan dalam bentuk gaji, dan juga bonus. Sedangkan reward internal dapat berupa pujian-pujian yang diberikan oleh atasan ataupun orang-
orang sekitarnya ketika individu mampu bekerja sesuai dengan target dan pekerjaannya dapat diselesaikan dengan baik.
c. Breakdown in Communitiy
Faktor lain yang dapat menimbulkan munculnya bornout ialah kurangnya dukungan sosial dari atasan, rekan kerja, dan juga keluarga yang mengakibatkan individu merasa kurang dalam hal pencapaian diri. Individu akan merasa lebih dihargai dan bahagia ketika orang-orang sekitarnya memperhatikan dan mendukungnya. Sedangkan, individu yang lebih suka untuk menyendiri dari lingkungan sosialnya dapat menyebabkan individu rentan merasakan kelalahan atau burnout.
d. Treated Fairly
Diperlakukan dengan adil dapat didefinisikan sebagai rasa saling menghargai dan menerima perbedaan yang ada di antara individu. Orang-orang yang diperlakukan dengan tidak adil akan mudah merasa burnout karena merasa tidak dihargai oleh lingkungan sosialnya.
e. Dealing with Conflict Values
Adanya konflik dapat menyebabkan individu melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang berlaku pada organisasi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Maslach dan Leiter (2005) memperlihatkan bahwa adanya konflik nilai memungkinkan tingginya tingkat individu yang mengalami bornout.
2.1.4 Dampak yang Ditimbulkan Burnout
Schaufeli dan Buunk (2003) mengelompokkan dampak burnout menjadi lima kategori utama yaitu :
a. Manifestasi Afektif
Individu yang mengalami burnout akan terlihat murung, sedih dan juga memiliki perasaan depresi. Secara umum dapat diamati dampak yang terjadi ialah seperti rendahnya rasa semangat individu, suasana hati yang sedih dan juga perasaan murung yang dominan dirasakan. Individu mengalami kelelahan emosional karena sangat banyak energi yang digunakan dalam jangka waktu yang lama. Individu menjadi cepat marah, sensitif, berperilaku bermusuhan dan curiga, tidak hanya terhadap penerima layanan, namun juga terhadap rekan kerja dan atasan.
b. Manifestasi Kognitif
Berupa perasaan tidak berdaya, putus asa dan tidak bertenaga. Setelah ketidakberhasilannya dalam pekerjaan, individu merasa kehilangan arti pekerjaan. Terjadi penurunan keterlibatan pelayanan klien dan terjadi perubahan hubungan yang awalnya penuh empati, perhatian, dan pemahaman, berubah menjadi sinis, persepsi dehumanisasi terhadap penerima layanan yang ditandai dengan sikap negatif, pesimis, dan stereotyping.
Pada level organisasi, pekerja yang menderita burnout merasa tidak ada penghargaan diri dari atasan maupun rekan kerja. Ia merasa kehilangan perhatian dari organisasi, lebih suka mengkritik, tidak percaya pada manajemen, rekan kerja dan atasa. Kepuasan kerja dan komitmen kerja menurun serta munculnya intens meninggalkan pekerjaan.
c. Manifestasi Fisik
Timbulnya keluhan psikosomatis seperti kelelahan fisik yang kronis, kelemahan fisik (weakness) dan low energy yang dialami oleh pekerja. Dalam beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kelelahan emosional dan depersonalization memiliki hubungan dengan frekuensi sakit berat seperti serangan jantung yang dialami oleh pekerja yang mengalami burnout.
d. Manifestasi Perilaku
Dampak burnout pada perilaku yang merugikan bagi organisasi adalah ketidakhadiran di tempat kerja, berganti pekerjaan dan prestasi kerja yang rendah. Secara individual dampak perilakunya adalah menarik diri dari pekerjaan yang dilakukannya.
e. Manifestasi Motivasi
Menghilangnya motivasi intrinsik pada individu seperti hilangnya semangat, antusiasme, ketertarikan dan idealism.
Sebaliknya muncul kekecewaan, ketidakpuasan dan menarik diri. Kondisi nyata dari individu pekerja yang mengalami burnout adalah menurunnya keterlibatan dengan penerima layanan.
Dampak burnout atau kelelahan kerja menurut Maslach &
Leiter (2005), yaitu:
1) Burnout is Lost Energy, individu yang mengalami burnout kemudian akan merasakan stres dan kelelahan, kesulitan untuk tidur, dan lebih menjaga jarak dengan lingkungan yang akan mempengaruhi kinerja individu.
Selain itu produktivitas individu dalam kerja kian menurun.
2) Burnout is Lost Enthusiasm, menurunnya keinginan individu dalam bekerja, segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan terasa tidak menyenangkan lagi, serta berkurangnya ketertarikan terhadap pekerjaannya dan menghasilkan hasil kerja yang kurang bagus.
3) Burnout is Lost Confidence, individu bekerja dengan tidak maksimal yang diakibatkan oleh tidak adanya energi dan keterlibatan aktif dari individu tersebut.
Individu menjadi ragu akan kemampuan yang ia miliki, yang disebabkan oleh ketidakefektifan individu dalam
bekerja, dan akan memberikan dampak yang buruk bagi individu itu sendiri.
2.1.5 Pengukuran Burnout
a. Maslach Burnout Inventory (MBI)
Konsistensi Internal diperkirakan oleh Cronbach's coefisien alpha, yang menghasilkan koefisien sebanyak 0,83 (frekuensi) dan 0,84 (intensitas) untuk ukuran ke-25. Nilai reliabilitas skala MBI adalah 0.89 (frekuensi) dan 0.86 (intensitas) Kelelahan emosional, 0,74 (frekuensi) dan 0,74 (intensitas) untuk pencapaian pribadi, 0.77 (frekuensi) dan 0.72 (intensitas) untuk dekpersonalisasi, dan 0,59 (frekuensi) dan 0,57 (intensitas) untuk keterlibatan.
b. Maslach Burnout Inventory-General Survey (MBI-GS)
Maslach Burnout Inventory-General Survey (MBI-GS) yang dikembangkan oleh Maslach, et al. (2001) yang berjumlah 15 item, terdiri dari tiga komponen, antara lain : kelelahan (exhaustion), Depersonalisasi (cynicism), dan Rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri (Low of Personal accomplishment). Skala ini digunakan oleh Ranny Hidayanti
c. Skala Burnout
Skala burnout digunakan untuk mengungkapkan data tentang burnout. Skala ini terdiri dari dimensi kelelahan (exhaustion), depersonalisasi, dan low personal accomplishment. Dan terdiri dari
60 item dengan nilai reliabilitas 0.983. Skala ini digunakan oleh Eka Danta Jaya G, dan Ihsan Rahmat.
d. Maslach Bornout Inventory-Human Service Survey (MBI- HSS)
Data yang digunakan adalah data yang diperoleh dari 504 anggota polisi yang bertugas di Polda Metro Jaya; rentang usia 21 hingga 56 tahun (M = 33,04; SD = 8,533); jenis kelamin laki-laki (99,8%) dan wanita (0,2%); masa dinas mulai 3 hingga 38 tahun (M = 15,04; SD = 8,533). Metode analisis yang digunakan adalah Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan menggunakan software Mplus version 7.11. Hasil pengujian membuktikan bahwa
data fit dengan model 3-correlated factor yang menunjukkan korelasi faktor emotional exhaustion dan depersonalisation 0,966, emotional exhaustion dan personal accomplishment -0,590 dan personal accomplishment dan depersonalisation = -0,701, dengan indeks kesesuaian RSMEA = 0,048; CFI = 0,943; dan TLI = 0,934.
2.2 Work Engagement
2.2.1 Definisi Work Engagement
Work engagement memiliki sifat yang individual, dimana setiap orang pasti memiliki tingkat work engagement yang berbeda-beda dengan pandangan yang berbeda-beda pula. Work engagement merupakan keadaan motivasi yang positif , memuaskan, dan kondisi kesejahteraan yang bertolak belakang dengan job burnout.
Work engagement juga merupakan keterlibatan kerja yang berkaitan dengan jenis pekerjaan yang menantang (Bakker dan Leiter, 2010). Bakker (2011) mendefinisikan work engagement sebagai dorongan yang positif dengan tiga ciri khasnya (vigor, dedication,dan absorption).
Definisi work engagement atau keterikatan kerja menurut Lockwood (2007) bahwa work engagement merupakan kondisi seseorang yang mampu berkomitmen dengan organisasi baik secara emosional maupun intelektual. Saks (2006) mengemukakan work engagement sebagai konstruk dengan menggunakan komponen kognirif, emosi dan perilaku yang dipersepsikan dengan tanggung jawab pekerjaannya.
Brown (dalam Robbins, 2003) mengatakan bahwa karyawan dikatakan memiliki work engagement apabila ia dapat mengidentifikasikan dirinya secara psikologis dengan pekerjaannya, serta menganggap penting kinerja untuk dirinya dan organisasi. Karyawan yang memiliki keterikatan kerja atau work engagement yang tinggi benar-benar peduli dengan pekerjaannya.
Work engagement atau keterikatan kerja didefenisikan sebagai suatu keadaan yang memotivasi serta pikiran positif yang dicirkan dengan vigor (tingkat energi yang tinggi), dedication (terlibat dalam pekerjaan), dan absorption (fokus pada pekerjaan) (Schaufeli, dkk. 2002). Federman (2009) menyatakan bahwa work
engagement merupakan tingkatan dimana karyawan mampu unruk berkomitmen pada organisasinya dan ditentukan dari cara karyawan bekerja serta lama waktu bekerja karyawan.
Development Dimension Internasional (2005) mengatakan bahwa work engagement dapat terjadi ketika karyawan merasa bernilai, memiliki arti, menikmati dan percaya pada pekerjaan yang saat itu ia lakukan. Wellins & Concelman (2004) berpendapat bahwa work engagement merupakan kekuatan karyawan dalam memotivasi dirinya untuk meningkatkan kinerja pada level yang lebih tinggi lagi, energi ini berupa komitmen pada organisasi, rasa memiliki akan pekerjaan dan kebanggan, serta usaha yang lebih dari sebelumnya, semangat dan keterikatan, dan komitmen dalam melaksanakan pekerjaan.
Menurut Perrin (2003) work engagement ialah pusat kerja afektif diri yang menggambarkan kepuasan pribadi karyawan dan afirmasi yang didapatkan dari bekerja dan menjadi bagian dari organisasi. Selain itu, Kahn (1990) mengemukakan bahwa work engagement dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksnakan peran kerjanya dan mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif maupun emosional selama ia bekerja.
Schmidt (2004) mendefinisikan work engagement sebagai kepuasan dan komitmen karyawan yang disatukan, kepuasan yang dimaksud adalah elemen emosional atau sikap karyawan.
Sedangkan, komitmen mengacu pada motivasi dan fisik karyawan. Namun, kedua hal tersebut tidak dapat menjamin work engagement seorang karyawan.
2.2.2 Aspek-Aspek Work Engagement
Work engagement di karakteristikan dengan tiga aspek antara lain: vigor, dedication, dan absorption (Schaufeli, 2008).
a. Vigor
Aspek ini dikategorisasikan sebagai level tertinggi dari energi dan kemampuan seseorang untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam keadaan sulit selama bekerja. Schaufeli (2002) mendefenisikan vigor sebagai usaha yang dilakukan oleh individu dalam mempersiapkan diri agar terus energik atau bersemangat ketika sedang bekerja serta adanya kecenderungan karyawan agar tetap berusaha dalam menghadapi tugas-tugas yang ada.
b. Dedication
Aspek dedication dicirikan dengan rasa antusiasme, inspirasi, kebanggan, dan juga tantangan selama bekerja. Aspek ini lebih mengacu pada keterlibatan karyawan yang kuat pada pekerjaannya. Schaufeli (2002) mengatakan bahwa dedikasi/dedication lebih mengacu pada identifikasi yang kuat pada pekerjaan individu yang didalamnya terdapat perasaan antusiasme dan kebanggan.
c. Absorption
Aspek absorption dicirikan dengan pemfokusan yang penuh dan juga mendalam pada pekerjaannya, dan ditandai dengan waktu yang terasa cepat berlalu. Menurut Schaufeli (2002) absorption ditandai dengan kefokusan individu ketika sedang bekerja, dan pada waktu tertentu individu merasa sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement. Namun, ada dua faktor utama yang mempengruhi work engagement yaitu faktor internal atau personal resources dan faktor eksternal atau job resources.
a. Faktor Internal
Menurut Hobfoll, dkk (2003) (dalam Saraswati dan Lie, 2018) faktor internal atau personal resources ialah aspek yang dipengaruhi oleh diri sendiri, dan lebih mengacu pada kemampuan individu dalam mengontrol lingkungannya.
b. Faktor Eksternal
Menurut Bakker, dkk (2003) (dalam Saraswati dan Lie, 2018) faktor eksternal atau job resources berfokus pada aspek- aspek fisik, psikologis, dan juga sosial dalam pekerjaannya.
Fungsi dari aspek tersebut ialah untuk mencapai tujuan dalam
kerja, mengurangi job demands, dan meningkatkan pengembangan diri karyawan.
c. Distributive Justice-Procedural Justice
Distributive justice adalah pandangan atau persepsi seseorang mengenai keadilan dari sebuh keputusan.
Sedangkan, procedural justice merupakan persepsi mengenai keadilan dari penentuan dan pendistribusian sumber daya.
Karyawan yang memiliki persepsi yang bagus terhadap keadilan organisasi, maka tidak menutup kemungkinan bahwa karyawan akan merasa harus berperilaku adil untuk performanya sebagai karyawan melalui tingkat engagement yang tinggi (Saks, 2006).
d. Keterlibatan dalam Pembuatan Keputusan
Faktor lain yang mempengaruhi engagement karyawan ialah keterlibatan karyawan dalam pembuatan keputusan. Hal- hal seperti kepedulian manajer ataupun organisasi terhadap kesehatan karyawan, kesempatan kerja yang diberikan kepada karyawan, karyawan percaya diri dalam menyuarakan ide dan didengarkan dapat meningkatkan tingkat engagement karyawan (Robinson, 2004).
e. Komunikasi
Didalam sebuah organisasi wajib adanya komunikasi ke atas dan komunikasi ke bawah dengan mengikuti jalur
organisasi yang tepat. Karyawan yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan didengarkan oleh pimpinan- pimpinan organisasi dapat meningkatkan level engagement karyawan (Varizani, 2007).
f. Kepemimpinan
Pemimpin berperan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan engagement karyawan, salah satuhnya dengan cara menjadi supportive terhadap karyawan (Taran, dkk., 2009). Vazirani (2007) mengatakan bahwa sebuah organisasi dikatakan sukses apabila pemimpin organisasi menghargai setiap usaha karyawan tanpa memandang level pekerjaan karyawan.
g. Health and Safety
Organisasi yang memiliki metode serta sistem yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan karyawan dapat meningkatkan engagement karyawan, karena karyawan merasa aman ketika bekerja pada perusahaan dengan sistem kesehatan dan keselamatan kerja yang bagus (Vazirani, 2007).
h. Job Satisfication
Vazirani (2007) mengatakan bahwa karyawan yang engaged ialah karyawan yang puas terhadap hasil kerjanya.
Oleh karena itu, organisasi penting untuk melihat atau menelaah kembali pekerjaan yang diberikan kepada karyawan
dan menetapkan tujuan karir, sehingga karyawan menikmati pekerjaan mereka dan merasa puas akan hasil kerjanya.
i. Perceived Organizational Support
Perceived organizational support (POS) merupakan persepsi karyawan terhadap organisasinya terutama dalam menilai serta menghargai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan karyawan. Dengan adanya POS karyawan menjadi lebih peduli terhadap kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi agar dapat mencapai tujuan. Maka sebagai balasannya organisasi peduli terhadap kesejahteraan serta menghargai kontribusi yang telah diberikan oleh karyawan. Dengan kata lain POS dapat memberikan hasil yang positif melalaui engaged (Saks, 2006).
Perrin (2003) mengklasifikasikan work engagement ke dalam 10 faktor pendorong, antara lain:
1. Keberadaan pekerja diperhatikan oleh manager 2. pekerjaan yang menantang
3. Memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan 4. Organisasi yang memperhatikan kepuasan pelanggan 5. Karyawan atau tenaga kerja memiliki kesempatan
berkarir yang sama 6. Image perusahaan
7. Kekompakan dalam tim kerja
8. Karyawan memiliki pengetahuan yang dibutuhkan guna untuk menunjukkan performa kerja yang sangat baik 9. Kesempatan karyawan dalam memberikan pendapat saat
pengambilan keputusan
10. Visi yang tersampaikan dengan jelas kepada karyawan 2.2.4 Dampak yang Ditimbulkan Work Engagement
Saraswati & Lie (2018) berpendapat bahwa dampak yang ditimbulkan dari work engagement antara lain, dapat mempengaruhi sikap dan perilaku organisasi karyawan, kesehatannya, dan keberhasilan seseorang dalam berbisnis. Work engagement atau keterikatan kerja memiliki hubungan yang positif dengan sikap dan perilaku organisasi.Boyd, dkk (dalam Saraswati
& Lie, 2018) mengatakan bahwa apabila karyawan memiliki tingkat keterikatan kerja yang tinggi, maka karyawan tersebut tentu memiliki sikap dan juga perilaku organisasi yang positif. Karyawan dengan tingkat keterikatan yang tinggi dapat pula menyebabkan komitmen organisasi karyawan meningkat.
Demerouti, dkk (dalam Saraswati & Lie, 2018) menjelaskan bahwa karyawan dengan tingkat work engagement atau keterikatan kerja yang tinggi dapat memiliki kondisi mental dan kesehatan tubuh yang baik. Selain itu, Strijk, dkk (dalam Saraswati & Lie, 2018) mengatakan bahwa karyawan dengan work engagement atau keterikatan kerja yang tinggi pun dapat meningkatkan
kesejahteraan psikologis, dapat menurunkan stres kerja, dan juga menurunkan dan menghindari gejala burnout.
2.2.5 Pengukuran Work Engagement
a. Ultrecth Work Engagement Scale (UWES)-17
Skala ini disusun dengan menggunakan tiga aspek work engagement menurut Schaufeli & Bakker (2004) yang terdiri dari 17 item dengan nilai reliabilitas dengan range antara 0.91- .0.96 yang dianalisis menggunakan cronbach’s alpha .
b. Ultrecth Work Engagement Scale (UWES)-15
Skala ini disusun dengan menggunakan tiga aspek work engagement menurut Schaufeli & Bakker (2004) yang terdiri dari 15 item dengan nilai reliabilitas dengan range antara 0.90- 0.96 yang dianalisis menggunakan cronbach’s alpha
c. Ultrecth Work Engagement Scale (UWES)-9
Skala ini disusun dengan menggunakan tiga aspek work engagement menurut Schaufeli & Bakker (2004) yang terdiri dari 9 item yang telah diadaptasikan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Kristina dkk (2018) dengan nilai reliabilitas item 0.95 yang dianalisis menggunakan cronbach’s alpha dan nilai validitas unidimensionalitas sebesar 53,4% (>20%).
2.3 Karyawan
2.3.1 Definisi Karyawan
Karyawan merupakan tuas kendali organisasi yang menggerakkan organisasi dalam mewujudkan eksistensi dan juga potensi yang memiliki fungsi sebagai modal non-material agar dapat mewujudkan potensi nyata baik secara fisik maupun non fisik (Nawawi, 2011). Hasibuan (2009) mendefinisikan karyawan sebagai individu yang menjual tenaganya baik dalam bentuk fisik maupun non-fisik kepada organisasi guna untuk memperoleh hasil sesuai dengan perjanjian bersama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karyawan orang atau individu yang sedang bekerja di perusahaan, kantor dan lain sebagainya dan mendapatkan gaji. Secara operasional karyawan merupakan seseorang yang mengerjakan sendiri pekerjaannya sesuai dengan perintah yang diberikan.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tenaga kerja merupakan orang yang memiliki kemampuan untuk bekerja guna menghasilkan barang serta jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan juga orang lain atau masyarakat. Pekerja atau buruh merupakan individu yang bekerja dan menerima upah atau imbalan.