ix
DIAJUKAN OLEH : YUYUN NURANI HARUN
4517091014
SKRIPSI
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR 2021
i
HUBUNGAN WORK ENGAGEMENT DENGAN BURNOUT PADA KARYAWAN KANTOR POS MAKASSAR
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Psikologi Universitas Bosowa Sebagai Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Psikologi (S.Psi)
Oleh:
YUYUN NURANI HARUN 4517091014
FAKULTAS PSIKOLOGI
UNIVERSITAS BOSOWA MAKASSAR 2021
v
i
v
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi dengan judul “Hubungan Work Engagement dengan Burnout Pada Karyawan Kantor Pos (Pesero) Makassar”
beserta seluruh isinya adalah benar-benar karya dari peneliti sendiri, bukan hasil plagiat. Peneliti siap menanggung resiko/sanksi apabila ternyata ditemukan adanya perbuatan tercela yang melanggar etika keilmuwan dalam karya yang telah peneliti buat, termasuk adanya klaim dari pihak terhadap keaslian penelitian ini.
Makassar, Agustus 2021 Peneliti
Yuyun Nurani Harun
vi
PERSEMBAHAN
Segala puji dan syukur kepada Allah SWT. atas berkat rahmat dan karunia-Nya, karya ini saya permsembahkan kepada kedua orang tua,
nenek saya, keluarga, dosen-dosen, kerabat terdekat, dan kepada diri saya sendiri yang telah berjuang melalui segala kesusahan dan kebaikan
dalam hidup.
vii MOTTO
Berpacu, bersaing, siapkan diri bukan sekedar ilmu tetapi juga mental.
Sabar, ulet, fokus, dan wajib berintegritas -Irwanto Harun-
Let’s break our plans and live just like we’re golden.
We don’t need to worry, cause when we fall we know how to land!
(PTD-Bangtan Sonyeondan)
Aku tahu kuliah itu sulit.
Tapi, setidaknya tolong berjuang dan bertahan!!
(Kim Namjoon)
Saat segalanya jadi sulit, berhentilah sejenak dan lihat ke belakang seberapa jauh kamu telah melangkah. Jangan lupa betapa berharganya itu!
(Kim Taehyung)
Apapun yang dirimu lakukan saat ini, tetap SEMANGAT, dan ingat ADA-ADA JI ITU!
(OfficialPsychology B-17)
viii ABSTRAK
HUBUNGAN WORK ENGAGEMENT DENGAN BURNOUT PADA KARYAWAN KANTOR POS (PERSERO) MAKASSAR
Yuyun Nurani Harun 4517091014
Fakultas Psikologi Universitas Bosowa [email protected]
Sumberdaya manusia atau karyawan memiliki peran yang besar dalam pencapaian tujuan sebuah instansi. Karyawan yang ada di organisasi menentukan keberhasilan, dengan kata lain mutu dari sebuah perusahaan atau instansi bergantung pada karyawan yang terdapat pada perusahaan tersebut. Sehingga, karyawan akan merasa dituntut oleh perusahaan agar dapat meningkatkan kualitas kinerjanya.Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan work engagement dengan burnout pada Karyawan Kantor Pos (Persero) Makassar.
Metode penelitian yang digunakan ialah metode penelitian kuantitatif dengan jenis pendekatan korelasional. Responden yang terlibat berjumlah 284 karyawan. Alat ukur yang digunakan berdasarkan teori Maslach dan skala UWES-9. Berdasarkan hasil validitas menggunakan aplikasi Lisrel, bahwa keseluruhan item valid dengan nilai reliabilitas dari kedua skala yaitu 0.946 untuk skala burnout dan 0.882 untuk skala UWES-9. Uji hipotesis dianalisis menggunakan korelasi Pearson Product- Moment dengan nilai korelasi 0.031 dan signifikansi sebesar 0.600. Artinya tidak ada hubungan yang signifikan antara work engagement dengan burnout pada Karyawan Kantor Pos (Persero) Makassar.
Kata Kunci : Burnout, Work Engagement, Karyawan
ix
Yuyun Nurani Harun 4517091014
Departement of Psychology, Bosowa University [email protected]
Human resources or employees have a big role in achieving the goals of an agency. Employees in the organization determine success, in other words the quality of a company or agency depends on the employees in the company. Thus, employees will feel demanded by the company in order to improve the quality of their performance. The purpose of this study was to determine the relationship between work engagement and burnout in Makassar Post Office (Persero) Employees. The research method use a correlational approach. Responden involved amounted to 284 employees. The measuring instrument used is based on Maslach’s theory and the UWES-9 scale. Based on the results of the validity of using the Lisrel application, all item are valid with reliability values from both scales, namely 0.946 for the burnout scale and 0.882 for the UWES-9 scale.
Hypothesis testing was analyzed using the Pearson Product-Moment with a correlation value of 0.031 and a significance of 0.600. This means that there is no significant relationship between work engagement and burnout for Makassar Post Office (Persero) Employees.
Keyword : Burnout, Work Engagement, Employees
x
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim. Dengan menyebut nama Tuhan Yang Maha Esa, segala puji bagi Allah SWT. yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya sehingga peneliti dapat menyelesaikan proses perkuliahan dan skripsi dengan baik dan tepat pada waktunya. Salam dan shalawat dihuturkan kepada Nabi Allah Rasulullah Nabi Muhammad SAW. yang telah membawa kita dari zaman kegelapan ke zaman yang terang benderang. Pada kesempatan ini, peneliti juga ingin mengucapkan terima kasih:
1. Kepada kedua orang tua saya, Abah Irwanto Harun, S.Ag.,M.Pdi dan Umi Rosminah, S.Ag yang telah membesarkan, mengasihi, dan memberikan dukungan baik secara moril maupun materil serta do’a-do’a yang selalu mereka panjatkan untuk anak-anaknya. Terima kasih juga kepada nenek saya Rohani A.Rahman yang telah menjaga dan merawat saya sedari kecil hingga sekarang atas segala cinta dan kasih sayang tulusnya serta do’a yang selalu beliau panjatkan untuk saya. Juga kepada adik saya, Muhammad Fauzan Harun yang telah memberikan dukungan dan juga do’a-do’a baiknya.
2. Kepada keluarga saya, Nenek Rahmawati A.Rahman (Nene Na), Paman Irsan Harun, S.Pd, Paman BRIPKA Zulfikar Harun, Paman Rakhmat Ibn Harun, S.Sos.,M.I.Kom.,M.Pdi., Ibu Nurdalifa Fagman, Mama Merry Toding, Bunda Sri Endah RS, yang telah memberikan kasih sayang yang tulus, dan memberikan dorongan serta do’a kepada peneliti. Juga kepada
xi
Jeneponto yang tidak dapat peneliti sebutkan satu-persatu yang dengan tulus meyayangi, mendoakan dan menunggu gelar yang akan saya bawa nantinya.
4. Kepada dosen pembimbing akademik, Ibu Sri Hayati, S.Psi.,M.Psi.,Psikolog yang telah mendidik dan mengarahkan peneliti selama kuliah hingga dapat menyelesaikan studi tepat waktu.
5. Kepada dosen pembimbing Ibu Sri Hayati, S.Psi.,M.Psi.,Psikolog dan Bapak Musawwir, S.Psi.,M.Pd yang telah sangat sabar membimbing peneliti sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan sebagaimana mestinya. Semoga segala kebaikan Ibu dan Bapak dibalas oleh Allah SWT.
6. Kepada dosen penguji, Bapak Arie Gunawan HZ, M.Psi.,Psikolog dan Bapak Syahrul Alim, S.Psi.,M.A yang telah membantu memperbaiki skripsi ini menjadi lebih baik lagi, dan menambah pengetahuan peneliti dan pembaca.
7. Kepada Dekan Fakultas Psikologi beserta jajarannya, dan para dosen Fakultas Psikologi, yang telah membimbing, mengajari, dan menasehati peneliti terkait akademiknya. Juga kepada staf TU Fakultas Psikologi yang telah membantu peneliti dalam pengurusan berkas selama kuliah.
xii
8. Kepada sahabat-sahabat yang sudah seperti keluarga saya di Ternate Nurdiana Koniyo, S.E., Nurul Fitri Ramadhani, Agung Gunawan Aufat, dan Rizky Muhlis yang selalu mendengarkan, membantu dan memberikan dorongan kepada peneliti untuk menyelesaikan kuliah dengan baik dan tepat waktu, serta mendukung segala keputusan yang peneliti buat. Juga kepada Ciwidelips yang selalu memotivasi peneliti.
9. Kepada sahabat-sahabat “Para Pejuang S.Psi” yang sudah seperti saudara sendiri di perantauan ini, Andi Titania Tambaru, Annisa Wahyuningtyas, Indah Gesilia Potoe, dan Novita Andriani yang telah membersamai dalam berjuang untuk menggapai gelar yang sama dan selalu memberikan beban satu sama lain beserta solusi yang kadang tidak bermanfaat. Semoga kita tetap membersamai dalam segala hal, baik secara online maupun offline.
Lovyu gaes<3
10. Kepada sahabat-sahabat lainnya yang sudah seperti keluarga yang saling menjaga di perantauan ini, St. Naisa Hehanussa,S.Pd., Sermila Siruru,S.Pd., Winda Sarong, S.E, Kak Mardiyah Habel, S.Kep., dan Farah Fadhilah. Semoga persaudaraan kita tetap terjaga hingga akhir.
11. Kepada keluarga besar LKM, terutama MKZ-8 yang selalu mendorong dan mendoakan yang terbaik bagi peneliti.
12. Kepada teman-teman Psychology-B tersayang atas segala bantuan selama kuliah.
13. Kepada seluruh karyawan Kantor Pos (Persero) Makassar yang telah menerima peneliti untuk magang dan melakukan penelitian di kantornya.
xiii -Snoop Dogg-
Makassar, Agustus 2021 Peneliti,
Yuyun Nurani Harun
xiv DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ... i
HALAMAN PENGESAHAN ... ii
HALAMAN PERSETUJUAN UJIAN HASIL PENELITIAN ... iii
HALAMAN PERSETUJUAN PENGUJI UJIAN HASIL PENELITIAN ... iv
PERNYATAAN ... v
PERSEMBAHAN ... vi
MOTTO ... vii
ABSTRAK ... viii
ABSTRACT ... ix
KATA PENGANTAR ... x
DAFTAR ISI ... xiv
DAFTAR TABEL ... xvi
DAFTAR GAMBAR ... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah... 9
1.3 Tujuan Penelitian ... 9
1.4 Manfaat Penelitian ... 9
1.4.1 Manfaat Teoritis ... 9
1.4.2 Manfaat Praktis ... 9
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ... 11
2.1 Burnout ... 11
2.1.1 Definisi Burnout ... 11
2.1.2 Aspek-Aspek Burnout ... 15
2.1.3 Faktor yang Memengaruhi Burnout ... 19
2.1.4 Dampak yang Ditimbulkan Burnout ... 21
2.1.5 Pengukuran Burnout... 24
2.2 Work Engagement... 25
2.2.1 Definisi Work Engagement ... 25
2.2.2 Aspek-Aspek Work Engagement ... 28
2.2.3 Faktor yang Memengaruhi Work Engagement ... 29
2.2.4 Dampak yang Ditimbulkan Work Engagement... 33
2.2.5 Pengukuran Work Engagement ... 34
2.3 Karyawan ... 35
2.3.1 Definisi Karyawan ... 35
2.4 Hubungan Work Engagement dengan Burnout Pada Karyawan Kantorpos Makassar ... 36
2.5 Bagan Kerangka Pikir ... 41
2.6 Hipotesis Penelitian ... 42
BAB III METODE PENELITIAN ... 43
3.1 Pendekatan Penelitian ... 43
3.2 Variabel Penelitian ... 43
xv
3.3 Definisi Variabel... 44
3.3.1 Definisi Konseptual ... 44
3.3.2 Definisi Operasional ... 45
3.4 Populasi ... 45
3.5 Teknik Pengumpulan Data ... 46
3.5.1 Skala Burnout ... 46
3.5.2 Skala Work Engagement ... 47
3.6 Uji Instrumen ... 47
3.6.1 Uji Reliabilitas ... 47
3.6.2 Uji Validitas ... 48
3.7 Teknik Analisis Data ... 52
3.7.1 Uji Asumsi ... 52
3.7.2 Analisis Deskriptif ... 53
3.7.3 Uji Hipotesis ... 53
3.8 Jadwal Penelitian ... 54
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ... 55
4.1 Hasil Analisis ... 55
4.1.1 Deskriptif Subjek berdasarkan Demografi ... 55
4.1.2 Deskriptif Variabel berdasarkan Tingkat Skor ... 59
4.1.3 Deskriptif Variabel berdasarkan Demografi ... 64
4.1.4 Hasil Uji Asumsi ... 82
4.1.5 Hasil Uji Hipotesis ... 84
4.2 Pembahasan ... 85
4.2.1 Gambaran Umum Burnout Pada Karyawan Kantor Pos (Persero) Makassar ... 85
4.2.2 Gambaran Umum Work Engagement Pada Karyawan Kantor Pos (Persero) Makassar ... 87
4.2.3 Hubungan Burnout dengan Work Engagement Pada Karyawan Kantor Pos (Persero) Makassar ... 88
4.3 Limitasi Penelitian ... 91
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN ... 92
5.1 Kesimpulan ... 92
5.2 Saran ... 92
5.2.1 Bagi Instansi ... 92
5.2.2 Bagi Karyawan ... 92
5.2.3 Bagi Peneliti Selanjutnya... 93
DAFTAR PUSTAKA ... 94
DAFTAR LAMPIRAN ... 99
xvi
DAFTAR TABEL
Tabel 3.1 Blueprint Skala Skala Burnout ... 46
Tabel 3.2 Blueprint Skala Work Engagement... 47
Tabel 3.3 Reliabilitas Variabel ... 48
Tabel 4.1: Deskriptif Variabel Burnout Berdasarkan Tingkat Skor ... 59
Tabel 4.2: Kategorisasi Variabel Burnout ... 59
Tabel 4.3: Deskriptif Work Engagement Berdasarkan Tingkat Skor ... 61
Tabel 4.4: Kategorisasi Variabel Work Engagement ... 62
Tabel 4.5: Hasil Uji Normalitas ... 82
Tabel 4.6: Hasil Uji Liniearitas ... 83
Tabel 4.7: Hasil Uji Hipotesis ... 84
Tabel 4.8: Interval Koefisien Korelasi ... 85
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 4.1 Demografi Berdasarkan Usia ... 55
Gambar 4.2 Diagram Berdasarkan JK ... 56
Gambar 4.3 Diagram Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 56
Gambar 4.4 Diagram Berdasarkan Jabatan ... 57
Gambar 4.5 Diagram Berdasarkan Devisi ... 58
Gambar 4.6 Diagram Berdasarkan Lama Bekerja ... 59
Gambar 4.7 Diagram Burnout pada Karyawan Kantor Pos (Persero) ,Makassar... 61
Gambar 4.8 Diagram Work Engagement Pada Karyawan Kantor Pos (Persero) ,Makassar ... 63
Gambar 4.9 Diagram Burnout Berdasarkan Usia ... 64
Gambar 4.10 Diagram Burnout Berdasarkan Jenis Kelamin ... 65
Gambar 4.11 Diagram Burnout Berdasarkan Pendidikan Terakhir ... 66
Gambar 4.12 Diagram Burnout Berdasarkan Jabatan ... 68
Gambar 4.13 Diagram Burnout Berdasarkan Bagian/Devisi ... 69
Gambar 4.14 Diagram Burnout Berdasarkan Lama Bekerja ... 71
Gambar 4.15 Diagram Work Engagement Berdasarkan Usia ... 73
Gambar 4.16 Diagram Work Engagement Berdasarkan Jenis Kelamin ... 74
Gambar 4.17 Diagram Work Engagement Berdasarkan Pendidikan ,Terakhir ... 75
Gambar 4.18 Diagram Work Engagement Berdasarkan Jabatan ... 77
Gambar 4.19 Diagram Work Engagement Berdasarkan Bagian/Devisi ... 78
Gambar 4.20 Diagram Work Engagement Berdasarkan Lama Bekerja ... 80
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1: Contoh Skala Penelitian ... 99
Lampiran 2: Contoh Input Data ... 104
Lampiran 3: Hasil Uji Validitas dan Uji Reliabilitas ... 106
Lampiran 4: Output Hasil Uji Asumsi ... 116
Lampiran 5: Output Hasil Uji Hipotesis ... 118
1 BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang
Rifa’I & Fadhli (2013) mengemukakan bahwa organisasi ialah perkumpulan dan perpaduan dari unsur-unsur manusia yang memiliki fungsi yang berbeda-beda untuk mencapai tujuan organisasi. Secara sistematik, organisasi ialah sistem yang bersifat terbuka seperti halnya sistem sosial. Hal ini dikarenakan organisasi mencakup orang dan tujuan-tujuan yang bergantung atas usaha dari orang lain agar dapat mencapai kinerja, hasil, dan menjadi arah yang benar sebagai sistem sosial.
Melalui perpaduan dari usaha yang telah dilakukan oleh orang-orang di dalam organisasi, menjadikan organisasi dapat mencapai tujuan yang telah ditetapkan, dan bahkan menjadi lebih dari sekedar perkumpulan orang belaka.
Selain itu, organisasi juga merupakan perpaduan kerjasama antara sumberdaya fisik dan sumberdaya manusia, tujuan, pembagian kerja, dan hierarki kewenangan (Rifa’I & Fadhli, 2013) .
Sumberdaya manusia atau karyawan yang bekerja pada sebuah instansi memiliki peran yang besar dalam pencapaian tujuan sebuah instansi atau organisasi tersebut. Karyawan yang ada di organisasi menentukan keberhasilan, dengan kata lain mutu dari sebuah perusahaan atau instansi bergantung pada karyawan yang terdapat pada perusahaan tersebut. Sehingga, karyawan akan merasa dituntut oleh perusahaan agar dapat meningkatkan kualitas kinerjanya sendiri agar tidak mudah tersingkirkan (As’ad, 1991).
Karyawan diharapkan dapat menjalankan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya yang didasarkan atas kecakapan, pengalaman dan kesungguhan serta waktu sehingga menghasilkan hasil kerja yang baik, untuk itu dibutuhkan adanya kompensasi yang sesuai dengan kinerja karyawan yang akan menciptakan kepuasan dan motivasi kerja yang lebih baik lagi, sehingga produktivitas kerja karyawan meningkat dan produktivitas perusahaan pun meningkat (Hasibuan, 2002). Karyawan seharusnya memberikan hasil kinerja yang baik bagi perusahaan, mampu mengerjakan tugas yang diberikan dengan baik, terlibat aktif dalam lingkungan kerja, dan menyelesaikan tugas sesuai dengan batas waktu yang telah diberikan. Hal tersebut selaras dengan UU Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan ayat 1 yang berbunyi
“Perusahaan berhak atas hasil dari pekerjaan karyawan”.
Karyawan yang mengalami kejenuhan kerja menjadi suatu masalah bagi instansi/organisasi apabila mengakibatkan kinerja karyawan menurun, selain kinerja yang menurun produktivitas juga menurun (Dale, 2011).Kejenuhan kerja sudah lazim terjadi pada sebuah organisasi atau perusahaan dan hal ini mengarah pada sindrom burnout. Schaufeli dkk (2006) mengatakan bahwa burnout atau kelelahan kerja merupakan reaksi dari stres kerja kronis yang ditandai dengan kelelahan emosional. Leiter dan Shapiro (2014) mendefinisikan burnout sebagai keadaan dimana individu menyerah dengan situasi atau kondisi yang ia alami.
Burnout merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan suatu kondisi penurunan energi mental maupun fisik terhadap individu setelah
periode stres berkepanjangan yang dialami oleh individu yang berkaitan dengan pekerjaan atau cacat fisik (Perry & Potter 2005). Menurut Maslach dan Leiter (2008), burnout merupakan suatu respon yang diakibatkan karena adanya stres kerja yang berkepanjangan yang memberikan efek negatif pada individu, organisasi, maupun pengguna pelayanan yang berasangkutan.
Burnout merupakan suatu kondisi yang terjadi akibat adanya suatu keadaan kerja yang tidak mendukung atau tidak sesuai dengan ekspektasi serta kebutuhan individu, sehingga mengakibatkan hilangnya energi psikis maupun fisik. Burnout sering terjadi dalam bentuk kelelahan fisik, mental, dan juga emosional yang intens. Karena sifatnya yang psikobiologis, dimana beban psikologis berpindah ke tampilan fisik, seperti mudah merasa pusing, tidak dapat berkonsentrasi, dan lebih mudah sakit. Selain itu, burnout juga bersifat kumulatif, yang terkadang persoalan-persoalan yang dihadapi individu tidak dapat diselesaikan dengan mudah, dan bahkan bisa makin bertambah besar, mengganggu kinerja dan dapat menjadi penyebab tambahan tekanan bagi individu lainnya (Ema, 2004).
World Health Organization (WHO) telah menginformasikan burnout sebagai sebuah sindrom, dengan tanda-tanda seperti merasa kehilangan energi, bersikap negatif atau sinis terhadap pekerjaan yang sedang ia jalani, hingga berkurangnya efisiensi kerja karyawan yang mengalamai sindrom tersebut. Pada zaman ini manusia memang hidup dimana kesuksesan kerja diperjuangkan dan dikagumi. Sehingga, banyak orang yang yang tertekan untuk mendapatkan karir kerja yang bagus dan stabil. Kelelahan kerja atau
burnout sendiri dapat menyebabkan insomnia, kecemasan, kesulitan berkonsentrasi, melemahnya sistem imun, hingga depresi, hampir semua pekerja atau karyawan pernah mengalami sindrom ini pada karir mereka.
Faktor-faktor yang mempengaruhi burnout berdasarkan penelitian- penelitian sebelumnya antara lain; beban kerja (Sartika, Radja & Sjahruddin, 2020; Atmaja & Suana, 2019; Sari E.P, & Johansyah, 2020; Nopierti S, Wati L & Azliyanti E, 2020); dukungan sosial (Purba, Yulianto & Widyanti, 2007;
Kholiq A, Mintarti S & Lestari D, 2020); emotional intelligence (Muarif &
Adiyanti, 2020); work life balance (Junaidin, Ikhram & Hardiyono, 2019), stres kerja (Nopierti S, Wati L & Azliyanti E, 2020; Kholiq A, Mintarti S &
Lestari D, 2020); work family conflict (Nopierti S, Wati L & Azliyanti E, 2020); budaya organisasi (Putrihadingrum, Brahmasari & Ratih, 2021; Kholiq A, Mintarti S & Lestari D, 2020); job insecurity ((Putrihadingrum, Brahmasari & Ratih, 2021). Selain itu hasil penelitian yang dilakukan oleh Maslach, et al (2001) bahwa terdapat dua faktor munculnya burnout pada karyawan, diantaranya faktor situasional (karakteristik pekerjaan, jenis pekerjaan, dan karakteristik organisasi), dan faktor individual.
WHO pun telah mengklasifikasikan kelelahan bekerja atau burnout ke dalam revisi ke-11, klasifikasi International Classification of Diseases WHO (ICD-11) yaitu “fenomena pekerjaan” bukan kondisi medis. Kelelahan yang terus menerus terjadi pada pekerja dapat mempengaruhi kesehatan mental dan juga fisik para pekerja sehingga dapat merugikan diri sendiri dan juga instansi terkait. Oleh karena itu diperlukan adanya motivasi dan juga pikiran yang
positif pada karyawan. Schaufeli et al (2002) mengemukakan bahwa sebuah motivasi dan pusat pikiran yang positif yang memiliki hubungan dengan pekerjaan yang dicirikan dengan perasaan semangat (vigor), dedikasi (dedication), dan absorpsi (absorption) tersebut dikenal dengan istilah work engagement
Semangat (vigor) sendiri merupakan usaha individu dalam mempersiapkan diri agar terus energik pada saat bekerja dan adanya kecenderungan agar tetap berusaha dalam menghadapi tugas-tugas yang ada. Dedikasi (dedication) mengacu pada identifikasi yang kuat pada pekerjaan individu yang didalamnya terdapat perasaan antusiasme, dan juga kebanggaan. Sedangkan, absoprsion ditandai dengan kefokusan individu ketika bekerja, dan dengan waktu tertentu individu merasa sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya.
Work engagement memiliki sifat yang individual, dimana setiap orang pasti memiliki tingkat work engagement yang berbeda-beda dengan pandangan yang berbeda-beda pula. Work engagement merupakan keadaan motivasi yang positif , memuaskan, dan kondisi kesejahteraan yang bertolak belakang dengan job burnout. Work engagement juga merupakan keterlibatan kerja yang berkaitan dengan jenis pekerjaan yang menantang (Bakker dan Leiter, 2010).
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, maka karyawan yang mengalami sindrom burnout (kelelahan kerja) menjadi kurang bersemangat dalam melaksanakan pekerjaan mereka. Sehingga, akan ditemukan banyaknya kesalahan-kesalahan yang terjadi saat kelelahan. Berdasarkan
hasill wawancara yang peneliti lakukan terhadap sepuluh orang Karyawan Kantor Pos Makassar bahwa terdapat lima responden yang merasa jenuh dan lelah terhadap pekerjaannya bahkan setelah mereka beristirahat, dan merasakan gejala-gejala burnout seperti merasakan pusing, sakit kepala, dan susah tidur dikarenakan oleh beban kerja yang diberikan kepada mereka seperti halnya pada penelitian yang dilakukan oleh Sartika, Radja &
Sjahruddin (2020). Hal tersebut termasuk dalam aspek burnout yaitu emotional exhaustion.
Selain itu, sepuluh responden merasakan gejala-gejala burnout seperti sakit kepala dan merasa letih secara fisik yang dirasakannya hampir setiap hari semenjak bekerja di perusahaan tersebut. Dari hasil wawancara hal ini disebabkan karena beban kerja yang tidak sesuai dengan kompensasi yang didapatkan oleh karyawan, banyaknya beban kerja pada shift malam, ruangan yang kurang memadai, hingga tuntutan target yang harus diselesaikan dengan cepat dan tepat oleh karyawan, serta jam istirahat yang kurang. Beberapa responden juga mengatakan bahwa, ketika lelah pekerjaan yang mereka lakukan menjadi tidak tepat atau salah menempatkan barang yang hendak dikirim.Manajer setempat juga mengatakan bahwa terdapat karyawan yang terlihat jenuh dan merasa lelah secara psikologis terhadap pekerjaannya. Hal tersebut termasuk dalam aspek burnout yaitu emotional exhaustion yang diakibatkan oleh beban kerja yang berat dan menyebabkan menurunnya motivasi karyawan. Beberapa karyawan mengatakan bahwa mereka merasa
mudah tersinggung apabila merasa lelah dan lebih senang menyendiri. Hal tersebut termasuk dalam aspek burnout yaitu depersonalization.
Selain itu, kedua manajer mengatakan bahwa terdapat beberapa karyawan yang berada di fase merasa jenuh, sehingga tidak mampu melaksanakan tugasnya dan mudah marah kepada teman sesama karyawannya. Beberapa karyawan juga memilih untuk pensiun dini dikarenakan merasa lelah dengan pekerjaan atau tugas yang tidak sesuai dengan latar belakang pendidikannya.
Hal tersebut termasuk dalam aspek burnout yaitu depersonalization. Dua orang karyawan dalam wawancara mengatakan bahwa ia meraasa tidak puas dengan hasil kerjanya, dan kadang merasa tidak mampu untuk menyelesaikan pekerjaannya. Akan tetapi, ia tetap melakukan yang terbaik untuk pekerjaannya yang merupakan bagian dari tanggung jawabnya. Hal tersebut termasuk dalam aspek burnout yaitu low of personal accomplishment.
Peneiliti juga melakukan observasi dan diikuti dengan wawancara tidak langsung yang dilakukan selama kurang lebih 4 (empat) bulan disalah satu dilakukan oleh peneliti menunjukkan bahwa, beberapa karyawan terlihat tidak bersemangat ketika bekerja, mencari hiburan atau melakkan hal lainnya ketika sedang bekerja, dan tidur ketika sedang bekerja dengan alasan sakit kepala setelah lembur untuk menyelesaikan pekerjaannya.
Dari penelitian yang dilakukan oleh Sartika dkk (2020) bahwa terdapat 55 dari 84 karyawan Kantor Pos Cabang Makassar menunjukkan gejala-gejala munculnya burnout seperti kurang energik dan kurang tertarik akan pekerjaan mereka, merasakan kelelahan secara fisik maupun emosinal, apatis, mudah
tersinggung, dan bosan dengan pekerjaan mereka. Penelitian lain yang juga dilakukan oleh Aryatno (2019) bahwa 30% subjek penelitian sedang mengalami burnout, dan tingkat work engagement pada subjek cenderung rendah. Penelitian yang di lakukakn oleh Wickramasinghe dkk (2019) menyatakan bahwa terdapat hasil yang signifikan dan berkorelasi negatif antara burnout dengan work engagement. Penelitian tersebut sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Marti dkk (2019) bahwa terdapat hasil yang signifikan dan berkorelasi negatif antara work engagement dengan burnout.
Dari data wawancara dan hasil penelitian di atas, maka dapat diketahui bahwa akibat atau dampak yang ditimbulkan dari tingginya rasa lelah (burnout) ketika kerja pada karyawan bukanlah hal sepele yang dapat diabaikan. Hal tersebut dapat merugikan karyawan dan perusahaannya sendiri, selain itu juga dapat merugikan negara apabila perusahaan tersebut merupakan perusahaan yang diolah oleh negara (BUMN). Oleh karena itu, karyawan yang merasa burnout sebaiknya diberikan penanganan dengan baik oleh atasan agar tidak menimbulkan masalah-masalah yang tidak diinginkan.
Untuk itu penting untuk kita ketahui faktor-faktor apa saja yang dapat mempengaruhi kelelahan kerja (burnout) pada karyawan.
Melihat adanya keterkaitan atau hubungan antara burnout (kelelahan kerja) dengan work engagement (keterikatan kerja) pada karyawan Kantorpos Makassar, dimana karyawan yang merasakan perasaan burnout dapat bekerja dengan baik apabila tingkat work engagement atau keterikatan kerja pada
karyawan tinggi, sehingga tidak merugikan diri sendiri maupun perusahaan yang bersangkutan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan agar perusahaan dapat lebih memperhatikan kesehatan karyawan baik secara fisik maupun mental, dan meningkatkan rasa keterikatan karyawan terhadap pekerjaan atau perusahaan.
1.2 Rumusan Masalah
Apakah terdapat hubungan antara Work Engagement dengan Burnout pada karyawan Kantorpos Makassar ?
1.3 Tujuan Penelitian
Untuk melihat adanya hubungan antara work engagement dengan burnout pada karyawan kantorpos Makassar
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan dalam ilmu psikologi mengenai burnout (kelelahan kerja) karyawan b. Penelitian ini diharapkan dapat berfungsi untuk penelitian
selanjutnya dengan pembahasan yang sama
c. Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat dalam dunia pendidikan
1.4.2 Manfaat Praktis
a. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi masukan untuk perusahaan-perusahaan dan instansi lainnya
b. Penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai sumber informasi bagi masyaralat
c. Penelitian ini dapat digunakan sebagai reverensi bagi peneliti lainnya maupun mahasiswa terkait burnout dan work engagement
11 BAB II
TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Burnout
2.1.1 Definisi Burnout
Burnout merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan suatu kondisi penurunan energi mental maupun fisik yang dirasakan oleh individu setelah periode stres berkepanjangan yang dialami yang berkaitan dengan pekerjaan atau cacat fisik (Perry & Potter 2005).
Burnout pertama kali dicetuskan oleh Herbert Freudenberger, yang merupakan seorang ahli psikologi klinis yang telah familiar dengan respon stres yang ditunjukkan oleh para staf yang melayani masyarakat (Jackson, dkk., 1986). Penelitian-penelitian mengenai burnout kemudian berlanjut dan difokuskan pada karyawan di sektor pelayanan kemanusiaan, misalanya: pekerja sosial, perawat, guru, pengacara, dokter, dan pekerjaan-pekerjaan lain yang membutuhkan waktu banyak untuk berhubungan dengan orang yang membutuhkan pertolongan (Maslach. 1982).
Burnout merupakan suatu kondisi yang terjadi akibat adanya suatu keadaan kerja yang tidak mendukung atau tidak sesuai dengan ekspektasi serta kebutuhan individu, sehingga mengakibatkan hilangnya energi psikis maupun fisik. Burnout sering terjadi dalam bentuk kelelahan fisik, mental, dan juga emosional yang intens.
Karena sifatnya yang psikobiologis, dimana beban psikologis
berpindah ke tampilan fisik, seperti mudah merasa pusing, tidak dapat berkonsentrasi, dan lebih muda sakit. Selain itu, burnout juga
bersifat kumulatif, yang terkadang persoalan-persoalan yang dihadapi individu tidak dapat diselesaikan dengan mudah, dan bahkan bisa makin bertambah besar, mengganggu kinerja dan dapat menjadi penyebab tambahan tekanan bagi individu lainnya (Ema, 2004).
Menurut Maslach dan Leiter (2008), burnout merupakan suatu respon yang diakibatkan karena adanya stres kerja yang berkepanjangan yang memberikan efek negatif pada individu, organisasi, maupun pengguna pelayanan yang berasangkutan. Burnout juga merupakan sindrom psikologis kelelahan, sinisme, dan ketidakefisienan di tempat kerja. Hal ini merupakan suatu pengalaman stres pada individu yang ditambahkan oleh adanya hubungan sosial yang kompleks, sehingga melibatkan konsep diri dan orang lain pada suatu pekerjaan. Pada stres ini bukanlah seperti stres pada umunya, karena mengkaitkan ketiga komponen tersebut (Maslach dan Leiter, 2000),
Bernardin (1990) mendefinisikan burnout sebagai suatu keadaan yang mendeskripsikan reaksi emosional pada orang yang bekerja pada bidang pelayanan kemanusiaan (human service), dan pekerjaan yang erat berhubungan dengan masyarakat. Menurut Lubis (2009) burnout merupakan keadaan menurunnya produktivitas seorang karyawan dikarenakan oleh stres kerja yang terus-menerus. Burnout juga muncul
diakibatkan karena kebosanan terhadap rutinitas yang terus-menerus terjadi secara monoton.
Chestnut (1980) membatasi burnout sebagai proses yang dialami oleh orang-orang di dalam organisasi atau perusahaan yang
sebelumnya sangat berkomitemen terhadap organisasi merasa tersisih dari pekerjaannya sebagai respon yang diakibatkan oleh stres yang dialami dalam pekerjaan. Menurut Baron dan Greenberg (1990) burnout merupakan sebuah sindrom kelelahan emosional, fisik, dan mental yang ditunjang oleh perasaan rendahnya self esteem, dan self efficacy, disebabkan oleh perasaan stres yang intens dan berkepanjangan.
Cherniss (1987) juga mengemukakan bahwa burnout (kelelahan kerja) merupakan suatu transaksional yang meliputi tiga tahapan.
Tahap pertama yaitu stres yang merupakan persepsi mengenai ketidakseimbangan antara sumber-sumber individu (resources) dengan tuntutan (demand) yang ditujukan kepada individu yang bersangkutan. Tuntutan ini sendiri berasal dari dalam diri individu maupun dari lingkungan sekitarnya. Tahap kedua adalah strain (ketegangan) yang merupakan respon emosional sesaat terhadap ketidakseimbangan, yang ditandai dengan perasaan cemas, tegang, dan lelah. Tahap ketiga adalah coping. Hal ini meliputi perubahan- perubahan sikap dan tingkah laku individu yang terjadi setelah dua
tahapan sebelumnya, seperti kecenderungan menjauhkan diri dan bersikap sinis terhadap orang-orang sekitarnya.
Sihotang (2004) berpendapat bahwa burnout terjadi akibat dari kelelahan fisik, mental, dan emosional yang terjadi karena stres yang diderita dalam jangka waktu yang lama, di dalam situasi yang menuntut keterlibatan emosional yang tinggi. Burnout sebagai suatu kondisi yang diakibatkan oleh lamanya stres yang dialami individu pada suatu pekerjaan dan dampaknya dapat membuat orang yang bersangkutan mengundurkan diri dari organisasi atau perushaan. Salah satu faktor yang mendorong terjadinya burnout pada karyawan ialah kurangnya penghargaan atas kinerja yang telah dilakukannya selama bekerja (Riggio, 2004). Kelelahan kerja ialah suatu keadaan yang dialami oleh tenaga kerja yang dapat mengakibatkan turunnya vitalitas dan produktivitas kerja individu. Kelelahan kerja yang dimaksud adalah kelelahan umum yang dialami oleh tenaga kerja, yang ditandai dengan perlambatan waktu reaksi dan perasaan lelah (Suma’mur, 2009).
Burnout didefinisikan sebagai pola respon afektif kronis dari kondisi kerja penuh tekanan yang dialami oleh karyawan sebagai bagian dari ciri tingkat tinggi kontak interpersonal, kemudian burnout juga digambarkan sebagai yang kondisi individu yang terdiri dari kelelahan emosional (Emotional exhaustion), depersonalisasi dan berkurangnya prestasi pribadi (Low of personal accomplishment).
Kelelahan emosional mengacu pada perasaan yang dialami individu secara emosional dalam jangka panjang, lelah dan letih.
Depersonalisasi merujuk pada kecenderungan untuk mengembangkan sikap negatif, dan bahkan sikap sinis terhadap orang lain. Komponen ketiga adalah hilangnya atau berkurangnya perasaan prestasi pribadi yang berasal dari pekerjaan dan karyawan sering mengevaluasi dirinya sendiri secara negatif (Maslach, 1996).
Burnout merupakan kondisi psikologis pada individu yang tidak dapat mengatasi stres kerja yang dialaminya sehingga menyebabkan stres yang berkepanjangan dan kemudian menimbulkan gejala-gejala seperti kelelahan emosional, kelelahan fisik, kelelahan mentall, dan rendahnya penghargaan terhadap diri sendiri. (Liliweri., A, 2015).
Spector (2008) mendukung teori yang dikemukakan oleh Maslach tentang burnout yang merupakan hasil interaksi individu dengan orang lain terutama yang berhubungan dengan pekerjaan yang mereka jalani.
2.1.2 Aspek-Aspek Burnout
Maslach, dkk (2001) mengungkapkan bahwa burnout merupakan suatu sindrom psikologis yang terdiri dari tiga aspek, yaitu :
a. Emotional Exhaustion
Emotional exhaustion atau kelelahan emosional merupakan adanya keterlibatan emosi yang dirasakan individu dan kemudian menyebabkan energi dan sumber-sumber diri lainnya terkuras oleh satu pekerjaan yang ditandai dengan terkurasnya atau
habisnya tenaga, mudah merasa letih, merasa jenuh, mudah tersinggung oleh hal-hal kecil, merasa sedih, tertekan, merasa terjebak dalam pekerjaannya sendiri, perkembangan emosi negatif yang kemudian dapat menimbulkan munculnya sikap negatif terhadap diri sendiri, pekerjaan, orang lain, dan perusahaan yang ia tempati.
Cordes & Doughert (1993) mengatakan bahwa meningkatnya kelelahan emosional, yang merupakan sumber dari perasaan emosional individu terperas habis sehingga tidak lagi dapat meningkatkan psikologis mereka. Ketika pekerja merasakan kelelahan (exhaustion), mereka cenderung berperilaku overextended atau mengulur-ulur baik secara emosional maupun fisikal. Mereka cenderung tidak mampu menyelesaikan masalah yang mereka hadapi, bahkan tetap merasa lelah meski sudah berisitirahat dengan cukup, dan merasa kurang energi dalam melakukan aktivitas lainnya (Maslach & Leiter, 1997).
Kelelahan emosi mengacu pada terkurasnya dan berkurangnya sumberdaya emosional pada diri individu. Terdapat beberapa kondisi yang menyatakan kelelahan emosi seperti perasaan frustasi, sedih, putus asa, hampa, perasaan tertekan, mudah tersinggung, merasa terbebani dengan tugas yang diemban, mudah marah tanpa alasan yang jelas dan menimbulkan perasaan tidak mampu dalam memberikan pelayanan psikologis (Maslach,
2001). Kelelahan emosional adalah aspek kunci dari burnout sindrom, individu rentan dalam merasakan kelelahan emosi, dan merupakan kondisi dimana sumber kognitif dan juga meosi individu bekerja terlaluu berat dan melelahkan. Singkatnya depersonalisasi ialah merupakan sebuah usaha untuk membuat jarak antara individu dengan lainnya (Maslach, dkk., 2001).
b. Depersonalization
Depersonalization merupakan sikap dan perasaan negatif yang dirasakan individu terhadap klien atau orang-orang disekitarnya, hal ini ditandai dengan adanya kecenderungan individu menjauhi lingkungan pekerjaanya, apatis atau kurang peduli dan merasa kurang dipedulikan oleh lingkungan pekerjaan dan juga orang- orang yang terlibat dalam pekerjaannya.
Depersonalization juga diartikan sebagai proses penyeimbangan antara tuntutan pekerjaan dengan kemampua n yang dimiliki oleh individu. Hal ini bisa berupa sikap sinis yang diperlihatkan oleh individu terhadap orang-orang yang berada dalam ruang lingkup kerja yang sama dan kecenderungan untuk menarik diri serta mengurangi keterlibatan diri dalam dunia kerja.
Perilaku tersebut diperlihatkan sebagai upaya melindungi diri dari perasaan kecewa, karena penderitanya menganggap bahwa dengan berperilaku seperti itu, maka mereka akan aman dan terhindar dari ketidakpastian dalam pekerjaan.
Depersonalisasi (depersonalization) sangat erat kaitannya dengan sikap negatif, sikap kasar dan cenderung menjaga jarak dengan orang-orang disekitarnya, menarik diri dari lingkungan sosial dan cenderung tidak peduli dengan lingkungan maupun individu lainnya yang berada di lingkungan yang sama. Sikap lain yang diperlihatkan ialah berkurangnya idealisme, berhubungan seperlunya saja, berpendapat secara negatif, dan bersikap sinis terhadap orang lain, dan juga sukar untuk menolong orang lain (Edelwich dan Brodsky,1980).
c. Low of Personal Accomplishment
Low of Personal Accomplishment merupakan penilaian diri negatif dan perasaan tidak puas yang dirasakan oleh individu terkait dengan performa pekerjaan, dimana individu tersebut menilai rendah kemampuan dirinya sendiri, cenderung mengalami ketidakpuasan terhadap hasil kerjanya sendiri, merasa tidak pernah melakukan sesuatu yang bermanfaat bagi diri sendiri dan orang lain dalam pekerjaaannya, merasa tidak mampu untuk mencapai suatu prestasi atau tujuan dalam pekerjaannya. Perasaan tidak mampu dalam menyelesaikan pekerjaan, merasa diri tidak kompeten, tidak edukatif, serta tidak mampu mengatasi tuntutan pekerjaan yang disebabkan dari kurangnya dukungan sosial dari orang-orang sekitarnya yang menyebabkan rasa putus asa terhadap diri sendiri.
Menurut Maslach & Leiter (2008) Personal Accomplishment merupakan komponen yang melambangkan dimensi mengenai penilaian diri yang hilang, ketidakcakapan dan kurangnya prestasi serta produktivitas dalam bekerja.
2.1.3 Faktor-Faktor yang Memengaruhi Burnout
Faktor-faktor yang mempengaruhi Burnout menurut Maslach &
Leiter (1997), antara lain:
a. Work Overloaded
Kemungkinan munculnya faktor ini ialah akibat dari ketidaksesuaian antara pekerja dengan pekerjaan yang ia hadapi.
Individu melakukan pekerjaan yang berlebihan dengan rentan waktu yang sedikit. Overload juga terjadi akibat dari pekerjaan yang dikerjakan melebihi dari kapasitas kemampuan individu yang bersangkutan.
b. Reward for Work
Kurangnya reward atau penghargaan yang diberikan oleh perusahaan atau organisasi terhadap individu dapat menurunkan semangat individu dalam bekerja dan dapat mengakibatkan munculnya burnout. Reward atau penghargaan terdiri dari eksternal dan internal. Reward eskternal dapat diberikan dalam bentuk gaji, dan juga bonus. Sedangkan reward internal dapat berupa pujian-pujian yang diberikan oleh atasan ataupun orang-
orang sekitarnya ketika individu mampu bekerja sesuai dengan target dan pekerjaannya dapat diselesaikan dengan baik.
c. Breakdown in Communitiy
Faktor lain yang dapat menimbulkan munculnya bornout ialah kurangnya dukungan sosial dari atasan, rekan kerja, dan juga keluarga yang mengakibatkan individu merasa kurang dalam hal pencapaian diri. Individu akan merasa lebih dihargai dan bahagia ketika orang-orang sekitarnya memperhatikan dan mendukungnya. Sedangkan, individu yang lebih suka untuk menyendiri dari lingkungan sosialnya dapat menyebabkan individu rentan merasakan kelalahan atau burnout.
d. Treated Fairly
Diperlakukan dengan adil dapat didefinisikan sebagai rasa saling menghargai dan menerima perbedaan yang ada di antara individu. Orang-orang yang diperlakukan dengan tidak adil akan mudah merasa burnout karena merasa tidak dihargai oleh lingkungan sosialnya.
e. Dealing with Conflict Values
Adanya konflik dapat menyebabkan individu melakukan sesuatu yang tidak sesuai dengan yang berlaku pada organisasi.
Pada penelitian yang dilakukan oleh Maslach dan Leiter (2005) memperlihatkan bahwa adanya konflik nilai memungkinkan tingginya tingkat individu yang mengalami bornout.
2.1.4 Dampak yang Ditimbulkan Burnout
Schaufeli dan Buunk (2003) mengelompokkan dampak burnout menjadi lima kategori utama yaitu :
a. Manifestasi Afektif
Individu yang mengalami burnout akan terlihat murung, sedih dan juga memiliki perasaan depresi. Secara umum dapat diamati dampak yang terjadi ialah seperti rendahnya rasa semangat individu, suasana hati yang sedih dan juga perasaan murung yang dominan dirasakan. Individu mengalami kelelahan emosional karena sangat banyak energi yang digunakan dalam jangka waktu yang lama. Individu menjadi cepat marah, sensitif, berperilaku bermusuhan dan curiga, tidak hanya terhadap penerima layanan, namun juga terhadap rekan kerja dan atasan.
b. Manifestasi Kognitif
Berupa perasaan tidak berdaya, putus asa dan tidak bertenaga. Setelah ketidakberhasilannya dalam pekerjaan, individu merasa kehilangan arti pekerjaan. Terjadi penurunan keterlibatan pelayanan klien dan terjadi perubahan hubungan yang awalnya penuh empati, perhatian, dan pemahaman, berubah menjadi sinis, persepsi dehumanisasi terhadap penerima layanan yang ditandai dengan sikap negatif, pesimis, dan stereotyping.
Pada level organisasi, pekerja yang menderita burnout merasa tidak ada penghargaan diri dari atasan maupun rekan kerja. Ia merasa kehilangan perhatian dari organisasi, lebih suka mengkritik, tidak percaya pada manajemen, rekan kerja dan atasa. Kepuasan kerja dan komitmen kerja menurun serta munculnya intens meninggalkan pekerjaan.
c. Manifestasi Fisik
Timbulnya keluhan psikosomatis seperti kelelahan fisik yang kronis, kelemahan fisik (weakness) dan low energy yang dialami oleh pekerja. Dalam beberapa penelitian terdahulu menunjukkan bahwa kelelahan emosional dan depersonalization memiliki hubungan dengan frekuensi sakit berat seperti serangan jantung yang dialami oleh pekerja yang mengalami burnout.
d. Manifestasi Perilaku
Dampak burnout pada perilaku yang merugikan bagi organisasi adalah ketidakhadiran di tempat kerja, berganti pekerjaan dan prestasi kerja yang rendah. Secara individual dampak perilakunya adalah menarik diri dari pekerjaan yang dilakukannya.
e. Manifestasi Motivasi
Menghilangnya motivasi intrinsik pada individu seperti hilangnya semangat, antusiasme, ketertarikan dan idealism.
Sebaliknya muncul kekecewaan, ketidakpuasan dan menarik diri. Kondisi nyata dari individu pekerja yang mengalami burnout adalah menurunnya keterlibatan dengan penerima layanan.
Dampak burnout atau kelelahan kerja menurut Maslach &
Leiter (2005), yaitu:
1) Burnout is Lost Energy, individu yang mengalami burnout kemudian akan merasakan stres dan kelelahan, kesulitan untuk tidur, dan lebih menjaga jarak dengan lingkungan yang akan mempengaruhi kinerja individu.
Selain itu produktivitas individu dalam kerja kian menurun.
2) Burnout is Lost Enthusiasm, menurunnya keinginan individu dalam bekerja, segala hal yang berhubungan dengan pekerjaan terasa tidak menyenangkan lagi, serta berkurangnya ketertarikan terhadap pekerjaannya dan menghasilkan hasil kerja yang kurang bagus.
3) Burnout is Lost Confidence, individu bekerja dengan tidak maksimal yang diakibatkan oleh tidak adanya energi dan keterlibatan aktif dari individu tersebut.
Individu menjadi ragu akan kemampuan yang ia miliki, yang disebabkan oleh ketidakefektifan individu dalam
bekerja, dan akan memberikan dampak yang buruk bagi individu itu sendiri.
2.1.5 Pengukuran Burnout
a. Maslach Burnout Inventory (MBI)
Konsistensi Internal diperkirakan oleh Cronbach's coefisien alpha, yang menghasilkan koefisien sebanyak 0,83 (frekuensi) dan 0,84 (intensitas) untuk ukuran ke-25. Nilai reliabilitas skala MBI adalah 0.89 (frekuensi) dan 0.86 (intensitas) Kelelahan emosional, 0,74 (frekuensi) dan 0,74 (intensitas) untuk pencapaian pribadi, 0.77 (frekuensi) dan 0.72 (intensitas) untuk dekpersonalisasi, dan 0,59 (frekuensi) dan 0,57 (intensitas) untuk keterlibatan.
b. Maslach Burnout Inventory-General Survey (MBI-GS)
Maslach Burnout Inventory-General Survey (MBI-GS) yang dikembangkan oleh Maslach, et al. (2001) yang berjumlah 15 item, terdiri dari tiga komponen, antara lain : kelelahan (exhaustion), Depersonalisasi (cynicism), dan Rendahnya hasrat pencapaian prestasi diri (Low of Personal accomplishment). Skala ini digunakan oleh Ranny Hidayanti
c. Skala Burnout
Skala burnout digunakan untuk mengungkapkan data tentang burnout. Skala ini terdiri dari dimensi kelelahan (exhaustion), depersonalisasi, dan low personal accomplishment. Dan terdiri dari
60 item dengan nilai reliabilitas 0.983. Skala ini digunakan oleh Eka Danta Jaya G, dan Ihsan Rahmat.
d. Maslach Bornout Inventory-Human Service Survey (MBI- HSS)
Data yang digunakan adalah data yang diperoleh dari 504 anggota polisi yang bertugas di Polda Metro Jaya; rentang usia 21 hingga 56 tahun (M = 33,04; SD = 8,533); jenis kelamin laki-laki (99,8%) dan wanita (0,2%); masa dinas mulai 3 hingga 38 tahun (M = 15,04; SD = 8,533). Metode analisis yang digunakan adalah Confirmatory Factor Analysis (CFA) dengan menggunakan software Mplus version 7.11. Hasil pengujian membuktikan bahwa
data fit dengan model 3-correlated factor yang menunjukkan korelasi faktor emotional exhaustion dan depersonalisation 0,966, emotional exhaustion dan personal accomplishment -0,590 dan personal accomplishment dan depersonalisation = -0,701, dengan indeks kesesuaian RSMEA = 0,048; CFI = 0,943; dan TLI = 0,934.
2.2 Work Engagement
2.2.1 Definisi Work Engagement
Work engagement memiliki sifat yang individual, dimana setiap orang pasti memiliki tingkat work engagement yang berbeda-beda dengan pandangan yang berbeda-beda pula. Work engagement merupakan keadaan motivasi yang positif , memuaskan, dan kondisi kesejahteraan yang bertolak belakang dengan job burnout.
Work engagement juga merupakan keterlibatan kerja yang berkaitan dengan jenis pekerjaan yang menantang (Bakker dan Leiter, 2010). Bakker (2011) mendefinisikan work engagement sebagai dorongan yang positif dengan tiga ciri khasnya (vigor, dedication,dan absorption).
Definisi work engagement atau keterikatan kerja menurut Lockwood (2007) bahwa work engagement merupakan kondisi seseorang yang mampu berkomitmen dengan organisasi baik secara emosional maupun intelektual. Saks (2006) mengemukakan work engagement sebagai konstruk dengan menggunakan komponen kognirif, emosi dan perilaku yang dipersepsikan dengan tanggung jawab pekerjaannya.
Brown (dalam Robbins, 2003) mengatakan bahwa karyawan dikatakan memiliki work engagement apabila ia dapat mengidentifikasikan dirinya secara psikologis dengan pekerjaannya, serta menganggap penting kinerja untuk dirinya dan organisasi. Karyawan yang memiliki keterikatan kerja atau work engagement yang tinggi benar-benar peduli dengan pekerjaannya.
Work engagement atau keterikatan kerja didefenisikan sebagai suatu keadaan yang memotivasi serta pikiran positif yang dicirkan dengan vigor (tingkat energi yang tinggi), dedication (terlibat dalam pekerjaan), dan absorption (fokus pada pekerjaan) (Schaufeli, dkk. 2002). Federman (2009) menyatakan bahwa work
engagement merupakan tingkatan dimana karyawan mampu unruk berkomitmen pada organisasinya dan ditentukan dari cara karyawan bekerja serta lama waktu bekerja karyawan.
Development Dimension Internasional (2005) mengatakan bahwa work engagement dapat terjadi ketika karyawan merasa bernilai, memiliki arti, menikmati dan percaya pada pekerjaan yang saat itu ia lakukan. Wellins & Concelman (2004) berpendapat bahwa work engagement merupakan kekuatan karyawan dalam memotivasi dirinya untuk meningkatkan kinerja pada level yang lebih tinggi lagi, energi ini berupa komitmen pada organisasi, rasa memiliki akan pekerjaan dan kebanggan, serta usaha yang lebih dari sebelumnya, semangat dan keterikatan, dan komitmen dalam melaksanakan pekerjaan.
Menurut Perrin (2003) work engagement ialah pusat kerja afektif diri yang menggambarkan kepuasan pribadi karyawan dan afirmasi yang didapatkan dari bekerja dan menjadi bagian dari organisasi. Selain itu, Kahn (1990) mengemukakan bahwa work engagement dikonsepsikan sebagai anggota organisasi yang melaksnakan peran kerjanya dan mengekspresikan dirinya baik secara fisik, kognitif maupun emosional selama ia bekerja.
Schmidt (2004) mendefinisikan work engagement sebagai kepuasan dan komitmen karyawan yang disatukan, kepuasan yang dimaksud adalah elemen emosional atau sikap karyawan.
Sedangkan, komitmen mengacu pada motivasi dan fisik karyawan. Namun, kedua hal tersebut tidak dapat menjamin work engagement seorang karyawan.
2.2.2 Aspek-Aspek Work Engagement
Work engagement di karakteristikan dengan tiga aspek antara lain: vigor, dedication, dan absorption (Schaufeli, 2008).
a. Vigor
Aspek ini dikategorisasikan sebagai level tertinggi dari energi dan kemampuan seseorang untuk beradaptasi dan tetap teguh dalam keadaan sulit selama bekerja. Schaufeli (2002) mendefenisikan vigor sebagai usaha yang dilakukan oleh individu dalam mempersiapkan diri agar terus energik atau bersemangat ketika sedang bekerja serta adanya kecenderungan karyawan agar tetap berusaha dalam menghadapi tugas-tugas yang ada.
b. Dedication
Aspek dedication dicirikan dengan rasa antusiasme, inspirasi, kebanggan, dan juga tantangan selama bekerja. Aspek ini lebih mengacu pada keterlibatan karyawan yang kuat pada pekerjaannya. Schaufeli (2002) mengatakan bahwa dedikasi/dedication lebih mengacu pada identifikasi yang kuat pada pekerjaan individu yang didalamnya terdapat perasaan antusiasme dan kebanggan.
c. Absorption
Aspek absorption dicirikan dengan pemfokusan yang penuh dan juga mendalam pada pekerjaannya, dan ditandai dengan waktu yang terasa cepat berlalu. Menurut Schaufeli (2002) absorption ditandai dengan kefokusan individu ketika sedang bekerja, dan pada waktu tertentu individu merasa sulit untuk melepaskan diri dari pekerjaannya.
2.2.3 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Work Engagement
Terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi work engagement. Namun, ada dua faktor utama yang mempengruhi work engagement yaitu faktor internal atau personal resources dan faktor eksternal atau job resources.
a. Faktor Internal
Menurut Hobfoll, dkk (2003) (dalam Saraswati dan Lie, 2018) faktor internal atau personal resources ialah aspek yang dipengaruhi oleh diri sendiri, dan lebih mengacu pada kemampuan individu dalam mengontrol lingkungannya.
b. Faktor Eksternal
Menurut Bakker, dkk (2003) (dalam Saraswati dan Lie, 2018) faktor eksternal atau job resources berfokus pada aspek- aspek fisik, psikologis, dan juga sosial dalam pekerjaannya.
Fungsi dari aspek tersebut ialah untuk mencapai tujuan dalam
kerja, mengurangi job demands, dan meningkatkan pengembangan diri karyawan.
c. Distributive Justice-Procedural Justice
Distributive justice adalah pandangan atau persepsi seseorang mengenai keadilan dari sebuh keputusan.
Sedangkan, procedural justice merupakan persepsi mengenai keadilan dari penentuan dan pendistribusian sumber daya.
Karyawan yang memiliki persepsi yang bagus terhadap keadilan organisasi, maka tidak menutup kemungkinan bahwa karyawan akan merasa harus berperilaku adil untuk performanya sebagai karyawan melalui tingkat engagement yang tinggi (Saks, 2006).
d. Keterlibatan dalam Pembuatan Keputusan
Faktor lain yang mempengaruhi engagement karyawan ialah keterlibatan karyawan dalam pembuatan keputusan. Hal- hal seperti kepedulian manajer ataupun organisasi terhadap kesehatan karyawan, kesempatan kerja yang diberikan kepada karyawan, karyawan percaya diri dalam menyuarakan ide dan didengarkan dapat meningkatkan tingkat engagement karyawan (Robinson, 2004).
e. Komunikasi
Didalam sebuah organisasi wajib adanya komunikasi ke atas dan komunikasi ke bawah dengan mengikuti jalur
organisasi yang tepat. Karyawan yang dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan didengarkan oleh pimpinan- pimpinan organisasi dapat meningkatkan level engagement karyawan (Varizani, 2007).
f. Kepemimpinan
Pemimpin berperan penting dalam meningkatkan dan mengembangkan engagement karyawan, salah satuhnya dengan cara menjadi supportive terhadap karyawan (Taran, dkk., 2009). Vazirani (2007) mengatakan bahwa sebuah organisasi dikatakan sukses apabila pemimpin organisasi menghargai setiap usaha karyawan tanpa memandang level pekerjaan karyawan.
g. Health and Safety
Organisasi yang memiliki metode serta sistem yang berkaitan dengan kesehatan dan keselamatan karyawan dapat meningkatkan engagement karyawan, karena karyawan merasa aman ketika bekerja pada perusahaan dengan sistem kesehatan dan keselamatan kerja yang bagus (Vazirani, 2007).
h. Job Satisfication
Vazirani (2007) mengatakan bahwa karyawan yang engaged ialah karyawan yang puas terhadap hasil kerjanya.
Oleh karena itu, organisasi penting untuk melihat atau menelaah kembali pekerjaan yang diberikan kepada karyawan
dan menetapkan tujuan karir, sehingga karyawan menikmati pekerjaan mereka dan merasa puas akan hasil kerjanya.
i. Perceived Organizational Support
Perceived organizational support (POS) merupakan persepsi karyawan terhadap organisasinya terutama dalam menilai serta menghargai kontribusi dan peduli terhadap kesejahteraan karyawan. Dengan adanya POS karyawan menjadi lebih peduli terhadap kesejahteraan organisasi dan membantu organisasi agar dapat mencapai tujuan. Maka sebagai balasannya organisasi peduli terhadap kesejahteraan serta menghargai kontribusi yang telah diberikan oleh karyawan. Dengan kata lain POS dapat memberikan hasil yang positif melalaui engaged (Saks, 2006).
Perrin (2003) mengklasifikasikan work engagement ke dalam 10 faktor pendorong, antara lain:
1. Keberadaan pekerja diperhatikan oleh manager 2. pekerjaan yang menantang
3. Memiliki wewenang dalam pengambilan keputusan 4. Organisasi yang memperhatikan kepuasan pelanggan 5. Karyawan atau tenaga kerja memiliki kesempatan
berkarir yang sama 6. Image perusahaan
7. Kekompakan dalam tim kerja
8. Karyawan memiliki pengetahuan yang dibutuhkan guna untuk menunjukkan performa kerja yang sangat baik 9. Kesempatan karyawan dalam memberikan pendapat saat
pengambilan keputusan
10. Visi yang tersampaikan dengan jelas kepada karyawan 2.2.4 Dampak yang Ditimbulkan Work Engagement
Saraswati & Lie (2018) berpendapat bahwa dampak yang ditimbulkan dari work engagement antara lain, dapat mempengaruhi sikap dan perilaku organisasi karyawan, kesehatannya, dan keberhasilan seseorang dalam berbisnis. Work engagement atau keterikatan kerja memiliki hubungan yang positif dengan sikap dan perilaku organisasi.Boyd, dkk (dalam Saraswati
& Lie, 2018) mengatakan bahwa apabila karyawan memiliki tingkat keterikatan kerja yang tinggi, maka karyawan tersebut tentu memiliki sikap dan juga perilaku organisasi yang positif. Karyawan dengan tingkat keterikatan yang tinggi dapat pula menyebabkan komitmen organisasi karyawan meningkat.
Demerouti, dkk (dalam Saraswati & Lie, 2018) menjelaskan bahwa karyawan dengan tingkat work engagement atau keterikatan kerja yang tinggi dapat memiliki kondisi mental dan kesehatan tubuh yang baik. Selain itu, Strijk, dkk (dalam Saraswati & Lie, 2018) mengatakan bahwa karyawan dengan work engagement atau keterikatan kerja yang tinggi pun dapat meningkatkan
kesejahteraan psikologis, dapat menurunkan stres kerja, dan juga menurunkan dan menghindari gejala burnout.
2.2.5 Pengukuran Work Engagement
a. Ultrecth Work Engagement Scale (UWES)-17
Skala ini disusun dengan menggunakan tiga aspek work engagement menurut Schaufeli & Bakker (2004) yang terdiri dari 17 item dengan nilai reliabilitas dengan range antara 0.91- .0.96 yang dianalisis menggunakan cronbach’s alpha .
b. Ultrecth Work Engagement Scale (UWES)-15
Skala ini disusun dengan menggunakan tiga aspek work engagement menurut Schaufeli & Bakker (2004) yang terdiri dari 15 item dengan nilai reliabilitas dengan range antara 0.90- 0.96 yang dianalisis menggunakan cronbach’s alpha
c. Ultrecth Work Engagement Scale (UWES)-9
Skala ini disusun dengan menggunakan tiga aspek work engagement menurut Schaufeli & Bakker (2004) yang terdiri dari 9 item yang telah diadaptasikan ke dalam Bahasa Indonesia oleh Kristina dkk (2018) dengan nilai reliabilitas item 0.95 yang dianalisis menggunakan cronbach’s alpha dan nilai validitas unidimensionalitas sebesar 53,4% (>20%).
2.3 Karyawan
2.3.1 Definisi Karyawan
Karyawan merupakan tuas kendali organisasi yang menggerakkan organisasi dalam mewujudkan eksistensi dan juga potensi yang memiliki fungsi sebagai modal non-material agar dapat mewujudkan potensi nyata baik secara fisik maupun non fisik (Nawawi, 2011). Hasibuan (2009) mendefinisikan karyawan sebagai individu yang menjual tenaganya baik dalam bentuk fisik maupun non-fisik kepada organisasi guna untuk memperoleh hasil sesuai dengan perjanjian bersama. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) karyawan orang atau individu yang sedang bekerja di perusahaan, kantor dan lain sebagainya dan mendapatkan gaji. Secara operasional karyawan merupakan seseorang yang mengerjakan sendiri pekerjaannya sesuai dengan perintah yang diberikan.
Menurut Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tenaga kerja merupakan orang yang memiliki kemampuan untuk bekerja guna menghasilkan barang serta jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan juga orang lain atau masyarakat. Pekerja atau buruh merupakan individu yang bekerja dan menerima upah atau imbalan.
2.4 Hubungan Work Engagement dengan Burnout Pada Karyawan Kantorpos Makassar
Menurut Undang-Undang RI Nomor 13 Tahun 2003 tenaga kerja merupakan orang yang memiliki kemampuan untuk bekerja guna menghasilkan barang serta jasa untuk memenuhi kebutuhan diri sendiri dan juga orang lain atau masyarakat. Karyawan merupakan individu yang bekerja dan menerima upah atau imbalan. Manusia memiliki peran yang besar dalam pencapaian tujuan sebuah instansi atau organisasi. Sumber daya manusia yang ada di organisasi menentukan keberhasilan, dengan kata lain mutu dari sebuah perusahaan atau instansi bergantung pada sumber daya manusia yang terdapat pada perusahaan tersebut. Sehingga, karyawan akan merasa dituntut oleh perusahaan agar dapat meningkatkan kualitas kinerjanya sendiri agar tidak mudah tersingkirkan (As’ad, 1991). Kejenuhan kerja menjadi suatu masalah bagi instansi/organisasi apabila mengakibatkan kinerja karyawan menurun, selain kinerja yang menurun produktivitas juga menurun (Dale, 2011).
Sindrom burnout sudah lazim terjadi pada karyawan disebuah perusahaan atau organisasi. Leider dan Shapiro (2014) mendefinisikan burnout sebagai keadaan dimana individu menyerah dengan situasi atau kondisi yang ia alami. Burnout merupakan istilah yang digunakan untuk menyatakan suatu kondisi penurunan energi mental maupun fisik terhadap individu setelah periode stres berkepanjangan yang dialami oleh
individu yang berkaitan dengan pekerjaan atau cacat fisik (Perry & Potter 2005).
Terdapat fenomena-fenomena burnout di Kantor Pos terdapat lima responden yang merasa jenuh dan lelah terhadap pekerjaannya bahkan setelah mereka beristirahat. Selain itu, seluruh responden merasakan gejala-gejala burnout seperti sakit kepala dan merasa letih secara fisik yang dirasakannya hampir setiap hari semenjak bekerja di perusahaan tersebut. Hal ini disebabkan karena beban kerja yang tidak sesuai dengan kompensasi yang didapatkan oleh karyawan, banyaknya beban kerja pada shift malam, ruangan yang kurang memadai, hingga tuntutan target yang harus diselesaikan dengan cepat dan tepat oleh karyawan, serta jam istirahat yang kurang.
Beberapa karyawan juga mengatakan bahwa mereka merasa mudah tersinggung apabila merasa lelah dan lebih senang menyendiri. Beberapa responden mengatakan bahwa, ketika lelah pekerjaan yang mereka lakukan menjadi tidak tepat atau salah menempatkan barang yang hendak dikirim. Peneliti juga melakukan wawancara dengan dua orang manajer setempat. Kedua manajer mengatakan bahwa terdapat beberapa karyawan yang terlihat jenuh akan pekerjaannya, selain itu beberapa karyawan harus mengerjakan tugas-tugas yang bukan miliknya.
Menurut salah satu manajer kelelahan secara psikologis banyak ditemukan pada karyawannya akibat dari beban kerja yang berat, sehingga motivasi karyawan pun menurun. Selain itu, kedua manajer