Pemaparan informasi tentang Bengkulu diperlukan sebagai konteks untuk memahami tradisi Tabut sebagai produk budaya. Hal ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Kuntowijoyo, sejarah dan ekologi masyarakat, mempunyai peranan yang besar dalam pembentukan budaya,1 untuk itu penulis menilai penting memetakan sejarah dan ekologi Bengkulu, utamanya seputar etnis dan suku bangsa dan agama yang pernah ada di Bengkulu, yang berkemungkinan dapat mempengaruhi kebudayaan, kehidupan sosial dan ekonomi masyarakat Bengkulu.
Bengkulu menjadi propinsi yang ke-26 di Indonesia pada tanggal 18 November 1968. Saat ini propinsi Bengkulu terdiri dari sembilan kabupaten dan satu kotamadya. Bengkulu berada pada wilayah Barat pesisir Sumatra, sisi Utara Bengkulu berbatasan dengan propinsi Sumatra Barat, sisi Selatan berbatasan dengan Samudera Indonesia dan propinsi Lampung, sisi Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia, sedangkan sisi Timur berbatasan dengan propinsi Jambi dan propinsi Sumatra Selatan.
Sebelum Inggris datang ke Bengkulu, migrasi penduduk di Bengkulu hanya terjadi antar etnis/suku yang secara geografis berdekatan dengan Bengkulu. Orang Aceh dan Minangkabau telah lebih dahulu datang ke
1 Kuntowijoyo, Budaya dan Masyarakat, edisi Paripurna, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2006), xi.
Bengkulu, sebelum kedatangan Inggris, berikut ini migrasi suku/etnis yang pernah datang ke Bengkulu pada masa sebelum kedatangan Inggris ke Bengkulu.
Tabel 2.1 Migrasi Suku (Etnis) sebelum Kedatangan Inggris di Bengkulu
Suku (etnis) Keterangan
Aceh
Informasi adanya pinangan untuk anak raja Ratu Agung (Putri Gading Cempaka) penguasa kerjaan Sungai Serut di Bengkulu kala itu, dari keluarga Sultan Iskandar Muda Aceh tahun 1607-1636. (Informasi terlengkapnya terdapat di dalam naskah لوسا لسا لينا اوهب terdiri dari 43 halaman, dengan kode Ml. 143 menggunakan tulisan huruf Arab Melayu. Penulis mendapatkan copy naskah ini dari Museum Negeri Bengkulu)
Minangkabau (Sumatra Barat)
Kedatangan utusan raja Minangkabau Baginda Maharaja Sakti dari Sungai Tarab beserta rombongan tiba di Sungai Serut pada tahun 1625. Selanjutnya Baginda Maharaja Sakti menikah dengan Putri Gading Cempaka anak raja kerajaan Sungai Serut. Baginda Maharaja Sakti dinobatkan sebagai raja Ulu Bengkulu (1625-1630) dan memilih muara Sungai Lemau – maka dimulailah masa kerajaan Sungai Lemau – yang lokasinya dekat dusun Pondok Kelapa, tidak berkedudukan di kerajaan Sungai Serut dahulunya. Masa pemerintahan Baginda Maharaja Sakti dikenal dengan kerajaan Sungai Lemau (Abdullah Siddik, 1996).
Percampuran etnis dan berbagai suku bangsa di Bengkulu, lebih dinamis setelah Inggris membuka jalur perdagangan dengan mendirikan kantor dagang East India Company (EIC) tahun 1771, dan membangun benteng Marlborough. Di era ini Bengkulu menjadi bandar perdagangan yang ramai, dan menjadi bagian dari daerah transit jalur perdagangan di wilayah Barat Sumatra, yakni jalur pelayaran dari Aceh, Sumatra Barat, Bengkulu, Lampung, dan berakhir di Banten, ataupun sebaliknya. Beberapa daerah pesisir yang ‘sempat’ menjadi pelabuhan laut di Bengkulu yakni:
Mukomuko (daerah Utara), Ujung Karang (sekarang dikenal dengan daerah Tapak Paderi), dan daerah paling selatan adalah Banda’ Lame di Bintuhan yang saat ini masuk wilayah Kabupaten Kaur.
Tabel 2.2 Status Sosial dan Peran Suku Bangsa/Etnis pada Masa Inggris di Bengkulu
Suku bangsa (etnis) Keterangan
Pribumi Sebagai raja, petani, dan nelayan
Benggali (India) umumnya beragama Islam jumlahnya cukup besar
Didatangkan oleh Inggris ketika membangun benteng Marlborough di Bengkulu. Dari mereka ini Bengkulu juga mendapatkan pengaruh, baik pengaruh dari segi jasmaniah maupun pengaruh dalam kesenian. Sedangkan orang Benggali lebih dominan merupakan orang buangan (narapidana) yang dibuang dari India ke Bengkulu. Bersama-sama dengan tentara Sipai dan pengawal Bugis, orang Benggali lebih banyak dilibatkan dalam berbagai operasi penertiban keamanan (pemberontakan) yang ada di Bengkulu.
Tentara, buruh, tukang, Narapidana (orang buangan dari India), berdiam di ibukota sebagai golongan pertukangan, tukang jahit, tukang dobi, dan lain- lain, perkawinan mereka dengan penduduk pribumi membuat mereka telah berbaur dengan penduduk asli setempat.
Jerman dan Cina (sejumlah 1.000 jiwa)
Berdomisili di Kampung Cina, umumnya bekerja sebagai buruh perkebunan dan sebagian kecil berusaha sendiri sebagai pedagang.
Bugis Tenaga/pasukan keamanan Inggris
Jawa (Madura) Masuk dalam keluarga raja, menyatu dengan etnis Melayu (pribumi)
Eropa (turunan Yahudi
dan Kristen) Bekerja pada Inggris (sipil dan militer), misionaris, petualang dan pedagang.
Sumber: Diolah dari Abdullah Siddik, Agus Setiyanto, dan Depdikbud RI.2
Setelah Inggris meninggalkan Bengkulu sesuai dengan perjanjian Traktat London, maka kolonialisasi di Bengkulu digantikan oleh Belanda.
Tidak banyak terjadi perubahan sosial budaya maupun perubahan fisik di Bengkulu pada masa Belanda. Praktis pada ada masa Belanda di Bengkulu, tidak mengalami banyak perubahan yang dapat mempengaruhi kehidupan sosial, budaya dan kehidupan keberagamaan masyarakat. Meskipun demikian, terdapat ‘campur tangan’ Belanda terhadap pembentukan
2 Abdullah Siddik, Sejarah Bengkulu 1500-1990, 41-68. Agus Setiyanto, Elite Pribumi Bengkulu, (Jakarta: Balai Pustaka, 2001), 40. Depdikbud RI, Sejarah Daerah Bengkulu, (Jakarta: Depdikbud RI, 1977/1978), 99.
(kodifikasi) dan pemberlakuan hukum adat di masyarakat. Menurut Abdullah Siddik, pada masa awal Belanda di Bengkulu, tepatnya masa asisten residen Knoerle (1828-1833), banyak penduduk yang pindah meninggalkan Bengkulu, namun masih ada 104 orang beragama Nasrani, 534 Cina, 632 Benggali, 54 Afrika, 381 suku Nias, dan 3.647 Melayu dari berbagai kepulauan nusantara.3
Pada tahun 1915 tercatat sebanyak 500 jiwa orang Eropa, etnis Cina sebanyak 3.500 jiwa, Arab 50 jiwa, Timur Asing lainnya 50 jiwa, dan pribumi sebanyak 215.000 jiwa. Keberadaan berbagai macam etnis tersebut membawa pada akulturasi budaya, dibidang kesenian misalnya, terdapat alat musik serunai dari Cina, biola dari Eropa, rebana dan gendang panjang dari Arab (Islam).4 Eksistensi peran dan status sosial berbagai etnis pada masa ini dapat dicermati pada tabel berikut:
Tabel 2.3 Suku Bangsa (Etnis) di Bengkulu; Status Sosial dan Perannya pada Masa Belanda di Bengkulu
Suku bangsa (etnis) Keterangan Benggali lebih besar jumlahnya
daripada etnis Cina
Lebih dikenal sebagai Spahi, karena mereka adalah sisa pasukan Inggris yang di bawa ke Bengkulu
Bangsa Cina (ada 544 jiwa)
menduduki kelas dua Bekerja sebagai pedagang Bangsa Parsi dan Arab
jumlahnya tidak begitu banyak Bekerja sebagai pedagang Bangsa Negro jumlahnya sangat
sedikit umumnya bekerja pada para pensiun
Inggris yang menetap di Bengkulu Etnis Nias (ada 400 jiwa)
berstatus pondeling karena beberapa sebab, kebanyakan bekerja pada orang Cina, banyak yang sudah bebas (keluar) dan menetap dikampung nias.
Sumber: Depdikbud RI, Sejarah Daerah Bengkulu, (Jakarta: Depdikbud RI, 1977/1978), 118-127 dan 154.
Kekalahan Belanda dari Jepang pada tahun 1942, membawa era baru masa penjajahan Jepang di Bengkulu. Masa Jepang di Bengkulu adalah masa yang sangat sulit dirasakan oleh masyarakat, kelaparan dan ketakutan untuk dijadikan Romusha mengahantui masyarakat. Mengacu
3 Abdullah Siddik, Sejarah Bengkulu 1500-1990, 98 dan 133.
4 Depdikbud RI, Sejarah Daerah Bengkulu, 118-127 dan 154.
pada informasi dari Depdikbud RI dalam Sejarah Daerah Bengkulu,5 semasa Jepang di Bengkulu tidak mengganggu kesenian daerah setempat, seperti tari-tarian, drama dan lain sebagainya, selama kegiatan itu tidak bernuansa atau bahkan menimbulkan aksi-aksi politik, meskipun demikian tempat peribadatan tetap diawasi dengan ketat.
Kebebasan masyarakat Bengkulu di masa Jepang dikekang, sehingga menyebabkan matinya kreativitas masyarakat. Kehidupan sosial macet sama sekali. Dikarenakan kemiskinan yang melanda, pesta perkawinan pada masa Belanda diadakan, namun pada masa Jepang tidak/jarang dilaksanakan.
Demikian upacara Tabut yang sudah sejak lama rutin dilaksanakan, pernah tidak dilaksanakan, kesenian atau permainan yang menyenangkan tidak terlintas lagi dalam pikiran masyarakat. Dipandang dari segi lahiriah, selama pendudukan Jepang, pola hidup ala Jepang menjadi mode di Bengkulu, bahkan ada sebagian orang terdapat gejala lebih Jepang dari orang Jepang.
Memakai cawat di tempat umum, kepala gundul plontos, menyandang dan pakai kimono ala Jepang pernah jadi mode di Bengkulu. namun semua itu luntur kembali setelah pendudukan Jepang berakhir.
Perkembangan seni budaya di Bengkulu setelah pengakuan kedaulatan tahun 1949, dan tata adat sekapur sirih tetap dilaksanakan.
Demikian juga dengan perayaan Tabut, tari-tarian asli seni budaya daerah dimotivasi untuk tetap dipertahankan, seperti tari Kejei di Rejang Lebong, tari Gandai di Mukomuko. Perkembangan kehidupan beragama di Bengkulu mayoritas penduduknya beragama Islam, dan selebihnya pemeluk agama Katolik, Protestan, dan Hindu Bali. Sebagai daerah yang mayoritas beragama Islam, kehidupan masyarakatpun banyak diwarnai oleh kebudayaan Islam.6
Suku bangsa di Bengkulu sangat beragam, terdapat suku Jawa, Melayu Bengkulu (Lembak, Rejang, Pasemah, Serawai, Kaur), suku Minang, Sunda, dan lain sebagainya. Jika dihubungkan dengan kepemelukan agama dan jenis pekerjaan, maka suku Lembak, Serawai, Rejang, Bugis, Sunda- Priangan, Padang-Minangkabau, dan Madura, pada umumnya beragama Islam, bekerja sebagai petani, nelayan, pedagang dan Pegawai Negeri Sipil.
Selain itu sebagian suku bangsa Jawa dan suku Batak beragama Kristen, suku bangsa Bali beragama Hindu, penduduk etnis Cina beragama Budha.
5 Depdikbud RI, Sejarah Daerah Bengkulu, 168-178.
6 Depdikbud RI, Sejarah Daerah Bengkulu, 234-242.
1. Kota Bengkulu Daerah Tradisi Tabut
Sebagai ibu kota propinsi Bengkulu, kota Bengkulu didiami oleh penduduk yang heterogen dalam keberagaman suku dan pekerjaan.
Di kota Bengkulu terdapat suku Lembak (Bulang) yang berdomisili di seputar Pagar Dewa, Panorama, Tanjung jaya dan Tanjung Agung. Selain itu dibagian pesisir (kecamatan Teluk Segara) kawasan Malabro, Tapak Paderi, Pasar Bengkulu, Nala, Kampung Kepiri, Pondok Besi. Di wilayah inilah dominan suku asli kota Bengkulu berdomisili, selebihnya di wilayah lainnya lebih banyak suku pendatang.
Kaum pendatang di kota Bengkulu berasal daerah di luar propinsi Bengkulu, seperti suku Minang dari Sumatra Barat, sedangkan dari Sumatra Selatan, ada suku Lembak, Pasemah, dan suku Lintang. Selain itu ada juga suku Batak, Jawa, Sunda, dan suku Bugis. Selain itu terdapat juga suku lokal dari dalam propinsi Bengkulu seperti suku Rejang, Serawai, dan Kaur.
Kota Bengkulu salah satu tujuan migrasi dari daerah/kabupaten luar kota bahkan luar propinsi Bengkulu. Hal ini membuat penduduk kota Bengkulu sangat pluralis dan heterogen. Pluralitas penduduk kota Bengkulu – bahkan propinsi Bengkulu – dapat dilihat pada aspek bahasa yang digunakan oleh masyarakat. Umumnya berbagai propinsi di Indonesia memiliki bahasa ‘persatuan’ tersendiri. Masyarakat Aceh mempunyai bahasa Aceh, Sumatra Barat dengan bahasa Minang, Jawa dengan bahasa Jawa, demikian pula dengan Sunda dan lain sebagainya.
Akan tetapi di Bengkulu hal itu tidak ada, dari sembilan kabupaten dan satu kota, semuanya memiliki bahasa sendiri-sendiri yang tidak dapat dimengerti oleh masyarakat luar komunitasnya.
Keberagaman masyarakat Bengkulu menjadikan Bengkulu tidak memiliki bahasa Bengkulu. Masing-masing daerah mempunyai bahasa sendiri, sehingga apabila orang Bengkulu berbeda asal kabupaten diminta untuk berbicara bahasa Bengkulu, hal itu tidak akan pernah bisa dilakukan – seperti halnya orang Sunda bertemu sama-sama berasal dari Sunda, lalu terjadi komunikasi dengan bahasa Sunda. Orang sesama dari Bengkulu lain daerah bertemu, (orang Mukomuko dengan orang Manna), maka dapat dipastikan akan terjadi pembicaraan berbicara dengan bahasa Indonesia, tidak dengan bahasa daerah Bengkulu.7
7 Sebagai contoh keragaman bahasa adalah kata ‘tidak ada’ diucapkan oleh masyarakat sesuai daerah asalnya; coa gen [Rejang], col nye, dek nye, jadak nye [Lembak], dak nyo, idak nyo
Gambar 2.1 Peta Kota Bengkulu Sumber: google maps tanggal 30 April 2021 a. Pendidikan dan Sosial Budaya
Sampai saat ini Kota Bengkulu merupakan tujuan para pelajar dan mahasiswa dari berbagai daerah dalam propinsi Bengkulu, bahkan dari luar propinsi Bengkulu (Sumatra Selatan seperti dari Lintang, Linggau, Pagar Alam) untuk melakukan studi/belajar, khususnya pada tingkat pendidikan SLTP sampai Perguruan Tingi. Dijenjang pendidikan tinggi, di kota Bengkulu tercatat ada 7 perguruan tinggi dua di antaranya berstatus perguruan tinggi negeri. Menarik untuk dikemukakan bahwa dalam satu dasawarsa terakhir ini tepatnya setelah tahun 2005, di kota Bengkulu mulai ‘menggeliat lembaga pendidikan yang berlabel Islam Terpadu (IT).
Sebut saja misalnya TK-IT al-Hasanah, SD-IT al-Hasanah, SMP-IT al- Hasanah, TK-IT, SD-IT, SMP-IT Iqra di bawah yayasan Alfida, ada juga SD-IT Rabbani, SD-IT Khairunnisa.
[kota Bengkulu], ndiak bediau [Bengkulu Selatan], nido ado, ndo ado, ndo gango [Seluma], dik bedie, dide bedie [pasemah Kaur, Kedurang Bengkulu Selatan], de nye [Kaur], do dak, adu idok [Mukomuko].
Fenomena orangtua yang menyekolahkan anaknya di sekolah dengan ‘label’ Islam Terpadu (IT).8 Umumnya orangtua yang menye- kolahkan anaknya ke sekolah IT dikarenakan kedua orangtua si anak sibuk bekerja – biasanya bekerja di instansi pemerintah. Biaya masuk sekolah TK-IT ataupun SD-IT, nominalnya cukup fantastis untuk ukuran ekonomi kota Bengkulu, yakni sekitar 7-8 juta rupiah. Dalam pandangan penulis, pilihan orangtua menyekolahkan anaknya ke sekolah IT satu diantara alasannya adalah orangtua tidak direpotkan dengan menjemput anaknya – karena orangtua pulang kerja sore hari dapat langsung menjemput anak pulang sekolah. Sedangkan jika disekolah pemerintah (negeri) pulang sekolah jam 14.00 WIB, dan ini dapat merepotkan orangtua, waktu menjemput anak sudah tiba akan tetapi jam pulang kantor belum saatnya, oleh karena itu pilihan menyekolahkan anak ke sekolah IT merupakan satu alternatif pilihan.
Pada aspek siklus kelahiran di masyarakat kota Bengkulu, tidak begitu banyak rutinitas sebagaimana di masyarakat Jawa (acara tujuh bulanan, dsb). Akan tetapi, dapat ditemukan di sebagian masyarakat tepatnya masyarakat pendatang etnis Lintang dari Sumatra Selatan yang domisili di kota Bengkulu adalah acara Marhaba (memotong rambut cemar) diikuti dengan pembacaan Barzanji untuk anak yang baru lahir lazim mereka lakukan, dan Marhaba juga sebagian dilakukan oleh penduduk pribumi Lembak dan Bulang. Pada penduduk pendatang lainnya acara Marhaba untuk anak, jarang dilakukan.
Biasanya acara Marhaba dilaksanakan sebelum anak berumur 40 hari, acara ini sekaligus dirangkai dengan acara jamuan Aqiqah bagi si anak. Jika hanya acara Marhaba, maka acaranya sederhana, acara dilaksanakan dengan mengundang jiran tetangga diwaktu setelah Ashar (sore hari) ataupun setelah Maghrib, lalu dibacakan Barzanji, do’a dan diakhiri dengan makan. Sedangkan jika Marhaba digabungkan dengan acara Aqiqah, ada juga yang melaksanakannya dengan tambahan hiburan musik organ tunggal, acaranya siang hari, undangan juga agak lebih banyak dibandingkan dengan jika hanya melakukan acara Marhaba saja.
Berbeda dengan masyarakat pendatang etnis Lintang dengan Marhaba-nya yang dikemukakan di atas, di masyarakat pribumi kota
8 Sekolah dengan ‘label’ Islam Terpadu umumnya mulai masuk jam 8 pagi dan keluar/pulang setelah shalat Ashar (sekitar jam 4 sore hari).
Bengkulu tepatnya suku Lembak, acara ataupun rutinitas menyambut kelahiran bayi (sebelum bayi berumur 40 hari setelah lahir), memotong rambut cemar dikenal dengan istilah Nenjor, meskipun tidak sering dilakukan kegiatan ini tetap eksis di masyarakat lembak kota Bengkulu.
Adat perkawinan dilaksanakan sesuai dengan pernikahan yang dituntun oleh agama masing-masing. Yang tampak dan dapat dikemukakan di sini adalah acara resepsi pernikahan itu sendiri. Hari yang dipilih untuk acara pesta pernikahan umumnya adalah hari Sabtu dan atau hari Minggu. Lokasi acara dapat di rumah orang yang menikah ataupun dengan menyewa gedung. Unik dan menarik adalah soal undangan pesta pernikahan, banyak ditemukan – dialami oleh penulis maupun teman- teman penulis – undangan yang diterima terkadang si penerima undangan tidak mengenal orang yang mengundang, bahkan ada beberapa kasus nama orang yang akan diundang diambil datanya di rumah ketua RT, ditulis namanya lalu undangan disebarkan.
Patut diduga adanya dominasi motif ekonomi dalam melaksanakan pesta pernikahan dibandingkan dengan harapan mendapatkan/menjadi keluarga sakinah mawaddah wa rahmah. Motif ekonomi tampak dari jumlah undangan yang disebar, mengingat undangan yang datang biasanya menyumbangkan bantuan uang dalam amplop yang besarannya sesuai dengan kemampuan dan kedekatan hubungan si pengundang dengan yang diundang, hal ini sebenarnya tidak masalah, akan tetapi jika si empunya hajat (orang yang mengundang/pelaksana pesta perkawinan) memberikan undangan pada orang yang tidak dikenal, seperti dikemukakan di atas, lantas apa motifnya jika bukan ekonomi. Hal ini diperkuat lagi dengan adanya spekulasi bahwa laksanakan saja pesta pernikahannya meskipun dengan modal pinjaman, bukankah dari sumbangan/bantuan berupa uang dalam amplop dari undangan nanti akan dapat mengembalikan modal pinjaman untuk pesta tersebut. Bahkan ada juga yang memang memilih hari pesta pernikahannya diawal bulan, dengan asumsi orang baru gajian sehingga sumbangannya lebih menjanjikan. Meskipun demikian tidak semua orang yang melaksanakan hajat pesta pernikahan sebagaimana yang penulis kemukakan ini, dan hal ini membuka peluang untuk dilakukan satu kajian ilmiah melalui penelitian.
Istilah khatam Quran yang dilakukan saat pelaksanaan pernikahan, dilakukan oleh masyarakat Lembak kota Bengkulu. Kegiatan ini menurut penulis merupakan satu aktifitas simbolis yang bermakna bahwa kedua pengantin yang menikah telah dapat membaca Alquran. Umumnya ayat dan surah dari Alquran yang dibaca adalah surah al-Takastur sampai surah An-Naas.
b. Transportasi dan Pariwisata
Transportasi udara menuju/masuk ke Bengkulu melalui kota Bengkulu, hal ini dikarenakan pelabuhan udara (Bandara) Fatmawati berada di kota Bengkulu. Saat ini jadwal penerbangan dari dan ke Bengkulu ada tiga, yakni Bengkulu-Jakarta, Bengkulu-Batam, Bengkulu- Palembang. Untuk akses dari Jambi ada angkutan darat Ratu Intan, demikian juga angkutan darat dari Bengkulu ke Jawa cukup lancar dengan jadwal rutin armada bus Putra Raflesia dan SAN Travel. Angkutan dalam kota Bengkulu tersedia Angkot (angkutan kota) dengan menerapkan jalur khusus dan ditandai dengan warna mobil lima warna: jalur mobil warna merah, kuning, Biru, Hijau, dan mobil warna putih. Setiap warna mobil menunjukkan jalurnya masing masing.
Tujuan wisata di kota Bengkulu cukup banyak, bagi yang suka sejarah terdapat wisata sejarah dengan mengunjungi benteng Marlborough, makam Inggris di kelurahan Jitra, tugu Thomas Parr, komplek makam sentot Alibasya (komplek surau Lamo). Ada juga wisata alam dengan melihat pemandangan danau Dendam Tak Sudah maupun wisata pantai di pantai Panjang yang terkenal dengan pasir putihnya ataupun bersantai menikmati senja hari menunggu sunset di kawasan Tapak Paderi.
Sedangkan wisata kuliner dapat dilakukan di daerah Anggut dan lapangan View Tower depan Polres kota Bengkulu.
c. Telekomunikasi dan Pusat Belanja
Perkembangan alat komunikasi juga merambah kota Bengkulu, seperti kota lain di Indonesia umumnya, di kota Bengkulu sudah menikamti berbagai fasilitas dan layanan jaringan komunikasi, akan tetapi jaringan seluler khususnya, lebih dominan jaringan telkomsel, indosat, XL, dan jaringan tri. Banyak warga masyarakat, khususnya yang melek dunia maya (internet) menggunakan jaringan tri, sedangkan untuk jaringan indosat dan XL biasanya digemari oleh kaum muda.
Outlet-outlet atau masyarakat menyebutnya konter penjualan pulsa cukup mudah ditemukan sepanjang jalan dalam kota Bengkulu.
Terdapat beberapa pusat belanja di kota Bengkulu, ada Bengkulu Indah Mall (BIM) di daerah pantai Panjang, Mega Mall di dekat Pasar Minggu, pusat belanja kawasan Suprapto, pasar Baru Koto, pasar Panorama, pasar Minggu, pasar Pagar Dewa dan kawasan belanja oleh- oleh khas Bengkulu di daerah Anggut. Pada awal tahun 2016 di kota Bengkulu, kedatangan usaha waralaba alfamart dan Indomaret, meskipun sempat mendapat tantangan dari masyarakat atas keberadaan Indomaret ini, dengan alasan akan mematikan usaha kecil masyarakat dan isu soal izin usaha yang belum ada, namun pada akhirnya Indomaret tetap eksis di kota Bengkulu. Pada musim tertentu, biasanya pertengahan atau menjelang akhir tahun, kota Bengkulu banyak dibanjiri pedagang buah durian dengan harga ‘murah’ dari luar kota Bengkulu, sehingga bagi orang yang suka makan durian, boleh datang pada musim ini.
2. Teluk Segara, Basis Wilayah KPT Tabut
Kecamatan Teluk Segara merupakan satu kecamatan dari empat kecamatan tertua di kota Bengkulu (sebelum pemekaran seperti saat ini kota Bengkulu memiliki 13 kecamatan, dan setelah mengalami pemekaran sebanyak empat kecamatan, kecamatan Teluk Segara merupakan kecamatan dengan luas wilayah paling kecil di kota Bengkulu). Kecamatan Teluk Segara memiliki luas wilayah 1,74% dari luas kota Bengkulu yakni seluas 255,8 Ha. Berada pada posisi tanjung dan memiliki teluk (sebagaimana tampak dalam peta), kecamatan Teluk Segara di sisi Utara berbatasan dengan Kecamatan Muara Bangkahulu, sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Ratu Agung, sebelah Barat berbatasan dengan Samudara Hindia, sebelah Timur berbatasan langsung dengan kecamatan Sungai Serut.
Gambar 2.2 Peta Kecamatan Teluk Segara Sumber: google maps tanggal 31 Mei 2021
Pusat administrasi pemerintah Kecamatan Teluk Segara berada di kelurahan Jitra. Sebagaimana daerah lainnya di kota Bengkulu, sebagai wilayah yang tergolong tua dan bersejarah, kehidupan beragama masyarakat di kecamatan Teluk Segara sangat heterogen, hal ini dapat diketahui dari keberadaan sarana tempat ibadah masing masing pemeluk agama, Islam (17 buah masjid), Kristen (1 buah Gereja), Katolik (1 buah Gereja), dan Budha (1 buah Vihara).
Kelurahan Malabro9 merupakan daerah yang berada ditepi pantai,
9 Pada dasarnya tidak ada perbedaan antara kata Malabero ataupun Malabro, dalam beberapa