Mengikuti fokus kajian yang dilakukan yakni pada aspek pencarian makna dari berbagai tanda/simbol-simbol86 yang ada dalam tradisi
85 Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Islam Budaya Lokal (Yogyakarta: UIN Sunan
Kalijaga, 2005), 112.
86 Simbol-simbol agama merupakan sasaran dalam kajian agama. Lihat Atho Mudzar, Pendekatan
Tabut, maka penelitian ini merupakan penelitian berparadigma kualitatif87 dengan pendekatan sejarah dan komunikasi, sedangkan metode yang digunakan adalah metode semiotik. Pendekatan sejarah digunakan sebagai kerangka pikir memahami simbol yang direpresentasikan dalam tradisi Tabut. Upaya mengeksplorasi makna simbol akan didialogkan dengan realitas sejarah Bengkulu. Adapaun pendekatan komunikasi dipilih untuk memahami simbol sebagai bagian dari peristiwa komunikasi, sehingga dinilai penting untuk meminjam kerangka pikir interaksi simbolis dan menggunakan metode analisis semiotik guna memahami dan memaknai simbol dalam tradisi Tabut.
1. Lokasi Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di Kotamadia Bengkulu, tepatnya di Kecamatan Teluk Segara. Teluk Segara merupakan wilayah KPT Tabut dominan berdomisili. Kelurahan Tengah Padang, Kelurahan Berkas, Kelurahan Malabro, dan Kelurahan Pasar Melintang, merupakan wilayah yang mempunyai keterkaitan dengan pelaksanaan tradisi Tabut. Dengan kata lain keempat kelurahan tersebut merupakan lokasi di mana para KPT Tabut lebih banyak berdomisili dan masih adanya generasi tua di kalangan KPT Tabut, karena generasi tua dipandang lebih banyak mengetahui informasi tentang perkembangan tradisi Tabut.
2. Data Penelitian
Umumnya objek kajian semiotik menganalisis data berupa data teks, data auditif dan data audio visual. Bahkan ada kecenderungan bahwa ketiga golongan data itu dianggap sebagai teks yang terbagi menjadi teks auditif (verbal dan non verbal), audio visual (verbal dan non verbal), visual (non verbal), dan tertulis (verbal).88 Dalam cakupan yang lebih luas, realitas kehidupan sehari-hari yang sudah membudaya dan mempunyai atau menghasilkan makna, dapat juga diartikan sebagai teks.89 Ketiga jenis data tersebut terdapat dalam penelitian ini. Prosedur pengumpulan data dan teknik analisis data penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:
Studi Islam dalam Teori dan Praktek, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), hlm. 14
87 Suatu prosedur penelitian yang menghasilkan deskriptif data berupa kata-kata tertulis atau
lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati atau dijadikan sumber informasi.
Penelitian kualitatif digunakan dan dipilih untuk menjawab pertanyaan mengapa, alasan apa, dan bagaimana terjadinya, dari suatu fenomena sosial dalam kehidupan masyarakat. Lihat Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2004),
88 Benny H. Hoed, Semiotik & Dinamika Sosial Budaya, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), 20.
89 Rachmah Ida, Studi Media dan Kajian Budaya, (Jakarta: kencana, 2014), 62.
a. Observasi
Observasi (pengamatan) tidak terlibat penulis gunakan dengan panduan pengamatan yang dikemukakan oleh Suparlan90 dengan mencatat/merekam kenyataan91 yang ada di lapangan dengan menggunakan kamera foto dan video sebagai alat bantu catatan lapangan.
Pengamatan dilaksanakan di lokasi pelaksanaan tradisi Tabut, yakni di Gerga kelompok Tabut Imam di kelurahan Berkas dan Gerga kelompok Tabut Bansal, dan selama prosesi pelaksanaan tradisi Tabut. Pengamatan terhadap simbol situasi yang ada dalam prosesi tradisi, seperti Penja, dan lain sebagaianya hanya dapat dilakukan selama bulan Tabut yakni tanggal 1-10 Muharam, sedangkan simbol ataupun atribut yang digunakan di luar pelaksanaan tradisi, seperti keberadaan Gerga, penulis amati di luar bulan Muharam.
Keberadaan dua kelompok pelaksana tradisi Tabut yang lokasinya terpisah, sedangkan prosesi/pelaksanaan tradisi Tabut dilaksanakan serentak, membuat waktu pengamatan tidak dapat dilakukan dalam satu waktu, sehingga penulis bergantian melaksanakan pengamatan dari tahun ke tahun, seperti pada tahun 2010 dan 2014 mengamati kelompok Tabut Bansal, dan tahun 2011dan 2015 melakukan pengamatan pada kelompok Tabut Imam. Meskipun demikian, penulis tetap mengambil dokumen berupa foto dan video pada kelompok yang tidak dilakukan pengamatan langsung oleh penulis, yakni dengan bantuan pembantu peneliti.
Pengamatan yang penulis lakukan terkadang sambil bergerak (berjalan kaki lebih dari lima kilometer) mengikuti pelaksanaan tradisi Tabut, seperti prosesi Tabut menjara, penulis berjalan mengikuti rombongan Tabut menjara dari kelompok Tabut Imam menuju kelompok Tabut Bansal, ataupun sebaliknya. Kamera foto sebagai alat bantu pengamatan dan mendapatkan dokumen foto lapangan, sangat bermanfaat jika pada kamera yang digunakan diaktifkan fitur tanggal dan waktu sebuah foto diambil. Karena ketika melihat waktu dan tanggal foto diambil pada sebuah foto, sangat membantu penulis mengingat objek kejadian yang diamati di lapangan dengan memperhatikan urutan waktu pengambilan foto.
90 Observasi dapat dilakukan dengan berfokus pada pelaku, suasana, prosesi, tempat, waktu, barang-barang yang digunakan, makna, dan tujuan.. Suparlan dalam Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LKiS, 2005), 50.
91 Rianto Adi, Metodologi Penelitian Sosial dan Hukum,(Jakarta; Granit, 2004), 70.
b. Wawancara
Wawancara yang digunakan adalah wawancara mendalam non partisipan dengan desain wawancara tak-terstruktur model Fontana dan Frey.92 Informan penelitian dipilih untuk diwawancarai diambil dengan cara snowball dengan mencari informan kunci.93 Dalam wawancara dengan informan, guna mengetahui makna simbol dalam tradisi Tabut, dan mendapatkan jawaban yang komprehensif, penulis menggunakan panduan wawancara dari Spradley.94 Penelusuran dan pengambilan informan kunci dalam penelitian ini diawali dengan mengidentifikasi nama/orang yang senior (key informant) dalam KPT Tabut, usaha untuk menemukan informan dilakukan dengan mempertimbangkan informan adalah pelaku tradisi Tabut, sehingga penulis mendapatkan nama Bapak Rustam Efendi alias Rustam Lakonco (meninggal pada awal tahun/bulan Maret tahun 2014) di kelurahan Pasar Baru.
Bermula dari informan kunci, selanjutnya penulis mendapatkan nama Rustam Efendi (alias Rustam Gabe), Syiafril (biasa dipanggil dengan Bang Mamu atau Bang Il), Bapak Bambang Hermanto. Senioritas di kalangan pewaris pelaksana tradisi Tabut, menjadikan nama Syiafril sebagai tokoh sentral pelaksana tradisi Tabut saat ini, sehingga jika mencari informasi seputar tradisi Tabut, maka nama yang akan muncul pertamakali dan dominan adalah nama Bapak Syiafril yang berdomisili di Pasar Melintang.
Penulis tidak hanya melakukan wawancara dengan model wawancara konvensional sebagaimana umumnya, wawancara terkadang dilakukan sambil informan bekerja mempersiapkan peralatan tradisi Tabut (bersamaan dengan saat melakukan pengamatan), maupun disela- sela pelaksanaan tradisi, yakni sepanjang penulis mengikuti tahapan demi tahapan prosesi tradisi Tabut. Sesuai situasi dan kebutuhan, wawancara via telepon juga penulis lakukan (wawancara dengan Heriandi – sekretaris
92 Baca Andre Fontana dan James H. Frey “Wawancara Seni Ilmu Pengetahuan” dalam Norman K.
Denzin dan Yvonna S. Lincoln, Handbook of Qualitatif Research, terj. Dariyatno dkk, (Yogyakarta;
Pustaka Pelajar, 2009), 508 dan Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, edisi Revisi, (Bandung; Remaja Rosdakarya, 2006), 190.
93 Baca Sugiyono, Metode Penelitian Pendidikan Pendekatan Kuantitatif, Kualitatif dan R&D, (Bandung: Alfabeta, 2009), 300. Lihat juga Lexy J. Moleong. Metodologi Penelitian Kualitatif, 132-133.
94 Untuk mengetahui makna sesuatu, maka jangan ditanyakan apa maknanya, tetapi tanyakan apa kegunaannya. Selengkapnya James P. Spradley, Metode Etnografi, 137.
KKT), bahkan dengan informan Syiafril penulis melakukan wawancara dengan menggunakan media sosial Facebook maupun WhatsApp. Bahkan melalui media sosial tersebut tidak sedikit penulis mendapat/diberikan kiriman data berupa dokumen (satu di antaranya adalah dokumen Cempalo terkait dengan tradisi Tabut).
Satu hal yang memudahkan penulis melakukan wawancara adalah informan yang mengetahui penulis sebagai peneliti akademisi, sehingga informan sangat merespons. Dalam pandangan penulis, akan berbeda jika ada yang akan wawancara bukan dari kalangan akademisi, para pelaku tradisi Tabut cenderung memilih dan memilah, karena ada rasa khawatir akan adanya pernyataan bahwa Tabut itu bid’ah, sesat dan lain sebagainya yang dipandang oleh KPT Tabut sebagai informasi yang tidak berpihak dan merugikan KPT Tabut.
Meskipun informan yang diwawancarai bersedia dan tidak keberatan pernyataannya ditulis ataupun direkam saat wawancara, namun berdasarkan pada pengalaman penulis, akan lebih baik jika dalam wawancara tidak membawa alat tulis, apalagi menulis apa yang dikatakan informan di depan dan pada saat informan berbicara, selain perhatian tidak fokus, informan juga merasa canggung, grogi dan terkesan memiliki beban dan agak sedikit ‘tertutup’ (informan memberikan informasi terbatas).
Sangat berbeda jika wawancara dilakukan seperti suasana ngobrol sehari- hari, tanpa terlihat ada catatan dan alat perekam. Informan terbuka dan lebih terkesan tidak ada beban dalam berwawancara.
Satu cara yang penulis lakukan guna menghindari membawa alat tulis (menulis di depan informan) saat wawancara berlangsung, adalah dengan cara menghapal/mengingat beberapa poin pertanyaan yang akan ditanyakan kepada informan. Cara lain yang penulis lakukan adalah dengan membuat catatan pertanyaan di handphone (sehingga saat wawancara sesekali harus buka handphone guna melihat pertanyaan yang akan ditanyakan), namun sebaiknya dalam satu sesi wawancara, akan lebih baik tidak menanyakan lebih dari lima pertanyaan kepada informan, karena biasanya akan ada pertanyaan pengembangan dari pertanyaan pokok yang direncanakan.
Dikarenakan saat wawancara berlangsung tidak mencatat jawaban dan pernyataan informan, maka setelah wawancara selesai (berpisah
dengan informan), maka hal yang harus dilakukan adalah mampir/
berhenti disatu tempat (boleh warung makan, ataupun tempat tertentu yang dirasa nyaman), lalu menulis jawaban maupun pernyataan informan dari wawancara yang baru saja dilakukan. Jika pada hari yang sama akan dilakukan wawancara lebih dari satu orang informan, maka penulis mewawancarai tidak lebih dari dua informan, dan setiap selesai wawancara penulis selalu menulis hasil wawancara terlebih dahulu, baru melanjutkan wawancara kepada informan lainnya.
c. Dokumentasi
Berbagai bentuk dokumen dalam versi tertulis/cetak, seperti foto, kliping, maupun dokumen audio visual seperti film, yang relevan dengan data penelitian diakses dengan berbagai cara. Meskipun tidak selalu sukses mendapatkan dokumen yang ada pada teman dan kolega melalui media sosial, namun media sosial cukup membantu dalam berkomunikasi dalam pencarian dokumen dan informasi yang dibutuhkan terkait dengan penelitian. Penulis pernah mendapatkan dokumen dari informan melalui media sosial.
Meskipun demikian penulis juga pernah mengalai kegagalan mendapatkan dokumen melalui media sosial, penulis berusaha menjalin kontak via media sosial Facebook dengan Eni Afrita (karena menurut informasi yang penulis dapatkan Eni Afrita – yang berdomisili di Padang, Sumatra Barat – menyimpan naskah yang ditulis Asli dengan tulisan Arab Melayu), namun sampai penulisan laporan penelitian ini selesai, naskah tersebut belum penulis dapatkan. Selain itu penulis juga mengakses dokumen terkait dengan penelitian di perpustakaan daerah Bengkulu yang berada di Jalan Mahoni Sawah Lebar. Penelusuran melalui internet juga penulis lakukan untuk mendapatkan data terkait dengan Bengkulu, namun dokumen peribadi penulis yang dikumpulkan dalam lima tahun terakhir cukup membantu data catatan lapangan selama penelitian dilakukan.
Dokumentasi juga diambil dari dokumen tentang tradisi Tabut yang dimiliki oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tergabung dalam KKT, Dinas Pariwisata Pemerintah Daerah Bengkulu, budayawan yang ada di kota Bengkulu, berbagai perpustakaan di kota Bengkulu (utamanya perpustakaan Daerah Bengkulu), dan pada perpustakaan IAIN Bengkulu maupun perpustakaan Universitas di Bengkulu.
d. Analisis Data Penelitian
Mengikuti pendekatan dan objek kajian penelitian, yakni pendekatan sejarah dan komunikasi yang mengkaji tanda/simbol, maka analisis data penelitian menggunakan metode analisis semiotika model Charles Sanders Peirce. Selain itu, pemilihan metode semiotika ini sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Kaelan, semiotika Peirce menekankan pada semiotika komunikasi.95 Semiotika komunikasi Charles Sanders Peirce dikenal dengan model segitiga makna (triangle meaning) yakni, tanda (sign), objek (object), dan interpretan (interpretant).96
Penting untuk memperhatikan konteks dalam melakukan satu interpretasi/penafsiran simbol, sebagaimana yang dikemukakan Bizawe:
“simbolisasi dan interpretasi adalah suatu kerja yang peka terhadap konteks”.97 Teori penafsiran yang dikemukakan oleh Turner sebagai berikut: (1) makna diperoleh dari informan warga setempat (2) makna yang diperoleh dalam tindakan yang dilakukan dalam ritual (3) makna yang diperoleh melalui interpretasi terhadap simbol dalam hubungannya dengan simbol lain secara totalitas yang dihubungkan dengan pemilik simbol98 dalam tradisi Tabut. Hal-hal demikian tidak dapat dinafikan dalam melakukan analisis data penelitian ini.
Aplikasi triangle meaning dalam penelitian ini dilakukan dalam tiga tahap berikut, data yang ada berupa simbol-simbol dalam tradisi Tabut yang ingin diketahui maknanya (representament) diidentifikasi lalu ditanyakan makna simbol itu kepada informan (sebagai interpretant) dan selanjutnya dideskripsikan dengan dukungan data observasi dan dokumen yang ada. Makna simbol yang diberikan oleh informan (para pelaku tradisi Tabut), lalu ditriangulasi dan didialogkan dengan rujukan object (acuan/referensi atau sesuatu yang dirujuk oleh tanda yakni, sejarah dan ekologi Bengkulu maupun pada makna tanda dari tanda lain yang sejenis, lalu dibahas dengan kerangka teori yang ada.
95 Kaelan, Filsafat Bahasa Semiotika dan Hermeneutika, (Yogyakarta: Paradigma, 2009), 161.
96 Interpretant yang dimaksud adalah pemahaman subjek atas tanda, sedangkan objek adalah apa yang dikemukakan oleh tanda, apa yang diacunya, dan apa yang ditunjukkannya. Baca Yasraf Amir Piliang. Hipersemiotika Tafsi Culturalr..., 266 dan baca juga Kaelan, Filsafat Bahasa Semiotika.., 195.
97 Zainul Milal Bazawie, Laskar Ulama-Santri & Resolusi Jihad, (Tangerang: Pustaka Kompas, 2014), 17.
98 Turner dikutip oleh Suwardi Endraswara, Metodologi Penelitian Kebudayaan, (Yogyakarta:
Gadjahmada University Press, 2006), 173.