• Tidak ada hasil yang ditemukan

Berbagai Metode Penafsiran

TINDAK PIDANA

J. Penafsiran dalam Hukum Pidana

2. Berbagai Metode Penafsiran

Di dalam praktik penegakan hukum dikenal berbagai macam cara atau metode penafsiran. Berbagai macam metode penafsiran itu adalah sebagai berikut:

a. Penafsiran autentik, yakni penafsiran dengan mengikuti penjelasan yang terdapat di dalam undang-undang itu sendiri atau penjelasan yang diberikan oleh pembentuk undang- undang. Contohnya, KUHP buku I titel IX. Contoh lain di dalam RUU KUHP yaitu berbagai batasan pengertian yang diberikan oleh pembentuk/penyusun RUU KUHP pada pasal- pasal mulai Pasal 149 s/d 191 RUU KUHP;

b. Penafsiran gramatikal, yakni penafsiran dengan menyandarkan pada arti kata yang dipakai sehari-hari;

c. Penafsiran logis, yakni penafsiran yang menyandarkan pada akal/pikiran yang objektif yang biasanya dengan cara mencari perbandingan di antara beberapa undang-undang;

d. Penafsiran sistematik, yakni penafsiran yang mendasar kan sistem dalam undang-undang itu, dengan menghubungkan bagian yang satu dengan bagian yang lain dari undang-undang itu;

e. Penafsiran historis, yakni penafsiran yang didasarkan pada sejarah pembentukannya, yang dibedakan menjadi dua:

1) Penafsiran berdasarkan sejarah pertumbuhan hukum yang diatur di dalam undang-undang;

2) Penafsiran berdasarkan sejarah pembentukan undang- undang untuk mengetahui apa yang dimaksudkan oleh pembentuk undang-undang.

f. Penafsiran teleologis, yakni penafsiran yang didasarkan pada tujuan yang dikehendaki oleh pembentuk undang-undang ketika membuat undang-undang itu.

g. Penafsiran ekstensif, yakni penafsiran yang dimaksudkan untuk memperluas cakupan ketentuan yang dimaksudkan di dalam suatu undang-undang;

h. Penafsiran analogis, yakni penafsiran yang didasarkan pada jalan pikiran untuk memberlakukan peraturan yang ada pada perbuatan yang tidak diatur dengan tegas di dalam undang- undang. Menurut Wirjono Prodjodikoro, penafsiran analogi terjadi bilamana dengan suatu cara penafsiran disimpulkan

125 125 bahwa suatu kejadian atau peristiwa tertentu tidak turut diatur dalam suatu peraturan hukum, namun tetap dianggap diliputi oleh peraturan itu.65 Contoh hasil penafsiran analogi, putusan (arrest) Mahkamah Agung Belanda (Hoge Raad) pada tahun 1892 yang menyamakan kawal telepon dengan kawat telegraf.

Contoh lain, putusan Mahkamah Agung Belanda 23 Mei 1921 yang menyamakan aliran listrik sebagai termasuk barang.66 i. Penafsiran penghalusan hukum atau penafsiran restriktif

(recht–verfijning/restrictive interpretatie), yakni penafsiran yang dimaksudkan untuk mempersempit atau membatasi cakupan pengertian ketentuan yang terdapat di dalam undang-undang.

Contoh, kesimpulan butir II angka 4 loka karya hakim di Batu Malang 23 s/d 26 Oktober 1978: Interpretasi yang ekstensif yang dilaksanakan oleh hakim, perlu diimbangi dengan sikap menahan diri, sehingga penafsiran tidak dilakukan secara ekstensif dan agar tidak menjadikan Undang-Undang tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi sebagai an all embracing atau multi purpose act. Dalam angka 5 disebutkan: Dalam menghadapi Undang-Undang tentang Pemberantasan Kegiatan Subversi, hakim harus mengadakan pembatasan terhadap perumusan delik, sehingga merupakan penghaluasan hukum (rechts- verfijning).67

j. Penafsiran a contrario (argumentum a contrario), yakni penafsiran yang dimaksudkan untuk mencari makna atau pengertian yang sebaliknya dari apa yang disebutkan secara tersurat dalam suatu pernyataan atau undang-undang. Contohnya, makna yang sebaliknya dari ungkapan “Tidak ada pidana tanpa kesalahan” yakni pidana hanya dijatuhkan kepada seseorang yang mempunyai kesalahan. Contoh lain, Dilarang melakukan sesuatu perbuatan tertentu. Kebalikannya ialah bahwa kalau sesorang melakukan suatu perbuatan yang tidak dilarang, maka ia berada di luar jangkauan larangan tersebut.68

Doktrin hukum pidana melarang penggunaan penafsiran analogi dengan alasan dapat menyebabkan ketidakpastian hukum.

65 S.R. Sianturi, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta: ALUMNI AHAEM – PETEHAEM, hal. 68.

66 Ibid., hal. 68.

67 Andi Hamzah, 1992, Hukum Pidana Politik, Jakarta: Pradnya Paramita, hal. 29,30.

68 S.R. Sianturi, 1989, Asas-Asas Hukum Pidana Di Indonesia Dan Penerapannya, Jakarta: ALUMNI AHAEM – PETEHAEM, hal. 66.

Larangan penggunaan penafsiran analogi merupakan konsekuensi dari berlakunya asas legalitas di dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP.

Berkaitan dengan adanya larangan penggunaan penafsiran analogi, terdapat perbedaan pendapat di kalangan akademisi. J.E.

Jonkers merupakan salah seorang yang menolak keberatan atas penggunaan penafsiran analogi. Menurut Jonkers, jurisprudensi (putusan-putusan hakim yang telah berkekuatan tetap) memberi banyak contoh mengenai penafsiran yang memperluas arti dalam penerapan hukum pidana. Dalam banyak kasus, meskipun penerapan hukum dilakukan menggunakan penafsiran ekstensi ataupun teleologis, sesungguhnya tetap merupakan analogi.

Penafsiran ekstensif, penafsiran teleologis dan penafsiran analogi hampir sama, sehingga sukar untuk mengadakan perbedaan- perbedaan. Tiap-tiap analogi dengan akal cerdik dapat dinamakan teleologi. Berikut ini akan diberikan beberapa contoh putusan pengadilan yang memuat penafsiran memperluas arti itu:69

a. Putusan (arrest) Mahkamah Agung (Hoge Raad) Belanda 18 Maret 1935 (N.J. 1935–994) memuat penafsiran bahwa apa yang dimaksud dengan tanah adalah setiap lapangan yang terbuka termasuk juga jembatan yang menghubungkan lapangan itu.

b. Putusan (arrest) Mahkamah Agung (Hoge Raad) Belanda 23 Mei 1921 (N.J. 1921–564) memuat penafsiran bahwa apa yang dimaksud pencurian termasuk juga mempergunakan kekuatan listrik tanpa memakai meteran.

Menurut Taverne, perluasan pengertian pencurian termasuk juga seperti, menadah minyak tanah dari gerbong kereta api yang bocor; mengalirkan gas dengan membuka kran pipa;

mengambil bensin dengan menggunakan mobil untuk pesiar tanpa izin dari pemiliknya (joy riding); menyepak seekor ayam secara sedemikian rupa sehingga jatuh dari kereta api sementara di bawah telah siap orang lain yang mengambilnya.

c. Putusan pengadilan Leeuwarden Belanda 10 Desember 1919 (N.J. 1920-187) memandang bepergian ke pasar dan berdiri di samping sapi yang tidak diikat kemudian menjualnya kepada tengkulak, merupakan perbuatan pencurian. Di Indonesia, putusan Mahkamah Agung R.I. 22 Oktober 1963

69 J.E. Jonkers, 1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta:

Bina Aksara, hal. 71, 72; Bambang Poernomo, 1998, Asas-Asas Hukum Pidana Indonesia, Jakarta: Ghalia Indonesia, hal. 41,42.

127 127 No. 64/K/Kr/1963 memuat pandangan bahwa pemberian bon pertanggungan jawab untuk pengambilan kopi tidak menghilangkan kesalahan penuntut kasasi tentang pencurian kopi.

d. Putusan pengadilan Leeuwarden 17 Desember 1913 (N.J. 1914–

172) memuat penafsiran bahwa barang yang dibeli dengan uang dari hasil pencurian, dipandang sebagai pengganti uang karena pencurian, dan dipandang sebagai sesuatu barang yang diperoleh dari kejahatan. Di Indonesia, putusan Mahkamah Agung R.I. 13 November 1962 No. 125 K/Kr//1960 memuat pandangan bahwa mobil yang dibeli dengan uang hasil kejahatan merupakan barang yang diperoleh dari hasil kejahatan meskipun secara tidak langsung, karena itu dapat dirampas.

e. Putusan (arrest) Mahkamah Agung (Hoge Raad) Belanda 14 Oktober 1940 (N.J. 1941–87) memuat pandangan bahwa suatu perbuatan sebagai penipuan yakni seseorang yang dengan menggunakan nama palsu menjalankan pidana yang dijatuhkan atas orang lain, yang menyebabkan kepadanya diberikan makanan dan pakaian yang hanya merupakan hak dari seorang terpidana.

Dari berbagai putusan pengadilan yang memuat penafsiran yang memperluas itu, tidak dapat disebutkan dengan pasti putusan mana yang bukan analogi. Satu hal menurut Jonkers, dengan menerima penafsiran ekstensif atau teleologi dan tidak memperbolehkan analogi, maka unsur kesungguhan dalam hukum pidana yang sangat penting menjadi dirugikan. Penolakan penafsiran analogi tetapi menerima penafsiran ekstensif dan teleologis menimbulkan kesan ada peradilan pura-pura di hadapan hukum masyarakat.70

Wirjono Prodjodikoro berpandangan bahwa sebaiknya penggunaan analogi dalam hukum pidana tidak secara mutlak dilarang ataupun diperbolehkan. Tiap-tiap perkara atau kasus harus ditinjau sendiri-sendiri dan secara jujur dilihat, bagaimana pada kasus yang sedang diperiksa rasa keadilan sebaik-baiknya akan dipenuhi.71

70 J.E. Jonkers, 1987, Buku Pedoman Hukum Pidana Hindia Belanda, Jakarta: Bina Aksara, hal. 71,72.

71 S.R. Sianturi, Op.cit., hal. 69.

RUU KUHP 2016 condong pada sikap yang tegas untuk menolak penggunaan penafsiran analogi. Di dalam Pasal 1 ayat (2) RUU KUHP 2016 tersebut dinyatakan “Dalam menetapkan adanya tindak pidana dilarang menggunakan analogi.” Dalam penjelasan ayat (2) ini dikatakan bahwa larangan penggunaan penafsiran analogi dalam menetapkan adanya tindak pidana merupakan konsekuensi logis dari berlakunya asas legalitas. Penyusun RUU KUHP mengartikan penasiran analogi, bahwa terhadap suatu perbuatan yang pada waktu dilakukan tidak merupakan suatu tindak pidana, tetapi terhadapnya diterapkan ketentuan pidana yang berlaku untuk tindak pidana lain yang mempunyai sifat atau bentuk yang sama, karena kedua perbuatan tersebut dipandang analog satu dengan yang lain.Dengan ditegaskannya larangan penggunaan analogi di dalam RUU KUHP ini, maka penyusun RUU KUHP berharap perbedaan pendapat yang terdapat di dalam praktik penegakan hukum selama ini dapat dihilangkan.

K. Hubungan Sebab Akibat dalam Terjadinya Tindak Pidana