TINDAK PIDANA
N. Model Perumusan Sifat Melawan Hukum dalam Undang- Undang
1. Rumusan tindak pidana yang dengan tegas memakai istilah
“melawan hukum” (wederrechtlijk). Contohnya: Pasal 167 ayat (1) KUHP, Pasal 168 ayat (1) KUHP, Pasal 335 ayat (1) KUHP, Pasal 522 KUHP.
Pasal 167 KUHP ayat (1)
“Barangsiapa memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai orang lain dengan melawan hukum, atau berada di situ dengan melawan hukum, dan atas permintaan
102 Moeljatno, 1987, Op.cit., hal. 134.
103 Ibid, hal. 130; Sudarto, Op.cit., hal. 83.
yang berhak atau suruhannya tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan atau denda paling banyak tiga ratus rupiah.”
Pasal 168 ayat (1)
“Barangsiapa memaksa masuk ke dalam ruangan untuk dinas umum, atau berada di situ dengan melawan hukum dan atas permintaan pejabat yang berwenang tidak pergi dengan segera, diancam dengan pidana penjara paling lama empat bulan dua minggu atau denda paling banya tiga ratus rupiah”
Pasal 335 ayat (1) KUHP
“Diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun atau denda paling banyak tiga ratus rupiah:
ke-1. barangsiapa secara melawan hukum memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu, dengan memakai kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, atau dengan memakai ancaman kekerasan, sesuatu perbuatan lain maupun perlakuan yang tak menyenangkan, baik terhadap orang itu sendiri maupun orang lain;
ke-2. barangsiapa memaksa orang lain supaya melakukan, tidak melakukan atau membiarkan sesuatu dengan ancaman pencemaran atau pencemaran tertulis.”
Pasal 522 KUHP
“Barangsiapa menurut undang-undang dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa, tidak datang secara melawan hukum, diancam dengan denda paling banyak enam puluh rupiah.”
Rumusan tindak pidana yang menggunakan istilah lain, seperti:
Pasal 303 ayat (1) ke-1.
“Diancam dengan pidana penjara paling lama sepuluh tahun dan denda paling banyak dua puluh lima juta rupiah, barangsiapa tanpa mendapat izin:
ke-1. Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan untuk permaian judi dan menjadikan sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu;”
147 147 Pasal 548 KUHP
“Barangsiapa tanpa wenang, membiarkan unggas ternaknya berjalan di kebun atau tanah benihan atau tanaman, diancam dengan denda paling banyak lima belas rupiah.”
Pasal 496 KUHP]
“Barangsiapa tanpa izin kepada polisi atau pejabat yang ditunjuk untuk itu, membakar barang tak bergerak kepunyaan sendiri, diancam dengan denda paling tingii lima puluh rupiah.”
Pasal 430
1. Seorang pejabat yang dengan melampaui kekuasaannya, menyuruh memperlihatkan kepadanya atau merampas surat, kartu pos, barang atau paket, yang diserahkan kepada lembaga pengangkutan umum atau telegram yang dalam tangan pejabat telegrap untuk keperluan umum, diancam dengan pidana penjara paling lama dua tahun delapan bulan.
2. Pidana yang sama dijatuhkan kepada pejabat yang dengan melampaui kekuasaannya, menyuruh seorang pejabat telepon atau orang lain yang ditugasi pekerjaan telepon untuk keperluan umum, memberi keterangan kepadanya tentang sesuatu percakapan yang dilakukan dengan perantaraan lembaga itu.”
Pasal 429 KUHP ayat (1)
“Seorang pejabat yang, dengan melampaui kekuasaan atau tanpa mengindahkan cara-cara yang ditentukan dalam peraturan umum, memaksa masuk ke dalam rumah, ruangan atau pekarangan tertutup yang dipakai oleh orang lain, atau jika berada di situ secara melawan hukum , tidak segera pergi atas permintaan yang berhak atau atas nama orang itu, diancam dengan pidana penjara paling lama satu tahun empat bulan atau denda paling tinggi tiga ratus rupiah.”
Bertitik tolak dari bervariasinya perumusan tindak pidana sebagaimana disebutkan di atas, beralasan pula jika timbul pertanyaan mengapa pembentuk undang-undang mencantumkan secara tegas unsur sifat melawan hukum di dalam rumusan delik/
tindak pidana. Menurut Sudarto, alasannya ialah karena pembentuk undang-undang khawatir apabila unsur sifat melawan hukum itu tidak dicantumkan dengan tegas, maka orang yang sebenarnya berhak atau berwenang untuk melakukan perbuatan-perbuatan
sebagaimana dirumuskan di dalam undang-undang itu, mungkin akan ikut dipidana.104
Bagaimana perumusan sifat melawan hokum dalam RUU KUHP? Telah dikemukakan di depan, bahwa ajaran sifat melawan hukum yang materiil, sifat melawan hukum dipandang sebagai unsur pokok atau mutlak setiap tindak pidana. RUU KUHP 1999/2000 memandang bahwa sifat melawan hukum merupakan unsur pokok tindak pidana. Berikut ini dikutipkan lagi rumusan Pasal 15 RUU KUHP itu.
Pasal 15
(1) Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengn pidana.
(2) Untuk dapat dipidananya perbuatan yang dilarang dan diancam pidana oleh peraturan perundang-undangan, perbuatan tersebut harus juga bersifat melawan hukum atau bertentangan dengan kesadaran hukum masyarakat.
(3) Setiap tindak pidana selalu dipandang bersifat melawan hukum, kecuali ada alasan pembenar.
Semangat yang terkandung di dalam rumusan Pasal 15 di atas, tampaknya sejalan dengan pendirian atau ajaran sifat melawan hukum yang materiil, yang berpandangan bahwa sifat melawan hukum merupakan unsur mutlak setiap tindak pidana. Dalam pandangan ajaran sifat melawan hukum materiil ini, setiap tindak pidana selalu memiliki sifat melawan hukum (dalam arti tidak ada alasan pembenar). Sementara itu, dalam pandangan ajaran sifat melawan hukum formal, sifat melawan hukum bukanlah unsur mutlak tindak pidana, jadi sifat melawan hukum bisa ada bisa pula tidak. Sifat melawan hukum merupakan unsur tindak pidana sepanjang dicantumkan di dalam rumusan tindak pidana, sebaliknya jika di dalam rumusan tindak pidana unsur melawan hukum tidak dicantumkan, berarti sifat melawan hukum bukan merupakan unsur tindak pidana itu.
Berkaitan dengan pendirian RUU KUHP, jika disimak isi rumusan Pasal 15 RUU KUHP di atas, dapat disimpulkan bahwa suatu tindak pidana terdiri dari 3 (tiga) unsur, yaitu:
104 Sudarto, 1990, Op.cit., hal. 84.
149 149 a. perbuatan (bisa berupa melakukan sesuatu perbuatan yang
dilarang oleh undang-undang, dan juga bisa berupa tidak melakukan/melalaikan suatu perbuatan yang diperintahkan atau diwajibkan oleh undang-undang);
b. ancaman pidana (unsur ini secara teoretis sering juga disebut
‘memenuhi rumusan undang-undang’);
c. sifat melawan hukum (tidak ada alasan pembenar).
Dari pernyataan pada ayat (3) Pasal 12 RUU KUHP tersebut di atas, dapat pula disimpulkan bahwa sifat melawan hukum jelas merupakan unsur pokok/mutlak dari tindak pidana. Oleh karena sifat melawan hukum merupakan unsur pokok tindak pidana, maka untuk menentukan ada tidaknya unsur sifat melawan hukum pada perbuatan yang didakwakan, maka jaksa penuntut umum berkewajiban pula membuktikan adanya unsur sifat melawan hukum itu.
Berkaitan dengan sifat melawan hukum tindak pidana, di dalam penjelasan Pasal 12 RUU KUHP tersebut dikemukakan bahwa yang dimaksud dengan perbuatan yang “bertentangan dengan hukum”
adalah perbuatan yang dinilai oleh masyarakat sebagai perbuatan yang tidak patut dilakukan. Syarat dapat dipidananya suatu tindak pidana harus bertentangan dengan hukum, ditentukan berdasarkan pertimbangan bahwa penjatuhan pidana pada seseorang yang melakukan suatu perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum dinilai tidak adil. Berdasarkan pertimbangan ini, untuk dapat menjatuhkan pidana, hakim harus menentukan: (a) apakah perbuatan yang dilakukan itu secara formal dilarang oleh peraturan perundang-undangan; dan (b) menentukan apakah perbuatan itu secara materiil juga bertentangan dengan hukum, dalam arti kesadaran hukum masyarakat. Pertimbangan ini wajib disebutkan oleh hakim di dalam putusannya.
Pandangan pembentuk undang-undang seperti tersebut di atas, dalam hal ini penyusun RUU KUHP, memperlihatkan bahwa pada dasarnya ajaran sifat melawan hukum yang ingin dianut adalah ajaran sifat melawan hukum materil yang mengedepankan perimbangan melawan hukum dalam arti formal dan melawan hukum dalam arti materiil. Keseimbangan antara melawan hukum secara formal dan secara materiil, ditentukan sebagai syarat untuk dapat dipidananya suatu perbuatan, dilatarbelakangi
oleh kewajiban untuk memperhatikan keselarasannya dengan perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat. Oleh karena itu perbuatan yang dapat dipidana nantinya tidak hanya bertentangan dengan peraturan perundang-undangan, tetapi juga bertentangan dengan hukum. Pada umumnya setiap tindak pidana dipandang bertentangan dengan hukum, namun dalam keadaan khusus menurut kejadian konkret, tidak tertutup kemungkinan perbuatan tersebut tidak bertentangan dengan hukum. Dalam hal demikian, pembuat membuktikan bahwa perbuatannya tidak bertentangan dengan hukum.
Pola perumusan tindak pidana di dalam RUU KUHP berkaitan dengan unsur sifat melawan hukum ini juga dipengaruhi oleh pola yang terdapat di dalam KUHP eks WvS. Pola dimaksud terlihat dari adanya variasi pada perumusan tindak pidana di dalam RUU KUHP, yakni:
a. sebagian rumusan tindak pidana memuat unsur sifat melawan hukum secara tegas;
b. sebagian lain rumusan tindak pidana tidak memuat unsur sifat melawan hukum.
Pada rumusan tindak pidana yang memuat pencantuman unsur sifat melawan hukum juga terdapat variasi tentang istilah yang dipergunakan. Variasi penggunaan istilah ini dapat dicontohkan sebagai berikut.
a. Rumusan tindak pidana yang menggunakan istilah “melawan hukum” secara tegas. Contohnya: Pasal 193, 194, 195, 196, 263, 276, 277, 293, 319, 329, 337, 350, 355, 359,360, 364, 466, 470, 471, 472, 491, 502, 508, 515, 522, 526, 527, 546, 548, 562, 563, 571, 604, 608, 624, 627, 628, 631, 632, , 633.
Pasal 193
“Setiap orang yang secara melawan hukum di muka umum dengan lisan, tulisan dan atau melalui media apa pun, menyebarkan atau mengembangkan ajaran komunisme/Marxisme-Leninisme dalam segala bentuk dan perwujudannya, dipidana dengan pidana penjara paling lama 12 (dua belas) tahun.”
Pasal 466
“Setiap orang yang secara melawan hukum mengangkut orang ke daerah lain, padahal orang tersebut telah membuat perjanjian untuk
151 151 bekerja di suatu tempat tertentu, dipidana dengan pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun atau denda paling banyak Kategori V.”
Pasal 608
“Setiap orang yang secara melawan hukum menghancurkan atau merusak barang muatan, perbekalan, atau barang keperluan yang ada di kapal, dipidana dengan pidana penjara laing lama 3 (tiga) tahun atau denda paling banyak Kategori IV.”
Pasal 624
“Setiap orang yang secara melawan hukum menghancurkan, merusak, atau membuat tidak dapat dipakai pesawat udara yang sebagian atau seluruhnya milik orang lain, dipidana dengan pidana penjara paling lama 9 (sembilan) tahun.”
2. Rumusan tindak pidana yang menggunakan istilah lain