PENGERTIAN, FUNGSI, DAN TUJUAN, SERTA
F. Sistematika KUHP dan RUU KUHP KUHP terdiri dari tiga buku, yaitu
41 41 sampai sekarang baru sampai pada tahap Rancangan Undang- Undang (RUU KUHP).
Di samping WvS (KUHP), dalam pelajaran hukum pidana juga dikenal “Memorie van toelichting” (memori penjelasan). MvT merupakan penjelasan rancangan UU pidana yang diserahkan oleh Menteri Kehakiman Belanda bersama Rancangan UU tersebut kepada Tweede Kamer (Parlemen) Belanda.
RUU Pidana itu kemudian disahkan pada tahun 1881 dan dinyatakan berlaku 1886. Seperti disebutkan di atas, bahwa copy dari UU ini diberlakukan di Indonesia dengan nama WvSNI dan oleh UU No. 1 Tahun 1946 diubah menjadi WvS dan disebut dengan KUHP. Oleh karena itu, MvT dari WvS Belanda itu dapat digunakan pula untuk memperoleh penjelasan dari pasal-pasal KUHP.31
F. Sistematika KUHP dan RUU KUHP
Berlakunya aturan umum dalam KUHP terhadap perbuatan- perbuatan yang diancam pidana di luar KUHP, sebagaimana disebut dalam Pasal 103 KUHP, dapat dijelaskan bahwa:
1. yang berlaku hanya bab I sampai bab VIII, sedangkan bab IX tidak berlaku untuk di luar KUHP. Tidak berlakunya bab IX Buku I KUHP untuk aturan hukum pidana di luar KUHP, karena bab ini hanya memuat beberapa arti dari istilah-istilah atau kata-kata yang digunakan di dalam KUHP (sebagai penafsiran autentik).
2. aturan umum KUHP dapat diterobos (disimpangi) oleh aturan hukum pidana (UU) di luar KUHP. Hal ini adalah wajar, sebab kedudukan antara KUHP dengan UU di luar KUHP adalah sama (sederajat) sebagai undang-undang.
Di samping itu, Pasal 103 KUHP ini dapat dikatakan mempunyai fungsi:
1. sebagai jembatan (penghubung), yaitu menghubungkan antara ketentuan-ketentuan yang ada dalam Buku I dengan peraturan hukum pidana di luar KUHP; artinya bahwa ketentuan umum dalam KUHP dapat berlaku juga terhadap aturan hukum pidana di luar KUHP; dan
2. sebagai dasar penyimpangan dari peraturan hukum pidana di luar KUHP terhadap ketentuan umum KUHP, artinya dengan dasar Pasal 103 aturan hukum pidana di luar KUHP dalam melakukan penyimpang terhadap ketentuan umum KUHP.
Buku II dan Buku III KUHP, dalam hukum pidana, disebut dengan bagian khusus, yakni khusus mengatur tindak pidana kejahatan dan pelanggaran. KUHP tidak membagi tindak pidana ke dalam 2 (dua) jenis, yaitu kejahatan dan pelanggaran. Mengenai pengertian kejahatan dan pelanggaran, KUHP tidak memberikan mengatur dan tidak ada penjelasannya. KUHP hanya menyebut atau mengumpulkan (mengelompokkan) perbuatan-perbuatan mana yang masuk dalam Buku II (kejahatan), dan mana yang masuk dalam Buku III (pelanggaran).
Dalam RUU KUHP, pembagian atau sistematikanya tidak mengikuti KUHP eks WvS. RUU KUHP hanya terdiri dari dua buku, yakni Buku I tentang Ketentuan Umum, dan Buku II tentang Tindak Pidana, dengan tidak lagi membedakan dua jenis tindak pidana antara “Kejahatan dan Pelanggaran”.
43 43 Mengenai penghapusan pembedaan tindak pidana antara kejahatan dan pelanggaran, dalam penjelasan RUU KUHP disebutkan, bahwa pembaruan Hukum Pidana materiil dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini tidak membedakan lagi antara tindak pidana (delik) kejahatan dengan tindak pidana (delik) pelanggaran. Untuk keduanya dipakai istilah tindak pidana. Dengan demikian, Kitab Undang-Undang Hukum Pidana ini hanya terdiri dari 2 (dua) buku yaitu buku kesatu memuat aturan umum dan buku kedua yang memuat aturan tentang tindak pidana. Adapun buku ketiga Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang mengatur tentang delik pelanggaran dihapus dan materinya ditampung ke dalam buku kedua dengan kualifikasi tindak pidana.
Alasan penghapusan ini adalah pembedaan antara kejahatan sebagai “rechtsdelict” dan pelanggaran sebagai “wetsdelict” tenyata tidak dapat dipertahankan, karena ada beberapa “rechtsdelict” yang dikualifikasikan sebagai pelanggaran (wetsdelict) dan sebaliknya ada pelanggaran yang kemudian dapat dijadikan kejahatan (rechtsdelict) hanya karena diperberat ancaman pidananya. Sistematika tersebut bertitik tolak dari resolusi/rekomendasi Bidang Hukum Pidana Seminar Hukum Nasional I, tanggal 11-16 Maret 1963 di Jakarta.
Sebelum mengakhiri pembahasan di dalam Bab II ini, perlu mendapatkan perhatian keberadaan hukum pidana Islam, yang dikenal dengan sebutan jinayah. Jauh sebelum berkembangnya hukum pidana modern yang salah satu produknya adalah KUHP eks WvS, syariat Islam telah mengandung pengaturan mengenai perbuatan-perbuatan yang mencederai, merugikan, membahayakan jiwa, harta benda dan kehormatan manusia dan Allah SWT.
Serangkaian ayat-ayat Al Qur’an sebagai sumber utama syariat Islam yang mengatur mengenai masalah kejahatan ini kemudian dikenal dengan sebutan Jinayat, yang kemudian diterjemahkan menjadi hukum pidana Islam. Dengan memperhatikan keberadaannya yang melekat pada sumber utama hukum Islam, Al Qur’an, maka dapat dipahami bahwa arti pentingnya aturan hukum pidana sudah hadir bersama agama Islam itu sendiri. Perihal ini dapat kita simak dari Surat Al Baqarah ayat 178-179:
Hai orang-orang yang beriman, diwajibkan atas kamu qishaash berkenaan dengan orang-orang yang dibunuh; orang merdeka dengan orang merdeka, hamba dengan hamba dan wanita dengan wanita.
Maka barang siapa yang mendapat suatu pemaafan dari saudaranya, hendaklah (yang memaafkan) mengikuti dengan cara yang baik, dan hendaklah (yang diberi maaf) membayar (diat) kepada yang memberi maaf dengan cara yang baik (pula). Yang demikian itu adalah suatu keringanan dari Tuhan kamu dan suatu rahmat. Barang siapa yang melampaui batas sesudah itu, maka baginya siksa yang sangat pedih.
Dan dalam kisas itu ada (jaminan kelangsungan) hidup bagimu, hai orang-orang yang berakal, supaya kamu bertakwa.
Dari ayat 178 di atas dapat disimak bahwa keberadaan aturan hukum pidana ditujukan pada upaya penyelesaian pelanggaran hak dan kepentingan sesama manusia. Ancaman pidana atau hukuman kepada setiap pelanggaran pada dasarnya adalah qishash, yakni hukuman yang harus seimbang dengan akibat dari perbuatannya.
Dengan perimbangan antara ancaman hukuman dan akibat dari perbuatan yang telah merugikan, akan mendorong setiap orang untuk bersikap hati-hati dalam bertindak. Hal ini pada hakikatnya menunjukkan adanya bentuk jaminan untuk kelangsungan hidup manusia. Keseimbangan antara hukuman dan akibat perbuatan pelangaran atau kejahatan, dimungkinkan adanya pengalihan dengan adanya diyat, yakni pembayaran denda dari pelaku atau keluarga pelaku tindak pidana atau jarimah kepada si korban atau keluarganya.
45 45 Dari gambaran sekilas ini telah tampak adanya kesamaan semangat di dalam hukum pidana positif yang bersumber kepada KUHP eks WvS dan jinayat yang bersumber pada Al Qur’an, yakni perlindungan terhadap nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi di dalam kehidupan manusia. Baik hukum pidana positif maupun jinayat sama-sama mencegah dan menanggulangi perbuatan- perbuatan yang dapat mencederai, merugikan, membahayakan harta benda, kehormatan, dan jiwa manusia.