• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pengertian Sifat Melawan Hukum

TINDAK PIDANA

L. Unsur Sifat Melawan Hukum

1. Pengertian Sifat Melawan Hukum

Sifat melawan hukum (rechtswidrig, unrecht, wederrechtlijk, onrechtmatig) sebagai salah satu unsur tindak pidana merupakan suatu penilaian objektif terhadap perbuatan, dan bukan terhadap si pembuat atau pelaku perbuatan.85 Kedudukan sifat melawan hukum sebagai suatu unsur tindak pidana demikian penting, sehingga dikatakan perhatian utama hukum pidana adalah perbuatan-perbuatan yang bersifat melawan hukum saja, karena perbuatan-perbuatan inilah yang dilarang dan diancam pidana.

Menurut Langemeyer, untuk melarang perbuatan yang tidak bersifat melawan hukum, yang tidak dipandang keliru, adalah tidak masuk akal.86 Persoalan yang kemudian timbul ialah perihal apa yang menjadi ukuran keliru, bersifat melawan hukum atau tidaknya suatu perbuatan.

85 Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum UNDIP, hal. 76.

86 Moeljatno, 1987, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, hal. 130.

137 137 Pada awalnya, sejalan dengan arus besar (mainstream) yang berkembang dalam arus pemikiran tentang negara dan hukum modern yang positivistis, suatu perbuatan dianggap bersifat melawan hukum manakala berbuatan itu nyata-nyata bertentangan dengan ketentuan undang-undang. Dalam arus besar pemikiran ini, hukum diidentikkan dengan undang-undang. Semua aturan yang tidak berbentuk undang-undang, bukanlah hukum. Pemikiran tentang negara dan hukum modern yang didominasi oleh arus pemikiran positivistis, yang menekankan paham formal legalistik, mengalami masa kejayaannya pada abad ke-19 dan awal abad ke-20.

Dalam wilayah teoretis hukum, ajaran sifat melawan hukum yang berpatokan pada ketentuan undang-undang itu, dikenal dengan ajaran sifat melawan hukum formal. Badan peradilan Belanda pun pada awalnya berpegang teguh pada ajaran sifat melawan hukum formal ini. Hal ini terbukti dengan dikeluarkannya putusan Mahkamah Agung Belanda yang dikenal dengan De Jutfense Juffrouw Arrest 1911 (putusan mengenai nona dari kota Zutfen).

Dalam putusan ini, Mahkamah Agung Belanda menganggap bahwa perbuatan nona (tergugat) tidak bersifat melawan hukum karena perbuatannya tidak melanggar ketentuan undang-undang (wet). Dalam perkara ini, seorang nona tinggal di lantai dua sebuah apartemen, sedangkan di lantai bawah didiami orang lain.

Ketika musim dingin menghebat, pipa saluran air pecah dan air mengalir ke lantai bawah. Keran yang dapat mematikan aliran air terdapat di dalam kamar si nona. Meskipun sudah diminta oleh penghuni lantai bawah untuk menutup keran, namun si nona tidak menghiraukannya, sehingga air menggenangi apartemen lantai bawah. Si Nona lalu digugat untuk membayar kerugian yang timbul karena genangan air. Tapi pada tingkat kasasi, gugatan tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung dengan pertimbangan perbuatan si nona tidak melanggar suatu aturan undang-undang (wet).87

Putusan demikian itu kendatipun memiliki kekuatan berlaku secara formal di masa itu, namun secara sosiologis dianggap tidak mencerminkan rasa keadilan yang berkembang di masyarakat.

Pandangan hukum formal legalistik demikian itu, dikritik oleh Molengraaf, seorang ahli hukum Belanda di masa itu, dianggap jauh dari rasa keadilan masyarakat.88 Molengraaf pula yang

87 Moeljatno, 1987, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Bumi Aksara, hal. 132.

88 Lihat: Komariah Emong Sapardjaja, 2002, Op.cit., hal. 37.

banyak menggagas perlunya perubahan secara mendasar tentang pemahaman mengenai sifat melawan hukum itu. Molengraaf menggagas tentang perlunya penerimaan norma-norma hukum yang tidak tertulis yang hidup di masyarakat sebagai sumber hukum materiel.89

Perjuangan Molengraaf ini tampaknya membuahkan hasil yang gemilang di lingkungan institusi penegakan hukum di negeri Belanda. Hal ini dapat dilihat di kemudian hari dalam putusan Mahkamah Agung Belanda dalam kasus Lindenbaum versus Cohen 31 Januari 1919. Dalam putusan ini Mahkamah Agung Belanda berpandangan bahwa suatu perbuatan bersifat melawan hukum bukan saja karena bertentangan dengan undang-undang (wet), tetapi bisa juga karena bertentangan dengan norma-norma kepatutan dalam pergaulan masyarakat.90

Dalam kasus yang memuat persengketaan ini, terdapat dua perusahaan percetakan buku, yang satu milik Cohen dan lainnya milik Lindenbaum. Kedua perusahaan ini saling bersaingan.

Pada suatu hari, seorang karyawan Lindenbaum dibujuk oleh Cohen dengan bermacam pemberian hadiah, asalkan mau memberikan turunan dari penawaran-penawaran yang dilakukan Lindenbaum, dan memberitahukan pula nama-nama pemesan kepada Lindenbaum atau yang mereka yang minta keterangan tentang harga-harga cetak. Tindakan Cohen ini, tentunya dimaksudkan agar dengan informasi yang diperoleh itu, dapat disusun suatu siasat supaya konsumen lebih suka datang padanya (Cohen) daripada ke perusahaan Lindenbaum. Perbuatan Cohen ini diketahui oleh Lindenbaum yang kemudian merasa dirugikan.

Lindenbaum mengajukan gugatan kepada Cohen di pengadilan Amsterdam, bahwa Cohen telah melakukan perbuatan melanggar hukum terhadapnya sehingga berdasar atas Pasal 1401 BW (1365 KUHPerdata) meminta ganti kerugian.

Dalam putusan hakim tingkat pertama, Cohen dikalahkan, tetapi pada putusan tingkat banding di muka Pengadilan Tinggi Amsterdam Lindenbaum dikalahkan berdasarkan yurisprudensi yang dituruti mengenai pasal tersebut. Perbuatan Cohen tidak

89 Satjipto Rahardjo, 2003, Sisi-sisi Lain dari Hukum di Indonesia, Jakarta: Kompas, hal. 149

90 Ibid, hal. 131; Andi Hamzah, 1991, Asas-Asas Hukum Pidana, Jakarta: Rineka Cipta, hal. 110.

139 139 dianggap sebagai melanggar hukum, karena tidak ditunjukkan sesuatu pasal undang-undang yang dilanggar oleh Cohen. Lindenbaum mengajukan kasasi kepada Mahkamah Agung dengan alasan bahwa putusan terdahulu melanggar Pasal 1401 BW (1365 KUH Perdata).

Akhirnya, Mahkamah Agung Belanda dengan mengesampingkan yurisprudensi sebelumnya, pada 31 Januari 1919 memutuskan bahwa perbuatan Cohen adalah perbuatan melanggar hukum.

Putusan Mahkamah Agung Belanda 31 Januari 1919 tersebut, telah menandai perubahan besar dalam arus pemikiran hukum.

Sedemikian besarnya pengaruh yang ditimbulkan oleh suatu putusan hakim, sampai-sampai kata “revolusi” pernah dipakai, yakni sebutan “Januarie revolutie” pada putusan Mahkamah Agung Belanda tersebut di atas.91 Dalam perkembangan hukum di kemudian hari, terutama di Indonesia putusan revolusioner tersebut banyak dipakai sebagai referensi baik dalam tataran kajian teoretis hukum, maupun dalam upaya para hakim mencari sandaran pijak bagi putusan-putusannya, sepanjang menyangkut masalah sifat melawan hukum perbuatan.

2. Sifat Melawan Hukum Formil dan Sifat Melawan Hukum