• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perbuatan sebagai Unsur Pertama Tindak Pidana

TINDAK PIDANA

H. Subjek Tindak Pidana

I. Perbuatan sebagai Unsur Pertama Tindak Pidana

Pembahasan tentang perbuatan sebagai unsur pertama tindak pidana akan memperlihatkan kedudukan perbuatan sebagai salah satu unsur dari tindak pidana, serta pengertian perbuatan itu sendiri.

Pembahasan ini juga akan memperlihatkan syarat-syarat yang harus terpenuhi sehingga suatu perbuatan dapat menjadi dasar penjatuhan pidana. Perbuatan-perbuatan yang tidak memenuhi syarat tersebut, dengan demikian dikecualikan atau tidak dapat menjadi dasar penjatuhan pidana.

Perbuatan seseorang ataupun korporasi merupakan unsur pertama dari tindak pidana. Perbuatan meliputi aktivitas berbuat (aktif) dan tidak berbuat (pasif). Moeljatno menyebut kedua macam perbuatan itu dengan kelakuan atau tingkah laku yang positif (berbuat sesuatu) dan kelakuan atau tingkah laku yang negatif (tidak berbuat sesuatu). Pengertian perbuatan bisa dalam bentuk berbuat atau melakukan sesuatu perbuatan yang dilarang dan juga bisa berupa tidak melakukan (melalaikan) sesuatu perbuatan yang diperintahkan atau diwajibkan undang-undang, sejalan dengan

pengertian tindak pidana menurut RUU KUHP Pasal 12 ayat (1).

Di dalam Pasal 12 ayat (1) dinyatakan, “Tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.”

Perbuatan merupakan unsur atau elemen pertama dari setiap tindak pidana atau delik atau perbuatan pidana. Tanpa adanya perbuatan baik dalam bentuk berbuat atau melakukan sesuatu ataupun tidak berbuat sesuatu yang diperintahkan, maka tidak mungkin ada tindak pidana. Oleh karena tindak pidana merupakan syarat objektif untuk adanya penjatuhan pidana atau pemidanaan atau pemberian pidana, maka tanpa adanya perbuatan maka tidak ada tindak pidana yang berarti juga tidak ada penjatuhan pidana.

Pengertian Perbuatan

Berikut ini akan dikemukakan berbagai pandangan tentang pengertian perbuatan itu. D. Simons mengartikan handelen (berbuat) mempunyai sifat aktif, yakni tiap gerak yang dikehendaki dan dilakukan dengan tujuan untuk menimbulkan akibat.

W.P.J. Pompe, mengartikan gedraging (kelakuan) sebagai aktivitas yang dapat dilihat dari luar diarahkan pada suatu tujuan yang menjadi sasaran norma-norma. Menurut Pompe, gedraging (kelakuan) itu suatu kejadian yang ditimbulkan oleh sesorang, yang nampak ke luar, dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum.

Van Hattum berpendirian bahwa gedraging sebagai dasar fisik/jasmaniah (physieke substaat) dari tiap-tiap delik; benar-benar jasmaniah, tanpa unsur subjektif atau normatif.

Prof. Moeljatno sependapat dengan H.B. Vos, bahwa hanya sikap jasmani yang disadari saja yang masuk dalam pengertian kelakuan. Batasan “yang disadari” itu tidak berarti bahwa sikap itu harus selalu dan untuk seluruhnya harus tegas diinsyafi, melainkan harus diartikan secara negatif, yaitu tidak termasuk kelakuan jika sikap jasmani itu betul-betul tidak disadari.

Suatu perbuatan merupakan dasar fisik untuk adanya tindak pidana jika dilakukan dengan sadar secara psikis dan memiliki kebebasan menentukan kehendak. Berdasarkan kriteria di atas terdapat bentuk-bentuk aktivitas fisik atau gerakan jasmani yang dikecualikan, dalam arti tidak bisa menjadi dasar adanya penjatuhan

121 121 pidana. Bentuk-bentuk perbuatan yang dikecualikan ini, dalam hal pertanggungjawaban pidana dari pelaku tindak pidana menjadi alasan penghapus pidana yaitu yang berupa alasan penghapus kesalahan atau alasan pemaaf (jadi bukan alasan pembenar yang menghapuskan sifat melawan hukumnya suatu tindak pidana).

Namun demikian, ada beberapa bentuk perbuatan yang dikecualikan, dalam arti tidak merupakan dasar penjatuhan pidana tersebut, yaitu meliputi:63

1. Gerakan badan yang tidak dikehendaki oleh si pelaku, karena berada dalam keadaan daya paksa yang absolut (vis absoluta).

2. Gerak refleks, yakni gerakan yang ditimbulkan oleh rangsang yang tiba-tiba dari urat syaraf, seperti terkejut karena sesuatu sebab sehingga mencederai orang lain di luar kesadarannya.

3. Semua gerakan jasmaniah (fisik) yang dilakukan dalam keadaan tidak sadar. Keadaan tidak sadar bisa disebabkan oleh berbagai sebab:

a. karena penyakit (ayan, epilepsi, mengigau, gegar otak), b. mabuk yang terjadi secara alamiah, bukan karena

kesengajaan; (mabuk yang disengaja misalnya mabuk karena minum alkohol),

c. somnabolisme yakni berbuat sesuatu pada waktu tidur, sering disebut ngelindur,

d. pingsan,

e. dalam keadaan terhipnotis.

4. Perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang yang mengalami kelainan jiwa. Kelainan jiwa yang dimaksud di sini dibedakan menjadi dua macam, yakni:

a. jenis maniak, kelainan jiwa berupa keinginan yang tidak terkendalikan untuk melakukan sesuatu perbuatan tertentu meskipun sangat membahayakan dirinya ataupun orang lain, contohnya firomania yaitu suka membakar, kleptomania, yaitu suka mencuri;

b. jenis phobia, yaitu kelainan jiwa berupa ketakutan yang berlebih-lebihan, tidak rasional tapi tidak terkendalikan dari keadaan-keadaan tertentu sehingga mendorongnya

63 Lihat: Moeljatno, 1987, Azas-Azas Hukum Pidana, Jakarta: Bina Aksara, hal. 86.

Sudarto, 1990, Hukum Pidana I, Semarang: Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, hal. 65.

melakukan sesuatu yang bisa membahayakan dirinya ataupun orang lain, seperti phobia pada ketinggian, phobia pada ruang tertutup.

Pada gangguan kesadaran berupa kelainan jiwa ada yang permanen (menetap) dan tidak permanen (temporer–kambuh sewaktu-waktu saja). Pada perbuatan yang dilakukan dalam kondisi kelainan/gangguan jiwa yang permanen, pengecualian itu bersifat tegas, si pelaku tindak pidana dianggap tidak mampu bertanggung jawab secara permanen. Sementara itu pada perbuatan yang dilakukan oleh orang yang memiliki gangguan jiwa temporer, pengecualian hanya berlaku pada perbuatan yang berhubungan kausal dengan kelainan jiwa yang dideritanya. Hal ini berarti jika seseorang melakukan suatu perbuatan yang termasuk tindak pidana, tetapi perbuatan itu tidak ada hubungannya dengan kelainan jiwanya, maka dia dianggap memahami dan menyadari perbuatannya itu, dan karena itu dia tetap dapat dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana.