BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.5 Bone Graft
Ada beberapa sumber untuk menggantikan tulang yang hilang. Sumber bone graft yang paling umum adalah material autogenous bone graft. Autograft adalah sumber yang kaya akan protein osteogenik, dan tidak ada penolakan, tapi awalnya, graft ini mungkin tidak memiliki integritas structural yang optimal untuk mempertahankan reduksi selama pembedahan intraoperative. Autograft tulang kortikal menyediakan stabilitas yang lebih baik, tapi morbiditas donor signifikan.
Sediaan hydroxyapatite telah digunakan, tapi graft ini mungkin akan sulit digunakan karena system pengirimannya, mereka tidak menyamarkan struktur tulang berongga, dan waktu penyatuan kalsium fosfat sangat bervariasi tergantung pada ukuran crystalline, struktur dan morfologi (Nandi et al. 2010).
Pada tindakan pembedahan rekonstruksi memerlukan prosedur bone grafting untuk mengembalikan volume tulang mendekati normal. Sumber tulang dapat berasal dari inang sendiri (autograft), dari donor satu spesies (allograft), dari donor spesies lain (xenograft) atau substitusi tulang seperti demineralized bone matrix (Pei et al. 2012). Selain itu pembedahan rekonstuksi juga dapat menggunakan prosthesis. Autologous bone grafting memiliki keterbatasan jumlah jaringan tulang autograft yang tersedia, morbiditas pada lokasi donor, kualitas tulang yang tidak dapat diprediksi, risiko perdarahan, bertambahnya waktu operasi dan risiko infeksi pada lokasi donor. Hal tersebut menjadi suatu kelemahan yang signifikan dari prosedur ini. Allograft dan xenograft juga memiliki kelemahan yaitu risiko infeksi dan non-union (Bose et al. 2012).
Salah satu penanganan defek luas tulang yang saat ini sedang dikembangkan adalah dengan bone tissue engineering. Dalam perkembangannya, prosedur bone tissue engineering juga menggunakan faktor pertumbuhan sebagai bahan yang berfungsi sebagai stimulator vaskularisasi (angiogenic growth factors) (Amini et al.
n.d.). Studi yang banyak dilakukan pada angiogenic growth factors dalam prosedur bone tissue engineering yaitu vascular endothelial growth factor (VEGF)
Defek tulang yang cukup besar setelah reseksi dapat menimbulkan berkurangnya fungsi ekstremitas yang bersangkutan. Sebaiknya dilakukan rekonstruksi untuk mengembalikan atau memperbaiki fungsi ekstremitas yang bersangkutan. Pilihan utama untuk rekonstruksi antara lain: bone graft autogenik atau allogenik, dan endoprosthesis (Kamal et al. 2011).
Dengan berkembangnya bedah mikro, maka dapat dilakukan bone graft yang tervaskularisasi. Dengan tetap adanya aliran darah ke sel-sel bone graft, maka pembentukan dan penyatuan tulang akan menjadi lebih baik. Teknik ini memberikan perbaikan pada derajat keberhasilan operasi. Allograft merupakan bentuk rekonstruksi menggunakan tulang mati (beku atau beku kering). Di negara tertentu allograft sulit didapatkan karena alasan sosio-religius, maka dikembangkan beberapa metode untuk menggunakan ulang tulang yang telah direseksi, yakni dengan: radiasi, autoklav, dan nitrogen cair (Kamal et al. 2011).
Bone autograft merupakan standard optimum sebagai pembanding untuk setiap bahan pengganti, karena dia memiliki 3 sifat sebagai osteokonduktif, osteoinduktif dan osteogenesis. Adapun kelemahan dari penggunaan autograft antara lain nyeri dari tempat donor dan berpotensial terjadinya komplikasi lokal seperti hematoma, fraktur dan ketersediaan jumlahnya yang terbatas(Munthe & Suroto 2014).
Bone graft memiliki memiliki fungsi sebagai gap filler (pengisi celah) pada bone defect. Pada saat bone graft bertaut dengan permukaan tulang maka jarak antar fragmen tulang menjadi lebih kecil. Fiksasi yang stabil dan menurunnya gap antar fragmen tulang akan menurunkan strain ratio pada fracture gap sehingga penyembuhan tulang dapat tercapai. Auto bone graft dan allograft memiliki perbedaan karakteristik di mana autograft memiliki ketiga karakteristik osteoinduktif, osteokonduktif dan osteogenesis, sedangkan allograft hanya memiliki sifat osteokonduktif dan osteoinduktif (Munthe & Suroto 2014).
2.5.1 Hydroxyapatite
Tulang adalah komposit keramik organic-inorganik natural yang terisusun dari kolagen fibril yang mengandung material embedded, tersusun dengan baik, nano crystalline¸rod-like dengan panjang 25 – 50 nm. Hydroxyapatite secara kimia serupa dengan matriks tulang inorganic – Ca10 (OH) 2(PO4)6. Struktur kimia yang serupa antara Hydroxyapatite dengan tulang menyebabkan penggunaan Hydroxyapatite sintetis sebagai substitute tulang (Zhou & Lee 2011).
Akhir akhir ini, Hydroxyapatite telah diaplikasikan dalam bidang biomedis, termasuk untuk mengontrol pelepasan obat obatan dan bone tissue engineering materials. Karena Hydroxyapatite mempunyai struktur kimia yang mirip dengan komponen inorganic matriks tulang (Rauschmann et al. 2005), Hydroxyapatite sintetik memiliki afinitas yang tinggi terhadap jaringan tubuh host yang keras.
Ikatan kimia dnegan jaringan host menyediakan kelebihan Hydroxyapatite pada aplikasi klinis dibandingkan substitute tulang yang lain seperti allograft atau implant metal. Kelebihan utama dari Hydroxyapatite sintetik pada aplikasi klinis adalah biokompabilitasnya, tingkat biodegrabilitas yang rendah, dan kemampuan osteokonduktif dan osteoinduktif yang baik. Sebuah studi yang dilakukan oleh Taniguchi et al, menunjukkan bahwa Hydroxyapatite memiliki biokompabilitas yang sangat baik dengan jaringan lunak seperti kulit, otot, dan gusi. Kapabilitas ini membuat Hydroxyapatite sebagai kandidat ideal untuk implant ortopedi dan dental.
Hydroxyapatite sintetisn telah banyak digunakan untuk mereparasi jaringan keras.
Penggunaan umum termasuk untuk bone repair, bone augmentation dan juga untuk melapisi implant, atau sebagai filler pada tulang. Akan tetapi kekuatan mekanis
yang rendah dari Hydroxyapatite menghalangi penggunaannya untuk aplikasi load bearing. Kemajuan pada ilmu pengetahuan dan nanotechnology telah mengembangkan formasi dari Hydroxyapatite dengan ukuran nano (nanosized HA).(Zhou & Lee 2011)
Nanocrystalline Hydroxyapatite memiliki fungsi yang lebih baik dan juga tingkat densifikasi yang lebih baik karena luas permukaan yang lebih tinggi, dan juga meningkatkan fracture toughness, dan juga property mekanikal. Terlebih lagi, nano- Hydroxyapatite, dibandingkan dengan kristal yang lain, memiliki tinggal bioaktivitas yang lebih baik, oleh karena itu, partikel Hydroxyapatite dapat digunakan untuk implant jaringan dengan biokompabilitas yang lebih baik dibandingkan dengan implant lain. Nanoteknologi mempunyai potensi yang secara nyata meningkatkan fungsi Hydroxyapatite. Dorozhkin et al mengulas mengenai teknologi dan perkembangan nanosized Hydroxyapatite nanocrystalline calcium orthophosphates, yang terlibat dalam sintesis dan karakterisasi biomedik dan aplikasi klinisnya. Moseke et al mengulas mengenai sintesis dan property dari tetracalcium phosphate dalam aplikasi biomaterial seperti semen, keramik, dan coating pada implant metal. (Zhou & Lee 2011)
Nano Ha telah memainkan peran yang penting dalam bidang biomedis oleh karena property biologis dan biomekanikal yang superior. Perkembangan dari material biomedik Hydroxyapatite akan menguntungkan dalam perkembangan nanoteknologi. Beberapa metode untuk mensintesis Hydroxyapatite telah berevolusi dalam beberapa decade terakhir. Pada masa depan, kemampuan untuk fungsionalisasi dengan berbagai jenis molekul yang berbeda dengan dimensi yang
berbeda, dan juga potensi sebagai struktur nano baik secara fisik maupun kimia, akan memungkinkan untuk targeting selektif dari system biologis. (Zhou & Lee 2011)
Calcium sulfate merupakan salah satu jenis bone graft yang berfungsi sebagai graft barrier, bukan biomaterial regeneratif yang sebenarnya namun dapat menunjukkan derajat efektivitas yang cukup tinggi bila dikombinasikan dengan beberapa biomaterial seperti faktor pertumbuhan (Thomas & Puleo 2009). Calcium sulfate merupakan salah satu ceramic-based bone graft yang memiliki sifat osteokonduktif dan tingkat resorpsi yang paling cepat sekitar 4 – 12 minggu dibandingkan graft lainnya terkait dengan efek osmotiknya. Sehingga calcium sulfat lebih sering digunakan sebagai graft extender dibandingkan penunjang struktural pada bone defek (Phedy 2011).
Penggunaan calcium sulfate bersama dengan biomaterial lainnya dapat meningkatkan sifat osteoinduktif dan osteokonduktifnya. Menurut Liu et al (2014), penggunaan calcium sulfate sebagai karier untuk pelepasan VEGF pada defek tulang dapat memberikan manfaat yang cukup besar dalam hal peningkatan vaskularisasi dan pembentukan tulang baru sehingga terjadi mineralisasi matriks osteoid dan regenerasi tulang. Prosedur ini memiliki potensi yang cukup besar dalam bone tissue engineerin (Liu et al. 2014).