VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) DALAM CALCIUM SULFATE MENGINDUKSI
LEBIH BANYAK SEL OSTEOBLAS DAN KOLAGEN TIPE 1 PADA DEFEK TULANG FEMUR TIKUS SETELAH DILAKUKAN BONE RECYCLING GRAFT
DENGAN NITROGEN CAIR
TJOK AGUNG YAVATRISNA VIDYAPUTRA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2016
TESIS
VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) DALAM CALCIUM SULFATE MENGINDUKSI
LEBIH BANYAK SEL OSTEOBLAS DAN KOLAGEN TIPE 1 PADA DEFEK TULANG FEMUR TIKUS SETELAH DILAKUKAN BONE RECYCLING GRAFT
DENGAN NITROGEN CAIR
TJOK AGUNG YAVATRISNA VIDYAPUTRA NIM 1114118202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2016
VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) DALAM CALCIUM SULFATE MENGINDUKSI
LEBIH BANYAK SEL OSTEOBLAS DAN KOLAGEN TIPE 1 PADA DEFEK TULANG FEMUR TIKUS SETELAH DILAKUKAN BONE RECYCLING GRAFT
DENGAN NITROGEN CAIR
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister
Pada Program Magister, Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
TJOK AGUNG YAVATRISNA VIDYAPUTRA NIM 1114118202
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
Lembar Pengesahan
TESIS INI TELAH DISETUJUI TANGGAL, 8 Nopember 2016
Mengetahui,
!
Pembimbing I,
Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes NIP 19530131 198003 1 004
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana
Universitas Udayana
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK NIP 19580521 198503 1 002
Direktur
Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP 19590215 198510 2 001
Pembimbing II,
dr. Wayan Suryanto Dusak Sp.OT (K) NIP 19610803 198803 1 002
Tesis Ini Telah Diuji pada Tanggal: 8 Nopember 2016
Panitia Penguji Tesis Berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana No: 5391/UN14.4/HK/2016
Tertanggal: 2 Nopember 2016
Ketua: Prof. Dr. dr. I Ketut Siki Kawiyana, Sp. B., Sp.OT (K) Anggota:
1.! Prof. Dr. dr Putu Astawa, Sp.OT (K), M.Kes 2.! dr. K.G Mulyadi Ridia, Sp.OT (K)
3.! dr. Wayan Suryanto Dusak Sp.OT (K) 4.! Dr. dr. I Ketut Suyasa, Sp.B, Sp.OT (K)
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan syukur kehadapan Tuhan Yang Maha Esa karena berkat rahmat-Nya Tesis yang berjudul Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dalam Calcium sulfate menginduksi lebih banyak Sel Osteoblas dan Kolagen tipe 1 pada Defek Tulang Femur Tikus setelah Dilakukan Bone Recycling Graft dengan Nitrogen Cair dapat diselesaikan .
Penulis mengucapkan terimakasih kepada :
Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, SpPD-KEMD, FINASIM, sebagai Rektor Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Prof. Dr. dr Putu Astawa, SpOT, M.Kes, selaku Dekan Fakultas Kedokteran Universitas Udayana.
Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K), sebagai direktur program Pascasarjana Universitas Udayana.
Dr. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK, sebagai ketua program studi Ilmu Biomedik Program Pascasarjana Universitas Udayana
Prof. Dr. dr. Ketut Siki Kawiyana, SpB, SpOT (K), sebagai ketua program studi Orthopaedi dan Traumatologi FK Udayana – RSUP Sanglah Denpasar dan selaku pembimbing I, atas bimbingan dan arahannya dalam perbaikan penelitian ini.
Dr. dr. I Ketut Suyasa, SpB, SpOT (K), selaku Kepala Sub-Bagian/SMF Orthopaedi dan Traumatologi FK Udayana – RSUP Sanglah Denpasar, atas nasihat dan bimbingannya untuk bisa terselesainya usulan penelitian tersebut.
dr. Wayan Suryanto Dusak Sp.OT (K), selaku pembimbing II, atas nasihat dan bimbingannya untuk bisa terselesainya usulan penelitian tersebut.
Seluruh staf pengajar Orthopaedi dan Traumatologi FK Udayana RSUP Sanglah Denpasar atas dukungan guna terselesaikannya usulan penelitisan tersebut.
Dr. drh. Ida Bagus Oka Winaya, M.Kes dan staff atas dukungannya terselesainya penelitian tersebut.
Semua dosen pengajar Combined Degree Pascasarjana Universitas Udayana yang telah banyak memberikn masukan dan bimbingan.
Keluarga tercinta yang selalu memberikan doa dan dukungan demi terselesainya penelitian ini serta rekan-rekan dan semua pihak yang telah membantu dalam penulisan laporan ini.
Penulis menyadari masih ada kekurangan dalam penelitian ini. Oleh karena itu dengan segala keredahan hati penulis menerima saran dan kritik untuk perbaikan penelitian ini.
Denpasar, September 2016
Penulis
ABSTRACT
VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) IN CALCIUM SULFATE INDUCES MORE OSTEOBLASTS AND TYPE I COLLAGEN IN RATS WITH FEMUR BONE DEFECTS AFTER BONE RECYCLING
GRAFT WITH LIQUID NITROGEN Tjok Agung Y. Vidyaputra
INTRODUCTION. Bone defects can be caused by trauma, neoplasms, congenital defects and infections. Reconstruction of bone defects to achieve ideal bone lengths and achieve union of the bone is still a challenge. The expression of growth factors such as vascular endothelial growth factor (VEGF) may stimulate bone healing process. Calcium sulfate is useful biomaterials conductor of growth factors such as VEGF. Administration VEGF in Calcium sulfate can help the process of bone regeneration by stimulating osteoblast proliferation and differentiation and the synthesis of type I collagen which can help regenerate bone defect.
METHODS. The experimental study with randomized post-test only control group design with a sample of 32 male Wistar rats. These mice were then divided into two groups, and adapted for 1 week prior to the making defect on mice femur bone and bone recycling was done with liquid nitrogen. The first group were given VEGF in calcium sulfate bone graft, the second group were given only calcium sulfate bone graft. Wound care was done every day for 1 week. During the fourth week, removal of bone defect for examination of the expression of type I collagen and the number of osteoblast cells was done.
RESULTS. The average number of osteoblast found on the rat that are given VEGF and calcium sulfate (387.875 ± 17.587) more than given calcium sulfate only.
(284.937 ± 10.009), inferential test using independent t-test showed significant different on osteoblast number between two groups, p=0.000 (p<0,05). Expression of type I collagen is higher on samples that is given VEGF inside calcium sulfate with mean rank 24.50 compare with calcium sulfate only, mean rank 8.50. Using Mann-Whitney U it is found a significant different of type I collagen expression between two groups with p=0.000 (p<0.05).
CONCLUSIONS. Provision of VEGF in calcium sulfate in rats with femur bone defects after bone recycling with liquid nitrogen, had more number of osteoblasts and higher expression of type I collagen was higher when compared to provision of calcium sulfate only.
KEYWORDS: VEGF, Calcium Sulfate, bone defects, osteoblast, type I collagen, bone recycling, liquid nitrogen
ABSTRAK
VASCULAR ENDOTHELIAL GROWTH FACTOR (VEGF) DALAM CALCIUM SULFATE MENGINDUKSI LEBIH BANYAK SEL OSTEOBLAS DAN KOLAGEN TIPE 1 PADA DEFEK TULANG FEMUR
TIKUS SETELAH DILAKUKAN BONE RECYCLING GRAFT DENGAN NITROGEN CAIR
Tjok Agung Y. Vidyaputra
PENDAHULUAN. Defek tulang dapat disebabkan oleh trauma, neoplasma, defek kongenital dan infeksi. Rekonstruksi defek tulang untuk mencapai panjang tulang yang ideal dan mencapai union dari tulang tersebut masih menjadi suatu tantangan tersendiri. Ekspresi faktor pertumbuhan seperti Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) dapat menstimulasi proses penyembuhan tulang. Calcium sulfate berguna sebagai biomaterial penghantar growth factor seperti VEGF. Pemberian VEGF dalam calcium sulfate dapat membantu proses regenerasi tulang melalui stimulasi proliferasi dan diferensiasi osteoblast serta sintesis kolagen tipe I yang dapat membantu regenerasi tulang yang mengalami defek.
METODE. Penelitian eksperimental randomized post-test only control group design dengan sampel 32 ekor tikus Wistar jantan. Tikus kemudian dibagi menjadi 2 kelompok, dan diadaptasikan selama 1 minggu sebelum dilakukan pembuatan defek pada tulang femur tikus dan dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair.
Kelompok pertama diberikan VEGF dalam bone graft calcium sulfate, kelompok kedua hanya pemberian bone graft calcium sulfate. Perawatan luka dilakukan setiap hari selama 1 minggu dan pada minggu keempat dilakukan pengambilan defek tulang untuk pemeriksaan ekspresi dari kolagen tipe I dan jumlah sel osteoblas.
HASIL. Didapatkan jumlah rerata osteoblas pada tikus dengan pemberian VEGF dalam calcium sulfate (387,875 ± 17,587) lebih banyak dibandingkan pemberian calcium sulfate saja (284,937 ± 10,009), uji inferensial dengan independent t-test menunjukkan perbedaan yang signifikan dari jumlah sel osteoblas antara kedua kelompok, dimana p=0,000 (p < 0,05). Didapatkan ekspresi kolagen tipe I yang lebih tinggi pada pemberian VEGF dalam calcium sulfate dengan mean rank 24,50 dibanding pemberian calcium sulfate saja, dengan mean rank 8,50. Dan uji Mann- Whitney U didapatkan perbedaan yang signifikan dari ekspresi kolagen tipe I antara kedua kelompok dengan nilai p=0,000 (p < 0,05).
KESIMPULAN. Pemberian VEGF dalam calcium sulfate pada defek pada tulang femur tikus setelah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair, memiliki jumlah osteoblast lebih banyak dan ekspresi kolagen tipe I lebih tinggi bila dibandingkan dengan pemberian calcium sulfate saja.
Kata kunci: VEGF, calcium sulfate, defek tulang, osteoblas, kolagen tipe I, bone recycling, nitrogen cair
DAFTAR ISI
!
LEMBAR PENGESAHAN ... iii
TESIS INI TELAH DIUJI PADA ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT ... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
DAFTAR ISI ... x
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xviii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang Masalah ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 3
1.3Tujuan Penelitian ... 4
1.3.1 Tujuan umum ... 4
1.3.2 Tujuan khusus ... 4
1.4Manfaat Penelitian ... 4
1.4.1 Manfaat Akademik/Ilmiah ... 4
1.4.2 Manfaat praktis ... 5
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 6
2.1 Anatomi Tulang ... 6
2.1.2 Fisiologi dari pembentukan tulang ... 8
2.1.3 Pembentukan tulang ... 9
2.1.4 Osteoblas ... 9
2.1.5 Matriks tulang ... 11
2.1.8 Osifikasi Intramembranous (Mesenchymal) ... 13
2.2 Proses Penyembuhan Tulang ... 16
2.2.1 Remodelling tulang ... 18
2.2.2 Mediator dari Remodelling ... 21
2.2.3 Fase Remodelling ... 21
2.2.4 Faktor regulator pada remodeling tulang ... 24
2.2.5 Regulator lokal dari remodeling tulang ... 25
2.2.6 Matriks Protein ... 26
2.2.7 Sitokin ... 27
2.3. Bone Recycling ... 28
2.3.1. Pengertian cryosurgery ... 29
2.3.2. Teknik cryosurgery ... 30
2.3.3. Efek cryosurgery ... 35
2.4 VEGF ... 42
2.5 Bone Graft ... 44
2.5.1 Hydroxyapatite ... 47
2.6 Kolagen ... 49
2.6.1. Fibril forming collagens – Kolagen tipe I, II, III, V, dan XI ... 52
2.7 Hubungan VEGF, Calcium Sulfat dalam Pembentukan Sel Osteoblas dan Matriks Osteoid ... 54
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP DAN HIPOTESIS ... 61
3.1 Kerangka Berpikir ... 61
3.2 Kerangka Konsep ... 63
3.3 Hipotesis ... 64
BAB IV METODE PENELITIAN ... 65
4.1 Rancangan Penelitian ... 65
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 65
4.3 Penentuan Sumber Data ... 65
4.3.1 Populasi ... 65
4.3.2 Sampel Penelitian dan Cara Pengambilan Sampel ... 65
4.3.2.2 Kriteria Eksklusi dan Drop out ... 66
4.4 Besar Sampel Penelitian ... 66
4.5 Variabel Penelitian ... 66
4.5.1 Klasifikasi variabel ... 66
4.5.2 Definisi Operasional Variabel ... 67
4.6 Alat dan Bahan Penelitian ... 69
4.6.1 Alat Penelitian ... 69
4.6.2 Bahan Penelitian ... 70
4.7Cara Kerja ... 70
4.8 Alur Penelitian ... 73
4.9 Analisa Data ... 73
BAB V HASIL PENELITIAN ... 60
5.1 Analisis Sampel ... 60
5.1.1 Analisis deskriptif ... 60
5.2 Analisis Inferensial ... 77
5.2.1 Uji normalitas dan homogenitas ... 77
5.2.2 Uji Independent T-Test ... 78
5.2.3. Uji Mann-Whitney U ... 79
BAB VI PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN ... 70
6.1. Subjek Penelitian ... 70
6.2. Hubungan VEGF dalam Calcium Sulfat dengan Sel Osteoblas Pada Defek Tulang Femur Tikus Setelah Dilakukan Bone Recycling dengan Nitrogen Cair. ... 81
6.3. Hubungan VEGF dalam Calcium Sulfat dengan Kolagen Tipe I pada Defek Tulang Femur Tikus Setelah Dilakukan Bone Recycling dengan Nitrogen Cair. ... 83
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 75
7.1 Simpulan ... 75
7.2 Saran ... 75
DAFTAR PUSTAKA ... 86
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
!
DAFTAR!GAMBAR!
!
Gambar 2.1 Siklus Sel dalam Cryosurgery…………... ... 31
Gambar 2.2 Diagram Diagram mekanisme cedera endotel karena pendinginan… ... 42
Gambar 2.3 Diagram Skematik Interaksi dari Beberapa Intracellular Signaling Pathways. ... 59
Gambar 3.1. Bagan Kerangka Berpikir ... 62
Gambar 3.2. Bagan Kerangka Konsep ... 63
Gambar 4.1 Skema Rancangan Penelitian ... 64
Gambar 4.2 Alur Penelitian ... 73
DAFTAR TABEL
Tabel 5.1 Distribusi frekuensi subjek penelitian masing-masing kelompok ... 75 Tabel 5.2 Rerata jumlah osteoblas pada masing-masing kelompok... 76 Tabel 5.3 Persentase ekspresi Kolagen tipe I pada masing-masing kelompok………… ... 76 Tabel 5.4 Uji normalitas data variable jumlah osteoblas dengan Shapiro-Wilk 77 Tabel 5.5 Uji Homogenitas varian data variabel-variabel penelitian dengan Levene’s Test... 78 Tabel 5.6 Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk
kelompok perlakuan dan kontrol……….. 78 Tabel 5.7 Hasil uji komparabilitas data post-test variabel penelitian untuk
kelompok perlakuan dan kontrol………. 79
!
!
DAFTAR SINGKATAN
BMP : bone morphogenic protein 2 Cox-2 : cyclo-oxygenase-2
CREB : cAMP responsive element binding protein CS : calcium sulfate
EGF : epidermal growth factor FACIT : fibril associated collagens FGF : fibroblast growth factor GCT : giant cell tumor
GM-CSF : granulocyte / macrophage – colony stimulating factor HA : hydroxyapatite
IGF -1 : insulin like growth factor 1 IL : interleukin
LEF : lymphoid enhancer factor
MAPK : mitogen-activated protein kinase M-CSF : macrophage- colony stimulating factor MSC : mesenchymal stem cell
NF-κB : nuclear factor-κB
PDGF : platelet- derived growth factor PG : prostaglandin
PKA : protein kinase-A PLC : phospholipase-C
PMN : polymorphonuclear neutrophils PTH : paratiroid hormon
TCF : t-cell factor
TGF- β : transforming growth factor β TNF : tumor necrosis factor
VEGF : vascular endothelial growth factor
!
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1. Surat Keterangan Kelaikan Etik
Lampiran 2. Surat Keterangan Selesai Melakukan Penelitian
Lampiran 3. Surat Keterangan Hasil Pemeriksaan Histopatologi dan Imunohistokimia
Lampiran 4. Data Analisis SPSS Lampiran 5. Dokumnetasi Penelitian
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah
Defek tulang dapat disebabkan oleh trauma, neoplasma, defek kongenital dan infeksi. Rekonstruksi defek tulang untuk mencapai panjang tulang yang ideal dan mencapai union dari tulang tersebut masih menjadi suatu tantangan tersendiri.
Defek tulang ini dapat sembuh sendiri pada kondisi lingkungan yang sesuai, namun tetap meiliki tingkat non union tinggi akibat menurunnya vaskularisasi dan insufisiensi kalsium. Pada kasus neoplasma ganas, lesi osteolitik banyak ditemukan dan memerlukan tindakan rekonstruksi dengan megaprosthesis. Namun teknik ini secara ekonomis masih mahal dan beberapa tindakan yang dilakukan seperti kuretase pada neoplasma jinak agresif atau neoplasma ganas dapat menimbulkan defek tulang, sehingga salah satu teknik alternatif yang dapat digunakan adalah dengan teknik bone recycling.
Teknik bone recycling dapat dilakukan dengan adjuvant lokal seperti nitrogen cair. Namun penggunaan nitrogen cair (cryosurgery) ternyata dapat menyebabkan ischemia pada tulang, nekrosis pada jaringan, dan kerusakan endothelium mikrovaskular yang dapat menimbulkan gangguan penyembuhan tulang (Costa et al. 2011). Untuk membantu proses penyembuhan pada defek tulang, maka diperlukan beberapa tindakan terapi seperti penggunaan graft tulang, bahan bone transport atau biomaterial untuk kepentingan rekonstruksi (Nandi et al.
2010).
Penggunaan prosedur graft tulang autolog saat ini merupakan standard dalam hal penggantian defek tulang. Graft ini dapat mengisi defek tulang dan menginduksi pembentukan jaringan tulang pada daerah defek karena memiliki sifat osteoinduktif, osteokonduktif dan osteogenik. Namun penggunaan graft autolog memiliki banyak keterbatasan terkait komplikasi yang terjadi pada tempat pengambilan graft. Penggunaan allograft saat ini dapat memperbaiki keterbatasan yang ada dari autolog graft (Munthe & Suroto 2014). Sampai saat ini, penggunaan graft autolog maupun allograft ternyata masih menimbulkan permasalahan terkait stabilitas biomekanik, serta kurangnya sifat osteogenisitas dan osteoinduksivitas sehingga diperlukan substansi tertentu seperti faktor pertumbuhan, seperti FGF, PDGF, TGF-β, dan BMP, untuk membantu meningkatkan osteogenisitas dan osteoinduksivitas graft tersebut (Barnes et al. 1999; Nandi et al. 2010).
Ekspresi beberapa faktor pertumbuhan seperti FGF, PDGF, TGF-β, dan BMP telah menunjukkan stimulasi terhadap penyembuhan tulang, sedangkan peran langsung VEGF dalam penyembuhan tulang masih kurang jelas. Proses angiogenesis dengan osteogenesis dalam homeostasis tulang merupakan proses yang sinergis dan saling melengkapi untuk poses penyembuhan tulang, dan VEGF merupakan salah satu faktor pertumbuhan yang dapat membantu meningkatkan ekspresi BMP dan diferensiasi osteoblast sehingga proses penyembuhan tulang dapat berlangsung baik pada defek tulang tersebut (Zelzer & Olsen 2004; Yang et al. 2012). Untuk membantu proses penyembuhan tulang, pemberian VEGF memerlukan bahan pembawa, dimana salah satunya dapat digunakan calcium sulfate.
Calcium sulfate sebagai suatu material biokompatibel dapat membantu proses regenerasi defek tulang serta dapat digunakan sebagai biomaterial penghantar growth factor yang berguna dalam proses angiogenesis dengan osteogenesis dalam homeostasis tulang (Drosse et al. 2008; Thomas & Puleo 2009). Berdasarkan hal tersebut, maka perlu dilakukan suatu penelitian untuk mengetahui efek growth factor seperti VEGF dalam biomaterial calcium sulfate terhadap proses penyembuhan defek tulang yang telah dilakukan bone recycling dengan nitogen cair.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang masalah yang diuraikan diatas, untuk membuktikan peran VEGF dalam Calsium Sulfate terhadap penyembuhan tulang pada defek tulang yang telah mengalami bone recycling dengan nitrogen cair, maka disusun rumusan masalah sebagai berikut:
1.! Apakah pemberian VEGF dalam Calcium Sulfate pada defek tulang femur tikus yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair menginduksi sel osteoblast lebih banyak dibandingkan tanpa pemberian VEGF?
2.! Apakah pemberian VEGF dalam Calcium Sulfate pada defek tulang femur tikus yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair menginduksi ekspresi kolagen tipe I lebih banyak dibandingkan tanpa pemberian VEGF?
1.3! Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan umum
Memperkuat teori penyembuhan pada defek tulang dengan penggunaan growth factor VEGF dan bone graft Calcium Sulfate dalam hal meningkatkan sel Osteoblas dan ekspresi Kolagen tipe I.
1.3.2 Tujuan khusus
1.! Membuktikan pemberian VEGF dalam Calcium Sulfate pada defek tulang femur tikus yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair menginduksi sel osteoblast lebih banyak dibandingkan tanpa pemberian VEGF.
2.! Membuktikan pemberian VEGF dalam Calcium Sulfate pada defek tulang femur tikus yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair menginduksi ekspresi kolagen tipe I lebih banyak dibandingkan tanpa pemberian VEGF.
1.4! Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Akademik/Ilmiah
Apabila penelitian ini terbukti, diharapkan hasilnya dapat menambah ilmu pengetahuan teori tentang peran VEGF dalam graft Calcium Sulfate dapat menginduksi ekspresi kolagen tipe I lebih banyak pada defek tulang tikus yang telah dilakukan bone recycling dengan nitrogen cair. Disamping itu menambah pengetahuan bahwa VEGF sebagai suatu substansi angiogenik yang dapat
membantu menginduksi osteoinduksivitas dan osteogenisitas graft pada penyembuhan defek tulang.
1.4.2! Manfaat praktis
Apabila penelitian ini terbukti dapat dipergunakan sebagai data penelitian lebih lanjut untuk menjadikan VEGF sebagai substansi untuk membantu kinerja graft dalam penyembuhan defek tulang.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Tulang
Tulang dapat dikategorikan menjadi tulang panjang, tulang pendek, tulang pipih, dan tulang yang tidak teratur. Tulang panjang meliputi klavikula, humerus, radius, ulna, metakarpal, femur, tibia, fibula, metatarsal dan phalang. Tulang pendek meliputi tulang karpal, tarsal, patella dan tulang sesamoid. Tulang pipih meliputi skapula, sternum dan tulang rusuk. Tulang tidak teratur meliputi vertebra, sacrum dan tulang ekor. Tulang pipih terbentuk dengan pembentukan tulang secara membranosa, sedangkan tulang panjang terbentuk oleh kombinasi dari pembentukan tulang secara endochondral dan membranosa (Clarke 2008).
Tulang panjang terdiri dari batang berongga, atau diafisis; metafisis berbentuk kerucut di bawah lempeng pertumbuhan; dan epifisis yang bulat di atas piring pertumbuhan dilapisi oleh tulang rawan pada sebagian dari strukturnya.
Diafisis terdiri dari tulang kortikal yang padat, sedangkan metafisis dan epifisis terdiri dari anyaman tulang trabekular dikelilingi oleh tulang kortikal yang relatif tipis(Clarke 2008). Kanalis medularis pada tulang panjang yang berisi sumsum tulang, berada di dalam diafisis dari tulang panjang dan dikelilingi oleh lapisan tulang kortikal. Bagian metafisis dan diafisis dari tulang panjang lebih banyak mengandung tulang kanselosa dimana terdapat banyak sekali jaringan trabekula dengan sistem kanalis dan kavitas yang terisi sumsum tulang (McGonnell et al.
2012).
Tulang adalah struktur penyangga tubuh yang sangat spesialistik, yang bersifat kaku, keras, dan memiliki kekuatan untuk beregenerasi. Tulang melindungi organ vital, dan menyediakan lingkungan untuk sumsum tulang (baik untuk pembentukan sel darah dan penyimpanan lemak), berfungsi sebagai cadangan mineral untuk homeostasis kalsium, dan tempat penyimpanan faktor pertumbuhan dan sitokin, dan juga mempunyai peran dalam pengaturan asam-basa. Tulang secara konstan mengalami perubahan selama masa hidupnya, dengan tujuan untuk beradaptasi dari perubahan biomekanik, dan juga remodelling untuk menghilangkan tulang tua yang rusak dan menggantinya menjadi tulang baru yang lebih kuat, sehingga kekuatan tulang tetap terjaga. Tulang mempunyai dua komponen, tulang kortikal yang bersifat padat, solid, dan mengelilingi ruang sumsum tulang, dan tulang trabekular yang terdiri dari struktur honeycomb yang mengelilingi kompartemen sumsum tulang. Tulang kortikal mempunyai lapisan permukaan luar berupa periosteum dan permukaan dalam berupa endosteum.
Periosteum merupakan jaringan ikat fibrosa yang mengelilingi permukaan luar dari tulang kortikal, kecuali pada sendi dimana tulang dilapisi oleh articular cartilage.
Periosteum berisi pembuluh darah, saraf, osteoblas, dan osteoklas. Periosteum berfungsi untuk melindungi, memberi makan, dan membantu dalam pembentukan tulang. Periosteum juga mempunyai peran yang penting dalam appositional growth dan penyembuhan fraktur. Endosteum adalah struktur membranosa yang melapisi permukaan dalam dari tulang kortikal, tulang cancellous, dan kanal pembuluh darah (Volkmann’s canal) pada tulang. Terlebih lagi, berdasarkan pola dari pembentukan kolagen pada osteoid, terdapat dua tipe tulang: woven bone, yang bercirikan
susunan yang tidak beraturan dari serat kolagen dan lamellar bone, yang bercirikan kolagen yang tersusun secara parallel dengan lamellae. Lamellar bone, sebagai hasil dari susunan kolagen fibril, memiliki kekuatan mekanis yang serupa dengan plywood. Pola normal dari lamellar bone tidak terdapat dalam woven bone, dimana kolagen fibril tersusun dengan pola yang acak. Oleh karena itu, woven bone lebih lemah dibandingkan dengan lamellar bone. Woven bone diproduksi ketika osteoblast memproduksi osteoid dengan cepat. Hal ini terjadi pada tulang fetal dan pada penyembuhan fraktur, akan tetapi woven bone akan digantikan dengan suatu proses remodeling menjadi lamellar bone. Secara virtual, semua tulang pada orang dewasa sehat adalah lamellar bone (Lieberman & Friedlaender 2005).
2.1.2 Fisiologi dari pembentukan tulang
Tulang terdiri dari sel penyangga, yakni osteoblas dan osteosit; sel remodeling yang disebut dengan osteoklas dan matriks kolagen non mineral dan protein non kolagen yang disebut dengan osteoid, dengan garam mineral inorganik dideposisi di dalam matriks. Sepanjang hidup, tulang mengalami proses pertumbuhan longitudinal dan radial, modeling, dan remodeling (Clarke 2008). Pertumbuhan longitudinal terjadi pada growth plates, dimana kartilago akan berproliferasi pada daerah epifisis dan metafisis dari tulang panjang, sebelum memasuki tahap mineralisasi dan membentuk tulang baru primer (Bayliss et al. 2012).
2.1.3 Pembentukan tulang
Osifikasi (atau osteogenesis) adalah suatu proses pembentukan tulang baru oleh sel yang disebut dengan osteoblas. Sel ini dan matriks tulang adalah dua elemen yang paling penting yang terlibat dalam pembentukan tulang. Proses dari pembentukan tulang normal melibatkan dua proses penting, yakni:
1.! Osifikasi intramembranosa, dengan ciri pelapisan tulang ke jaringan ikat primitive (mesenkim), menjadi formasi tulang (tulang tengkorak, klavikula, mandibular). Hal ini juga tampak pada penyembuhan fraktur yang diterapi dengan open reduction dan stabilisasi oleh plat metal dan screws.
2.! Osifikasi endokondral, dimana terdapat model kartilago sebagai prekursor (contoh: femur, tibia, humerus, radius). Ini merupakan proses yang paling penting yang terjadi sewaktu penyembuhan fraktur ketika diterapi dengan imobilisasi cast. Apabila proses formasi jaringan tulang terjadi pada lokasi ekstra skeletal, terminologinya disebut dengan heterotopic ossification.
Tiga langkah dasar pada osteogenesis adalah:
a.! Sintesis dari matriks ekstraselular organik (osteoid) b.! Mineralisasi matriks menjadi formasi tulang
c.! Remodelling tulang dengan proses resorpsi dan reformasi (Clarke 2008).
2.1.4 Osteoblas
Osteoblas adalah sel mononuklear yang bertanggung jawab dalam sintesis dan mineralisasi tulang pada saat proses pembentukan dan remodeling pada tulang.
Osteoblas berasal dari sel punca mesenkim yang pluripoten. Selain dapat menjadi osteoblas, sel punca mesenkim ini dapat berdiferensiasi menjadi turunan sel mesenkim lainnya seperti fibroblas, kondrosit, mioblas dan sel stroma sumsum tulang. Diferensiasi ini bergantung pada jalur sinyal transkripsi yang diaktivasi(Papachroni et al. 2009).
Osteoblas memainkan peran yang penting dalam proses pembentukan, induksi, regulasi dari mineralisasi matriks ekstraselular dan kontrol dari remodeling tulang.
Pada saat pembentukan tulang, osteoblas dewasa akan mensintesis dan mensekresi kolagen tipe I dan protein non kolagen lainnya seperti osteocalcin, osteopontin dan sialoprotein tulang (Uchihashi et al. 2013).
Osteoblas berasal dari mesenchymal stem cells (sel osteoprogenitor) dari stroma sumsum tulang dan bertanggung jawab untuk sintesis matriks tulang dan mineralisasinya. Perubahan dari mesenchymal stem cells menjadi osteoblast membutuhkan protein protein tertentu. Osteoblas adalah sel mononuclear dan bentuknya bervariasi dari rata, lonjong, sesuai dengan tingkat aktivitas selularnya, dan pada tahap akhir maturitasnya, berjajar sepanjang permukaan pembentukan tulang. Osteoblas bertanggung jawab untuk regulasi dari osteoklas dan deposisi dari matriks tulang. Sewaktu mereka berdiferensiasi, osteoblas akan mendapatkan kemampuan untuk mensekresi matriks tulang. Puncaknya, sebagian osteoblas akan terperangkap pada matriks tulangnya sendiri, dan akan berubah menjadi osteosit yang secara perlahan akan berhenti mensekresi osteoid. Osteosit adalah sel yang paling banyak terdapat pada tulang; sel ini berkomunikasi satu dengan yang lainnya dan dengan lingkungan sekitarnya melalui perpanjangan dari membrane plasma.
Oleh karena itu, osteosit berfungsi sebagai sensor mekanis, dan memerintah osteoklas dimana dan kapan untuk meresorbsi tulang dan kepada osteoblas dimana dan kapan untuk membentuk tulang. Osteoblas, yang kaya akan alkalin fosfatase (organic phosphate-splitting enzyme), mempunyai reseptor untuk hormone paratiroid dan estrogen. Juga hormon, faktor pertumbuhan, aktivitas fisik, dan stimulus lainnya yang bekerja melalui osteoblas dan memberikan efeknya pada tulang(McGonnell et al. 2012).
2.1.5 Matriks tulang
Struktur dari tulang terdiri dari:
•! Komponen inorganik (69%), terdiri dari hydroxyapatite (99%)
•! Komponen organic (22%), terdiri dari kolagen (90%) dan protein structural nonkolagen, yang termasuk proteoglycans, sialoproteins, dan 2HS- glycoprotein.
Komponen fungsional dari tulang termasuk growth factors dan sitokin. Kekerasan dan kekakuan dari tulang disebabkan karena adanya garam mineral pada matriks osteoid, yang merupakan kompleks kristalin dari kalsium dan fosfat (hydroxyapatite). Tulang yang terkalsifikasi terdiri dari 25% matriks organic, 5%
air, dan 70% mineral inorganic (hydroxyapatite). Kolagen 1 mencakupi 90-95%
matriks organik tulang (Clarke 2008). Osteoblas mensintesis dan membentuk precursor dari kolagen tipe I. Mereka juga memproduksi osteocalcin, yang merupakan protein non collagenous terbanyak dari matriks tulang, dan juga proteoglycan. Kolagen tipe I dibentuk oleh osteoblast dan dideposit secara parallel
atau konsentrik untuk membentuk tulang matur (lamellar bone). Ketika tulang secara cepat dibentuk, seperti pada fetus atau pada suatu keadaan patologis (contoh:
kalus dari fraktur, fibrous dysplasia, hiperparatiroid), kolagen tidak di depositkan secara parallel melainkan berbentuk seperti keranjang, sehingga terbentuklah tulang primitive, imatur atau woven bone. Osteoblas juga mensintesis dan mensekresi protein nonkolagenous, seperti proteoglycans, glycosylated proteins, glycosylated proteins with potential cell-attachment activities, dan g-carboxylated (gla) protein.
Protein terglikosilasi utama yang terdapat pada tulang adalah alkaline phosphatase, yang mempunyai peran dalam mineralisasi tulang (McGonnell et al. 2012).
2.1.6 Mineral Tulang
Crystalline hydroxyapatite [Ca 10 (PO 4)6(OH)2 merupakan komponen utama dari mineral tulang, yang menyusun kurang lebih seperempat dari volume dan setengah dari massa tulang normal orang dewasa. Kristal mineral ini (menurut mikroskop electron), dideposit sepanjang dan dekat dengan fibril kolagen tulang.
Komponen kalsium dan fosforus (fosfat inorganik) dari kristal ini diperoleh dari plasma darah yang berasal dari sumber makanan. Amorphous calcium phosphate menjadi dewasa melalui beberapa tahap untuk membentuk hydroxyapatite. Hasil akhirnya adalah amalgam yang terorganisasi dengan banyak protein, terutama kolagen, dan mineral, terutama hydroxyapatite, yang memiliki integritas structural yang cukup untuk menjalani fungsi mekanis dari tulang. Metabolit vitamin D dan hormone paratiroid (PTH) merupakan mediator penting dalam regulasi kalsium,
defisiensi vitamin D atau hiperparatiroidisme yang dapat menyebabkan kurangnya mineral tulang (Lieberman & Friedlaender 2005).
2.1.7 Osteosit
Osteosit merupakan osteoblas yang telah berdiferensiasi sampai tahap akhir dan berfungsi pada jaringan untuk menyangga struktur tulang dan metabolisme.
Osteosit menjaga hubungan satu dengan yang lainnya dengan permukaan tulang melalui filipodial cellular processes. Osteosit terhubung secara metabolis dan elektrik melalui gap junctions, yang terutama tersusun atas connexin (Prideaux et al. 2016). Keberadaan dari lacunae kosong pada tulang menunjukkan bahwa osteosit akan mengalami proses apoptosis, mungkin disebabkan dari kerusakan gap junctions interselular atau interaksi matriks sel. Apoptosis osteosit sebagai respon dari defisiensi estrogen atau terapi glukokortikoid memiliki efek yang buruk pada struktur tulang. Terapi estrogen dan bifosfonat dan physiologic loading dari tulang dapat membantu mencegah apoptosis osteoblas dan osteosit (McGonnell et al.
2012).
2.1.8 Osifikasi Intramembranous (Mesenchymal)
Osifikasi intramembranous adalah salah satu dari dua proses yang penting dalam pembentukan struktur skeletal janin mamalia, yang menghasilkan pembentukan dari jaringan tulang. Osifikasi intramembranous terutama terjadi pada pembentukan tulang pipih dari tulang tengkorak, mandibular, maksila, dan klavikula; hal ini juga merupakan proses penting dalam penyembuhan tulang
normal (Yang et al. 2015). Tulang terbentuk dari jaringan ikat seperti jaringan mesenkim, bukan dari kartilago. Tahap tahap dari osifikasi intramembranous adalah pembentukan ossification center, kalsifikasi, pembentukan trabekula, perkembangan periosteum.
Sel yang penting dalam pembentukan jaringan tulang melalui osifikasi intramembranous adalah mesenchymal stem cell. MSCs pada mesenkim manusia atau kavitas medulari dari fraktur tulang, akan menginisiasi osifikasi intramembranous. MSC adalah sel yang tidak bersifat khusus, yang morfologinya mempunyai karakteristik yang berubah sewaktu ia berkembang menjadi osteoblas.
Proses dari osifikasi membranous, yang intinya adalah mineralisasi langsung dari jaringan ikat yang kaya akan pembuluh darah, mulai dari beberapa titik yang juga dikenal sebagai centre of ossification (Street et al. 2002). Pada titik pusat tersebut, sel mesenkimal (sel osteoprogenitor) berproliferasi dan menyatu disekitar jaringan kapiler. Diantara sel sel dan disekitar pembuluh darah terdapat substansi amorphous dengan struktur kolagen fiber yang tertata rapi. Sel osteoprogenitor berdiferensiasi menjadi osteoblas, yang menciptakan osteoid pada titik tengan agregasi. Osteoblas memproduksi matriks tulang dan dikelilingi oleh fiber kolagen dan menjadi osteosit. Pada titik ini, osteoid menjadi termineralisasi, menjadi sebuah nidus yang terdiri dari osteoid termineralisasi yang mengandung osteosit dan dilapisi oleh osteoblast aktif. Nidus ini bermula sebagai gabungan difus dari MSC yang telah menjadi jaringan tulang (Zelzer & Olsen 2004). Proses dari terperangkapnya osteoblast berlanjut, trabekula perlahan menebal, dan mengintervensi ruang vascular (lapisan spongiosa) dan menyempit secara perlahan. Pada tulang
cancellous, akan tetapi, proses ini berjalan lambat, dan ruang nnya akan kelak ditempati oleh jaringan hemopoietik . Seiring perubahan ini terjadi pada ossification center, jaringan mesenkim sekitar akan berkondensasi menjadi periosteum fibrovaskular disekitar tepi dan permukaannya. Periosteum akan terbentuk, dan opertumbuhan tulang akan berlanjut pada permukaan trabekula. Seperti spicules, pertumbuhan dari trabekula akan menghasilkan interkoneksi, dan jaringan ini disebut dengan woven bone. Seiring waktu woven bone akan digantikan dengan lamellar bone. Perkembangan dari proses osifikasi berlanjut disertai dengan peran stem cells yang berasal dari bagian dalam dari periosteum (McGonnell et al. 2012).
2.1.8 Osifikasi Intracartilaginous (Endochondral)
Osifikasi endochondral (Greek: endon, “dalam”, chondros, “kartilago”) terjadi pada tulang panjang dan sebagian besar tulang di dalam tubuh; hal ini mencakup pembentukan inisial kartilago hialin yang terus bertumbuh. Osifikasi ini juga merupakan proses penting selama pertumbuhan panjang dari tulang panjang dan penyembuhan alami sewaktu fraktur tulang
Langkah langkah dalam osifikasi endochondral adalah:
1.! Pembentukan model kartilago 2.! Pertumbuhan dari model kartilago
3.! Perkembangan dari primary ossification center 4.! Perkembangan dari secondary ossification center
5.! Pembentukan dari articular cartilage dan lempeng epifisis.
Osifikasi Endochondral bermula dari sebuah titik pada kartilago yang disebut dengan ”primary ossification centers”. Titik ini muncul pada saat perkembangan fetus, walaupun beberapa tulang pendek memulai primary ossification nya setelah lahir. Osifikasi ini bertanggung jawab pada pembentukan diafisis tulang panjang, tulang pendek, dan beberapa bagian dari tulang irregular. Secondary ossification terjadi setelah lahir dan membentuk epifisis dari tulang panjang dan ekstremitas dari tulang irregular dan tulang pipih. Diafisis dan epifisis dari tulang panjang dipisahkan oleh zona pertumbuhan kartilago (lempeng epifisis). Ketika anak tersebut mencapai tingkat maturitas skeletal (18-25 tahun), semua dari kartilago akan digantikan oleh tulang, menggabungkan diafisis dan epifisis (penutupan epifisis) (McGonnell et al. 2012).
2.2 Proses Penyembuhan Tulang
Tahap penyembuhan tulang dibagi menjadi 5 tahap yakni: formasi (pembentukan) hematom, inflamasi, soft callus, hard callus dan remodeling. Perlu diingat bahwa tahap-tahap ini dapat berjalan dengan saling tumpang tindih, sehingga pada setiap bagian fraktur, mungkin saja sedang terjadi tahap penyembuhan yang berbeda-beda (Carano & Filvaroff 2003)
1.! Formasi Hematoma
Fraktur menyebabkan kerusakan struktural dari tulang, sumsum tulang, periosteum, otot, pembuluh darah dan jaringan lunak lainnya. Hal ini menyebabkan terbentuknya hematoma, yang diawali dengan perubahan fibrinogen menjadi fibrin.
Hematoma ini ditandai dengan pH yang rendah, hipoksia dan terdapat sel-sel
inflamasi. Hematoma berfungsi sebagai penyangga sementara sebelum invasi dari sel-sel inflamasi lainnya.
2.! Inflamasi
Tahap inflamasi ini mendominasi respons selular pada tahap awal penyembuhan tulang. Sel pertama yang akan di rekrut dalam proses inflamasi adalah polymorphonuclear neutrophils (PMNs). Sel-sel yang berakumulasi dalam jam-jam pertama setelah cedera ini tertarik karena adanya sel-sel mati dan debris.
PMN sendiri berumur pendek (sekitar 1 hari), tetapi akan mensekresi beberapa jenis chemokines (seperti C-C motif chemokine 2 (CCL2) dan IL-6) yang akan menarik makrofag yang berumur lebih panjang. PMN diperikirakan memiliki efek negatif pada penyembuhan tulang, sementara makrofag memiliki efek positif. Reaksi inflamasi yang terjadi ini membantu proses penyembuhan tulang dengan cara menstimulasi angiogenesis, menyebabkan terjadinya produksi dan diferensiasi mesenchymal stem cells (MSC) dan meningkatkan sintesis ekstraselular matriks.
3.! Soft Callus
Pembentukan soft callus ditandai dengan diferensiasi dari sel progenitor menjadi kondrosit dan osteoblas. Bergantung dari lingkungan, proses mekanis dan suplai aliran darah ke daerah fraktur, sel yang utama yang terdapat pada callus dapat berupa kartilago atau osteoid. Sel-sel ini akan menggantikan hematoma dan jaringan fibrosa.
4.! Hard Callus
Hard Callus diartikan sebagai perubahan dari kartilago menjadi matriks kartilago yang terkalsifikasi dengan diferensiasi pada kondrosit terminal. Pada
manusia, tahap ini terjadi beberapa minggu setelah fraktur. Seiringnya dengan proses kalsifikasi, kondrosit hipertrofik akan menjadi semakin dewasa dan pembuluh darah akan masuk ke dalam callus. Sel yang dominan pada tahap ini adalah osteoblas dan osteoklas karena jumlah kondrosit akan semakin berkurang pada tahap ini.
5.! Remodeling
Fase ini adalah fase dimana jaringan yang sebelumnya rusak, kembali ke keadaannya sebelum rusak. Pada saat remodeling, arsitektur kanalikular dari tulang akan dibangun kembali dan sistem haversian dengan osteositnya akan dibentuk kembali. Prosesnya dimulai saat konsolidasi telah terjadi dan dapat terus berlanjut sampai 6-9 tahun, sehingga memakan waktu 70% dari waktu keseluruhan penyembuhan tulang. Saat remodeling, interaksi antara osteoblas dan osteoklas akan mengakibatkan pembentukan tulang lamellar. Fenomena ini, dideskripsikan sebagai Wollf’s law, mencakup penguatan dari arsitektur tulang sebagai respon dari pemberian beban pada tulang (Phillips 2005).
2.2.1 Remodelling tulang
Remodelling tulang adalah suatu proses seumur hidup, dimana tulang lama di resorpsi dari skeletal, dan tulang baru ditambahkan melalui proses yang disebut osifikasi. Remodelling mencakup resorpsi tulang yang terus menerus dan diganti dengan sintesis dan mineralisasi matriks untuk membentuk tulang baru. Proses ini juga mengatur pembentukan atau penggantian tulang selama pertumbuhan dan mengikuti cedera seperti fraktur dan juga kerusakan kecil / microdamage, hal ini
mencegah akumulasi kerusakan kecil tulang melalui penggantian tulang lama dengan tulang baru yang terjadi melalui aktivitas normal. Remodelling juga merespon kepada mechanical loading. Sebagai hasilnya, tulang baru ditambahkan di tempat yang dibutuhkan dan dihilangkan di bagian yang tidak dibutuhkan. Proses ini penting dalam menjaga kekuatan tulang dan homeostasis mineral. Skeletal merupakan organ yang aktif secara metabolik dan mengalami remodeling yang terus menerus sepanjang hidup. Remodelling ini penting untuk menjaga integritas structural dari tulang dan juga sebagai fungsi metabolik sebagai tempat penyimpanan kalsium dan fosforus (Pearce et al. 2007).
Siklus remodeling tulang normal membutuhkan proses resorpsi tulang dan formasi tulang dalam suatu pola yang telah terkoordinasi, yang pada akhirnya bergantung pada perkembangan dan aktivasi osteoklas dan osteoblas. Kemampuan dari tulang, yang secara konstan meresorpsi tulang lama dan membentuk tulang baru, menjadikan tulang sebagai suatu jaringan yang sangat dinamis yang memungkinkan terjaganya jaringan tulang, perbaikan dari jaringan yang rusak, dan homeostasis dari metabolism phosphocalcic. Siklus remodeling tulang meliputi langkah langkah yang diregulasi secara baik yang bergantung pada interaksi dua buah turunan sel, yakni turunan osteoblastik mesenkimal dan turunan osteoklastik hematopoetik. Keseimbangan antara resorpsi dan deposisi tulang ditentukan oleh aktivitas dua jenis sel, yakni osteoklas dan osteoblas. Osteoblas dan osteoklas, yang digabungkan melalui proses sinyal parakrin, disebut sebagai unit remodeling tulang (Pearce et al. 2007; Crockett et al. 2011).
Pada skeletal berusia muda, jumlah dari tulang yang diresorpsi proporsional dengan tulang yang terbentuk. Untuk alasan ini, proses ini merupakan proses yang seimbang. Umur rata rata dari unit remodeling ini adalah 2-8 bulan, dan sebagian besar waktunya dihabiskan dalam proses pembentukan tulang.
Walaupun tulang kortikal memakan 75% dari total volume, rasio metabolic sepuluh kali lebih tinggi pada tulang trabecular, karena rasio permukaan dengan rasio jauh lebih besar (permukaan tulang trabecular mencakup 60% dari total). Oleh karena itu, kira kira 5-10% dari keseluruhan tulang diperbaharui setiap tahunnya.
Osteoklas memiliki channels ion aktif pada membran sel yang memompa proton ke ruangan ekstraselular, jadi menurunkan pH pada lingkungan mikro disekitarnbya. Penurunan dari pH ini melarutkan mineral tulang. Siklus remodeling tulang mencakup langkah sekuensial yang kompleks. Keseimbangan tulang adalah perbedaan dari tulang lama yang diresorbsi dan tulang baru yang terbentuk. Balans tulang periosteum sedikit positif, sedangkan balans tulang endosteal dan trabecular sedikit negatif, sehingga menyebabkan oenipisan kortikal dan trabecular seiring dengan bertambahnya usia.
Fungsi remodeling tulang yang telah diketahui termasuk menjaga kekuatan mekanis tulang dengan mengganti tulang yang mengalami kerusakan kecil dengan tulang baru yang sehat, dan melalui homeostasis kalsium dan fosfat. Tingkat turnover dari tulang kortikal orang dewasa yang rendah (2-3% per tahun) cukup untuk menjaga klekuatan biomekanik dari tulang. Rasio turnover dari tulang trabekular lebih tinggi, lebih dari yang dibutuhkan untuk menjaga kekuatan mekanis tulang, mengindikasikan turnover tulang trabekular lebih penting untuk
metabolism mineral. Peningkatan kebutuhan untuk kalsium dan fosfor membutuhkan unit remodeling tulang yang lebih banyak (Lieberman &
Friedlaender 2005; Crockett et al. 2011).
2.2.2 Mediator dari Remodelling
Osteoklas adalah satu satunya sel yang diketahui mampu untuk meresorpsi tulang. Osteoklas umumnya mempunyai banyak nukelus. Osteoklas berasal dari sel prekursor mononuclear dari turunan monocytemacrophage (hematopoietic stem cells yang memberikan turunan terhadap monosit dan macrofag). Prekursor mononuclear monocytemacrophage telah diidentifikasi pada berbagai jenis jaringan, akan tetapi sel precursor monocytemacrophage yang berasal dari sumsum tulang yang diperkirakan menghasilkan paling banyak osteoklas
Osteoblas dapat menstimulasi untuk meningkatkan massa tulang melalui peningkatan sekresi dari osteoid dan menghambat kemampuan dari osteoklas untuk memecah jaringan osseous. Pembentukan tulang melalui peningkatan formasi osteoid, distimulasi oleh sekresi growth hormone oleh pituitary, hormone tiroid dan hormone sex (estrogen dan androgen). Mediator lain yang berperan adalah RANK dan Osteoprotegerin (Sipola 2009; McGonnell et al. 2012).
2.2.3 Fase Remodelling
Remodelling tulang dapat dibagi menjadi enam fase, yakni quiescent, activation, resorption, reversal, formation, dan mineralization. Mineralization merupakan tahap yang paling akhir. Proses ini terjadi pada daerah remodeling, yang
didistribusikan secara acak, akan tetapi lebih difokuskan pada daerah yang membutuhkan perbaikan (Crockett et al. 2011).!
1.! Fase quiescent. Merupakan fase tulang pada saat istirahat. Faktor faktor yang menginisiasi proses remodeling belum diketahui.
2.! Fase activation. Fenomena pertama yang terjadi adalah aktivasi dari permukaan tulang sebelum resorpsi, walaupun retraksi dari sel yang melapisi tulang dan digesti dari membrane endosteal melalui aksi kolagenase. Fase ini mencakup perekrutan dan aktivasi dari mononuclear monocyte-macrophage osteoclast precursors dari sirkulasi, sehingga menyebabkan interaksi dari sel prekursor osteoklas dan osteoblast. Hal ini mengakibatkan diferensiasi, migrasi, dan fusi dari osteoklas multinukleasi yang berukuran besar. Sel ini akan menempel pada permukaan tulang yang telah termineralisasi dan menginisiasi resorpsi dengan cara mensekresi ion hydrogen dan enzim lysosomal, terutama cathepsin K, yang dapat mendegradasi seluruh komponen dari nmatriks tulang, termasuk kolagen, pada pH yang rendah.
3.! Fase Resorption. Osteoklas mulai untuk menghancurkan matriks mineral dan matriks osteoid. Proses ini diselesaikan oleh makrofag dan memungkinkan pelepasan factor pertumbuhan yang terkandung dalam matriks, yang secara fundamental mengubah Transforming Growth Factor- b (TGF-b), Platelet-Derived Growth Factor (PDGF), dan Insulin-like Growth Factor I dan II (IGF-1 dan II). Resorpsi osteoklastik akan memproduksi kavitas ireguler pada permukaan tulang trabecular, yang
disebut dengan Howship’s lacunae, atau kanalis Haversian silindris di dalam tulang kortikal. Resorpsi tulang yang dimediasi oleh osteoklas memakan waktu kurang lebih 2-4 minggu pada setiap siklus remodeling.
4.! Fase Reversal. Pada saat fase ini, resorpsi tulang bertransisi menjadi pembentukan tulang. Setelah proses resorpsi selesai, kavitas resorpsi akan mengandung banyak sel mononuclear, termasuk monosit, osteosit yang dilepas dari matriks tulang, dan preosteoblas, direkrut untuk memulai pembentukan tulang yang baru. Sinyal yang menghubungkan resorpsi tulang menjadi pembentukan tulang belum diketahui, akan tetapi kandidatnya mencakupi faktor matriks tulang seperti TGF-3, IGF-1, IGF-2, bone morphogenetic proteins, PDGF, atau Fibroblast Growth Factor.
5.! Fase Formation. Setelah osteoklas telah meresorpsi kavitas dari tulang, osteoklas akan melepaskan diri dari permukaan tulang dan digantikan oleh sel osteoblas, yang akan menginisiasi pembentukan tulang. Fenomena berkumpulnya preosteoblas akan terbentuk. Preosteoblas akan mensintesis substansi semen, dimana jaringan baru akan melekat dan mengekspresikan BMP yang bertanggungjawab dalam proses diferensiasi. Beberapa hari kemudian, osteoblas yang telah berdiferensiasi akan mensintesis matriks osteoid yang akan mengisi area yang telah terperforasi. Sisa dari osteoblas akan mensintesis tulang sampai pada akhirnya berhenti dan berubah menjadi sel yang melapisi tulang yang baru terbentuk dan bergabung dengan osteosit di dalam matriks tulang melalui jaringan kanalikuli.
6.! Fase Mineralization. Proses yang bermula 30 hari setelah deposisi dari osteoid, berakhir pada hari ke 90 pada tulang trabekular dan hari ke 130 pada tulang kortikal. Fase quiescent akan mulai kembali. Ketika siklus selesai jumlah dari tulang yang terbentuk harus sama dengan jumlah tulang yang diresorpsi (McGonnell et al. 2012).
2.2.4 Faktor regulator pada remodeling tulang
Balans diantara resorpsi dan formasi tulang dipengaruhi oleh berbagai macam faktor yang saling berhubungan seperti genetik, mekanikal, vaskular, nutrisional, hormonal, dan lokal. Regulasi sistemik pada remodeling tulang dipengaruhi oleh faktor genetik, faktor mekanikal, faktor vaskular / saraf. Vaskularisasi sangat fundamental pada perkembangan tulang normal, menyuplai sel-sel darah, oksigen, mineral, ion, glukosa, hormon, dan faktor pertumbuhan. Vaskularisasi merupakan bagian dari fase pertama dari osifikasi: pembuluh darah menginvasi kartilago dan resorpsi tulang terjadi melalui peran osteoklas yang berasal dari pembuluh darah sekitar (Bayliss et al. 2012; Crockett et al. 2011).
Neoformasi vaskular merupakan kejadian pertama pada penyembuhan fraktur atau regenerasi tulang. Inervasi juga penting untuk fisiologi tulang normal. Tulang di inervasi oleh system saraf otonom, dan serat saraf sensoris. Serat saraf otonom ditemukan pada periosteum, endosteum, tulang kortikal, dan berhubungan dengan pembuluh darah dari Volkmann conduit, dan juga neuropeptide dan reseptornya pada tulang. Contoh dari pentingnya innervasi pada fisiologi tulang ditemukan pada osteopenia dan kerapuhan tulang pada pasien dengan kelainan neurologis, dan juga
pada menurunnya densitas tulang pada mandibular yang mengalami denervasi (McGonnell et al. 2012).
Faktor nutrisional juga berperan penting serta faktor hormonal. Hormon yang berpengaruh antara lain Hormon tiroid, Hormon Paratiroid (PTH), Calcitonin, 1.25 (OH) 2 Vitamin D3 atau calcitriol, Androgens, Estrogen , Progesteron, Insulin, Glukokortikoid, Growth Hormone.Oleh karena itu, hormon yang berperan pada regulasi metabolisme tulang adalah, menurunkan resorpsi tulang: Calcitonin, Estrogens. Kemudian hormon yang meningkatkan resorpsi tulang: PTH/ PTHrP, Glukokortikoid, Hormon tiroid, Vitamin D dosis tinggi. Meningkatkan formasi tulang: Growth hormone, Metabolit vitamin D, Androgen, Insulin, PTH/PTHrP dosis rendah, Progesteron. Menurunkan formasi tulang: Glukokortikoid (Crockett et al. 2011; McGonnell et al. 2012)
2.2.5 Regulator lokal dari remodeling tulang
Remodelling tulang juga diregulasi oleh faktor lokal, yang diantaranya growth factors dan sitokin, dan akhir akhir ini, protein matriks tulang telah di implikasikan sebagai modulator dari faktor lokal lainnya. Sel sel tulang juga memainkan peran penting pada produksi prostaglandin dan nitric oxide, begitu juga sitokin dan faktor pertumbuhan lainnya. Growth Factors penting yang berhubungan dengan skeletal adalah berikut (Crockett et al. 2011; McGonnell et al. 2012) :
1.! IGF-1 dan II (Insulin-Like Growth Factor I dan II) 2.! Transforming Growth Factor- b (TGF-b)
3.! Bone Morphogenetic proteins (BMP)
4.! Platelet-derived growth factor (PDGF) 5.! Fibroblastic Growth Factor ( FGF) 6.! Epidermal Growth Factor (EGF)
7.! Vascular Endothelial Growth Factor (VEGF) menginduksi angiogenesis dan proliferasi endothelial vaskular. Hal ini memproduksi vasodilatasi dan meningkatkan permeabilitas vaskular. Terjadi pada saat hipoksia dan saat ini dianggap sebagai salah satu faktor kunci pada fase pertama dari penyembuhan fraktur dan regenerasi tulang, dan juga pada pertumbuhan tumor.
8.! Granulocyte / macrophage – colony stimulating factor ( GM-CSF) 9.! Macrophage- colony stimulating factor (M-CSF)
10.!Tumor Necrosis Factor (TNF). Tumor Necrosis Factor in vitro menstimulasi resorpsi dan berhubungan dengan kehilangan tulang pada arthritis dan penyakit periodontal.
2.2.6 Matriks Protein
Matriks protein telah akhir akhir ini ditemukan sebagai growth factor modulators. Matrix protein ditemukan pada konsentrasi 1000 kali lebih tinggi dibandingkat growth factors dan oleh karena itu mempunyai peran yang penting pada regulasi dari berbagai macam fungsi sel. Matriks protein juga berperan dalamn regulasi diferensiasi sel yang terkandung dalam matriks. Sebagai contoh, kolagen tipe I adalah salah satu marker awal yang meregulasi sel osteoprogenitor, dan alkalin fosfatase adalah protein permukaan yang dapat berpartisipasi pada regulasi
dari proliferasi, migrasi, dan diferensiasi dari sel osteoblastik. Osteonectin, fibronectin, dan osteocalcin menginduksi perlekatan sel, memfasilitasi migrasi sel, dan aktivasi sel (McGonnell et al. 2012).
2.2.7 Sitokin
Sitokin adalah polipeptida yang disintesis di dalam sel limfositik dan monositik dan memainkan peran yang penting pada fungsi selular multiple, seperti pada respon imun, inflamasi, dan hematopoiesis, karena memiliki efek autokrin dan parakrin. Berikut ini adalah sitokin yang penting untuk tulang :
1.! Interleukin 1 (IL-1), secara langsung menstimulasi resorpsi osteoklastik, meningkatkan proliferasi dan diferensiasi dari preosteoblas, dan juga aktivitas osteoklastik, dan menghambat apoptosis dari osteoklas. Pada realitanya, terdapat tiga molekul berbeda yang saling berhubungan : IL-1a, IL-1b, dan IL-1 reseptor antagonis, dimana yang terakhir merupakan inhibitor dari dua yang pertama. Semuanya bekerja secara langsung dan tidak langsung melalui resorpsi melalui sintesis dari prostaglandin.
2.! Interleukin 6 (IL-6), menstimulasi resorpsi tulang dan mempunyai peran pada pathogenesis Paget’s disease. IL-6 dipercaya memainkan peran penting pada tahap awal osteoklastogenesis dan diproduksi sebagai respon terhadap PTH, IL-1, dan 1.25 (OH)2D3.
3.! Interleukin 11 (IL-11) 4.! Prostaglandin (PG)
5.! Leukotrienes (Lieberman & Friedlaender 2005; McGonnell et al. 2012).
2.3. Bone Recycling
Pada reseksi kanker, tumor biasanya ikut tereseksi bersama dengan tulang.
Tulang yang direseksi mengandung sel ganas dan sangat sulit untuk memisahkan sel ini secara manual dan tulang dapat dipergunakan kembali. Dari sudut pandang bedah rekonstruksi, sangat sulit untuk menggantikan tulang yang tereseksi dengan tulang lain dari bagian tubuh lain yang tentunya memiliki ukuran dan bentuk yang berbeda. Beberapa penelitian untuk dapat mengunakan kembali tulang telah dikembangkan sebagai contoh dengan terapi alkohol, terapi radiasi, terapi autoclave, hot water bath (pasteur method) dan terapi liquid nitrogen (Yazawa et al. 2013)..
Penatalaksanaan tulang (bone recycle) yang terlalu lemah menyebabkan sel ganas masih tersisa pada tulang, sementara tindakan yang terlalu intens akan melemahkan tulang karena kehilangan matriks ekstraselulernya dan berujung pada keterlambatan remodeling tulang dan dapat memicu infeksi tulang (Yazawa et al.
2013) .
Cryosurgery pertama kali diperkenalan sebagai penatalaksanaan keganasan pada tahun 1840. Tindakan ini dilakukan dengan menggunakan pecahan es dan garam untuk mengatasi kanker superfisial. Sampai tahun 1960, teknologi yang digunakan mengalami perkembangan pesat dan mampu diaplikasikan pada keganasan primer maupun sekunder (Nishida et al. 2008).
Saat ini operasi ini menggunakan liquid nitrogen dan mampu secara sukses dilakukan pada ablasi tumor pada hati, prostat, ginjal dan terapi paliatif pada kanker payudara (Nishida H dkk, 2010). Manajemen tumor tulang dilakukan di Memorial
Sloan Kettering Cancer Center Amerika Serikat pada tahun 1964 sebagai prosedur paliatif pada pasien metastasis ke humerus dan paru- paru (Tsuchiya et al. 2010).
Pembekuan dan penggunaan cryosurgery dengan liquid nitrogen ini dilakukan pada tumor tulang untuk pertama kalinya pada tahun 1984 (Abdel Rahman et al.
2009). Pendinginan berulang akan menghancurkan sel tumor pada bagian pinggir kuretase. Lesi yang dikuretase dan begitu pula celah (cavity) didinginkan dengan liquid nitrogen kemudian diisi dengan cement (Tsuchiya et al. 2010).
2.3.1. Pengertian cryosurgery
Cryosurgery menginduksi kematian sel tumor dengan merusak membran sel dan organel dan secara tidak langsung menyebabkan gangguan aliran darah melalui trombus pembuluh darah kecil. Dengan penurunan suhu, sel akan mengalami dehidrasi dan protein mengalami kerusakan karena tingginya kelarutan dan menyebabkan kerusakan membran dan gangguan pada mesin enzim sel.
Pendinginan yang cepat dengan kristal es yang terjadi pada sel, terjadi kerusakan membran dan organel secara mekanis. Dengan pendinginan yang dilakukan berulang- ulang, konduktivitas jaringan meningkat dan menyebarkan kerusakan.
Kerusakan dinding sel terjadi karena hidrasi perivaskuler dan menghasilkan distensi dari pembuluh darah atau dalam bentuk kerusakan langsung pada sel endotelial pembuluh darah. Kedua mekanisme ini memicu peningkatan permeabilitas, edema dan kaskade koagulasi yang memberiikan stimulasi pada peningkatan mikro trombi pada pembuluh darah dan iskemik jaringan (Nishida et al. 2008)..
Cryosurgery menghancurkan jaringan secara selektif dan dapat dikendalikan dengan pendinginan dan thawing. Cryosurgery biasanya dikuti pula dengan terapi adjuvant seperti kemoterapi, imunoterapi dan bedah konvensional (Tsuchiya et al.
2010).
2.3.2. Teknik cryosurgery 2.3.2.1 Protokol cryosurgery
Protokol penatalaksanaan terdiri dari beberapa tahapan yaitu kuretase tumor (tumor curretage), dilanjutkan dengan liquid nitrogen yang di tuangkan kedalam celah tulang dan diberikan kesempatan untuk thawing. Freeze-thaw cycle kemudian diulangi sampai 2 atau 3 kali sampai mencapai kematian jaringan (tissue necrosis).
Metode ini sulit untuk mengatasi pinggiran tumor.
2.3.2.2 Cycle dan Tahapan Cryosurgery
Cryosurgery melibatkan proses kerusakan jaringan di bawah titik beku yang dapat dikendalikan. Keuntungan utama dari teknik ini adalah metode ini lebih tidak invasif dan memiliki morbiditas lebih rendah dibandingkan dengan tehnik reseksi.
Akan tetapi, penggunaan cryosurgery telah dibatasi oleh kurangnya pemahaman yang baik tentang mekanisme yang mendasari kerusakan jaringan (Baust et al.
2004)
Setiap sel dalam jaringan terkena pajanan termal yang berbeda. Sel-sel terdekat dengan cryosurgical probe mengalami suhu terendah dan tingkat pendinginan tercepat dibandingkan dengan sel yang lebih jauh dari probe. Suhu menurun sampai
panas diekstraksi dari jaringan sama dengan panas dalam cairan pendingin (Baust et al. 2004).
.
Pada gambar diatas digambarkan selama fase pendinginan lambat, es terbentuk di ruang ekstraselular karena peningkatan konsentrasi zat terlarut di fraksi yang tidak beku. Hal ini menyebabkan penyusutan sel. Bila suhu lebih lanjut menurun, memungkinkan inisiasi eutectic crystallization di ruang ekstraselular, suhu dan konsentrasi dari ruang intraseluler memungkinkan eutectic crystallization terjadi di ruang intraseluler. Atau, jika laju pendinginan cepat, sel-sel tidak dapat kehilangan air cukup cepat untuk menjaga keseimbangan, sehingga air intraseluler menjadi dingin dan akhirnya membeku. Simbol segi enam menggambarkan kristal es. Untuk mengetahui tentang mekanisme sel dan cedera jaringan membutuhkan pengenalan dari efek siklus beku-mencair seperti yang digunakan dalam cryosurgery (Bickels et al. n.d.). Setiap aspek dari siklus beku-mencair dapat menghasilkan cedera jaringan, dan semua bisa dimanipulasi. Oleh karena itu pengetahuan tentang efek
Gambar!2.1!Siklus!Sel!dalam!Cryosurgery!
dari setiap fase dari siklus penting, apakah tujuannya adalah kerusakan jaringan keseluruhan atau selektif.
Meskipun komponen dari siklus beku-mencair sulit untuk menggambarkan dengan presisi dalam volume beku jaringan, peran masing- masing dalam cedera cryogenic telah dievaluasi dalam banyak percobaan. (Robinson et al. 2001)
2.3.2.3 Tingkat pendinginan
Percobaan telah menunjukkan bahwa kristal intraseluler es, dianggap mematikan bagi sel-sel, membentuk lebih dari berbagai tingkat pendinginan, termasuk pada tingkat lambat [15,87]. Hal ini penting untuk pembekuan jaringan in vivo karena banyak volume beku jaringan hanya akan memperlambat tingkat pendinginan, yaitu sekitar 10 ° C / menit atau lebih lambat. Meskipun pendinginan lambat cenderung menghasilkan es ekstraseluler, kristal besar, dianggap agak berbahaya di suspensi sel, mungkin mematikan ketika terjadi dalam jaringan dengan sel dikemas erat. Hanya jaringan dekat dengan permukaan pertukaran panas dari cryoprobe beku cepat (Baust et al. 2004)..
2.3.2.4 Suhu jaringan
Suhu jaringan merupakan faktor kunci dalam menyebabkan cedera. Percobaan in vivo menunjukkan bahwa stasis vaskuler setelah pencairan memodifikasi interpretasi suhu mematikan bagi sel-sel dan telah memperkenalkan ukuran ketidakpastian tentang tujuan suhu yang sesuai di cryosurgery. Sebagai panduan untuk pengobatan neoplasma, banyak percobaan menunjukkan bahwa sekitar -20 °
C adalah cukup untuk kerusakan jaringan harus dilihat dengan hati- hati.
Tentu saja kerusakan jaringan yang luas terjadi di kisaran -20 sampai -30°C, tapi kerusakan sel tumor pada kisaran suhu tidak pasti dan tidak lengkap (Baust et al.
2004)
2.3.2.5 Durasi pembekuan
Durasi optimal pembekuan diperlukan untuk mengetahui berapa lama jaringan harus dalam keadaan beku, tidak stabil, tetapi percobaan telah menunjukkan bahwa perpanjangan pembekuan menghasilkan efek merusak yang lebih besar. Namun demikian secara umum, durasi pembekuan tidak penting jika jaringan tersebut diadakan pada suhu lebih dingin dari -50 ° C. Namun, menahan jaringan untuk waktu yang lama di -10 ke -25 ° rentang C akan meningkatkan kerusakan karena efek zat terlarut dan recystallization (Baust et al. 2004).
2.3.2.6 The thawing rate
Pencairan yang lambat dari jaringan yang beku merupakan faktor perusak utama. Semakin lama durasi mencair, semakin besar kerusakan pada sel-sel karena peningkatan efek zat terlarut dan pertumbuhan maksimal kristal es. Kristal es besar membuat kekuatan geser yang mengganggu jaringan. Percobaan, menggunakan jaringan in vivo, telah menunjukkan efek merusak dari pencairan lambat (Bickels et al. 2001).
Whittaker menunjukkan bahwa kristal es intraseluler yang lebih besar dalam siklus pembekuan kedua menunjukkan bahwa efek ini disebabkan waktu mencair