Telah dijelaskan terdahulu, bahwa pada abad III dan IV H., aliran tasawuf terbagi dua, yaitu; pertama: aliran para sufi yang pendapat-pendapatnya moderat yakni, tasawufnya selalu merujuk kepada al-Qur’an dan al-Sunnah.
Dengan kata lain tasawuf aliran itu selalu bertandakan timbangan syarī’ah yang sebagian tokohnya didominasi oleh ciri-ciri moral. Aliran ini disebut pula tasawuf Sunni. Kedua: aliran tasawuf yang terpesona keadaan-keadaan fana. Mereka itu sering mengucapkan kata-kata ganjil yang terkenal sebagai syaṭahāt. Mereka menumbuhkan konsep-konsep hubungan manusia dengan Allah, seperti penyatuan ataupun hulul. Tasawuf mereka bertandakan beberapa kecenderungan metafisis.66
Aliran pertama di atas, yang diikuti oleh al-Ghazālī pada abad V H., bahkan dianggap tokoh yang paling penting dalam tasawuf Sunni.
Al-Ghazālī memilih tasawuf sunni, karena ajarannya didasarkan pada
65Lihat al-Ghazālī, Ihyā, Jilid III, op. cit., h. 398. Lihat juga Amin Syukur, op. cit., h. 51.
66Abū al-Wafā, Al-Ganami, op. cit., h. 95.
DUMMY
BAB 5 | Latar Belakang Kehidupan dan Perkembangan Intelektual Al-Ghazālī Peran Akal dalam Tasawuf: Menurut Pemikiran Al-Ghazali
128
al-Qur’an dan al-Sunnah serta maqamāt (tingkatan ruhaniah) dan ahwāl (keadaan) mereka dikaitkan dengan kedua sumber tersebut.
Itulah sebabnya, al-Ghazālī menentang semua ajaran tasawuf yang dianggap telah keluar dari ajaran Al-Qur’an dan al-Sunnah seperti syaṭahāt (ungkapan-ungkapan ganjil) yang sering diungkapkan oleh para sufi.
Karena dapat membawa dampak negatif kepada orang awam, termasuk teori kesatuan dengan menyodorkan teori baru yakni ma’rifah dalam batas pendekatan diri kepada Allah, tanpa diikuti penyatuan dengan-Nya. Jalan menuju ma’rifah adalah paduan antara ilmu dan amal, sementara buahnya adalah moralitas.67
Ajaran tasawuf al-Ghazālī dibentengi dari semua kecenderungan qnostis yang mempengaruhi para filosof Islam, seperti sekte Ismailīyah dalam aliran syī’ah, ikhwan al-ṣafa’, teori ketuhanan Aristoteles dan sebagainya.
Selain itu, tasawuf Sunni berdasarkan doktrin ahl al-Sunnah wā al- Jamāh, yang mana al-Ghazālī menjadi salah seorang pendukungnya. Itu pula sebabnya, sehingga aliran ini berkembang luas karena ditopang tokoh- tokohnya setiap kaum dan karya-karyanya yang monumental.
Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa tasawuf al-Ghazālī benar- benar bercorak Islam. Bercirikan pysco-moral yang mengutamakan pendidikan moral.
Dikatakan demikian, karena ia menaruh perhatian terhadap jiwa manusia dengan segala keburukannya serta cara membinanya secara moral.
Selanjutnya ia mengatakan bahwa jalan para sufi dalam tasawuf, baru bisa dicapai dengan mematahkan hambatan-hambatan jiwa serta membersihkan diri dari moral yang buruk maupun tercela, sehingga qalbu dapat terlepas dari segala sesuatu selain Allah dan berhias dengan mengingat Allah. Semua itu dimaksudkan agar cinta kepada Allah menguasai qalbu bersamaan dengan hilangnya cinta pada hal-hal duniawi.
Kaum sufi sependapat, bahwa kenikmatan hidup duniawi bukanlah tujuan, tetapi hanyalah sekedar jembatan menuju kebahagiaan sejati. Oleh karena itu, dalam rangka pendidikan mental, yang pertama dan utama adalah
67Amin Syukur, Menggugat Tasawuf Cet. II; (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2000), h. 39.
DUMMY
BAB 5 | Latar Belakang Kehidupan dan Perkembangan Intelektual Al-Ghazālī 129 menghilangkan penyebab utamanya yaitu hawa nafsu merupakan sumber utama kerusakan moral.68
Jadi setelah mengkaji tasawuf, al-Ghazālī sepenuhnya mengarahkan dirinya menempuh jalan para sufi. Pertama-tama dalam bentuk latihan jiwa, lalu menempuh fase-fase pencapaian rohaniah dalam tingkatan serta keadaan menurut jalan tersebut yang akhirnya sampai kepada kefanā’an, tauhid, ma’rifat dan kebahagiaan. Dengan kata lain penyucian diri, pembersihannya, pencerahannya dimaksudkan untuk mempersiapkan sampainya pada tingkat ma’rifah.
Inilah yang menjadi tujuan tasawuf al-Ghazālī. Untuk mencapai ma’rifah, sasarannya adalah qalbu,69 bukannya perasaan dan bukan pula akal budi. Qalbu menurut al-Ghazālī bagaikan cermin. Sedangkan ilmu adalah pantulan gambar realitas yang terdapat di dalamnya. Jelasnya jika cermin qalbu telah bening, maka ia tidak dapat memantulkan realitas ilmu, yang membuat qalbu tidak bening ialah hawa nafsu tubuh. Berpaling dari hawa nafsu itulah yang membuat qalbu cemerlang.
Berdasarkan beberapa keterangan di atas, jelaslah bahwa tujuan jalan para sufi ialah penempatan fase-fase moral dengan latihan jiwa, serta penggantian moral yang tercela dengan moral yang terpuji. Dengan cara ini, para sufi mencapai pengenalan Allah secara sempurna. Jadi menurut al-Ghazālī proses jalan sufi adalah moralitas.
Al-Ghazālī mendeskripsikan latihan rohaniah yang sesuai dengan tabiat terpuji, sebagai kesehatan kalbu; lebih diprioritaskan daripada kesehatan jasmani sebab penyakit anggota tubuh luar hanya akan membuat hilangnya kehidupan dunia ini saja, sementara penyakit qalbu akan membuat hilangnya kehidupan yang abadi.
68Rifai Siregar, Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Noe Sufisme Cet. II; (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2000), h. 100.
69Qalbu menurut al-Ghazālī mempunyai dua makna yaitu bermakna hati dalam bentuk fisik dan hati dalam bentuk metafisik. Hati dalam bentuk fisik adalah bagian tubuh manusia yang sangat penting karena menjadi pusat aliran darah ke seluruh tubuh. Darah ini pula yang membawa kehidupan. Kemudian hati dalam pengertian ruhani sesuatu yang lembut yang berasal dari Tuhan dan bersifat ruhaniah. Itulah yang membuat manusia mengetahui atau merasakan sesuatu. Lihat Jalaluddin Rahmat, Kalbu dan Permaslahannya dalam Kuliah- kuliah Tasawuf Cet. II; (Bandung: Pustaka Hidayah, 2000), h. 206.
DUMMY
BAB 5 | Latar Belakang Kehidupan dan Perkembangan Intelektual Al-Ghazālī Peran Akal dalam Tasawuf: Menurut Pemikiran Al-Ghazali
130
Oleh karena itu seorang hamba Allah harus berupaya mengetahui penyebabnya dan berusaha memperbaikinya. Sesuai dengan firman Allah QS. al-Syams (91): 9: