• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sebab-sebab Al-Ghazālī Memilih Jalur Tasawuf

Dalam dokumen Peran Akal dalam Tasawuf (Halaman 128-131)

INTELEKTUAL AL-GHAZĀLĪ

C. Sebab-sebab Al-Ghazālī Memilih Jalur Tasawuf

Menurut pengakuan al-Ghazālī, sejak remaja dia sudah mempunyai jiwa skeptis dan kritis. Karenanya ia selalu terdorong untuk menuntut ilmu ke berbagai kota agar bisa tahu banyak tentang bermacam-macam paham dan aliran agama yang tengah berkembang ketika itu. Menurutnya, dengan memperoleh banyak pengetahuan tentang bermacam-macam paham dan aliran, sebagaimana yang diperolehnya di Naisabur, maka ia dapat telah lepas dari belenggu taklid, sebagaimana yang banyak dilakukan orang, yakni mengikuti apa saja yang diberikan orang tua atau guru tentang doktrin agama yang harus diyakini tanpa harus mengetahui argumennya.

57Ibid, h. 59.

DUMMY

BAB 5 | Latar Belakang Kehidupan dan Perkembangan Intelektual Al-Ghazālī 121 Menurut pengamatan al-Ghazālī, taklidlah yang mendasari keberagaman umat manusia pada mulanya, karena anak Yahudi cenderung menjadi penganut Yahudi, anak Kristen menjadi Kristen dan seterusnya.58 Dalam kaitannya dengan taklid, al-Ghazālī sangat menentang. Sebab orang yang suka bertaklid akan menghalangi kegiatan intelektualnya dan penghalang pencarian realitas. Sedangkan realitas diperoleh bukan ditimba dari seseorang secara membabi-buta melainkan diperoleh dari dirinya sendiri.

Karena itu, carilah kebenaran dengan pandangan yang mendalam. Jangan mencarinya dengan cara taklid. Tidak ada jalan keselamatan kecuali dalam kebebasan.59 Lebih tegas lagi al-Ghazālī menyatakan bahwa orang yang begitu didominasi sikap mengikut tidak layak dijadikan sahabat.

Untuk itulah al-Ghazālī dengan jiwanya yang kritis terdorong untuk meneliti sehingga jelas yang mana dalam keyakinan agama seseorang termasuk unsur yang esensial (fitrah) dan yang mana unsur kultural. Dari yang kultural ini bisa berdekatan antara yang hak dan yang batil.

Selain itu, al-Ghazālī terdorong untuk meneliti lebih jauh, karena banyaknya ilmu pengetahuan yang sudah diperolehnya, namun belum menemukan kebenaran yang meyakinkan. Kebenaran yang meyakinkan adalah keyakinan yang sampai ke tingkat matematis. Artinya keyakinan yang tidak tergoyahkan oleh intimidasi apa pun, seperti sepuluh lebih besar dari tiga. Inilah yang belum ditemukan al-Ghazālī.

Menurut al-Ghazālī segala persoalan rumit harus dipecahkan lewat kekuatan dari indrawi dan rasio. Pengetahuan indrawi ini sudah dicoba kredibilitasnya termasuk dalam teks-teks al-Qur’an dan al-hadis yang diambil pengertian lahirnya, namun hasilnya masih adanya pertentangan pendapat pada satu dalil yang sama. Sesudah itu kembali diuji sekali lagi, hasilnya tetap diragukan. Al-Ghazālī mengemukakan contoh tipu daya indrawi bahwa, matahari dan bintang-bintang yang tampaknya kecil saja hanya sebesar uang logam. Padahal itu tidak demikian, menurut perhitungan geometri bahwa besarnya bintang atau matahari lebih besar dan lebih luas dari ukuran bumi ini. Demikian pula bayang-bayang yang tampak di mata,

58Teks hadis tersebut bersumber dari Abū Hurairah, Riwayat Muslim. Lihat Imām Muslim, Ṣahis Muslim, Jilid II, (t.tp. Syirkah Nur Asi t. th.), h. 458.

59Mahmūd Hamdī Zaq Zūq, op. cit., h. 59.

DUMMY

BAB 5 | Latar Belakang Kehidupan dan Perkembangan Intelektual Al-Ghazālī Peran Akal dalam Tasawuf: Menurut Pemikiran Al-Ghazali

122

kelihatannya diam tidak bergerak, ternyata tidak demikian. Ia bergerak sedikit demi sedikit sehingga akhirnya bergeser sama sekali dari tempat aslinya. Dengan demikian, hukum indra batal oleh bukti-bukti yang tak terbantahkan.

Pada awalnya, al-Ghazālī menganggap bahwa penglihatan pancaindera merupakan hakim yang memberi keputusan. Tetapi berkenaan dengan contoh di atas, maka al-Ghazālī menyatakan bahwa jika kepercayaanku itu hanya didasarkan pada penglihatan pancaindra, berarti keliru, ada hakim yang lebih tinggi yaitu akal.60

Dengan menggunakan akal, mungkin ia dapat memulai lagi penelaahan selanjutnya.

Akan tetapi hukum indera memprotes. Bagaimana Anda bisa memastikan bahwa hukum rasional lebih kuat daripada hukum indra?

Dahulu Anda percaya hukum indra, kemudian mendustakannya karena ada hukum rasio. Andaikata hukum rasio tidak muncul, Anda tentu tetap percaya kepada indra. Siapa tahu pada saatnya nanti, akan muncul hukum lain yang bisa mematahkan kekuatan rasio. Saat ini, memang belum, tetapi itu tidak berarti tidak mungkin.61

al-Ghazālī memperjelas siapakah yang akan ragu terhadap realitas- realitas dan logis seperti sepuluh lebih banyak dari tiga dan sesuatu tidak

60Akal lebih tinggi derajatnya dari pada indra, karena indra memiliki kelemahan:

Pertama mata tidak dapat melihat dirinya, tetapi akal mencerap dirinya dan di luar dirinya, Kedua: mata tidak dapat melihat sesuatu yang terlalu dekat dan terlalu jauh darinya, tetapi akal jauh dekat sama saja. Dalam sekejap mata akal bisa terbang ke langit tertinggi dan sekejap pula ia meluncur turun ke bumi. Ketiga: mata tidak dapat mencerap sesuatu yang berada di balik hijab, tetapi akal dapat bergerak bebas. Keempat: mata hanya dapat mencerap bagian luar serta bagian permukaan segala sesuatu dan bukan bagian dalamnya, sedangkan akal mampu menerobos bagian dalam segala sesuatu. Kelima: mata hanya dapat melihat sebagian kecil dari segala sesuatu yang ada. Ia tidak dapat menangkap daya pendengaran, penciuman, dan perasaan. Sedangkan akal seluruh maujudah adalah jangkauannya. Keenam:

mata tidak mampu melihat sesuatu yang tidak terhingga, sebab ia hanya melihat sifat-sifat benda yang dikenal, sedangkan benda-benda pasti memiliki batas. Sedangkan akal dapat mencerap hal-hal yang ma’qul (yang dapat dipikirkan). Ketujuh: mata mencerap sesuatu yang besar seakan-akan ia kecil. Sedangkan akal terhindar dari semua itu. Lihat al-Ghazālī;

Misykāt al-Anwār diterjemahkan oleh Muhammad Bāqir dengan judul “Misykat Cahaya- cahaya”, Cet. V; (Bandung: Mizan, 1992), h. 19-25.

61Imam al-Ghazālī, al-Munqiż min al-alāl dan Kimiyā al-Saādah diterjemahkan oleh Akhmad Khudori Ṣoleh dengan judul “Kegelisahan al-Ghazālī: Sebuah Otobiografi Intelektual” Cet. I; (Bandung: Pustaka Hidayah, 1998), h. 18-19.

DUMMY

BAB 5 | Latar Belakang Kehidupan dan Perkembangan Intelektual Al-Ghazālī 123 mungkin bersifatkan dua hal yang bertentangan pada saat yang sama.

Misalnya larangan tidak mungkin bersatu dengan perintah pada saat yang sama, yang pasti dan mustahil dan sebagainya.

Lalu kemampuan akal terus diuji kredibilitasnya. Tetapi akhirnya ditemukan lagi kejanggalan yaitu pada kasus mimpi yang menganggap adanya sesuatu atau benar-benar terjadi. Namun saat terbangun, barulah sadar bahwa itu hanya ilusi belaka. Boleh jadi apa yang diyakini sekarang yang berhubungan dengan indra dan rasio, sebenarnya hanya berhubungan dengan kondisi saat ini saja. Ketika dalam kondisi yang lain yang lebih sadar barulah insaf bahwa itu hanya mimpi. Dalam tingkat yang lebih tinggi, mungkin ini sama seperti yang dialami kaum sufi ketika pada kondisi tertentu mereka menyaksikan sesuatu yang sama sekali berlainan dengan hukum rasio.62

Apabila diadakan suatu perbandingan dengan yang demikian itu, maka ternyata bahwa kesadaran anda sewaktu terjaga di mana penuh kesadaran, boleh jadi juga merupakan suatu hal bagaikan dalam mimpi.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa, hidup di alam ini sebenarnya adalah bagaikan di alam mimpi (sedang tertidur) bila dibandingkan dengan hidup di akhirat. Jika seseorang meninggal dunia maka dihadapannya akan timbul berbagai macam perkara dengan jelas dan nyata, berbeda dengan apa yang pernah ia persaksikan di alam dunia sewaktu hidup. Pada waktu itu akan mendengarkan firman Allah QS. Qaf (50): 22,

َم ْوَي ْ

لا ك ُر َص َب َ َ

Dalam dokumen Peran Akal dalam Tasawuf (Halaman 128-131)