• Tidak ada hasil yang ditemukan

Tokoh-tokoh Tasawuf Pada Abad V H

Dalam dokumen Peran Akal dalam Tasawuf (Halaman 84-89)

يبر تفرع امك يبرالولو يبرب يبر تف رع

D. Tokoh-tokoh Tasawuf Pada Abad V H

Pada abad ini, adalah abad munculnya al-Ghazālī yang menjadi topik pembahasan ini. Mendahului pembahasan tentang al-Ghazālī, terdapat tokoh yang besar pengaruhnya terhadap munculnya al-Ghazālī yaitu:

1. Al- Qusyairī

Nama lengkapnya adalah Abd. al-Karīm bin Hawāsin bin Abdul Mālik bin Ṭalhah bin Muhammad. Dilahirkan di Kota Ustawa kawasan Naisabur,83 pada bulan Rabiul Awal tahun 376 H./ 986 M. meninggal pada hari Ahad tanggal 16 Rabiul Akhir 465 H./1073 M. dalam usia 87 tahun.84

Nama panggilan bermacam-macam yaitu: al-Naisabūry, al-Qusyairī, al-Istiwa’ dan panggilan kehormatan seperti: Al-Syaikh, dan al-ustad, dan zainul Islam. Pada waktu kecil orang tuanya meninggal, lalu pendidikannya diserahkan kepada sahabat karib keluargnya, yaitu Abul Qasim al-Miani untuk belajar bahasa Arab. Kemudian ia menuju ke Naisabur (Ibu Kota Khurasan), saat itu sebagai pusat para ulama dan pedagang untuk belajar berbagai macam ilmu pada Abū Ali al-Daggāg (maha guru dalam berbagai macam disiplin ilmu). Al-Qusyairī selalu menghadiri majelis pengajian, dan dari gurunya menyarankan. Agar terlebih dahulu mempelajari syariat

83Kota Naisabur atau Syabur adalah Ibu Kota Provinsi Khurazan yang merupakan kota terbesar dalam wilayah pemerintahan Islam pada abad pertengahan, sedang bahwa al- Qusyairī ada dua pendapat. Pertama, dalam kitab Tajlul Arusi disebutkan, bahwa al-Qusyairī adalah sebutan marga Sa’ad al-Asyirah al-Qathaniyah. Mereka adalah sekelompok manusia yang tinggal di pesisir Hadramaut. Sedangkan dalam kitab Ma’jamu a’aah Qabā’I lil

‘Arab disebutkan bahwa al-Qusyairī adalah putra ibn Qaab bin Rabi’ah bin Amir bin Ṣa’ṣaah bin Muawiyah bin Bākar bin Hawāzin bin Manṣur bin Ikrimah bin Qais bin Ailan. Mereka memasuki wilayah Khurasan di zaman pemerintahan Bani Umayyah dan terlibat dalam beberapa pertempuran, penaklukan Kota Syam dan Irak, dan al-Istiwai (sebuah Negara besar di daerah pesisir Naisabur). Di daerah ini banyak desa yang berbatasan teritorialnya saling bertemu di wilayah Roma. Dari kota ini pulalah, beberapa ulama dilahirkan. Kota ini dihormati karena posisinya sebagai kota lahirnya tokoh-tokoh ilmu Islam dan tasawuf.

Lihat, ibid., h. 141.

84Lihat al-Qusyairī, op. cit., h. 1-3.

DUMMY

BAB 3 | Tokoh-Tokoh Tasawuf (Zāhid) Sebelum Al-Ghazālī 77 (fikih), karena itu, ia belajar pada seorang faqih, Abū Bākar al-Tusi (w.

tahun 405 H.), kemudian belajar uṣul fikih dan ilmu kalam pada Abū Bākar bin Faruq (w. tahun 406 H.).85

Selain itu, dia belajar pada Abū ishak al- isfarayīni (w. tahun 418 H.), dan menelaah karya-karya al-Baqillāni. Dari situlah al-Qusyairī berhasil menguasai doktrin Ahlu al-Sunnah Wā al-Jamāah bahkan terkenal pembela aliran tersebut dalam menentang doktrin aliran-aliran Mu’tazilah, Karamiyyah, Mujassamah dan Syī’ah. Karena itulah, dia dipenjara sebulan atas perintah Tughrul Bek, akibat hasutan perdana menterinya, yang menganut aliran Mu’tazilah Rafiḍah pada tahun 445 H.

Pada tahun 405 H./1014 M. ia menikah dengan putrid gurunya (āli al-Daqqāq), bernama Fātimah, dan dikaruniai tujuh orang anak. Istrinnya terkenal seorang wanita berilmu, beradab, dan termasuk ahli yang diperhitungkan di zamannya, karena banyak meriwayatkan hadis.86

Al-Qusyairī adalah seorang ulama terkenal yang menguasai berbagai bidang ilmu, serta banyak meninggalkan karya-karya di antaranya risalah al-Qusyairīyah, isinya bertujuan untuk mengadakan perbaikan terhadap ajaran-ajaran sufi, yang pada waktu itu telah banyak menyimpang dari sumber Islam.

Oleh karena itu, usaha al-Qusyairī dalam bidang tasawuf, yatiu cenderung mengadakan pembaharuan, yakni mengembalikan tasawuf ke landasan al-Qur’an dan al-Sunnah yang merupakan ciri utama dari ajaran tasawuf Sunni. Selanjutnya, menurut Ibnu Khalikan, Al-Qusyairī adalah seorang tokoh yang mampu mengkompromikan antara syari’at dan hakikat.87

85Abū al-Wafā’, op. cit., h. 141.

86Bidang ilmu yang dikuasainya adalah, pertama Ilmu Uṣuluddin yang diperoleh dari guru bermazhab Asyarīyah, seorang imām teologi Sunni. Kedua, ilmu fikih yang beraliran mazhab Syi’ah. Ketiga, Ilmu tasawuf, selain itu ia juga menguasai ilmu filsafat ketuhanan, penghapal hadis, sastrawan yang menguasai bidang gramatika bahasa Arab, seorang penulis sekaligus penyair dan seorang penunggang kuda yang tangkas dan berani.

Namun ilmu tasawuf yang paling dikuasai dan lebih mudah dikenal melalui atribut ini.

Lihat al-Qusyairī, op. cit., h. 7.

87Abū al-Wafā’, op. cit., h. 142.

DUMMY

BAB 3 | Tokoh-Tokoh Tasawuf (Zāhid) Sebelum Al-Ghazālī Peran Akal dalam Tasawuf: Menurut Pemikiran Al-Ghazali

78

Dengan demikian, secara implisit ia menolak ungkapan-ungkapan para sufi yang terkesan ada perpaduan antara sifat-sifat ketuhanan dan sifat-sifat kemanusiaan.

Selain itu, al-Qusyairī juga mengecam keras para sufi pada masanya, karena kegemaran mereka memakai pakaian orang-orang miskin, sementara tindakan mereka, pada saat yang sama sangat bertentangan dengan metode atau pakaian tersebut. Dia menekankan bahwa kesehatan batin dengan berpegang teguh pada al-Qur’an dan al-Sunnah, lebih penting dibanding pakaian lahiriah, sebagaiamana katanya: “Wahai saudaraku! Janganlah kamu terpesona oleh pakaian lahiriah maupun sebutan yang kau lihat (pada para sufi se-zamannya). Sebab, ketika hakikat realitas itu tersingkap, niscaya tampak keburukan pada para sufi yang mengada-ada dalam berpakaian.

Setiap tasawuf yang tidak dibarengi kesehatan maupun penjernihan diri dari maksiat adalah tasawuf palsu serta memberatkan diri; setiap yang batin itu bertentangan dengan yang lahir adalah keliru. Dan setiap tauhid yang tidak dibenarkan al-Qur’an dan al-Sunnah adalah pengingkaran terhadap Allah (ma’rifah) yang tidak dibarengi kerendahan hati maupun kelurusan jiwa adalah palsu serta bukannya pengenalan terhadap Allah (ma’rifah).88

Berdasarkan uraian di atas, tampak jelas pengembalian ruh tasawuf.

Menurut al-Qusyairī, harus sesua dengan doktrin Ahlu al-Sunnah wā al-Jamāah, dalam hal ini mengikuti para sufi sunni abad III dan IV H.

Dengan demikian, jelaslah bahwa al-Qusyairī sebagai pembuka jalan bagi kedatangan al-Ghazālī yang berafiliasi pada aliran yang sama, yaitu al-Asy’arīyah dan termasuk kecamannya terhadap para sufi yang terkenal dengan ungkapan yang ganjil-ganjil.

2. Al-Harāwi

Nama lengkapnya adalah Abū Ismaīl Abdullah bin Muhammad al-Anṣāri, lahir pada tahun 369 H. di Herart, kawasan Khurasan dan meninggal pada tahun 481 H.89 Ia adalah ahli fiqhi dari Mazhab Hanbali. Doktrin tasawufnya didasarkan pada doktrin ahl al-Sunnah, bahkan ada yang mengatakan sebagai penggagas gerakan pembaharuan dalam tasawuf dan penentang

88Ibid, h. 143.

89Ibid, h, 144.

DUMMY

BAB 3 | Tokoh-Tokoh Tasawuf (Zāhid) Sebelum Al-Ghazālī 79 para sufi yang terkenal dengan ungkapan yang aneh-aneh, seperti Abū Yāzid al-Busṭāmi dan al-Hallāj.

Di antara karya-karyanya tentang tasawuf yang paling terkenal adalah Manāzil al-Sā’irīn Ilā Rabb al-ālamīn. Ia menguraikan tingkatan-tingkatan ruhaniah bagi para sufi, dimana tingkatan-tingkatan itu, menurutnya, mempunyai awal dan akhir, seperti dia katakan: “kebanyakan ulama kelompok ini sependapat bahwa tingkatan akhir tidak dpandang benar, kecuali dengan benarnya tingkatan awal. Seperti halnya bangunan tidak bisa tegak kecuali didasarkan pada fondasi. Besarnya tingkatan awal adalah dengan menegakkannya di atas keikhlasan serta mengikuti al-Sunnah.90

Kedudukannya sebagai penganut paham Sunni, al-Harāwi melancarkan kritik terhadap para sufi yang terkenal dengan keanehan ucapan-ucapannya sama dengan al-Qusyairī.

Kaitannya dengan ungkapan-ungkapan sufi yang aneh tersebut, al-Harāwi berbicara tempat maqām (peringkat) ketenangan (sakinah). Menurutnya, maqām ketenangan timbul dari perasaan rela terhadap Allah, sebagai pencegah timbulnya ungkapan-ungkapan yang aneh. Selanjutnya ia mengatakan, peringkat ketiga dari peringkat ketenangan adalah ketenangan yang timbul dari perasaan rela atas bagian yang diterimanya. Ketenangan tersebut, bisa mencegah ucapan aneh yang menyesatkan seperti, ungkapan Abu Yāzid al- Busṭāmi, al-Hallāj dan lain-lain.

Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa ungkapan-ungkapan yang aneh, timbul dari ketidaktenangan. Sebab, seandainya ketenangan itu telah bersemi di dalam kalbu, maka hal itu akan membuatnya terhindar dari mengucapkan ungkapan-ungkapan yang bisa menyesatkan.

90Ibid, h, 145.

DUMMY

[Halaman ini sengaja dikosongkan]

DUMMY

81

Dalam dokumen Peran Akal dalam Tasawuf (Halaman 84-89)