INTELEKTUAL AL-GHAZĀLĪ
B. Perkembangan Intelektual Al-Ghazālī
2. Fase Pengkajian Filsafat
BAB 5 | Latar Belakang Kehidupan dan Perkembangan Intelektual Al-Ghazālī 113 al-Ghazālī segera beralih mendalami ilmu filsafat. Namun demikian al- Ghazālī telah berjasa dalam ilmu kalam, berhasil menciptakan ekuilibriun keagamaan pada kaum muslimin yang tiada taranya dalam sejarah umat manusia.39 Ketidakmampuan ilmu kalam mengenal Allah secara hakiki menyebabkan al-Ghazālī meninggalkannya dan beralih ke filsafat.
BAB 5 | Latar Belakang Kehidupan dan Perkembangan Intelektual Al-Ghazālī Peran Akal dalam Tasawuf: Menurut Pemikiran Al-Ghazali
114
1. Golongan dahriyūn (ateis)41 yaitu: para filosof terdahulu yang mengingkari adanya Maha Pencipta (Khalik), Maha Mengatur dan Maha Menguasai alam semata. Mereka mengatakan bahwa dunia ini sejak dahulu terjadi dengan sendirinya, tidak ada yang menciptakannya.
Begitu pula binatang muncul dari sperma dan sperma keluar dari binatang, begitu seterusnya. Mereka termasuk Zindiq atau Ateis.42 2. Golongan Tabī’iyyūn (naturalis)43 (naturalis philosofher), adalah para
filosof yang mengonsentrasikan penyelidikannya kepada alam, tumbuh- tumbuhan dan terutama binatang, sehingga harus mengakui adanya sang Mahapencipta dan sang Mahapengatur, setelah menyaksikan keteraturan dan keindahan alam beserta isinya. Hanya saja mereka itu tidak percaya pada hari kebangkitan, surge, neraka, hisab pahala yang berbuat baik dan siksa bagi pelaku jahat. Mereka disebut zindiq karena tidak percaya pada hari kebangkitan.44 Sedangkan iman adalah percaya kepada Tuhan dan hari kebangkitan.
3. Golongan Ilāhiyyah (Ketuhanan) adalah filosof yang percaya pada Tuhan (Teis). Termasuk di dalamnya adalah Socrates (399 s.M.), Plato (347 s.M.), Aristoteles adalah tokoh yang berjasa dalam menyusun logika, mengatur sistematikanya ilmu, mempertinggi nilai derajat ilmu pengetahuan, hingga mencapai keseksamaan yang manfaatnya dapat dibawa ke arah kematangan ilmu pengetahuan itu. Mereka ini umunya, terutama Aristoteles menentang kekurangan-kekurungan filosof
41H. Rus’am, al-Ghazālī, Mutiara Ihyā Ulūm al-Dīn, Cet. III; (Semarang: Wicaksana, 1984), h. 25.
42Mungkin yang dimaksud adalah para filosof Yunani purba, seperti Thales (545 SM.), Anaksimandos (547 SM.), Anaksimenes (528 SM.), dan Herecleitus (480 SM.). Mereka itu mengatakan bahwa pencipta alam adalah unsur alam itu sendiri bukan yang lain. Lihat Imām al-Ghazālī, al-Munqīż min al-Ḍalāl dan Kimyā al-Sa’ādah diterjemahkan oleh Ahmad Khudari Ṣaleh dengan judul “Kegelisahan al-Ghazālī. Sebuah Otobiografi Intelektual”. Cet.
I; (Bandung: Pustaka Hidayah, 1984), h. 28.
43Tokoh aliran Ṭabī’yyun adalah Demokritus dan para Filosof Ionia. Mereka sangat menghargai alam dan benda-benda wujud yang dianggapnya sebagai sesuatu yang tertinggi, sehingga menurut mereka, alam ini abadi. Lihat Ibid., h. 29.
44Menurut Abū al-A’lā, ingkar pada hari pembalasan dan kekufuran pada prinsipnya, jauh dari filsafat. Sebab filsafat pada dasarnya adalah pengetahuan yang berhubungan dengan pemikiran yang mendalam dan wujud mutlak. Pemikiran mereka yang demikian, bisa jadi, karena perjalanan sejarah pemikiran manusia belum mencapai tingkat yang dewasa seperti ini, mengingat demokritus hidup jauh sebelum Masehi. Atau bisa jadi mereka tidak bertemu dengan Rasul yang mengajarkan tauhid. Lihat Ibid.
DUMMY
BAB 5 | Latar Belakang Kehidupan dan Perkembangan Intelektual Al-Ghazālī 115 sebelumnya yang Ateis dan naturalis itu, sehingga ia memisahkan diri dari mereka.45
Mesikpun demikian, Aristoteles belum bisa melepaskan diri sepenuhnya dari filosof-filosof sebelumnya. Sisa-sisa kekafiran dan kebid’ahan tidak berhasil dilepaskan, sehingga terpaksa ia turut dikafirkan.46
Oleh karena itu perlu dijelaskan bahwa, filsafat Aristoteles yang disebarluaskan oleh para penterjemah dan para komentator (al-Farābi dan Ibnu Sinā) yang dianggap mewakili pikiran-pikiran Aristoteles, meliputi 3 hal yaitu:
a. Filsafat-filsafatnya yang harus dipandang kufur
b. Filsafat-filsafatnya yang menurut pandangan Islam adalah bid’ah c. Filsafat-filsafatnya yang sama sekali tidak perlu disangkal.47
Perlu dijelaskan pula bahwa, yang diingkari al-Ghazālī adalah yang berkaitan dengan filsafat ketuhanan (metafisika), itupun hanya tiga persoalan,48 karena dianggap bertentangan dengan Islam. Orang yang mempercayainya berarti mempercayai pula bahwa, Nabi-Nabi itu bohong, karena ajaran Nabi seperti itu, ataukah ajaran Nabi itu hanyalah sekadar disusun untuk menarik massa. Itulah sebabnya sehingga dikafirkan.
Adapun selain ketiga hal tersebut di atas, ada 17 masalah yang dianggap bid’ah.49 Jadi seluruhnya ada 20 masalah yang terkandung dalam bukunya Tahāfut al-Falāsifah. Sedangkan selainnya tidak perlu disangkal seperti: ilmu pasti (matematika, ilmu alam dan astronomi). Ilmu politik
45H. Rus’an, Mutiara Ihya, op. cit., h. 27.
46Ibid, h. 32.
47Ahmadi Ṭaha, Tahāfut, op. cit., h. xvi.
48Ketiga masalah itu: 1. Masalah kekadiman alam, 2. Pernyataan bahwa Allah tidak meliputi individu-individu, 3. Pengingkaran para filosof terhadap kebangkitan tubuh. Uraian lebih lengkap terhadap ketiga masalah tersebut, lihat Imām al-Ghazālī, Tahāfut al-Falāsifah.
Juz I Cet. V; (Kairo: Dār al Ma’ārif, 1119), h. 7.
49Ketujuh belas itu antara lain: 1. Hubungan Allah dengan alam meliputi 4 masalah, 2. Keesaan dan ketidakmampuan membuktikan mustahilnya dua Tuhan, (maslah kelima), 3. Sifat-sifat Tuhan (masalah keenam hingga kedua belas), 4. Pengetahuan Allah tentang partikular-partikular (masalah ketiga belas), 5. Masalah falak dan alam (masalah keempat belas hingga keenam belas), 6. Masalah kausalitas (masalah ketujuh belas), 7. Tentang jiwa manusia (masalah kedelapan belas dan kesembilan belas), 8. Masalah kebangkitan jasmani pada hari akhir (masalah kedua puluh). Lihat Ahmadi Ṭaha, op. cit., h. xix.
DUMMY
BAB 5 | Latar Belakang Kehidupan dan Perkembangan Intelektual Al-Ghazālī Peran Akal dalam Tasawuf: Menurut Pemikiran Al-Ghazali
116
(ekonomi) dan etika asalkan tidak dianggap sebagai ilmu yang tertinggi.
Mengapa al-Ghazālī mempersoalkan hal-hal di atas, karena pada waktu itu bermunculan filosof yang mendapat inspirasi dari filsafat Yunani terutama Aristoteles. Doktrin-doktrin yang mereka anut banyak bertentangan dengan jiwa Islam. Ketidaksadaran mereka telah larut, metode berpikir mereka tidak sesuai lagi dengan kaidah berpikir Islam. Karena itu al-Ghazālī berusaha meletakkan kaidah berpikir yang benar sesuai dengan ajaran Islam yang kebenarannya bersifat mutlak.
Al-Qur’an mengajarkan manusia untuk berpikir, kemudian manusia di samping nilai kemanusiaannya dan ketakwaannya, juga karena ilmu dan pemikirannya. Bila aktivitas berpikir sudah berdasarkan al-Qur’an, maka tidak boleh lagi dibantah, (QS Al-Hujurat (49): 1). Sebaliknya pemikiran yang tidak berlandaskan al-Qur’an harus disingkirkan.