177
BAB 7 | Penutup Peran Akal dalam Tasawuf: Menurut Pemikiran Al-Ghazali
178
politik yang menggoyahkan Islam lalu berpengaruh kepada masalah aqidah. Mulai saat itu umat Islam hidup berkelompok-kelompok dan masing-masing ingin mempertahankan kelompoknya bahkan tidak segan-segan meninggalkan korban sehingga sahabat yang masih hidup yang turut merasakan gawatnya situasi politik dan keagamaan tidak mau ikut terlibat, lebih memilih hidup menyendiri, zuhud untuk mendekatkan diri kepada Allah swt.
demi kepentingan akhirat. Bermula dari kehidupan zuhud inilah, akhirnya terbentuk suatu gerakan yang berkembang di berbagai daerah, lalu menjadi suatu disiplin ilmu tasawuf.
2. Al-Ghazālī sebagai salah seorang sufi yang hidup pada abad V H.
(450-505 H./1058-1111 M.) menyaksikan suasana ketegangan dan konflik politik, budaya, intelektual yang pada ujungnya melahirkan akses kemunduran utamanya bidang moral dan relegiusitas umat.
Dengan bakat kejeniusan daya kritis dan pendidikan yang memadai, mengantarkan al-Ghazālī menjadi tokoh yang sukses sehingga memperoleh predikat hujjah al-Islām. Setelah mengalami pergulatan intelektual dan spiritual yang intens dan sikap apresiatifnya terhadap tuntutan zamannya, akhirnya mengambil sikap memilih jalur sufi sebagai jalan terakhir, setelah sebelumnya ditimpa keraguan total.
3. Pada saat al-Ghazālī telah memasuki tasawuf sebagai satu-satunya jalan untuk mencapai kebenaran, ia masih tetap menggunakan akal, sebab inti ajaran tasawufnya adalah ilmu dan amal. Untuk mengamalkan ajaran agama dengan baik diperlukan penguasaan ilmu tentang itu..
sementara ilmu itu diperoleh melalui penalaran akal, meskipun ilmu dapat juga diperoleh secara langsung (tanpa perantara), tetapi ilmu tentang tatacara mengamalkan agama, mesti melalui perantaraan akal, yang pada akhirnya dapat membentengi sesorang dari hawa nafsu.
Al-Ghazālī menerima kembali fungsi akal, setelah meragukannya berdasarkan tolok ukur yang digunakannya yakni pemikiran ḍarūrī (sesuai dengan pengertian pertama dan kedua), yakni akal sebagai anugerah dari Tuhan (cahaya) yang dipancarkan Allah ke dalam dada setiap manusia.
Tetapi, bukan berarti akal digunakan al-Ghazālī, hingga puncak ma’rifah, akal hanya berfungsi sebagai jembatan yang mesti dilalui bagi seorang
DUMMY
BAB 7 | Penutup 179 yang ingin memasuki dunia tasawuf (ma’rifah) batas kerjanya hanya berada pada tataran pengisian akhlak terpuji (takhalli). Tatkala memasuki arena ma’rifah (dalam pengertian sebenarnya) akal sudah dilampaui, karena sudah terjadi mukāsyafah (terbuka hijab). Akal digantikan oleh zauq. Posisi akal bagaikan lampu listrik seratus watt dan zauq bagaikan seribu watt, seratus watt tidak padam, hanya cahayanya tidak nampak ketika berhadapan dengan yang seribu watt. Jadi peran akal adalah mempersiapkan diri atau mengantar dalam pencapaian ilmu ladunni. Ketika itu al-Ghazālī sudah melihat dan mengetahui rahasia langit dan bumi. Karena itulah al-Ghazālī mempunyai pengaruh besar meliputi seluruh dunia Islam bahkan di dunia Barat memanjang beberapa abad hingga sekarang ini. Bahkan kalau boleh dikatakan bahwa tidak akan pernah lahir ke dunia ini al-Ghazālī kedua.
B. Implikasi Pembahasan
Kajian ini bersifat deskriptif dengan menggunakan pendekatan sejarah.
Pembahasan ini dilakukan sesuai kapasitas yang dimiliki penulis dan batas-batas wilayah pembahasannya terdapat dalam bab pendahuluan.
Wilayah pembahasan yang dimaksud tercermin pada kesimpulan yang telah dikemukakan di akhir tulisan. Pembahasan terhadap masalah yang diajukan berimplikasi kepada:
1. Penemuan data-data dan fakta-fakta bahwa munculnya tasawuf dalam dunia Islam merupakan serentetan sejarah dari perilaku Nabi Muhammad saw., sahabat, tābi’īn, tābi’īn-tābi’īn seterusnya kepada umat Islam hingga sekarang ini. Data dan fakta antara lain:
a. Tasawuf merupakan kebutuhan seseorang, terutama bagi umat Islam yang ingin lebih mendekatkan diri kepada Allah swt. karena hanya dalam langkah-langkah atau latihan-latihan yang ketat yang disebut tahalli, takhalli dan tajalli.
b. Ilmu tasawuf dalam Islam dapat dijadikan barometer dalam memperbaiki sikap dalam menghadapi kehidupan di dunia maya ini menuju ke akhirat yang kekal abadi.
2. Data yang lain ditemukan bahwa, seseorang yang ingin menggeluti dunia tasawuf terlebih dahulu harus menguasai ilmu prasyarat antara lain aqidah, syariah, akhlak, dan sebagainya, sebagaimana halnya al-
DUMMY
BAB 7 | Penutup Peran Akal dalam Tasawuf: Menurut Pemikiran Al-Ghazali
180
Ghazālī telah menguasai hamper semua ilmu yang berkembang pada masanya, tetapi tak satupun member kepuasan kepadanya kecuali ilmu tasawuf.
3. Ditemukan pula data bahwa al-Ghazālī dalam mengarungi tasawuf, bukannya melepaskan akalnya sama sekali, melainkan digunakan sampai batas kemampuannya, yakni ketika perjalanan sudah sampai ke pintu ma’rifah, akal sudah tak sanggup lagi, sebab termasuk ke areal alam gaib.
Demikianlah sekelumit segi pemikiran al-Ghazālī, utamanya dalam ruang lingkup tasawuf. Penulis yakin bahwa di sana sini masih terdapat kekurangan dan kelemahan khususnya analisis yang tumpul sehingga belum menghasilkan sesuatu yang diharapkan secara maksimal. Oleh karena itu, penulis menerima dengan senang hati setiap saran dalam rangka menggali khazanah intelektual muslim untuk mengambil nilai-nilai positif di masa mendatang. Amin.
DUMMY
181 Al-Qur’an Dan Terjemahannya. Departemen Agama RI. Jakarta: Yayasan
Penyelenggara Penterjemah/Penafsisran Al-Qur’an, 1971.
Abbas, Zainal Arifin. Ilmu Tasawuf. Cet. I; Medan: Firman Maju, 1996.
Abū Zahrah, Muhammad. Usūl al-Fiqh. T.tp.: Dār al-Araby. 1377 H./1958 M.
Achimel, Annimarie. Dimensi Mistik dalam Islam, diterjemahkan Sapardi Djoko Parmono, Jakarta: Pustaka Firdaus, 1986.
Ahmad, Zainal Abidin. Riwayat Hidup Imām al-Ghazālī. Cet. I; Jakarta:
Bulan Bintang, 1975.
Al-Hujwiri, Āli Ibn Usmān. The Kasyf al-Mahjūb; The Oldest Persian Treatise on Sufism, diterjemahkan oleh Suwardjo Mustari dengan judul “Kasyful Mahjūb Risalah Persia Tertua Tentang Tasawuf”, Cet.
II; Bandung: Mizan, 1993.
Ali, K. A Study of Islamic. diterjemahkan oleh Ghofron A. Mas’adi dengan judul “Sejarah Islam dari Awal Hingga Runtuhnya Dinasti Usmani”.
Cet. III; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2000.
Ali, Yunarsil. Pengantar Ilmu Tasawuf, Cet. I; Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya, 1987.
Amin, Ahmad. Fajar Islam. Jakarta: Bulan Bintang, t. th.
Aṣ-Ṣiddīqi, T.M. Hasbi. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadiṡ. Jakarta: Bulan Bintang. 1977.
Asmaran. Pengantar Studi Tasawuf. Cet. II; Jakarta: RajaGrafindo Persada, 1996.