BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.2 Berat Badan Lebih dan Obesitas
2.2.1 Epidemiologi Obesitas
Obesitas telah menjadi suatu masalah kesehatan global, di mana terjadi peningkatan prevalensi obesitas yang signifikan di seluruh dunia. Di negara maju seperti Amerika, penderita kegemukan diprediksi akan mencapai 85% pada tahun 2030, dimana 51,1% adalah obesitas (Nduhirabdani dkk., 2011). Tidak hanya di negara-negara maju, peningkatan prevalensi obesitas bahkan juga dialami negara- negara yang sedang berkembang.
Obesitas dapat meningkatkan risiko beragam penyakit serius baik pada orang dewasa dan anak-anak seperti jantung koroner, stroke, tekanan darah tinggi, diabetes melitus tipe 2, lemak darah abnormal, kanker, osteoarthritis, sleep apnea, batu empedu, dan masalah reproduksi. Selain menimbulkan masalah kesehatan, obesitas juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan terhadap biaya medis dan perawatannya, baik biaya langsung maupun tidak langsung yang mencakup biaya layanan pencegahan, diagnosis, dan pengobatan yang berkaitan dengan obesitas (Nurmalina, 2011).
2.2.2 Etiologi dan Patofisilogi Obesitas
Berdasarkan data penelitian diketahui ada banyak faktor yang menyebabkan obesitas seperti faktor genetik, kurangnya keseimbangan energi, kurangnya aktivitas fisik, lingkungan, kondisi kesehatan dan hormonal, obat- obatan dan faktor emosional (Nurmalina, 2011). Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa diet tinggi lemak dan karbohidrat akan menyebabkan peningkatan berat badan dan lemak tubuh, yang lama kelamaan dapat menimbulkan obesitas.
Beberapa faktor yang dianggap memiliki peranan dalam terjadinya obesitas adalah sebagai berikut :
1. Faktor genetik
Faktor genetik yang diketahui mempunyai peranan kuat adalah parental fatness, kegemukan lebih umum terjadi pada anak-anak jika orang tuanya gemuk (anak-anak memiliki risiko 80% untuk gemuk). Penelitian terhadap anak kembar identik yang dibesarkan pada lingkungan yang berbeda juga mengindikasikan bahwa kegemukan memiliki akar genetik. Namun pola dan hubungannya belum diketahui. Orang yang obesitas, makan lebih banyak dan berolahraga lebih sedikit, dan hal yang sama berlaku pada anak mereka. Namun, dalam penelitian kembar identik, ditemukan heritabilitas yang tinggi bagi berat dan indeks massa tubuh dan menyimpulkan bahwa berat tubuh dan kegemukan berada dibawah kontrol genetik yang kuat, dan bahwa lingkungan anak-anak sendiri memiliki sedikit pengaruh.
Penemuan terbaru mengenai gen, sebagian ikut mendukung alasan ini (Thierney et al., 2005).
2. Aktivitas fisik
Terjadinya obesitas merupakan dampak dari terjadinya kelebihan asupan energi (energy intake) dibandingkan dengan yang diperlukan (energy expenditure) oleh tubuh sehingga kelebihan asupan energi disimpan dalam bentuk lemak.
Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan
energi (energy expenditure), sehingga apabila aktivitas fisik rendah maka kemung-kinan terjadinya obesitas akan meningkat (Soegih, 2009).
3. Diet tinggi karbohidrat dan lemak
Makanan merupakan sumber dari asupan energi, yang bila berlebih, maka karbohidrat akan disimpan sebagai glikogen dan lemak; protein akan disimpan sebagai protein tubuh; sedangkan lemak akan disimpan sebagai lemak. Tubuh memiliki kemampuan menyimpan lemak yang tidak terbatas (Soegih, 2009).
Faktor-faktor yang berpengaruh dari asupan makanan terhadap terjadinya obesitas adalah kuantitas, porsi sekali makan, kepadatan energi, kebiasaaan makan malam hari, frekuensi makan dan jenis makanan (Barassi, 2009).
4. Regulasi fisiologis metabolisme
Regulasi fisiologis metabolisme tubuh terdiri dari controller (otak) dan controlled system / nutrient partitioning yaitu organ di luar otak yang berperan dalam menggunakan atau menyimpan energi seperti saluran cerna, liver, otot, ginjal, dan jaringan lemak (Soegih, 2009). Otak menerima sinyal dari lingkungan ataupun dari dalam tubuh sendiri dalam bentuk sinyal neural dan humoral yang selanjutnya membuat otak merespon dalam bentuk menghambat atau mengaktivasi motor system, dan memodulasi sistem saraf dan hormonal untuk mencari atau menjauhi makanan. Hasil dari sinyal yang diterima oleh otak akan memperngaruhi pemilihan jenis makanan, porsi makan, lama makan, proses pencernaan, absorpsi serta metabolisme zat gizi dalam tubuh. Hasil akhirnya
adalah pembentukan jaringan lemak, glikogen, hormon, enzim, atau dibakarnya zat gizi sebagai energi (Soegih, 2009).
5. Gangguan kesehatan dan ketidakseimbangan hormon
Gangguan hormon seperti Cushing syndrome, adrenocortical hyperactivity, dan hipogonad dapat menyebabkan penimbunan lemak tubuh.
Ketidakseimbangan hormon tubuh seperti pada wanita postmenopause atau pada pasien hipogonad juga akan memberikan gejala obesitas (Wirahadikusumah, 2000).
6. Obat-obatan
Obat yang memperlambat metabolisme atau meningkatkan nafsu makan dapat menyebabkan kelebihan berat badan seperti kortikosteroid dan antidepresan (Nurmalina, 2011).
7. Faktor emosi
Beberapa orang makan lebih dari biasanya ketika sedang bosan, marah, atau sedih (Soegih, 2009).
2.2.3 Hubungan Obesitas, Penuaan dan Harapan Hidup
Overweight dan obesitas merupakan faktor risiko untuk penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, hipertensi dan stroke, dan beberapa jenis kanker. Konsekuensi kesehatan dengan terjadinya obesitas adalah mulai dari
peningkatan risiko kematian dini sampai dengan kondisi peyakit kronis serius yang dapat mengurangi kualitas hidup (WHO, 2015).
Overweight dan obesitas menyebabkan efek metabolik buruk pada tekanan darah, kolesterol, trigliserida, dan resistensi insulin. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan obesitas adalah kesulitan pernafasan, muskuloskeletal kronis, serta masalah kulit dan infertilitas. Obesitas juga meningkatkan risiko kanker payudara, usus besar, prostat, endometrium, ginjal, dan empedu (WHO, 2015).
Kegemukan kronis dan obesitas memberikan kontribusi yang signifikan untuk osteoarthritis, penyebab utama dari kecacatan pada orang dewasa. Dalam analisis yang dilakukan WHO, dilaporkan bahwa sekitar 58% dari diabetes, 21%
penyakit jantung iskemik, dan 8-42% dari kanker tertentu, secara global diakibatkan oleh BMI di atas 25 kg/m2 (WHO, 2015).
2.3 Lemak Abdominal Pada Obesitas
Jaringan adiposa abdominal adalah organ yang kompleks dan terdiri dari beberapa kompartemen dan sub-kompartemen, termasuk lemak subkutan dan lemak intra-abdominal, yang dapat dibagi menjadi lemak retroperitoneal dan intraperitoneal, yang dapat dibagi lagi menjadi massa lemak mesenterik dan omental. Lemak intraperitoneal juga dikenal sebagai jaringan adiposa viseral (visceral adipose tissue) dianggap sebagai penanda risiko metabolik (Klein, 2010). Lemak abdominal terdiri dari lemak subkutan abdomen dan lemak intraabdomen, yang secara jelas nampak lewat CT Scan dan MRI. Jaringan
adiposa intraabdomen terdiri dari lemak viseral atau intraperitoneal yang terdiri dari lemak omental dan mesenterik dan massa lemak retroperitoneal yang dibatasi oleh batas dorsal dari intestin dan bagian ventral dari ginjal (Wajchenberg, 2000).
Dua kompartemen intraabdominal dapat dipisahkan pada MRI menggunakan titik anatomis, seperti kolon ascendens dan descendens, aorta dan vena cava inferior, suatu prosedur yang telah divalidasi pada kadaver manusia.
Pada kadaver, massa jaringan adiposa intraperitoneal dan retroperitoneal yang diukur setelah diseksi adalah 61-71% dan 29-33%, secara berurutan, dari massa jaringan adiposa intraabdominal (Wajchenberg, 2000).
Penelitian-penelitian epidemiologis dan fisiologis menunjukkan hubungan yang kuat antara kelebihan jaringan adiposa abdomen dengan faktor risiko metabolik untuk penyakit jantung koroner, termasuk resistensi insulin, toleransi glukosa terganggu, diabetes mellitus tipe 2, dislipidemia, dan meningkatnya protein inflamasi yang bersirkulasi dalam darah (Klein, 2010). Penelitian epidemiologis yang ada melaporkan hubungan antara obesitas yang berat dengan mortalitas akibat meningkatnya penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular serta diabetes mellitus. Pada obesitas tingkat sedang, distribusi regional nampaknya merupakan indikator yang penting akan perubahan metabolik dan kardiovaskular, terutama sejak ditemukan korelasi yang tidak konstan antara indeks massa tubuh dan perubahan-perubahan ini. Obesitas bukanlah kondisi yang homogen, serta distribusi regional dari jaringan adiposa penting untuk diketahui untuk memahami
hubungan antara obesitas dengan gangguan metabolisme glukosa dan lipid (Wajchenberg, 2000).
Penyebab fundamental obesitas adalah ketidakseimbangan jangka panjang akan masukan dan pengeluaran energi yang akan meningkatkan massa tubuh termasuk akumulasi lemak subkutan dan viseral. Walaupun obesitas secara umum adalah faktor risiko untuk berbagai penyakit, beberapa penelitian pada manusia telah menunjukkan bahwa penumpukan lemak viseral, yakni lemak yang berlokasi pada viseral, sebagai yang paling berpengaruh pada berbagai kondisi kesehatan termasuk penyakit serebrovaskular, resistensi insulin dan diabetes mellitus tipe 2.
Lokasi regional dari lemak tubuh pada obesitas adalah perkiraan yang lebih baik akan risiko kesehatan jika dibandingkan dengan total lemak tubuh (Wajchenberg, 2000).
Walaupun hubungan sebab-akibat belum dapat ditetapkan secara pasti, bukti-bukti yang ada mengindikasikan bahwa lemak viseral merupakan salah satu faktor risiko yang penting akan berbagai tampilan sindrom metabolik: intoleransi glukosa, hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin. Namun, adanya heterogenitas metabolik pada penderita obesitas dengan jaringan adiposa viseral yang hampir serupa, diduga kerentanan genetik juga berperan dalam memodulasi risiko yang diasosiasikan dengan kelebihan jaringan adiposa viseral. Dalam hal ini obesitas viseral sebaiknya dianggap sebagai faktor yang memperparah kerentanan genetik individual terhadap komponen sindrom metabolik (Wajchenberg, 2000).
Mekanisme yang menghubungkan lemak viseral dengan sindom metabolik belum sepenuhnya dimengerti, namun diduga berhubungan dengan lokasi
anatomis yang menghasilkan efek portal dari pelepasan asam lemak bebas dan gliserol. Bukti-bukti yang didapat dari penelitian yang baru menunjukkan jaringan adiposa merupakan organ endokrin yang aktif, yang mampu mensekresi berbagai macam sitokin, yang sering disebut dengan adiponektin, yang dapat menyebabkan inflamasi dan menggangu aksi insulin. Lebih jauh lagi, penelitian dari beberapa kelompok menunjukkan lemak viseral memiliki karakteristik pro- inflamasi yang lebih besar dibandingkan lemak subkutan (Huffman and Barzilai, 2009).
Adanya peningkatan pada jaringan adiposa viseral, asam lemak bebas secara mudah mengarah ke hati dan meningkatkan produksi glukosa, trigliserida dan lipoprotein VLDL very low density lipoprotein (VLDL), serta menurunkan kadar kolesterol HDL (Wajchenberg, 2000; Levy, 2010). Sel lemak juga mengalami perubahan metabolik yang dapat menjelaskan efek sistemiknya.
Sebagai contoh, glucose transporters secara signifikan berkurang pada adiposit omental manusia, yang dapat menerangkan resistensi insulin. Lebih jauh lagi adipokin lemak viseral dari pasien-pasien obese yang sangat berat diukur sewaktu menjalani pembedahan bariatrik, yakni pembedahan yang dilakukan pada penderita obesitas untuk mengurangi berat badan dengan jalan mengurangi ukuran lambung dengan implantasi alat kesehatan (gastric banding) atau lewat pemotongan sebagian dari lambung atau penjahitan usus halus ke bagian dari lambung (gastric bypass surgery). Konsentrasi Interleukin-6 dari Vena portal meningkat secara substansial dan berhubungan erat dengan inflamasi sistemik, yang diindikasikan dengan tingginya kadar C-Reactive Protein (CRP). Tidak
mengherankan jika infiltrasi makrofag yang merangsang molekul dan jalur inflamasi meningkat pada lemak omental jika dibandingkan dengan lemak subkutan pada individu obesitas (Levy,2010).
Distribusi lemak tubuh berbeda antara pria dan wanita, dimana hal ini merupakan salah satu tanda khas maskulinitas dan femininitas. Jika dibandingkan dengan pria, maka wanita premenopause memiliki lebih banyak lemak subkutan, dan lemak tubuhnya cenderung diakumulasi di payudara, pinggul dan paha atas (Pangkahila, 2007). Regio khas untuk penyimpanan lemak wanita ini umumnya disebut sebagai gynoid (Wajchenberg, 2000). Pada pria, lemak secara dominan berakumulasi di depot subkutan abdomen dan viseral (Pangkahila, 2007), dengan lebih sedikit akumulasi lemak pada daerah pinggul dan paha atas jika dibandingkan dengan wanita, dimana distribusi lemak ini disebut sebagai sentral atau android (Wajchenberg, 2000).
Pria secara umum memiliki area lemak viseral yang lebih besar dibandingkan wanita, dimana hal ini diduga berhubungan dengan perbedaan faktor risiko jenis kelamin pada penyakit kardiovaskular. Oleh karena distribusi lemak tubuh merupakan salah satu karakteristik seks sekunder, dapat dilihat bahwa hormon seks merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan deposisi lemak regional. Bukti-bukti menunjukkan hormon seks wanita berhubungan dengan akumulasi lemak subkutan di regio bawah tubuh.
Penyimpanan lemak khas wanita ini penting dalam fungsi reproduksi. Obesitas abdominal pada pria ditemukan berhubungan dengan rendahnya kadar testosteron
pada pria dan terapi sulih hormon testosteron menghasilkan pengurangan lemak abdominal (Wajchenberg, 2000).
Distribusi lemak regional pada manusia secara jelas diatur oleh hormon, walaupun faktor-faktor lain ikut berperan penting. Tidak hanya hormon steroid seks saja yang berperan, namun kortikosteroid dari kelenjar adrenal juga memainkan peran yang besar. Hormon peptida seperti insulin dan GH merupakan faktor yang penting dalam distribusi jaringan adiposa (Wajchenberg, 2000).
Distribusi lemak gluteo-femoral yang tipikal untuk wanita dibedakan dengan distribusi lemak abdominal pada pria dengan pengukuran rasio pinggang dan pinggul dimana terdapat titik cutoff untuk pria dan wanita yang dapat diterima (Levy, 2010). Kelebihan lemak pada tubuh bagian atas (sentral atau abdominal) yang juga dikenal sebagai obesitas tipe pria atau android lebih sering dihubungkan dengan meningkatnya mortalitas dan risiko akan penyakit seperti diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, dan aterosklerosis dari pembuluh darah koroner, serebral dan perifer dibandingkan dengan obesitas tipe gynoid atau distribusi lemak tipe wanita (tubuh bagian bawah atau area gluteo-femoral) (Wajchenberg, 2000).
Perbedaan antara pria dan wanita setelah pubertas tidak hanya pada distribusi lemak, melainkan juga pada metabolisme dan ukuran sel lemak. Sel lemak di bagian glutea dan femur lebih besar daripada di bagian abdomen.
Aktivitas lipase lipoprotein, yaitu enzim yang bertanggungjawab bagi akumulasi trigliserida di dalam sel lemak, ternyata lebih tinggi di bagian gluteo-femoral daripada di bagian abdomen (Pangkahila, 2007).
Individu dengan massa lemak viseral yang lebih besar, baik lewat peningkatan berat badan atau penumpukan lemak pada depot viseral, akan kehilangan lebih banyak lemak viseral jika disesuaikan dengan hilangnya lemak tubuh, terlepas dari metode intervensi yang dilakukan (restriksi kalori, terapi farmakologis, atau olahraga) karena adiposit viseral memiliki tingkat lipolitik yang lebih tinggi pada keadaan tetap (steady state) (Wajchenberg, 2000).
Berkurangnya lemak abdominal akan menjadi sangat bermakna, dikarenakan kelebihan lemak di bagian abdomen merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit kardiovaskular. Lemak intraabdominal (viseral) memiliki kadar turnover trigliserida yang tertinggi dan kelebihan adiposit viseral adalah hal yang paling berkaitan dengan gangguan metabolik terutama resistensi insulin dan hipertrigliseridemia. Lemak subkutan pada bagian tubuh atas adalah yang berikutnya, sedangkan lemak subkutan pada bagian tubuh bawah memiliki tingkat turnover trigliserid yang paling rendah, sehingga kelebihan lemak subkutan pada bagian tubuh bawah adalah yang paling kecil membawa dampak metabolik. Pada keadaan postabsorbtive, adiposit yang teregang akan melepaskan lebih banyak jumlah asam lemak ke dalam sirkulasi. Meningkatnya kadar asam lemak bebas yang berada di sirkulasi akan meningkatkan sintesis hepar dan sekresi VLDL yang kaya akan trigliserida (Maki et al., 2009).
2.4 Manajemen Berat Badan dan Obesitas
Manajemen berat badan yang efektif bagi individu dan kelompok berisiko terkena obesitas melibatkan berbagai strategi jangka panjang. Ini termasuk
pencegahan, perawatan berat badan, pengelolaan ko-morbiditas dan penurunan berat badan.
Menurut Kopelman dan Caterson, manajemen berat badan meliputi : 1. Terapi diet
2. Aktivitas fisik 3. Terapi perilaku
4. Terapi medikamentosa
2.4.1 Terapi Diet
Diet merupakan langkah awal untuk menurunkan berat badan. Pengaturan menu diet adalah kunci keberhasilan untuk menurunkan berat badan. Menu diet yang baik terutama terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, karbohidrat kompleks, biji-bijian, kaya serat, rendah lemak dan rendah gula. Yang harus diingat dari diet tersebut adalah makan makanan yang bervariasi sehingga asupan gizi terpenuhi, dan makan dengan jadwal teratur, bukan dengan jalan melewatkan makan (skip meals) (Kopelman dan Caterson, 2005).
Diet rendah kalori adalah pilihan utama untuk penurunan berat badan pada orang yang overweight dan obesitas. Mengurangi kalori dari lemak adalah yang paling praktis karena lemak mengandung kalori paling tinggi. Mengurangi asupan lemak saja tanpa menurunkan asupan kalori tidak mencukupi, jadi sebaiknya mengurangi asupan lemak disertai pengurangan asupan karbohidrat juga (Kopelman dan Caterson, 2005).
Diet sebaiknya diatur secara individual dengan pengurangan kalori sebesar 500 – 1000 kalori dari asupan rata-rata harian sehingga terjadi penurunan berat
badan sekitar 0.5 – 1.0 kg setiap minggunya, penurunan berat badan 0.5 – 1.0 kg setiap minggu adalah penurunan berat badan yang sehat menurut WHO (WHO, 2015).
2.4.2 Latihan Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang disebabkan oleh kontraksi otot rangka yang menyebabkan peningkatan pemakaian energi (Van Baak and Saris, 2005). Latihan fisik atau olahraga adalah bagian dari aktivitas fisik, merupakan gerakan tubuh yang terencana, terstruktur, dan berulang yang dilakukan untuk memperbaiki atau memelihara satu atau lebih komponen kebugaran tubuh (Pestacello, 2000). Efisiensi latihan fisik berasal dari volume (durasi, distance dan repetisi), intensitas (beban dan kecepatan), serta densitas (frekuensi) ( Burke, 2002).
Latihan fisik/olahraga adalah bagian dari aktivitas fisik, yang dianjurkan sebagai bagian dari terapi penurunan berat badan, karena:
- Membantu penurunan berat badan.
- Dapat menurunkan lemak abdominal.
- Meningkatkan kebugaran sistem kardiorespirasi.
- Membantu mempertahankan berat badan setelah program penurunan berat badan.
- Anjurannya adalah dimulai dengan latihan fisik sedang selama 30 – 45 menit 3 hingga 5 kali seminggu.
Kebugaran tubuh adalah keadaan tubuh yang dimiliki atau dicapai individu sehingga mampu untuk melakukan aktivitas fisik. Latihan fisik/olahraga merupakan alternatif untuk meningkatkan derajat kebugaran seseorang termasuk mengurangi lemak tubuh. kegunaan utama latihan fisik adalah penurunan berat badan, perbaikan sistem fungsional paru jantung (cardiorespirasi system) yang meliputi hipertrofi otot jantung, penurunan detak jantung istirahat, peningkatan stroke volume, peningkatan volume darah dan hemoglobin serta menambah jumlah pembuluh kapiler (Sharkey, 2003).
Dalam upaya untuk memperbaiki kebugaran seseorang termasuk mengurangi lemak dan meningkatkan kebugaran atau daya tahan paru jantung, American College of Sport Medicine atau ACSM (ACSM, 2001) merekomendasikan untuk melakukan olahraga aerobik, seperti berjalan, berlari, bersepeda, berenang, joging, senam aerobik dan lain-lain. Latihan hendaknya dilakukan 3-5 kali perminggu, pada intensitas 60-90% detak jantung maksimum selama 20-60 menit. Jenis latihan dapat dikerjakan secara teratur maupun intermitten, resistance training yang dikerjakan secara teratur dapat juga mengurangi lemak tubuh (Pestacello, 2000).
2.4.3 Terapi Perilaku
Obesitas dapat disebabkan oleh faktor psikologis, seperti kecemasan, depresi, eating disorder, stress atau tekanan hidup dan efek samping obat tertentu.
Selain itu, obesitas sendiripun memiliki dampak terhadap kondisi psikologis seseorang (Kopelman dan Caterson, 2005).
Terapi perilaku merupakan terapi yang baik diterapkan dalam proses penurunan dan juga dalam fase mempertahankan berat badan (Kopelman dan Caterson, 2005) .
Dokter sebaiknya memahami motivasi penurunan berat badan pasien, menganalisa kesiapan pasien dalam melaksanakan program, dan mengambil langkah-langkah tepat untuk memotivasi pasien selama terapi (Kopelman dan Caterson, 2005).
Terapi perilaku untuk mendukung pola makan sehat dan aktivitas fisik harus digunakan secara teratur karena bermanfaat dalam mencapai penurunan berat badan (Kopelman dan Caterson, 2005).
2.4.4 Terapi Medikamentosa
Obat penurun berat badan dapat digunakan sebagai bagian dari program penurunan berat badan yang juga harus melibatkan diet dan aktivitas fisik.
Umumnya terapi medikamentosa dianjurkan pada IMT lebih dari 30 atau lebih dari 27 yang disertai penyakit penyulit obesitas (Eckel, 2008).
Salah satu terapi medikamentosa yang sempat beredar di Eropa beberapa tahun yang lalu adalah rimonabant, tetapi rimonabant ini ditolak di Amerika Serikat oleh FDA, namun kemudian pada tahun 2007 ditarik dari peredaran karena terjadi peningkatan angka kejadian depresi, cemas, dan pikiran bunuh diri pada pemakai rimonabant (Astrup, 2010). Sibutramin ditarik dari peredaran karena adanya penelitian terbaru SCOUT (Sibutramine Cardiovascular Outcome Trial), yang menunjukkan peningkatan angka kesakitan penyakit infark
miokardial dan stroke bila sibutramin diberikan pada penderita obesitas dengan penyakit hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner dan riwayat stroke (James et al., 2010).
Orlistat juga mendapat penambahan label peringatan dari Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat tentang adanya risiko kerusakan hati yang dapat berakibat fatal walaupun kasusnya sangat jarang (FDA, 2010). Di Indonesia saat ini hanya ada dua obat penurun berat badan yang diizinkan oleh BPOM, yaitu orlistat (Xenical®) dan diethylpropion (Apisate®). Diethylpropion termasuk golongan simpatomimetik amin dengan efek samping yang agak mirip dengan sibutramine namun efeknya minimal.
2.5 Latihan Fisik
Aktivitas fisik adalah pergerakan badan yang disebabkan oleh otot skeletal yang memerlukan pemakaian energi. Kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu dari 10 faktor resiko utama kematian di seluruh dunia. Beberapa penyakit yang berkorelasi dengan kurangnya aktivitas fisik adalah penyakit kardiovaskular, kanker dan diabetes (WHO, 2015).
Aktivitas fisik dan latihan fisik (olahraga) adalah dua istilah yang berbeda.
Latihan fisik/olahraga merupakan bagian dari aktivitas fisik, terstruktur, terencana, bersifat pengulangan/repetisi, dan bertujuan meningkatkan kebugaran jasmani. Aktivitas fisik dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan mahluk hidup (ASCM, 2001).
Latihan fisik memiliki banyak manfaat bagi kesehatan bagi segala kalangan baik pria maupun wanita, dewasa maupun anak-anak. Adapun beberapa fungsi tersebut adalah (ACSM, 2001):
- Menjaga berat badan yang ideal.
- Menurunkan resiko terhadap penyakit jantung koroner, diabetes dan kanker.
- Orang dewasa yang aktif secara fisik memiliki resiko yang lebih rendah untuk menderita depresi dan penurunan fungsi kognitif ketika menjadi lebih tua.
- Menjaga organ-organ tubuh berfungsi secara optimal, terutama jantung dan paru. Ketika dilakukan secara teratur, aktivitas fisik dengan intensitas sedang maupun keras dapat memperkuat otot jantung dan organ paru. Kemampuan pompa jantung menjadi lebih baik sehingga oksigenasi jaringan di seluruh tubuh menjadi lebih baik. Begitu juga dengan proses pembuangan material toksik hasil metabolisme menjadi lebih baik.
- Menurunkan tekanan darah, memperbaiki profil lipid darah, menjaga kestabilan gula darah dan insulin, menurunkan kadar CRP, dan mencegah kelebihan berat badan.
- Memperkuat struktur tubuh seperti otot dan tulang, mencegah osteoporosis dan kehilangan masa otot.