BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.3 Lemak Abdominal Pada Obesitas
Jaringan adiposa abdominal adalah organ yang kompleks dan terdiri dari beberapa kompartemen dan sub-kompartemen, termasuk lemak subkutan dan lemak intra-abdominal, yang dapat dibagi menjadi lemak retroperitoneal dan intraperitoneal, yang dapat dibagi lagi menjadi massa lemak mesenterik dan omental. Lemak intraperitoneal juga dikenal sebagai jaringan adiposa viseral (visceral adipose tissue) dianggap sebagai penanda risiko metabolik (Klein, 2010). Lemak abdominal terdiri dari lemak subkutan abdomen dan lemak intraabdomen, yang secara jelas nampak lewat CT Scan dan MRI. Jaringan
adiposa intraabdomen terdiri dari lemak viseral atau intraperitoneal yang terdiri dari lemak omental dan mesenterik dan massa lemak retroperitoneal yang dibatasi oleh batas dorsal dari intestin dan bagian ventral dari ginjal (Wajchenberg, 2000).
Dua kompartemen intraabdominal dapat dipisahkan pada MRI menggunakan titik anatomis, seperti kolon ascendens dan descendens, aorta dan vena cava inferior, suatu prosedur yang telah divalidasi pada kadaver manusia.
Pada kadaver, massa jaringan adiposa intraperitoneal dan retroperitoneal yang diukur setelah diseksi adalah 61-71% dan 29-33%, secara berurutan, dari massa jaringan adiposa intraabdominal (Wajchenberg, 2000).
Penelitian-penelitian epidemiologis dan fisiologis menunjukkan hubungan yang kuat antara kelebihan jaringan adiposa abdomen dengan faktor risiko metabolik untuk penyakit jantung koroner, termasuk resistensi insulin, toleransi glukosa terganggu, diabetes mellitus tipe 2, dislipidemia, dan meningkatnya protein inflamasi yang bersirkulasi dalam darah (Klein, 2010). Penelitian epidemiologis yang ada melaporkan hubungan antara obesitas yang berat dengan mortalitas akibat meningkatnya penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular serta diabetes mellitus. Pada obesitas tingkat sedang, distribusi regional nampaknya merupakan indikator yang penting akan perubahan metabolik dan kardiovaskular, terutama sejak ditemukan korelasi yang tidak konstan antara indeks massa tubuh dan perubahan-perubahan ini. Obesitas bukanlah kondisi yang homogen, serta distribusi regional dari jaringan adiposa penting untuk diketahui untuk memahami
hubungan antara obesitas dengan gangguan metabolisme glukosa dan lipid (Wajchenberg, 2000).
Penyebab fundamental obesitas adalah ketidakseimbangan jangka panjang akan masukan dan pengeluaran energi yang akan meningkatkan massa tubuh termasuk akumulasi lemak subkutan dan viseral. Walaupun obesitas secara umum adalah faktor risiko untuk berbagai penyakit, beberapa penelitian pada manusia telah menunjukkan bahwa penumpukan lemak viseral, yakni lemak yang berlokasi pada viseral, sebagai yang paling berpengaruh pada berbagai kondisi kesehatan termasuk penyakit serebrovaskular, resistensi insulin dan diabetes mellitus tipe 2.
Lokasi regional dari lemak tubuh pada obesitas adalah perkiraan yang lebih baik akan risiko kesehatan jika dibandingkan dengan total lemak tubuh (Wajchenberg, 2000).
Walaupun hubungan sebab-akibat belum dapat ditetapkan secara pasti, bukti-bukti yang ada mengindikasikan bahwa lemak viseral merupakan salah satu faktor risiko yang penting akan berbagai tampilan sindrom metabolik: intoleransi glukosa, hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin. Namun, adanya heterogenitas metabolik pada penderita obesitas dengan jaringan adiposa viseral yang hampir serupa, diduga kerentanan genetik juga berperan dalam memodulasi risiko yang diasosiasikan dengan kelebihan jaringan adiposa viseral. Dalam hal ini obesitas viseral sebaiknya dianggap sebagai faktor yang memperparah kerentanan genetik individual terhadap komponen sindrom metabolik (Wajchenberg, 2000).
Mekanisme yang menghubungkan lemak viseral dengan sindom metabolik belum sepenuhnya dimengerti, namun diduga berhubungan dengan lokasi
anatomis yang menghasilkan efek portal dari pelepasan asam lemak bebas dan gliserol. Bukti-bukti yang didapat dari penelitian yang baru menunjukkan jaringan adiposa merupakan organ endokrin yang aktif, yang mampu mensekresi berbagai macam sitokin, yang sering disebut dengan adiponektin, yang dapat menyebabkan inflamasi dan menggangu aksi insulin. Lebih jauh lagi, penelitian dari beberapa kelompok menunjukkan lemak viseral memiliki karakteristik pro- inflamasi yang lebih besar dibandingkan lemak subkutan (Huffman and Barzilai, 2009).
Adanya peningkatan pada jaringan adiposa viseral, asam lemak bebas secara mudah mengarah ke hati dan meningkatkan produksi glukosa, trigliserida dan lipoprotein VLDL very low density lipoprotein (VLDL), serta menurunkan kadar kolesterol HDL (Wajchenberg, 2000; Levy, 2010). Sel lemak juga mengalami perubahan metabolik yang dapat menjelaskan efek sistemiknya.
Sebagai contoh, glucose transporters secara signifikan berkurang pada adiposit omental manusia, yang dapat menerangkan resistensi insulin. Lebih jauh lagi adipokin lemak viseral dari pasien-pasien obese yang sangat berat diukur sewaktu menjalani pembedahan bariatrik, yakni pembedahan yang dilakukan pada penderita obesitas untuk mengurangi berat badan dengan jalan mengurangi ukuran lambung dengan implantasi alat kesehatan (gastric banding) atau lewat pemotongan sebagian dari lambung atau penjahitan usus halus ke bagian dari lambung (gastric bypass surgery). Konsentrasi Interleukin-6 dari Vena portal meningkat secara substansial dan berhubungan erat dengan inflamasi sistemik, yang diindikasikan dengan tingginya kadar C-Reactive Protein (CRP). Tidak
mengherankan jika infiltrasi makrofag yang merangsang molekul dan jalur inflamasi meningkat pada lemak omental jika dibandingkan dengan lemak subkutan pada individu obesitas (Levy,2010).
Distribusi lemak tubuh berbeda antara pria dan wanita, dimana hal ini merupakan salah satu tanda khas maskulinitas dan femininitas. Jika dibandingkan dengan pria, maka wanita premenopause memiliki lebih banyak lemak subkutan, dan lemak tubuhnya cenderung diakumulasi di payudara, pinggul dan paha atas (Pangkahila, 2007). Regio khas untuk penyimpanan lemak wanita ini umumnya disebut sebagai gynoid (Wajchenberg, 2000). Pada pria, lemak secara dominan berakumulasi di depot subkutan abdomen dan viseral (Pangkahila, 2007), dengan lebih sedikit akumulasi lemak pada daerah pinggul dan paha atas jika dibandingkan dengan wanita, dimana distribusi lemak ini disebut sebagai sentral atau android (Wajchenberg, 2000).
Pria secara umum memiliki area lemak viseral yang lebih besar dibandingkan wanita, dimana hal ini diduga berhubungan dengan perbedaan faktor risiko jenis kelamin pada penyakit kardiovaskular. Oleh karena distribusi lemak tubuh merupakan salah satu karakteristik seks sekunder, dapat dilihat bahwa hormon seks merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan deposisi lemak regional. Bukti-bukti menunjukkan hormon seks wanita berhubungan dengan akumulasi lemak subkutan di regio bawah tubuh.
Penyimpanan lemak khas wanita ini penting dalam fungsi reproduksi. Obesitas abdominal pada pria ditemukan berhubungan dengan rendahnya kadar testosteron
pada pria dan terapi sulih hormon testosteron menghasilkan pengurangan lemak abdominal (Wajchenberg, 2000).
Distribusi lemak regional pada manusia secara jelas diatur oleh hormon, walaupun faktor-faktor lain ikut berperan penting. Tidak hanya hormon steroid seks saja yang berperan, namun kortikosteroid dari kelenjar adrenal juga memainkan peran yang besar. Hormon peptida seperti insulin dan GH merupakan faktor yang penting dalam distribusi jaringan adiposa (Wajchenberg, 2000).
Distribusi lemak gluteo-femoral yang tipikal untuk wanita dibedakan dengan distribusi lemak abdominal pada pria dengan pengukuran rasio pinggang dan pinggul dimana terdapat titik cutoff untuk pria dan wanita yang dapat diterima (Levy, 2010). Kelebihan lemak pada tubuh bagian atas (sentral atau abdominal) yang juga dikenal sebagai obesitas tipe pria atau android lebih sering dihubungkan dengan meningkatnya mortalitas dan risiko akan penyakit seperti diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, dan aterosklerosis dari pembuluh darah koroner, serebral dan perifer dibandingkan dengan obesitas tipe gynoid atau distribusi lemak tipe wanita (tubuh bagian bawah atau area gluteo-femoral) (Wajchenberg, 2000).
Perbedaan antara pria dan wanita setelah pubertas tidak hanya pada distribusi lemak, melainkan juga pada metabolisme dan ukuran sel lemak. Sel lemak di bagian glutea dan femur lebih besar daripada di bagian abdomen.
Aktivitas lipase lipoprotein, yaitu enzim yang bertanggungjawab bagi akumulasi trigliserida di dalam sel lemak, ternyata lebih tinggi di bagian gluteo-femoral daripada di bagian abdomen (Pangkahila, 2007).
Individu dengan massa lemak viseral yang lebih besar, baik lewat peningkatan berat badan atau penumpukan lemak pada depot viseral, akan kehilangan lebih banyak lemak viseral jika disesuaikan dengan hilangnya lemak tubuh, terlepas dari metode intervensi yang dilakukan (restriksi kalori, terapi farmakologis, atau olahraga) karena adiposit viseral memiliki tingkat lipolitik yang lebih tinggi pada keadaan tetap (steady state) (Wajchenberg, 2000).
Berkurangnya lemak abdominal akan menjadi sangat bermakna, dikarenakan kelebihan lemak di bagian abdomen merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit kardiovaskular. Lemak intraabdominal (viseral) memiliki kadar turnover trigliserida yang tertinggi dan kelebihan adiposit viseral adalah hal yang paling berkaitan dengan gangguan metabolik terutama resistensi insulin dan hipertrigliseridemia. Lemak subkutan pada bagian tubuh atas adalah yang berikutnya, sedangkan lemak subkutan pada bagian tubuh bawah memiliki tingkat turnover trigliserid yang paling rendah, sehingga kelebihan lemak subkutan pada bagian tubuh bawah adalah yang paling kecil membawa dampak metabolik. Pada keadaan postabsorbtive, adiposit yang teregang akan melepaskan lebih banyak jumlah asam lemak ke dalam sirkulasi. Meningkatnya kadar asam lemak bebas yang berada di sirkulasi akan meningkatkan sintesis hepar dan sekresi VLDL yang kaya akan trigliserida (Maki et al., 2009).