LATIHAN FISIK INTENSITAS SEDANG MENURUNKAN BERAT BADAN DAN LEMAK ABDOMINAL LEBIH BANYAK DARIPADA LATIHAN
FISIK INTENSITAS SEDANG SAJA PADA TIKUS WISTAR JANTAN DENGAN OBESITAS
AJI BAYU CHANDRA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR
2016
LATIHAN FISIK INTENSITAS SEDANG MENURUNKAN BERAT BADAN DAN LEMAK
ABDOMINAL LEBIH BANYAK DARIPADA LATIHAN FISIK INTENSITAS SEDANG SAJA PADA
TIKUS WISTAR JANTAN DENGAN OBESITAS
AJI BAYU CHANDRA NIM 1490761025
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2016
i
PEMBERIAN ALPHA LIPOIC ACID PERORAL DAN LATIHAN FISIK INTENSITAS SEDANG
MENURUNKAN BERAT BADAN DAN LEMAK ABDOMINAL LEBIH BANYAK DARIPADA LATIHAN FISIK INTENSITAS SEDANG SAJA PADA
TIKUS WISTAR JANTAN DENGAN OBESITAS
Tesis untuk Memperoleh Gelar Magister, Pada Program Magister Program Studi Ilmu Biomedik
Program Pascasarjana Universitas Udayana
AJI BAYU CHANDRA NIM 1490761025
PROGRAM MAGISTER
PROGRAM STUDI ILMU BIOMEDIK PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS UDAYANA DENPASAR
2016
ii
Lembar Pengesahan TESIS INI TELAH DISETUJUI PADA TANGGAL : 22 Desember 2016
Pembimbing I
Prof. Dr. dr. J Alex Pangkahila, MSc. SpAnd NIP. 194402011964091001
Pembimbing II
Prof. DR. dr. Wimpie I. Pangkahila Sp.And., FAACS NIP. 194612131971071001
Mengetahui,
Ketua Program Studi Ilmu Biomedik Direktur
Program Pascasarjana Program Pascasarjana
Universitas Udayana Universitas Udayana
DR. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK Prof. Dr. Dr. A. A. Raka Sudewi, Sp.S (K) NIP.1958052119850312002 NIP.195902151985102001
iii
Penetapan Penguji
Tesis ini telah diuji pada Tanggal 22 Desember 2016
Penguji tesis berdasarkan SK Rektor Universitas Udayana, No : 6356/UN14.4/HK/2016, Tanggal 19 Desember 2016
Ketua : Prof. Dr. dr. J Alex Pangkahila, MSc. SpAnd
Sekretaris : Prof. DR. dr. Wimpie I. Pangkahila Sp.And., FAACS Anggota : 1. DR.dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK
2. Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes, M.Sc.
3. Prof. dr. I Gusti.Made Aman, Sp.FK
iv
v
UCAPAN TERIMA KASIH
Puji syukur penulis memanjatkan puji syukur yang sedalam-dalamnya kepada Tuhan untuk kasih karunia serta penyertaan-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Tesis dan penelitian ini disusun untuk memenuhi persyaratan tugas akhir studi yang telah dijalankan oleh penulis untuk memperoleh gelar Magister pada Program Studi Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti-Aging Medicine, Pascasarjana Universitas Udayana.
Penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada Rektor Universitas Udayana Prof. Dr. dr. Ketut Suastika, Sp.PD KEMD, FINASIM dan Direktur Program Pascasarjana Universitas Udayana Prof. Dr. dr. A.A. Raka Sudewi, Sp.S (K)., atas kesempatan yang diberikan penulis untuk menjadi mahasiswa Program Pascasarjana. Serta Dr. dr. Gde. Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc, Sp.GK Ketua Program Studi Ilmu Biomedik yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengikuti dan menyelesaikan pendidikan Program Pascasarjana di Universitas Udayana.
Terima kasih Prof. Dr. dr. Alex J. Pangkahila, Sp.And, FAACS, selaku Dosen dan Pembimbing I, yang telah meluangkan waktu dan pemikiran untuk membimbing, mengarahkan, mengoreksi dan memberikan tantangan serta masukan yang berharga kepada Penulis dalam penelitian dan seluruh proses pembuatan tesis ini.
vi
Terima kasih kepada Prof. dr. Wimpie I. Pangkahila, Sp.And., FAACS., selaku dosen dan pembimbing II yang telah memberikan waktu yang sangat berharga, yang dengan sabar dan teliti memberikan koreksi, arahan serta bimbingan dalam setiap tahap penyusunan tesis ini dan menyelesaikan studi.
Ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya juga penulis sampaikan kepada para penguji tesis ini, yaitu DR. dr. Gde Ngurah Indraguna Pinatih, M.Sc., Sp.GK atas saran, kritikan serta bimbingannya yang sangat bermanfaat mengenai teknis menulis ilmiah yang baku, dan memberikan motivasi selama penyusunan tesis ini. Terima kasih kepada Dr. dr. Ida Sri Iswari, Sp.MK., M.Kes, yang telah menginspirasi penulis dalam proses penelitian ini serta koreksi dan masukan yang sangat berharga yang berhubungan dengan hewan coba. Terima kasih sebesar- besarnya juga untuk Prof. dr. I Gusti.Made Aman, Sp.FK yang dengan sabar dan teliti memberikan koreksi, bimbingan dan masukan sehingga penulis dapat menyelesaikan tesis ini.
Hormat dan ucapan terima kasih juga penulis sampaikan kepada seluruh dosen Ilmu Kedokteran Biomedik, Kekhususan Anti-Aging Medicine, Program Pascasarjana Universitas Udayana yang telah memberikan ilmu pengetahuan yang sangat berharga selama masa pendidikan yang tentunya akan bermanfaat untuk masa depan penulis. Kepada seluruh staf biomedik Bapak Eddy Suantara, Geg Wahyu , Geg Amie dan Geg Enni, Mba Yeti yang dengan penuh semangat selalu membantu serta menyemangati penulis selama menjalankan studi dan menyelesaikan tesis. Terima kasih juga untuk Bapak Gede Wiranatha selaku staf Bagian Animal Unit Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Udayana yang
vii
membantu dalam proses pemeliharaan dan pengelolaan hewan coba, membimbing cara pengambilan darah hewan coba di dalam laboratorium, serta Drh. Ida Bagus Oka Winaya M.Kes., dari bagian laboratorium patologi veterinaria universitas Udayana yang sudah membantu proses pemeriksaan patologi selama berjalannya penelitian ini.
Terima kasih kepada Ferbian Siswanto, SKH., yang telah membantu dalam penyusunan data dalam bidang statistik.
Kepada semua teman-teman Mahasiswa Program Magister Ilmu Biomedik AAM Angkatan IX terima kasih untuk kekompakan serta semangat bersama-sama menyelesaikan setiap proses dalam perkuliahan, penelitian hingga penyusunan tesis.
Pada akhirnya penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna, sehingga penulis mengharapkan masukan berupa kritik dan saran yang membangun. Semoga tesis ini dapat bermanfaat bagi ilmu pengetahuan dan bagi kita semua.
Denpasar, 8 November 2016
Penulis
viii
ABSTRAK
PEMBERIAN ALPHA LIPOIC ACID PER ORAL DAN LATIHAN FISIK INTENSITAS SEDANG MENURUNKAN BERAT BADAN, DAN LEMAK ABODMINAL LEBIH BANYAK DARIPADA LATIHAN FISIK INTENSITAS
SEDANG SAJA PADA TIKUS WISTAR JANTAN DENGAN OBESITAS Kelebihan berat badan dan obesitas adalah suatu penyakit yang disebabkan oleh multifaktor, diantaranya adalah akibat kelebihan konsumsi energi yang didapatkan dari makanan maupun minuman, serta kurangnya aktivitas fisik untuk menjaga keseimbangan energy. Alpha lipoic acid atau ALA merupakan senyawa antioksidan yang memiliki efek membantu menurunkan berat badan. Tujuan penelitian ini adalah untuk membuktikan bahwa pemberian ALA secara oral yang dikombinasi dengan latihan fisik intensitas sedang menurunkan berat badan, lemak subkutan abdominal dan lemak visceral abdominal lebih banyak daripada latihan fisik intensitas sedang saja pada tikus wistar jantan dengan obesitas.
Penelitian ini adalah penelitian eksperimental murni dengan rancangan Post-test only Control Group Design. Subjek penelitian adalah 30 ekor tikus putih (Rattus norvegicus) jantan, galur Wistar, sehat, umur 4-5 bulan dan obesitas dengan berat badan minimal 250 gram yang terbagi menjadi 3 (tiga) kelompok masing-masing berjumlah 10 ekor tikus, yaitu kelompok kontrol (P0) tidak mendapat perlakuan apapun, kelompok perlakuan 1 (P1) yang diberikan latihan fisik intensitas sedang (renang durasi 20 menit/hari selama 4 minggu), dan kelompok perlakuan 2 (P2) yang diberikan latihan fisik intensitas sedang dan diberikan ALA dosis 15mg/hari selama 4 minggu. Variabel yang diamati adalah berat badan, berat lemak subkutan abdominal, dan berat lemak viseral abdominal.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa rerata berat badan sesudah 4 minggu perlakuan pada kelompok P0 adalah 279,10±5,84 gram, pada kelompok P1 adalah 257,90±10,31 gram, dan pada kelompok P2 adalah 213,90±8,92 gram (p<0,01).
Rerata berat lemak subkutan abdominal pada kelompok P0 adalah 1,99±0,49 gram, pada kelompok P1 adalah 1,46±0,31 gram, dan pada kelompok P2 adalah 0,66±0,24 gram (p<0,01). Selain itu, rerata berat lemak viseral abdominal pada kelompok P0 adalah 2,19±0,76 gram, pada kelompok P1 adalah 1,46±0,49 gram, dan pada kelompok P2 adalah 0,79±0,46 gram (p<0,01).
Dari penelitian ini dapat disimpulkan bahwa pemberian ALA secara oral dengan latihan fisik intensitas sedang dapat menurunkan berat badan, lemak subkutan abdominal dan lemak visceral abdominal lebih banyak daripada latihan fisik intensitas sedang saja pada tikus wistar jantan dengan obesitas
Kata kunci: alpha lipoic acid, obesitas, berat badan, lemak abdominal
ix
ABSTRACT
ORAL ALPHA LIPOIC ACID AND MODERATE PHYSICAL EXERCISE DECREASE BODY WEIGHT AND ABODMINAL FAT MORE THAN MODERATE PHYSICAL EXERCISE ONLY ON OBESE MALE WISTAR RATS
Obesity is a complex, chronic disorder with a multifactorial etiology, which are due to excess consumption of energy obtained from food and beverages, as well as lack of physical activity to maintain energy balance. Alpha lipoic acid (ALA) is an antioxidant that can enhancing body weight loss. The purpose of this study was to prove that the oral administration of ALA and moderate physical exercise decrease body weight and abdominal fat more than moderate physical exercise only on obese male Wistar rats.
This study was a true experimental research with post-test only control group design. The subjects used were 30 rats (Rattus norvegicus), male, Wistar, healthy, aged 4-5 months, obese with minimum weight of 250 grams, divided into 3 groups which were: 1) the control group (P0) with no treatment, 2) the group P1 given moderate physical exercise (swimming for 20 minutes/day, for 4 weeks), and the group P2 moderate physical exercise and ALA dose of 15mg/day for 4 weeks. The variables measured were body weight, subcutaneous abdominal fat and visceral abdominal fat weight.
The results showed that the average body weight after 4 weeks of treatment of P0 group was 279.10 ± 5.84 grams, the group P1 was 257.90 ± 10.31 grams, and the P2 group was 213.90 ± 8.92 grams (p <0.01). The mean weight of subcutaneous abdominal fat on P0 group was 1.99 ± 0.46 grams, the group P1 was 1.46 ± 0.31 grams, and the P2 group was 0.66 ± 0.24 grams (p <0.01 ). In addition, the mean weight of visceral abdominal fat on the P0 group was 2.19 ± 0.76 grams, the P1 group was 1.46 ± 0.49 grams, and the P2 group was 0.79 ± 0.46 grams (p <0 , 01).
From this study it can be concluded that the oral administration of ALA and moderate physical exercise decreased body weight, subcutaneous abdominal fat, and visceral abdominal fat more than moderate physical exercise only on obese male Wistar rats.
Keywords: alpha lipoic acid, obesity, body weight, abdominal fat
x
DAFTAR ISI
Halaman
HALAMAN JUDUL ... i
PRASYARAT GELAR ... ii
LEMBAR PERNGESAHAN ... iii
PENETAPAN PENGUJI ... iv
SURAT PERNYATAAN BEBAS PLAGIAT... v
UCAPAN TERIMA KASIH ... vi
ABSTRAK ... ix
ABSTRACT ... x
DAFTAR ISI ... xi
DAFTAR GAMBAR ... xiv
DAFTAR TABEL ... xv
DAFTAR SINGKATAN ... xvi
DAFTAR LAMPIRAN ... xvii
BAB I PENDAHULUAN ... 1
1.1 Latar Belakang ... 1
1.2 Rumusan Masalah ... 6
1.3 Tujuan Penelitian ... 7
1.4 Manfaat Penelitian ... 8
BAB II KAJIAN PUSTAKA ... 9
2.1 Penuaan ... 9
2.2 Berat Badan Lebih dan Obesitas ... 10
2.2.1 Epidemiologi Obesitas ... 16
2.2.2 Etiologi dan Patofisiologi Obesitas ... 16
2.2.3 Hubungan Obesitas, Penuaan, dan Harapan Hidup... 19
2.3 Lemak Abdominal Pada Obesitas ... 20
2.4 Manajemen Berat Badan dan Obesitas ... 26
2.4.1 Terapi Diet... 27
2.4.2 Latihan Fisik ... 28 xi
2.4.3 Terapi Perilaku ... 29
2.4.4 Terapi Medikamentosa ... 30
2.5 Latihan Fisik ... 31
2.5.1 Jenis Latihan Fisik ... 33
2.5.1.1 Latihan Kardiorespiratori ... 33
2.5.1.2 Latihan Kekuatan ... 34
2.5.1.3 Latihan Neuromotor ... 35
2.5.1.4 Latihan Fleksibilitas ... 35
2.6 Alpha Lipoic Acid ... 36
2.6.1 Struktur Biokimia dan Fisiologis ALA ... 36
2.6.2 Efek ALA Terhadap Berat Badan dan Lemak ... 42
2.7 Hewan Coba ... 44
2.7.1 Penggunaan Tikus (Rattus norvegicus) di Laboratorium ... 44
2.7.2 Pemantauan Keselamatan Tikus di Laboratorium ... 46
2.7.3 Tikus Obesitas ... 46
2.7.4 Aktivitas Fisik Pada Tikus ... 47
BAB III KERANGKA BERPIKIR, KONSEP, DAN HIPOTESIS ... 49
3.1 Kerangka Berpikir ... 49
3.2 Konsep Penelitian... 51
3.3 Hipotesis ... 52
BAB IV METODE PENELITIAN ... 53
4.1 Rancangan Penelitian ... 53
4.2 Lokasi dan Waktu Penelitian ... 54
4.3 Populasi dan Kriteria Sampel Penelitian ... 55
4.3.1 Sampel Penelitian ... 55
4.3.2 Kriteria Sampel ... 55
4.3.3 Besar Sampel ... 55
4.4 Variabel Penelitian ... 56
4.4.1 Klasifikasi Variabel ... 56
4.4.2 Definisi Operasional ... 56
4.5 Alat dan Bahan Penelitian ... 58 xii
4.6 Prosedur Penelitian... 59
4.6.1 Sebelum Perlakuan ... 59
4.6.2 Pelaksanaan Penelitian ... 60
4.7 Alur Penelitian ... 62
4.8 Analisis Data ... 63
BAB V HASIL PENELITIAN ... 64
5.1 Analisis Deskriptif ... 64
5.2 Uji Normalitas Data ... 67
5.3 Uji Homogenitas Data antar Kelompok ... 67
5.4 Uji Komparabilitas... 68
BAB VI PEMBAHASAN ... 71
6.1 Subjek Penelitian ... 71
6.2 Pengaruh Latihan Fisik Intensitas Sedang Terhadap Berat Badan, Berat Lemak Subkutan Abdominal, dan Berat Lemak Viseral Abdominal .. 72
6.3 Pengaruh Pemberian ALA Terhadap Berat Badan, Berat Lemak Subkutan Abdominal, dan Berat Lemak Viseral Abdominal... 75
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN ... 79
7.1 Simpulan ... 79
7.2 Saran ... 79
DAFTAR PUSTAKA ... 80
LAMPIRAN ... 87
xiii
DAFTAR GAMBAR
Halaman
Gambar 2.1 Struktur Chiral Aplha Lipoic Acid ... 38
Gambar 2.2 Rattus norvegicus galur wistar ... 45
Gambar 3.1 Konsep Penelitian ... 51
Gambar 4.1 Rancangan Penelitian ... 53
Gambar 4.2 Alur Penelitian... 62
Gambar 5.1 Grafik Perbandingan Rerata Berat Badan Antar Kelompok ... 65
Gambar 5.2 Grafik Perbandingan Rerata Berat Lemak Subkutan Abdominal 66 Gambar 5.3 Grafik Perbandingan Rerata Berat Lemak Viseral Abdominal .... 66
xiv
DAFTAR TABEL
Halaman Tabel 2.1 Standar risiko penyakit degeneratif berdasarkan pengukuran WHR
pada jenis kelamin dan kelompok ... 12
Tabel 5.1 Hasil Analisis Deskriptif Data ... 65
Tabel 5.2 Hasil Uji Normalitas Data Antar Kelompok ... 67
Tabel 5.3 Hasil Uji Homogenitas Data Antar Kelompok ... 68
Tabel 5.4 Rerata Nilai Variabel Antar Kelompok Sesudah Perlakuan ... 68
Tabel 5.5 Analisis LSD Perbandingan Rerata Variabel Antar Kelompok ... 70
xv
DAFTAR SINGKATAN
ALA = Alpha Lipoic Acid ROS = Reactive Oxygen Species
ACSM = American College of Sports Medicine LA : Lipoic Acid
AMPK = AMP Activated Protein Kinase BMI = Body Mass Index
IMT = Indeks Massa Tubuh WHR = Waist Hip Ratio
WHO = World Health Organization GH = Growth Hormone
HDL = High Density Lipoprotein
SCOUT = Sibutramine Cardiovascular Outcome Trial NE = Norepinephrine
FDA = Food and Drug Adminisration
BPOM = Badan Pengawas Obat dan Makanan CRP = C-Reactive Protein
DHLA = Dihydrolipoicacid CHD = Chronic Heart Disease
HIV = Human Immunodeficiency Virus LDL = Low Density Lipoprotein HSL = Hormone Sensitive Lipase
xvi
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran I Ethical Clearance... 87
Lampiran II Hasil Analisa Alpha Lipoic Acid 100mg GNC ... 88
Lampiran III Komposisi ALA GNC 100mg ... 89
Lampiran IV Produk ALA 100mg GNC ... 90
Lampiran V Data Berat Badan Tikus ... 91
Lampiran VI Analisa Pre-Post BB ... 92
Lampiran VII Data Pemeriksaan Berat Lemak Tikus ... 92
Lampiran VIII Analisis Deskriptif ... 93
Lampiran IX Uji Normalitas Data ... 93
Lampiran X Uji Homogenitas Data ... 94
Lampiran XI Analisis Komparasi ... 94
Lampiran XII Uji Lanjutan dengan LSD ... 95
Lampiran XIII Foto Penelitian ... 96
xvii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Perkembangan ilmu kedokteran semakin mengalami kemajuan, termasuk ilmu kedokteran anti penuaan atau Anti Aging Medicine (AAM) yang membawa paradigma baru dalam dunia kedokteran. Paradigma tersebut yakni dengan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini, penuaan dapat dideteksi lebih dini, dicegah, diobati dan diperbaiki. Dengan adanya ilmu AAM, diharapkan manusia dapat memiliki kualitas hidup yang tetap baik walaupun usia smakin bertambah.
Proses penuaan dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas, hormon yang berkurang, dan genetik. Faktor eksternal yang utama adalah pola hidup yang tidak sehat, polusi lingkungan dan stres. Jika faktor-faktor ini dibiarkan saja tanpa ada usaha untuk mencegah atau menanggulanginya, maka proses penuaan akan terjadi lebih cepat, bahkan angka morbiditas dan mortalitas akan ikut meningkat pula (Pangkahila, 2007). Gaya hidup tak sehat seperti diet tinggi karbohidrat dan lemak, serta pola hidup sendentari dimana aktivitas fisik sehari-hari sangat minimal, akan menyebabkan seseorang sangat rentan terhadap obesitas (WHO, 2015).
Jumlah penderita obesitas dan berbagai kelainan yang ditimbulkannya banyak dijumpai di seluruh dunia, termasuk Indonesia. Menurut data WHO pada tahun 2015, orang dewasa yang menderita kelebihan berat badan di dunia
1
mencapai 1,9 milyar orang, dan 600 juta diantaranya menderita obesitas.
Hipertensi, dislipdemia, diabetes¸ perlemakan hati, dan gangguan sendi merupakan kelainan penyerta yang banyak dijumpai pada penderita obesitas (Wilborn, 2005; WHO, 2015).
Obesitas disebabkan oleh karena ketidak seimbangan jumlah energi yang dikonsumsi dibandingkan dengan jumlah energi yang dipakai. Faktor genetik, pola makan, aktivitas fisik dan gaya hidup merupakan faktor risiko yang sangat berperan terhadap terjadinya obesitas (WHO, 2015).
Telah diketahui bahwa pada orang yang mengalami kelebihan berat badan dan obesitas dijumpai penumpukan lemak dalam tubuh. Lemak berlebih tersebut melepaskan substansi bioaktif yang mencetuskan inflamasi di dalam tubuh, yang akan mencetuskan terbentuknya reactive oxygen species (ROS) berlebihan. Proses ini menyebabkan stress oksidatif yang akan mencetuskan terjadinya proses penuaan dini (Sanchez, 2011).
Kelebihan berat badan (overweight) dan obesitas merupakan keadaan abnormal dimana terjadi penumpukan lemak pada jaringan adiposa yang dapat disebabkan oleh berbagai faktor. Faktor-faktor tersebut ialah faktor keturunan (genetik), usia, jenis kelamin, riwayat keluarga, makanan yang berkalori tinggi terutama yang banyak mengandung lemak, penyakit hormonal, kurang olah raga, penggunaan alkohol (Ikeuchi et al., 2007). Komposisi lemak dan karbohidrat yang berlebihan dalam makanan, serta kurangnya aktivitas fisik adalah penyebab utama dari kelebihan berat badan dan obesitas.
Selain masalah estetik dan berkurangnya rasa percaya diri, overweight dan obesitas dengan penimbunan lemak visceral, ternyata merupakan sumber risiko berbagai penyakit metabolik seperti diabetes melitus, hipertensi, penyakit jantung koroner, stroke dan dislipidemia (Burke, 2002).
Obesitas berhubungan erat dengan distribusi lemak tubuh. Tipe obesitas menurut pola distribusi lemak tubuh dapat dibedakan menjadi obesitas tubuh bagian atas (upper body obesity) dan obesitas tubuh bagian bawah (lower body obesity). Obesitas tubuh bagian atas merupakan dominansi penimbunan lemak tubuh di trunkal. Terdapat beberapa kompartemen jaringan lemak pada trunkal, yaitu trunkal subkutaneus yang merupakan kompartemen paling umum, dan lemak visceral. Lemak visceral adalah lemak yang menyelimuti organ dalam tubuh. Jumlah lemak visceral berkorelasi positif dengan penyakit penyerta obesitas, seperti hipertensi, diabetes, dll (Burke, 2002).
Manajemen penurunan berat badan umumnya dilakukan dengan diet, olahraga, perubahan tingkah laku dan terapi medikamentosa atau kombinasi semuanya (Pestacello dan Van Heest, 2000). Latihan fisik merupakan salah satu pilar untuk menurunkan berat badan. Latihan fisik merupakan aktivitas yang dilakukan seseorang untuk meningkatkan dan memelihara kebugaran tubuh. Olah raga merupakan salah satu bagian dari latihan fisik yang terstruktur, terencana, dan bersifat repetitif (ASCM, 2001).
Latihan fisik sebaiknya dilakukan secara teratur dengan memperhatikan beberapa komponen yaitu jenis latihan fisik, intensitas, durasi, frekuensi dan progresivitas latihan (Astrand et al., 2003).
Latihan fisik atau olahraga yang dilakukan secara teratur dengan dosis pelatihan yang tepat dapat mencapai dan mempertahankan keadaan sehat dan kebugaran fisik. Frekuensi pelatihan yang dianjurkan adalah 3 sampai 4 kali seminggu, dengan intensitas 72-87% dari denyut jantung maksimal (220-umur) dengan variasi 10 denyut per menit. Tipe pelatihan yang dianjurkan merupakan suatu kombinasi dari latihan aerobik dan pelatihan otot dalam waktu 30-60 menit, yang mana sebelumnya didahului oleh 15 menit pemanasan dan disusul oleh 10 menit pendinginan. Latihan fisik yang baik dilakukan pada pagi hari sampai sore hari (Pangkahila, 2009). Latihan fisik yang baik adalah latihan yang dilakukan secara teratur dengan memperhatikan kemampuan tubuh. Latihan fisik atau olahraga dapat mempertahankan dan meningkatkan kesehatan tubuh, serta akan berdampak kepada kinerja fisik tubuh dan dapat mencegah penuaan dini (Adiputra, 2008).
Selain dengan diet dan olahraga, penurunan berat badan dapat dibantu dengan mengkonsumsi obat penurun berat badan, namun penggunaan obat-obatan ini harus berhati-hati, mengingat kemungkinan adanya efek samping yang dapat mengganggu kesehatan, contohnya sibutramine yang ditarik dari peredaran karena adanya penelitian yang menunjukkan meningkatnya angka kesakitan penyakit infark miokardial dan stroke, bila sibutramine diberikan pada penderita obesitas dengan penyakit hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner, dan riwayat stroke (James et al., 2010; Sayburn, 2010). Orlistat juga meningkatkan risiko kerusakan hati yang dapat berakibat fatal walaupun kasusnya sangat jarang (FDA, 2010).
Obat-obatan penurun berat badan lainnya pun memiliki masalah efek samping
yang tidak berbeda sesuai dengan golongannya, karena itu mungkin diperlukan alternatif obat atau suplemen yang dapat membantu menurunkan berat badan dengan efek samping yang minimal (Laine dan Goldman, 2008). Obat-obatan yang membantu menurunkan berat badan tersebut biasanya diberikan jika pengaturan diet dan aktivitas fisik kurang memberikan hasil yang nyata dalam menurunkan berat badan.
Antioksidan Alpha Lipoic Acid (ALA) merupakan asam lemak yang berisi komponen sulfur yang dijumpai pada setiap sel, merupakan kofaktor pada aktivitas mitokondria dan berperan dalam metabolisme yang membantu mengkonversi glukosa menjadi energi di dalam sel (Islam, 2009). Beberapa penelitian yang pernah dilakukan pada tikus menunjukkan bahwa antioksidan dapat membantu proses penurunan berat badan tikus seperti dalam penelitian Kim et al. (2004), penelitian ini menunjukkan bahwa pemberian alpha lipoic acid kepada tikus dapat menurunkan berat badan dengan jalan mengurangi nafsu makan dan meningkatkan pemakaian energi. ALA juga diketahui meningkatkan oksidasi asam lemak dan pembentukan mitokondria pada jaringan otot (Wang et al., 2010). Oksidasi asam lemak dan biogenesis mitokondria pada otot skeletal akan mengurangi lemak tubuh dan meningkatkan pemakaian energi.
Beberapa obat tablet dengan komposisi Alpha Lipoic Acid (ALA) murni, maupun ALA yang dikombinasi dengan antioksidan lainnya telah beredar luas di pasaran.. Dosis yang direkomendasi dengan efek samping minimal adalah 300- 600 mg, Indikasi yang direkomendasikan antara lain untuk kasus retinopati, polineuropati akibat penyakit diabetes, sebagai antioksidan universal untuk
membantu mencegah kerusakan sel dan banyak indikasi lain yang sampai saat ini masih dalam penelitian (Kim et al., 2010).
Penelitian yang dilakukan oleh Carbonelli et al. pada tahun 2010, menunjukkan bahwa pemberian ALA pada subjek manusia dengan obesitas memiliki efek yang signifikan terhadap penurunan berat badan. Efek tersebut disebabkan melalui aktivitas ALA dalam menginhibisi aktivitas AMP kinase pada otak sehingga mengurangi nafsu makan serta meningkatkan jumlah pemakaian energi.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang seperti dijelaskan di atas, maka dapat dibuat rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah pemberian ALA secara oral dengan latihan fisik intensitas sedang dapat menurunkan berat badan lebih banyak daripada latihan fisik intensitas sedang saja pada tikus wistar jantan dengan obesitas?
2. Apakah Pemberian ALA secara oral dengan latihan fisik intensitas sedang dapat menurunkan berat lemak subkutan abdominal lebih banyak daripada latihan fisik intensitas sedang saja pada tikus wistar jantan dengan obesitas?
3. Apakah Pemberian ALA secara oral dengan latihan fisik intensitas sedang dapat menurunkan berat lemak visceral abdominal lebih banyak daripada latihan fisik intensitas sedang saja pada tikus wistar jantan dengan obesitas?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum
Untuk mengetahui pengaruh pemberian ALA secara oral yang dikombinasi dengan latihan fisik intensitas sedang daripada latihan fisik intensitas sedang saja terhadap berat badan, lemak subkutan abdominal dan lemak visceral abdominal pada tikus wistar jantan dengan obesitas.
1.3.2 Tujuan Khusus
1. Untuk mengetahui pemberian ALA secara oral yang dikombinasi dengan latihan fisik dengan intensitas sedang menurunkan berat badan lebih banyak dibandingkan dengan latihan fisik intensitas sedang saja pada tikus wistar jantan dengan obesitas.
2. Untuk mengetahui pemberian ALA secara oral yang dikombinasi dengan latihan fisik dengan intensitas sedang menurunkan berat lemak subkutan abdominal lebih banyak dibandingkan dengan latihan fisik intensitas sedang saja pada tikus wistar jantan dengan obesitas.
3. Untuk mengetahui pemberian ALA secara oral yang dikombinasi dengan latihan fisik dengan intensitas sedang menurunkan berat lemak visceral abdominal lebih banyak dibandingkan dengan latihan fisik intensitas sedang saja pada tikus wistar jantan dengan obesitas.
1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Ilmiah
Untuk memberikan tambahan ilmu pengetahuan dalam hal menurunkan berat badan, lemak subkutan dan lemak abdominal dengan kombinasi pemberian ALA secara oral dengan aktivitas fisik intensitas sedang.
1.4.2 Manfaat Aplikasi
Untuk memberikan arahan pada masyarakat bahwa pemberian ALA secara oral dapat membantu menurunkan berat badan, berat lemak subkutan dan lemak viseral pada kasus kegemukan yang disebabkan oleh asupan kalori yang berlebihan dan diharapkan dapat membantu mengobati obesitas jika terbukti secara uji klinis dan dapat diaplikasikan pada masyarakat.
BAB II
KAJIAN PUSTAKA
2.1 Penuaan
Setelah mencapai usia dewasa, secara alami seluruh komponen tubuh tidak dapat berkembang lagi. Sebaliknya terjadi penurunan akibat proses penuaan. Pada umumnya menjadi tua dianggap hal yang lumrah sehingga semua masalah yang muncul dianggap memang seharusnya dialami. Padahal terdapat banyak faktor yang berpengaruh terhadap proses penuaan. Faktor-faktor ini dapat dibagi menjadi faktor internal dan faktor eksternal. Beberapa faktor internal adalah radikal bebas, hormon yang berkurang, dan genetik. Faktor eksternal yang utama adalah pola hidup yang tidak sehat, polusi lingkungan dan stres. Faktor-faktor ini dapat dicegah, diperlambat bahkan mungkin dihambat sehingga kualitas hidup dapat dipertahankan. Lebih jauh lagi usia harapan hidup dapat lebih panjang dengan kualitas hidup yang baik (Pangkahila, 2007).
Usia harapan hidup yang lebih panjang disertai kualitas hidup yang optimal inilah konsep baru dari ilmu kedokteran anti penuaan atau Anti Aging Medicine (AAM). AAM ini didefinisikan sebagai bagian ilmu kedokteran yang didasarkan pada penggunaan ilmu pengetahuan dan teknologi kedokteran terkini untuk melakukan deteksi dini, pencegahan, pengobatan, dan perbaikan ke keadaan semula berbagai disfungsi, kelainan, dan penyakit yang berkaitan dengan penuaan, yang bertujuaan untuk memperpanjang hidup dalam keadaan sehat.
Dengan definisi AAM tersebut, tampak bahwa terdapat paradigma yang baru, manusia bukanlah orang terhukum yang terperangkap dalam takdir genetik dan
9
penuaan dapat dianggap sama dengan penyakit yang dapat dicegah, diobati bahkan dikembalikan ke keadaan semula (Pangkahila, 2007).
Salah satu hal yang berkaitan dengan terjadinya proses penuaan adalah inflamasi. Banyaknya lemak visceral yang dijumpai pada penderita obesitas dan kelebihan berat badan diketahui akan menyebkan inflamasi, yang pada akhirnya akan mempercepat proses penuaan. Lemak visceral merupakan sumber resiko berbagai penyakit metabolik seperti hipertensi, diabetes melitus, stroke, dan dislipidemia (Burke, 2002).
2.2. Berat Badan Lebih dan Obesitas
Kelebihan berat badan (Overweight) dan obesitas merupakan keadaan yang ditandai dengan akumulasi lemak berlebihan dalam jaringan adiposa yang dapat mengganggu kesehatan. WHO mendefinisikan kelebihan berat badan (overweight) jika Body Mass Index (BMI) atau Indeks Masa Tubuh (IMT) lebih dari 25, dan dikatakan obesitas jika BMI lebih besar atau sama dengan 30. Namun untuk wilayah Asia Pasifik dianjurkan untuk menggunakan batas IMT yang berbeda dengan IMT untuk orang kaukasia, yaitu IMT 18,5 – 22,9 sebagai IMT normal, IMT Lebih dari 23,0 sebagai Overweight dan IMT > 25,0 sebagai obesitas (Kanazawa et al., 2005). Revisi ini didasarkan pada kenyataan bahwa morbiditas dan mortalitas orang Asia cenderung terjadi pada IMT yang lebih rendah (Pangkahila, 2007).
Pengukuran BMI / indeks masa tubuh didapatkan dengan menggunakan rumus sebagai berikut :
𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵𝐵= 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 (𝑘𝑘𝑘𝑘) 𝑏𝑏𝑡𝑡𝑏𝑏𝑘𝑘𝑘𝑘𝑡𝑡 𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏𝑏 (𝑚𝑚)2
Adanya transisi nutrisi menyebabkan negara-negara berkembang mengalami peningkatan prevalensi kelebihan berat badan dan obesitas, dan diikuti dengan penyakit-penyakit yang dihubungkan dengan obesitas. Hal ini diakibatkan oleh perubahan nutrisi yang dicirikan dengan diet tinggi lemak jenuh dan karbohidrat serta pola hidup sedentari yang menyebabkan tubuh membutuhkan lebih sedikit energi untuk aktivitas sehari-hari. Perubahan nutrisi ini terjadi oleh karena adanya globalisasi kebudayaan dan kebiasaan dari negara-negara maju yang masuk ke negara berkembang (Popkin, 2006).
Selain berat badan, terdapat faktor lain yang juga tidak kalah penting.
Obesitas tubuh bagian atas (kelebihan berat badan di daerah pinggang) merupakan risiko kesehatan yang lebih besar dibandingkan obesitas tubuh bagian bawah (lemak di paha bagian atas dan pantat) (Thierney et al., 2005). Sekarang diketahui bahwa, dimana lemak berada lebih penting daripada berapa banyak lemak yang terakumulasi. Obesitas sentral atau viseral, merupakan faktor risiko yang lebih penting untuk morbiditas dan mortalitas yang berhubungan dengan obesitas, dibandingkan dengan lemak sub-kutan (Thierney et al., 2005; Molina, 2006).
Risiko obesitas lebih berhubungan dengan distribusi lemak tubuh, khususnya obesitas tubuh bagian atas, dibandingkan lemak tubuh total. Obesitas abdominal atau tubuh bagian atas direfleksikan melalui rasio pinggang-pinggul
yang tinggi, sebuah indeks yang digunakan untuk memprediksi risiko yang berhubungan dengan akumulai lemak (Molina, 2006).
Tabel 2.1
Standar risiko penyakit degeneratif berdasarkan pengukuran WHR pada jenis kelamin dan kelompok umur:
Jenis kelamin
Kelompok umur
Resiko
Low Moderate High Very high Pria
20-29 < 0,83 0,83-0,88 0,89-0,94 > 0,94 30-39 < 0,84 0,84-0,91 0,92-0,96 > 0,96 40-49 < 0,88 0,88-0,95 0,96-1,00 > 1,00 Wanita
20-29 < 0,71 0,71-0,77 0,78-0,82 > 0,82 30-39 < 0,72 0,72-0,78 0,79-0,84 > 0.84 40-49 < 0,73 0,73-0,79 0,80-0,87 > 0,87
Sumber. Sirajuddin 2012.
Pasien obesitas dengan lingkar perut yang meningkat (>102 cm pada pria dan >88cm pada wanita) atau dengan rasio pinggang-pinggul yang tinggi (>1,0 pada pria dan >0,85 pada wanita) memiliki risiko yang lebih besar akan diabetes mellitus, stroke, penyakit jantung koroner, kematian yang lebih dini dibandingkan pasien obesitas dengan rasio yang lebih rendah (Thierney et al., 2005).
Rekomendasi WHO untuk daerah Asia Pasifik ialah batas atas lingkar pinggang (waist circumference) bagi pria >90 cm dan bagi wanita >80 cm. Rekomendasi ini dibuat karena orang Asia cenderung mengalami akumulasi lemak viseral tanpa obesitas secara umum (Pangkahila, 2007). Diferensiasi yang lebih lanjut akan lokasi dari kelebihan lemak menunjukkan lemak viseral dalam rongga abdomen lebih berbahaya bagi kesehatan daripada lemak subkutan di daerah abdomen (Thierney et al., 2005).
Rasio lingkar pinggang dan pinggul atau Waist to Hip circumference Ratio (WHR) merupakan metode yang sederhana dan nyaman digunakan untuk penelitian epidemiologis dan memberikan estimasi yang berguna akan proporsi abdomen atau lemak tubuh bagian atas, namun WHR tidak dapat membedakan akumulasi dari lemak abdominal viseral dengan lemak abdominal subkutan (Wajchenberg, 2000). Lingkar pinggang diukur di indentasi terkecil lingkar perut antara tulang rusuk dan krista iliaka, subjek berdiri dan diukur pada akhir ekspirasi normal dengan menggunakan pitameter. Lingkar pinggul diukur dari penonjolan terbesar bokong, biasanya di sekitar pubic symphisis, subjek berdiri diukur menggunakan pitameter. Penanda jaringan adiposa seperti indeks massa tubuh, lingkar pinggang, dan rasio pinggang dan pinggul secara umum mudah untuk dilakukan namun tidak secara konkret membedakan abdomen yang besar akibat penumpukan jaringan adiposa subkutan atau lemak visceral. Teknik pencitraan, terutama CT Scan, yang dapat secara jelas membedakan lemak dari jaringan lainnya, dapat digunakan untuk mengukur lemak abdominal, baik yang viseral maupun yang subkutan (Wajchenberg, 2000).
Obesitas terjadi sebagai akibat dari pola hidup yang sedentari ditambah dengan konsumsi kelebihan kalori dalam jangka waktu yang lama (Thierney et al., 2005), khususnya diet tinggi lemak jenuh dan karbohidrat (Popkin, 2006).
Konsumsi yang meningkat dari makanan yang mengandung kalori tinggi, rendah nutrisi dengan kadar gula dan lemak jenuh yang tinggi, dikombinasikan dengan aktivitas fisik yang berkurang, mengakibatkan angka penderita obesitas meningkat
sampai dengan tiga kali lipat atau bahkan lebih di beberapa daerah di Amerika Utara, Inggris, Eropa Timur, Timur Tengah, Australia dan Cina (WHO, 2015).
Obesitas merupakan hasil dari interaksi berbagai gen, faktor fisiologik, faktor lingkungan dan kebiasaan (Thierney et al., 2005; Wilborn et al., 2005).
Walaupun faktor genetik berperan dalam menentukan kerentanan seseorang terhadap peningkatan berat badan, keseimbangan energi ditentukan dengan masukan kalori dan aktivitas fisik. Perubahan sosial, pertumbuhan ekonomi, modernisasi, urbanisasi dan globalisasi merupakan beberapa hal yang mendorong terjadinya epidemi ini (WHO, 2015; Byles, 2009).
Kelebihan masukan energi daripada pengeluaran energi akan mengarah menjadi akumulasi lemak. Massa lemak sendiri ditentukan oleh keseimbangan antara pemecahan (lipolisis) dan sintesis (lipogenesis). Sistem saraf simpatis adalah perangsang utama dari lipolisis, yang akan menyebabkan berkurangnya deposit lemak, terutama jika penggunaan energi individu meningkat. Jika masukan melebihi penggunaan energi, akan terjadi lipogenesis di hati dan jaringan adiposa. Lipogenesis dipengaruhi oleh diet (meningkat oleh asupan kaya karbohidrat dan lemak) dan hormon (terutama Growth Hormone (GH), insulin dan leptin). Hormon utama yang terlibat dalam penyimpanan lemak adalah insulin (akan menstimulasi lipogenesis), GH dan leptin (yang akan mengurangi lipogenesis). Hormon lain yang terlibat dalam regulasi lemak tubuh termasuk hormon seks seperti testosteron (Molina, 2006).
Kelebihan lemak tubuh dihubungkan dengan meningkatnya morbiditas dan mortalitas. Lebih banyak kelainan muncul dengan frekuensi yang lebih besar
pada penderita obesitas. Yang paling penting dan umum ditemui adalah hipertensi, diabetes mellitus tipe 2, hiperlipidemia, penyakit jantung koroner, penyakit sendi degeneratif, dan disabilitas psikososial. Sebanyak 60% individu dengan obesitas di Amerika Serikat juga terkena sindrom metabolik. Sindrom metabolik ini ditandai dengan adanya tiga atau lebih faktor berikut : meningkatnya lingkar perut, tekanan darah, trigliserida darah, glukosa darah puasa, dan rendahnya kadar kolesterol High Density Lipoprotein (HDL) (Burke, 2002).
Penurunan berat badan dan menjaga agar berat badan tidak naik kembali dapat memperbaiki atau bahkan mencegah faktor risiko untuk penyakit kardiovaskular dan penyakit ko-morbid lain yang berhubungan dengan obesitas.
Penurunan berat badan yang sedang (5-10% dari berat badan awal) dihubungkan dengan perbaikan dalam beberapa faktor risiko yang telah ditetapkan untuk penyakit kardiovaskular, seperti hipertensi, dislipidemia, dan berkurangnya insiden diabetes mellitus tipe 2 dan perbaikan dalam kontrol diabetes. Sebuah meta-analisis dari 25 randomized controlled trials yang memeriksa tekanan darah pada manusia menunjukkan bahwa penurunan berat badan sebesar 5,1 kilogram menghasilkan penurunan tekanan darah sistolik sebesar 4,44 mmHg dan penurunan tekanan darah diastolik sebesar 3,57 mmHg. Penurunan yang lebih bermakna dari tekanan darah terlihat jika rata-rata penurunan berat badan lebih besar lagi. Meski demikian pengaruh baik dari penurunan berat badan terhadap faktor risiko dari penyakit kardiovaskular tidak akan bertahan kecuali penurunan berat badan dipertahankan. Hal ini menunjukkan betapa pentingnya untuk
mengurangi berat badan atau bahkan mencegah kenaikan berat badan (Turk et al., 2009).
2.2.1 Epidemiologi Obesitas
Obesitas telah menjadi suatu masalah kesehatan global, di mana terjadi peningkatan prevalensi obesitas yang signifikan di seluruh dunia. Di negara maju seperti Amerika, penderita kegemukan diprediksi akan mencapai 85% pada tahun 2030, dimana 51,1% adalah obesitas (Nduhirabdani dkk., 2011). Tidak hanya di negara-negara maju, peningkatan prevalensi obesitas bahkan juga dialami negara- negara yang sedang berkembang.
Obesitas dapat meningkatkan risiko beragam penyakit serius baik pada orang dewasa dan anak-anak seperti jantung koroner, stroke, tekanan darah tinggi, diabetes melitus tipe 2, lemak darah abnormal, kanker, osteoarthritis, sleep apnea, batu empedu, dan masalah reproduksi. Selain menimbulkan masalah kesehatan, obesitas juga memiliki dampak ekonomi yang signifikan terhadap biaya medis dan perawatannya, baik biaya langsung maupun tidak langsung yang mencakup biaya layanan pencegahan, diagnosis, dan pengobatan yang berkaitan dengan obesitas (Nurmalina, 2011).
2.2.2 Etiologi dan Patofisilogi Obesitas
Berdasarkan data penelitian diketahui ada banyak faktor yang menyebabkan obesitas seperti faktor genetik, kurangnya keseimbangan energi, kurangnya aktivitas fisik, lingkungan, kondisi kesehatan dan hormonal, obat- obatan dan faktor emosional (Nurmalina, 2011). Berbagai penelitian menunjukkan
bahwa diet tinggi lemak dan karbohidrat akan menyebabkan peningkatan berat badan dan lemak tubuh, yang lama kelamaan dapat menimbulkan obesitas.
Beberapa faktor yang dianggap memiliki peranan dalam terjadinya obesitas adalah sebagai berikut :
1. Faktor genetik
Faktor genetik yang diketahui mempunyai peranan kuat adalah parental fatness, kegemukan lebih umum terjadi pada anak-anak jika orang tuanya gemuk (anak-anak memiliki risiko 80% untuk gemuk). Penelitian terhadap anak kembar identik yang dibesarkan pada lingkungan yang berbeda juga mengindikasikan bahwa kegemukan memiliki akar genetik. Namun pola dan hubungannya belum diketahui. Orang yang obesitas, makan lebih banyak dan berolahraga lebih sedikit, dan hal yang sama berlaku pada anak mereka. Namun, dalam penelitian kembar identik, ditemukan heritabilitas yang tinggi bagi berat dan indeks massa tubuh dan menyimpulkan bahwa berat tubuh dan kegemukan berada dibawah kontrol genetik yang kuat, dan bahwa lingkungan anak-anak sendiri memiliki sedikit pengaruh.
Penemuan terbaru mengenai gen, sebagian ikut mendukung alasan ini (Thierney et al., 2005).
2. Aktivitas fisik
Terjadinya obesitas merupakan dampak dari terjadinya kelebihan asupan energi (energy intake) dibandingkan dengan yang diperlukan (energy expenditure) oleh tubuh sehingga kelebihan asupan energi disimpan dalam bentuk lemak.
Aktivitas fisik merupakan salah satu faktor yang dapat meningkatkan kebutuhan
energi (energy expenditure), sehingga apabila aktivitas fisik rendah maka kemung-kinan terjadinya obesitas akan meningkat (Soegih, 2009).
3. Diet tinggi karbohidrat dan lemak
Makanan merupakan sumber dari asupan energi, yang bila berlebih, maka karbohidrat akan disimpan sebagai glikogen dan lemak; protein akan disimpan sebagai protein tubuh; sedangkan lemak akan disimpan sebagai lemak. Tubuh memiliki kemampuan menyimpan lemak yang tidak terbatas (Soegih, 2009).
Faktor-faktor yang berpengaruh dari asupan makanan terhadap terjadinya obesitas adalah kuantitas, porsi sekali makan, kepadatan energi, kebiasaaan makan malam hari, frekuensi makan dan jenis makanan (Barassi, 2009).
4. Regulasi fisiologis metabolisme
Regulasi fisiologis metabolisme tubuh terdiri dari controller (otak) dan controlled system / nutrient partitioning yaitu organ di luar otak yang berperan dalam menggunakan atau menyimpan energi seperti saluran cerna, liver, otot, ginjal, dan jaringan lemak (Soegih, 2009). Otak menerima sinyal dari lingkungan ataupun dari dalam tubuh sendiri dalam bentuk sinyal neural dan humoral yang selanjutnya membuat otak merespon dalam bentuk menghambat atau mengaktivasi motor system, dan memodulasi sistem saraf dan hormonal untuk mencari atau menjauhi makanan. Hasil dari sinyal yang diterima oleh otak akan memperngaruhi pemilihan jenis makanan, porsi makan, lama makan, proses pencernaan, absorpsi serta metabolisme zat gizi dalam tubuh. Hasil akhirnya
adalah pembentukan jaringan lemak, glikogen, hormon, enzim, atau dibakarnya zat gizi sebagai energi (Soegih, 2009).
5. Gangguan kesehatan dan ketidakseimbangan hormon
Gangguan hormon seperti Cushing syndrome, adrenocortical hyperactivity, dan hipogonad dapat menyebabkan penimbunan lemak tubuh.
Ketidakseimbangan hormon tubuh seperti pada wanita postmenopause atau pada pasien hipogonad juga akan memberikan gejala obesitas (Wirahadikusumah, 2000).
6. Obat-obatan
Obat yang memperlambat metabolisme atau meningkatkan nafsu makan dapat menyebabkan kelebihan berat badan seperti kortikosteroid dan antidepresan (Nurmalina, 2011).
7. Faktor emosi
Beberapa orang makan lebih dari biasanya ketika sedang bosan, marah, atau sedih (Soegih, 2009).
2.2.3 Hubungan Obesitas, Penuaan dan Harapan Hidup
Overweight dan obesitas merupakan faktor risiko untuk penyakit kronis seperti diabetes tipe 2, penyakit jantung, hipertensi dan stroke, dan beberapa jenis kanker. Konsekuensi kesehatan dengan terjadinya obesitas adalah mulai dari
peningkatan risiko kematian dini sampai dengan kondisi peyakit kronis serius yang dapat mengurangi kualitas hidup (WHO, 2015).
Overweight dan obesitas menyebabkan efek metabolik buruk pada tekanan darah, kolesterol, trigliserida, dan resistensi insulin. Masalah kesehatan yang berhubungan dengan obesitas adalah kesulitan pernafasan, muskuloskeletal kronis, serta masalah kulit dan infertilitas. Obesitas juga meningkatkan risiko kanker payudara, usus besar, prostat, endometrium, ginjal, dan empedu (WHO, 2015).
Kegemukan kronis dan obesitas memberikan kontribusi yang signifikan untuk osteoarthritis, penyebab utama dari kecacatan pada orang dewasa. Dalam analisis yang dilakukan WHO, dilaporkan bahwa sekitar 58% dari diabetes, 21%
penyakit jantung iskemik, dan 8-42% dari kanker tertentu, secara global diakibatkan oleh BMI di atas 25 kg/m2 (WHO, 2015).
2.3 Lemak Abdominal Pada Obesitas
Jaringan adiposa abdominal adalah organ yang kompleks dan terdiri dari beberapa kompartemen dan sub-kompartemen, termasuk lemak subkutan dan lemak intra-abdominal, yang dapat dibagi menjadi lemak retroperitoneal dan intraperitoneal, yang dapat dibagi lagi menjadi massa lemak mesenterik dan omental. Lemak intraperitoneal juga dikenal sebagai jaringan adiposa viseral (visceral adipose tissue) dianggap sebagai penanda risiko metabolik (Klein, 2010). Lemak abdominal terdiri dari lemak subkutan abdomen dan lemak intraabdomen, yang secara jelas nampak lewat CT Scan dan MRI. Jaringan
adiposa intraabdomen terdiri dari lemak viseral atau intraperitoneal yang terdiri dari lemak omental dan mesenterik dan massa lemak retroperitoneal yang dibatasi oleh batas dorsal dari intestin dan bagian ventral dari ginjal (Wajchenberg, 2000).
Dua kompartemen intraabdominal dapat dipisahkan pada MRI menggunakan titik anatomis, seperti kolon ascendens dan descendens, aorta dan vena cava inferior, suatu prosedur yang telah divalidasi pada kadaver manusia.
Pada kadaver, massa jaringan adiposa intraperitoneal dan retroperitoneal yang diukur setelah diseksi adalah 61-71% dan 29-33%, secara berurutan, dari massa jaringan adiposa intraabdominal (Wajchenberg, 2000).
Penelitian-penelitian epidemiologis dan fisiologis menunjukkan hubungan yang kuat antara kelebihan jaringan adiposa abdomen dengan faktor risiko metabolik untuk penyakit jantung koroner, termasuk resistensi insulin, toleransi glukosa terganggu, diabetes mellitus tipe 2, dislipidemia, dan meningkatnya protein inflamasi yang bersirkulasi dalam darah (Klein, 2010). Penelitian epidemiologis yang ada melaporkan hubungan antara obesitas yang berat dengan mortalitas akibat meningkatnya penyakit kardiovaskular dan serebrovaskular serta diabetes mellitus. Pada obesitas tingkat sedang, distribusi regional nampaknya merupakan indikator yang penting akan perubahan metabolik dan kardiovaskular, terutama sejak ditemukan korelasi yang tidak konstan antara indeks massa tubuh dan perubahan-perubahan ini. Obesitas bukanlah kondisi yang homogen, serta distribusi regional dari jaringan adiposa penting untuk diketahui untuk memahami
hubungan antara obesitas dengan gangguan metabolisme glukosa dan lipid (Wajchenberg, 2000).
Penyebab fundamental obesitas adalah ketidakseimbangan jangka panjang akan masukan dan pengeluaran energi yang akan meningkatkan massa tubuh termasuk akumulasi lemak subkutan dan viseral. Walaupun obesitas secara umum adalah faktor risiko untuk berbagai penyakit, beberapa penelitian pada manusia telah menunjukkan bahwa penumpukan lemak viseral, yakni lemak yang berlokasi pada viseral, sebagai yang paling berpengaruh pada berbagai kondisi kesehatan termasuk penyakit serebrovaskular, resistensi insulin dan diabetes mellitus tipe 2.
Lokasi regional dari lemak tubuh pada obesitas adalah perkiraan yang lebih baik akan risiko kesehatan jika dibandingkan dengan total lemak tubuh (Wajchenberg, 2000).
Walaupun hubungan sebab-akibat belum dapat ditetapkan secara pasti, bukti-bukti yang ada mengindikasikan bahwa lemak viseral merupakan salah satu faktor risiko yang penting akan berbagai tampilan sindrom metabolik: intoleransi glukosa, hipertensi, dislipidemia, resistensi insulin. Namun, adanya heterogenitas metabolik pada penderita obesitas dengan jaringan adiposa viseral yang hampir serupa, diduga kerentanan genetik juga berperan dalam memodulasi risiko yang diasosiasikan dengan kelebihan jaringan adiposa viseral. Dalam hal ini obesitas viseral sebaiknya dianggap sebagai faktor yang memperparah kerentanan genetik individual terhadap komponen sindrom metabolik (Wajchenberg, 2000).
Mekanisme yang menghubungkan lemak viseral dengan sindom metabolik belum sepenuhnya dimengerti, namun diduga berhubungan dengan lokasi
anatomis yang menghasilkan efek portal dari pelepasan asam lemak bebas dan gliserol. Bukti-bukti yang didapat dari penelitian yang baru menunjukkan jaringan adiposa merupakan organ endokrin yang aktif, yang mampu mensekresi berbagai macam sitokin, yang sering disebut dengan adiponektin, yang dapat menyebabkan inflamasi dan menggangu aksi insulin. Lebih jauh lagi, penelitian dari beberapa kelompok menunjukkan lemak viseral memiliki karakteristik pro- inflamasi yang lebih besar dibandingkan lemak subkutan (Huffman and Barzilai, 2009).
Adanya peningkatan pada jaringan adiposa viseral, asam lemak bebas secara mudah mengarah ke hati dan meningkatkan produksi glukosa, trigliserida dan lipoprotein VLDL very low density lipoprotein (VLDL), serta menurunkan kadar kolesterol HDL (Wajchenberg, 2000; Levy, 2010). Sel lemak juga mengalami perubahan metabolik yang dapat menjelaskan efek sistemiknya.
Sebagai contoh, glucose transporters secara signifikan berkurang pada adiposit omental manusia, yang dapat menerangkan resistensi insulin. Lebih jauh lagi adipokin lemak viseral dari pasien-pasien obese yang sangat berat diukur sewaktu menjalani pembedahan bariatrik, yakni pembedahan yang dilakukan pada penderita obesitas untuk mengurangi berat badan dengan jalan mengurangi ukuran lambung dengan implantasi alat kesehatan (gastric banding) atau lewat pemotongan sebagian dari lambung atau penjahitan usus halus ke bagian dari lambung (gastric bypass surgery). Konsentrasi Interleukin-6 dari Vena portal meningkat secara substansial dan berhubungan erat dengan inflamasi sistemik, yang diindikasikan dengan tingginya kadar C-Reactive Protein (CRP). Tidak
mengherankan jika infiltrasi makrofag yang merangsang molekul dan jalur inflamasi meningkat pada lemak omental jika dibandingkan dengan lemak subkutan pada individu obesitas (Levy,2010).
Distribusi lemak tubuh berbeda antara pria dan wanita, dimana hal ini merupakan salah satu tanda khas maskulinitas dan femininitas. Jika dibandingkan dengan pria, maka wanita premenopause memiliki lebih banyak lemak subkutan, dan lemak tubuhnya cenderung diakumulasi di payudara, pinggul dan paha atas (Pangkahila, 2007). Regio khas untuk penyimpanan lemak wanita ini umumnya disebut sebagai gynoid (Wajchenberg, 2000). Pada pria, lemak secara dominan berakumulasi di depot subkutan abdomen dan viseral (Pangkahila, 2007), dengan lebih sedikit akumulasi lemak pada daerah pinggul dan paha atas jika dibandingkan dengan wanita, dimana distribusi lemak ini disebut sebagai sentral atau android (Wajchenberg, 2000).
Pria secara umum memiliki area lemak viseral yang lebih besar dibandingkan wanita, dimana hal ini diduga berhubungan dengan perbedaan faktor risiko jenis kelamin pada penyakit kardiovaskular. Oleh karena distribusi lemak tubuh merupakan salah satu karakteristik seks sekunder, dapat dilihat bahwa hormon seks merupakan salah satu faktor penting dalam menentukan deposisi lemak regional. Bukti-bukti menunjukkan hormon seks wanita berhubungan dengan akumulasi lemak subkutan di regio bawah tubuh.
Penyimpanan lemak khas wanita ini penting dalam fungsi reproduksi. Obesitas abdominal pada pria ditemukan berhubungan dengan rendahnya kadar testosteron
pada pria dan terapi sulih hormon testosteron menghasilkan pengurangan lemak abdominal (Wajchenberg, 2000).
Distribusi lemak regional pada manusia secara jelas diatur oleh hormon, walaupun faktor-faktor lain ikut berperan penting. Tidak hanya hormon steroid seks saja yang berperan, namun kortikosteroid dari kelenjar adrenal juga memainkan peran yang besar. Hormon peptida seperti insulin dan GH merupakan faktor yang penting dalam distribusi jaringan adiposa (Wajchenberg, 2000).
Distribusi lemak gluteo-femoral yang tipikal untuk wanita dibedakan dengan distribusi lemak abdominal pada pria dengan pengukuran rasio pinggang dan pinggul dimana terdapat titik cutoff untuk pria dan wanita yang dapat diterima (Levy, 2010). Kelebihan lemak pada tubuh bagian atas (sentral atau abdominal) yang juga dikenal sebagai obesitas tipe pria atau android lebih sering dihubungkan dengan meningkatnya mortalitas dan risiko akan penyakit seperti diabetes, hiperlipidemia, hipertensi, dan aterosklerosis dari pembuluh darah koroner, serebral dan perifer dibandingkan dengan obesitas tipe gynoid atau distribusi lemak tipe wanita (tubuh bagian bawah atau area gluteo-femoral) (Wajchenberg, 2000).
Perbedaan antara pria dan wanita setelah pubertas tidak hanya pada distribusi lemak, melainkan juga pada metabolisme dan ukuran sel lemak. Sel lemak di bagian glutea dan femur lebih besar daripada di bagian abdomen.
Aktivitas lipase lipoprotein, yaitu enzim yang bertanggungjawab bagi akumulasi trigliserida di dalam sel lemak, ternyata lebih tinggi di bagian gluteo-femoral daripada di bagian abdomen (Pangkahila, 2007).
Individu dengan massa lemak viseral yang lebih besar, baik lewat peningkatan berat badan atau penumpukan lemak pada depot viseral, akan kehilangan lebih banyak lemak viseral jika disesuaikan dengan hilangnya lemak tubuh, terlepas dari metode intervensi yang dilakukan (restriksi kalori, terapi farmakologis, atau olahraga) karena adiposit viseral memiliki tingkat lipolitik yang lebih tinggi pada keadaan tetap (steady state) (Wajchenberg, 2000).
Berkurangnya lemak abdominal akan menjadi sangat bermakna, dikarenakan kelebihan lemak di bagian abdomen merupakan salah satu faktor risiko dari penyakit kardiovaskular. Lemak intraabdominal (viseral) memiliki kadar turnover trigliserida yang tertinggi dan kelebihan adiposit viseral adalah hal yang paling berkaitan dengan gangguan metabolik terutama resistensi insulin dan hipertrigliseridemia. Lemak subkutan pada bagian tubuh atas adalah yang berikutnya, sedangkan lemak subkutan pada bagian tubuh bawah memiliki tingkat turnover trigliserid yang paling rendah, sehingga kelebihan lemak subkutan pada bagian tubuh bawah adalah yang paling kecil membawa dampak metabolik. Pada keadaan postabsorbtive, adiposit yang teregang akan melepaskan lebih banyak jumlah asam lemak ke dalam sirkulasi. Meningkatnya kadar asam lemak bebas yang berada di sirkulasi akan meningkatkan sintesis hepar dan sekresi VLDL yang kaya akan trigliserida (Maki et al., 2009).
2.4 Manajemen Berat Badan dan Obesitas
Manajemen berat badan yang efektif bagi individu dan kelompok berisiko terkena obesitas melibatkan berbagai strategi jangka panjang. Ini termasuk
pencegahan, perawatan berat badan, pengelolaan ko-morbiditas dan penurunan berat badan.
Menurut Kopelman dan Caterson, manajemen berat badan meliputi : 1. Terapi diet
2. Aktivitas fisik 3. Terapi perilaku
4. Terapi medikamentosa
2.4.1 Terapi Diet
Diet merupakan langkah awal untuk menurunkan berat badan. Pengaturan menu diet adalah kunci keberhasilan untuk menurunkan berat badan. Menu diet yang baik terutama terdiri dari sayur-sayuran, buah-buahan, kacang-kacangan, karbohidrat kompleks, biji-bijian, kaya serat, rendah lemak dan rendah gula. Yang harus diingat dari diet tersebut adalah makan makanan yang bervariasi sehingga asupan gizi terpenuhi, dan makan dengan jadwal teratur, bukan dengan jalan melewatkan makan (skip meals) (Kopelman dan Caterson, 2005).
Diet rendah kalori adalah pilihan utama untuk penurunan berat badan pada orang yang overweight dan obesitas. Mengurangi kalori dari lemak adalah yang paling praktis karena lemak mengandung kalori paling tinggi. Mengurangi asupan lemak saja tanpa menurunkan asupan kalori tidak mencukupi, jadi sebaiknya mengurangi asupan lemak disertai pengurangan asupan karbohidrat juga (Kopelman dan Caterson, 2005).
Diet sebaiknya diatur secara individual dengan pengurangan kalori sebesar 500 – 1000 kalori dari asupan rata-rata harian sehingga terjadi penurunan berat
badan sekitar 0.5 – 1.0 kg setiap minggunya, penurunan berat badan 0.5 – 1.0 kg setiap minggu adalah penurunan berat badan yang sehat menurut WHO (WHO, 2015).
2.4.2 Latihan Fisik
Aktivitas fisik adalah gerakan tubuh yang disebabkan oleh kontraksi otot rangka yang menyebabkan peningkatan pemakaian energi (Van Baak and Saris, 2005). Latihan fisik atau olahraga adalah bagian dari aktivitas fisik, merupakan gerakan tubuh yang terencana, terstruktur, dan berulang yang dilakukan untuk memperbaiki atau memelihara satu atau lebih komponen kebugaran tubuh (Pestacello, 2000). Efisiensi latihan fisik berasal dari volume (durasi, distance dan repetisi), intensitas (beban dan kecepatan), serta densitas (frekuensi) ( Burke, 2002).
Latihan fisik/olahraga adalah bagian dari aktivitas fisik, yang dianjurkan sebagai bagian dari terapi penurunan berat badan, karena:
- Membantu penurunan berat badan.
- Dapat menurunkan lemak abdominal.
- Meningkatkan kebugaran sistem kardiorespirasi.
- Membantu mempertahankan berat badan setelah program penurunan berat badan.
- Anjurannya adalah dimulai dengan latihan fisik sedang selama 30 – 45 menit 3 hingga 5 kali seminggu.
Kebugaran tubuh adalah keadaan tubuh yang dimiliki atau dicapai individu sehingga mampu untuk melakukan aktivitas fisik. Latihan fisik/olahraga merupakan alternatif untuk meningkatkan derajat kebugaran seseorang termasuk mengurangi lemak tubuh. kegunaan utama latihan fisik adalah penurunan berat badan, perbaikan sistem fungsional paru jantung (cardiorespirasi system) yang meliputi hipertrofi otot jantung, penurunan detak jantung istirahat, peningkatan stroke volume, peningkatan volume darah dan hemoglobin serta menambah jumlah pembuluh kapiler (Sharkey, 2003).
Dalam upaya untuk memperbaiki kebugaran seseorang termasuk mengurangi lemak dan meningkatkan kebugaran atau daya tahan paru jantung, American College of Sport Medicine atau ACSM (ACSM, 2001) merekomendasikan untuk melakukan olahraga aerobik, seperti berjalan, berlari, bersepeda, berenang, joging, senam aerobik dan lain-lain. Latihan hendaknya dilakukan 3-5 kali perminggu, pada intensitas 60-90% detak jantung maksimum selama 20-60 menit. Jenis latihan dapat dikerjakan secara teratur maupun intermitten, resistance training yang dikerjakan secara teratur dapat juga mengurangi lemak tubuh (Pestacello, 2000).
2.4.3 Terapi Perilaku
Obesitas dapat disebabkan oleh faktor psikologis, seperti kecemasan, depresi, eating disorder, stress atau tekanan hidup dan efek samping obat tertentu.
Selain itu, obesitas sendiripun memiliki dampak terhadap kondisi psikologis seseorang (Kopelman dan Caterson, 2005).
Terapi perilaku merupakan terapi yang baik diterapkan dalam proses penurunan dan juga dalam fase mempertahankan berat badan (Kopelman dan Caterson, 2005) .
Dokter sebaiknya memahami motivasi penurunan berat badan pasien, menganalisa kesiapan pasien dalam melaksanakan program, dan mengambil langkah-langkah tepat untuk memotivasi pasien selama terapi (Kopelman dan Caterson, 2005).
Terapi perilaku untuk mendukung pola makan sehat dan aktivitas fisik harus digunakan secara teratur karena bermanfaat dalam mencapai penurunan berat badan (Kopelman dan Caterson, 2005).
2.4.4 Terapi Medikamentosa
Obat penurun berat badan dapat digunakan sebagai bagian dari program penurunan berat badan yang juga harus melibatkan diet dan aktivitas fisik.
Umumnya terapi medikamentosa dianjurkan pada IMT lebih dari 30 atau lebih dari 27 yang disertai penyakit penyulit obesitas (Eckel, 2008).
Salah satu terapi medikamentosa yang sempat beredar di Eropa beberapa tahun yang lalu adalah rimonabant, tetapi rimonabant ini ditolak di Amerika Serikat oleh FDA, namun kemudian pada tahun 2007 ditarik dari peredaran karena terjadi peningkatan angka kejadian depresi, cemas, dan pikiran bunuh diri pada pemakai rimonabant (Astrup, 2010). Sibutramin ditarik dari peredaran karena adanya penelitian terbaru SCOUT (Sibutramine Cardiovascular Outcome Trial), yang menunjukkan peningkatan angka kesakitan penyakit infark
miokardial dan stroke bila sibutramin diberikan pada penderita obesitas dengan penyakit hipertensi, riwayat penyakit jantung koroner dan riwayat stroke (James et al., 2010).
Orlistat juga mendapat penambahan label peringatan dari Food and Drug Administration (FDA) di Amerika Serikat tentang adanya risiko kerusakan hati yang dapat berakibat fatal walaupun kasusnya sangat jarang (FDA, 2010). Di Indonesia saat ini hanya ada dua obat penurun berat badan yang diizinkan oleh BPOM, yaitu orlistat (Xenical®) dan diethylpropion (Apisate®). Diethylpropion termasuk golongan simpatomimetik amin dengan efek samping yang agak mirip dengan sibutramine namun efeknya minimal.
2.5 Latihan Fisik
Aktivitas fisik adalah pergerakan badan yang disebabkan oleh otot skeletal yang memerlukan pemakaian energi. Kurangnya aktivitas fisik merupakan salah satu dari 10 faktor resiko utama kematian di seluruh dunia. Beberapa penyakit yang berkorelasi dengan kurangnya aktivitas fisik adalah penyakit kardiovaskular, kanker dan diabetes (WHO, 2015).
Aktivitas fisik dan latihan fisik (olahraga) adalah dua istilah yang berbeda.
Latihan fisik/olahraga merupakan bagian dari aktivitas fisik, terstruktur, terencana, bersifat pengulangan/repetisi, dan bertujuan meningkatkan kebugaran jasmani. Aktivitas fisik dapat memberikan keuntungan bagi kesehatan mahluk hidup (ASCM, 2001).
Latihan fisik memiliki banyak manfaat bagi kesehatan bagi segala kalangan baik pria maupun wanita, dewasa maupun anak-anak. Adapun beberapa fungsi tersebut adalah (ACSM, 2001):
- Menjaga berat badan yang ideal.
- Menurunkan resiko terhadap penyakit jantung koroner, diabetes dan kanker.
- Orang dewasa yang aktif secara fisik memiliki resiko yang lebih rendah untuk menderita depresi dan penurunan fungsi kognitif ketika menjadi lebih tua.
- Menjaga organ-organ tubuh berfungsi secara optimal, terutama jantung dan paru. Ketika dilakukan secara teratur, aktivitas fisik dengan intensitas sedang maupun keras dapat memperkuat otot jantung dan organ paru. Kemampuan pompa jantung menjadi lebih baik sehingga oksigenasi jaringan di seluruh tubuh menjadi lebih baik. Begitu juga dengan proses pembuangan material toksik hasil metabolisme menjadi lebih baik.
- Menurunkan tekanan darah, memperbaiki profil lipid darah, menjaga kestabilan gula darah dan insulin, menurunkan kadar CRP, dan mencegah kelebihan berat badan.
- Memperkuat struktur tubuh seperti otot dan tulang, mencegah osteoporosis dan kehilangan masa otot.
2.5.1 Jenis Latihan Fisik
Menurut ACSM (American College of Sports Medicine), olah raga yang baik harus mencakup 4 aspek, yaitu:
- Latihan kardiorespiratori
- Latihan kekuatan (resistance training) - Latihan fleksibilitas
- Latihan neuromotor
2.5.1.1 Latihan kardiorespiratori
Latihan untuk sistem kardio dan respiratori harus teratur, memiliki tujuan, bersifat ritmik dan continous. Latihan tersebut dapat berupa berjalan, berjalan cepat, berlari, bersepeda, berenang, menari, dll. Latihan fisik tipe ini baik dilakukan dengan intensitas medium 5x seminggu dengan durasi 30 menit, atau dengan total durasi ≥ 150 menit per minggu. Jika menggunakan jenis olah raga dengan intensitas tinggi, baiknya adalah dengan frekuensi 3x seminggu dengan durasi minimal 20menit atau dengan jumlah total ≥ 75 menit per minggu (ACSM, 2001).
Latihan fisik dapat berupa latihan dengan intensitas medium/ sedang, seperti berjalan, berenang, bersepeda santai, menari, berkebun, yoga, golf, dll.
Sedangkan latihan fisik dengan intensitas tinggi dapat berupa jalan cepat, berlari, bersepeda cepat, panjat tebing, senam aerobik, olah raga bela diri (tinju, karate, thai boxing), dan olah raga yang bersifat kompetitif (sepak bola, tennis, bola basket, dll) (ACSM, 2001).
2.5.1.2 Latihan Kekuatan
Latihan kekuatan / resistance training adalah latihan fisik yang menargetkan kekuatan otot dengan jalan memberikan beban. Latihan ini bertujuan meningkatkan kekuatan otot skeletal dan memberikan bentuk serta definisi yang jelas terhadap bentuk otot, mencegah osteoporosis dan kelemahan otot (ACSM, 2001).
Latihan kekuatan dapat dilakukan dengan menargetkan beberapa grup otot seperti dada, bahu, punggung, perut, paha, kaki, dan lengan. Usahakan untuk bergantian melatih grup otot tertentu untuk mencegah ketidakseimbangan antara grup otot tertentu (ACSM, 2001).
Intensitas yang baik untuk melakukan latihan beban adalah 2-3x seminggu. Berikan istirahat 48jam sebelum memulai latihan beban berikutnya.
Beban yang diberikan pada otot harus dimulai dari berat yang masih mampu ditoleransi baru meningkat secara gradual untuk mencegah cedera otot (ACSM, 2001).
Latihan selalu dibagi dalam bentuk grup otot, misal grup otot dada, perut dan pinggang, punggung, kaki dan lengan. Setiap grup otot dilatih dengan 2-4 set yang terdiri dari 8-12 repetisi dalam setiap set nya. Berikan jeda 2-3menit sebelum memulai repetisi antar set (ACSM, 2001).
Peningkatan beban dan jumlah repetisi dan set harus secara gradual ketika tubuh sudah mampu mentoleransi beban terakhir yang digunakan, hal tersebut berguna untuk mencegah terjadinya cedera (ACSM, 2001).
Pada kasus dimana kondisi fisik lemah, seperti usia yang tua, latihan beban dapat dilakukan dengan menggunakan beban yang lebih ringan dengan jumlah repetisi yang lebih banyak pada tiap set latihan (ACSM, 2001).
2.5.1.3 Latihan Neuromotor
Latihan neuromotor berfungsi untuk melatih kebugaran fungsional, seperti keseimbangan, agilitas, koordinasi dan kemampuan proprioseptif. Latihan ini baiknya dilakukan 2-3x seminggu dengan durasi 20-30menit. Latihan dapat berupa senam taichi, yoga, tari balet (ACSM, 2001).
Latihan ini sangat memberikan manfaat bagi lansia, karena dapat mencegah jatuh dan fraktur tulang (ACSM, 2001).
2.5.1.4 Latihan Fleksibilitas
Latihan fleksibilitas sangat berfungsi untuk menjaga kelenturan otot dan sendi. Seperti diketahui, semakin menua manusia, semakin otot dan sendi menjadi kaku. Selain itu latihan ini memberikan manfaat untuk kestabilan postural (ACSM, 2001).
Latihan fleksibilitas dapat dilakukan dengan melakukan peregangan. Salah satu olah raga yang dapat dilakukan adalah senam yoga (ACSM, 2001).
Frekuensi yang baik adalah 2-3x seminggu dengan durasi 20menit.
Peregangan baiknya dilakukan sampai otot terasa tegang atau sedikit tidak nyaman, bukan terasa sakit. Tiap melakukan peregangan durasi yang disarankan