• Tidak ada hasil yang ditemukan

Faktor Eksternal dalam Pembelajaran

BAB III FAKTOR-FAKTOR YANG MEMPENGARUHI HASIL

C. Faktor Eksternal dalam Pembelajaran

Selain karakteristik siswa atau faktor-faktor internal, faktor- faktor eksternal juga dapat memengaruhi proses belajar siswa. Dalam hal ini, Syah (2013:135-136) menjelaskan bahwa faktor-faktor eksternal yang mempengaruhi balajar dapat digolongkan menjadi dua golongan, yaitu faktor lingkungan sosial dan faktor lingkungan non sosial.

1. Lingkungan Sosial a. Lingkungan sosial sekolah

Lingkungan sosial sekolah, seperti guru, administrasi, dan teman- teman sekelas dapat memengaruhi proses belajar seorang siswa.

Hubungan harmonis antara ketiganya dapat menjadi motivasi bagi siswa untuk belajar lebih baik di sekolah. Perilaku yang simpatik dan dapat menjadi teladan seorang guru atau administrasi dapat menjadi pendorong bagi siswa untuk belajar.

b. Lingkungan sosial masyarakat.

Kondisi lingkungan masyarakat tempat tinggal siswa akan memengaruhi belajar siswa. Lingkungan siswa yang kumuh, banyak pengangguran dan anak terlantar juga dapat memengaruhi aktivitas belajar siswa, paling tidak siswa kesulitan ketika memerlukan teman belajar, diskusi, atau meminjam alat-alat belajar yang kebetulan belum dimilkinya.

c. Lingkungan sosial keluarga

Lingkungan ini sangat memengaruhi kegiatan belajar.

Ketegangan keluarga, sifat-sifat orangtua, demografi keluarga (letak rumah), pengelolaan keluarga, semuanya dapat memberi dampak terhadap aktivitas belajar siswa. Hubungan antara anggota keluarga, orangtua, anak, kakak, atau adik yang harmonis akan membantu siswa melakukan aktivitas belajar dengan baik.

70 Pengajaran Remedial dalam Pendidikan Jasmani

2. Lingkungan Non Sosial

Faktor-faktor yang termasuk lingkungan non sosial adalah;

a. Lingkungan alamiah

Lingkungan alamiah yaitu seperti kondisi udara yang segar, tidak panas dan tidak dingin, sinar yang tidak terlalu silau/kuat, atau tidak terlalu lemah/gelap, suasana yang sejuk dan tenang. Lingkungan alamiah tersebut merupakan faktor-faktor yang dapat memengaruhi aktivitas belajar siswa. Sebaliknya, bila kondisi lingkungan alam tidak mendukung, proses belajar siswa akan terlambat.

b. Faktor instrumental

Faktor instrumental, yaitu perangkat belajar yang dapat digolongkan dua macam. Pertama, hardware, seperti gedung sekolah, alat-alat belajar, fasilitas belajar, lapangan olahraga dan lain sebagainya. Kedua, software, seperti kurikulum sekolah, peraturan- peraturan sekolah, buku panduan, silabi dan lain sebagainya.

c. Faktor materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa)

Faktor materi pelajaran yaitu materi yang diajarkan ke siswa.

Faktor ini hendaknya disesuaikan dengan usia perkembangan siswa begitu juga dengan metode mengajar guru, disesuaikan dengan kondisi perkembangan siswa. Karena itu, agar guru dapat memberikan kontribusi yang postif terhadap aktivitas belajr siswa, maka guru harus menguasai materi pelajaran dan berbagai metode mengajar yang dapat diterapkan sesuai dengan kondisi siswa.

3. Faktor Pendekatan Belajar

Selain lingkungan sosial dan nonsosial, faktor eksternal yang mempengaruhi pembelajaran adalah pendekatan belajar dapat dibagi menjadi tiga macam tingkatan, yaitu: (a) pendekatan tinggi (spseculative and achieving); (b) pendekatan sedang (analitical and deep); (c) pendekatan rendah (reproductive and surface). Berikut ibni adalah penjelasan dari ketiga pendekatan tersebut yang dikemukakan oleh Syah (2014:126-127) berikut.

Siswa yang menggunakan pendekatan surface misalnya, mau belajar karena dorongan dari luar (ekstrinsik) antara lain takut tidak

Bab III Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Hasil Belajar 71

lulus yang mengakibatkan dia malu. Oleh karena itu gaya belajarnya santai, asal hafal dan tidak mementingkan pemahaman mendalam.

Sebaliknya siswa yang menggunakan deep biasanya mempelajari materi karena dia tertarik dan merasa membutuhkannya (intriksik). Oleh karena itu gaya belajarnya serius dan memahami materi secara mendalam serta memikirkan cara mengaplikasikannya.

Bagi siswa ini, lulus dengan nilai baik itu penting, tetapi yang lebih penting memiliki pengetahuan yang banyak dan bermanfaat bagi kehidupannya.

Sementara itu, siswa yang menggunakan pendekatan achieving pada umumnya dilandasi oleh motif ekstrinsik yang berciri khusus yang disebut “ego-enhancement” yaitu ambisi pribadi yang besar dalam meningkatkan prestasi keakuan dirinya dengan cara meraih indeks prestasi setinggitingginya. Gaya belajar siswa ini lebih serius daripada siswa-siswa yang memakai pendekatan-pendekatan lainnya. Dia memiliki keterampilan belajar (study skills) dalam arti sangat cerdik dan efisien dalam mengatur waktu, ruang kerja, dan penelaahan isi silabus. Baginya, berkompetisi dengan teman-teman dalam meraih nilai tertinggi adalah penting, sehingga ia sangat disiplin, rapi dan sistematis serta berencana maju ke depan (plans ahead).

Rangkuman

Hasil belajar adalah perubahan tingkah laku berupa kognitif, afektif, dan psikomotor setelah selesai melaksanakan proses pembelajaran dengan strategi, model, dan metode pembelajaran tertentu yang dibuktikan dengan hasil evaluasi berupa nilai.

Faktor internal dalam pembelajaran terdiri dari faktor fisiologis dan psikologis. Faktor fisiologis meliputi: tonus jasmani fungsi dan fungsi jasmani. Sedangkan faktor psikologis meliputi:, kecerdasan /intelegensia, motivasi, minat, sikap, bakat.

Faktor eksternal dalam pembelajaran dipengaruhi oleh lingkungan sosial yang meliputi sekolah, masyarakat, dan keluarga;

lingkungan non sosial yang meliputi lingkungan alamiah, instrumental, materi pelajaran (yang diajarkan ke siswa). Selain faktor lingkungan

72 Pengajaran Remedial dalam Pendidikan Jasmani

sosial dan non sosial, faktor eksternal dalam pembelajaran dipengaruhi oleh pendekatan belajar yang digunakan.

Latihan Soal

1. Jelaskan apa yang dimaksud dengan hasil belajar!

2. Bagaimana cara mengetahui hasil belajar?

3. Apa saja faktor yang mempengaruhi pembelajaran? Jelaskan!

4. Bagaimana meningkatkan motivasi belajar?

5. Mengapa minat mempengaruhi hasil belajar? Jelaskan!

6. Bagaimana upaya kolaborasi guru dan orang tua agar anak didiknya dapat mengoptimalkan bakat yang dimiliki?

7. Mengapa lingkungan sosial dapat mempengaruhi pembelajaran?

Jelaskan!

8. Bagaimana mengatasi anak yang trauma dalam pembelajaran PJOK? Jelaskan!

9. Bagaimana menumbuhkan sikap sosial yang positif dalam pembelajaran PJOK?

10. Buatlah rancangan pembelajaran PJOK dalam pendekatan achieving!

73

BAB IV

BELAJAR TUNTAS (MASTERY LEARNING)

Tujuan

Setelah membaca bagian ini, mahasiswa diharapkan dapat:

1. Menjelaskan sejarah belajar tuntas 2. Menjelaskan definisi belajar tuntas

3. Menjelaskan prosedur pembelajaran tuntas 4. Menjelaskan karakteristik pembelajaran tuntas

5. Menjelaskan implementasi guru dalam melaksanakan pembelajaran tuntas

Deskripsi Materi

Pada Bab ini akan diuraikan tentang: (1) sejarah belajar tuntas, (2) definisi belajar tuntas, (3) prosedur pembelajaran tuntas, (4) karakteristik pembelajaran tuntas, dan (5) implementasi guru dalam melaksanakan pembelajaran tuntas.

Kata Kunci

sejarah belajar tuntas, definisi belajar tuntas, prosedur pembelajaran tuntas, karakteristik pembelajaran tuntas, implementasi guru dalam melaksanakan pembelajaran tuntas

A. Pendahuluan

Proses pendidikan dalam sistem persekolahan kita, umumnya belum menerapkan pembelajaran sampai anak menguasai materi pembelajaran secara tuntas. Akibatnya, tidak aneh bila banyak siswa yang tidak menguasai materi pembelajaran meskipun sudah dinyatakan tamat dari sekolah. Tidak heran pula kalau mutu pendidikan secara nasional masih rendah. Sistem persekolahan yang tidak memberikan pembelajaran sampai tuntas ini telah menyebabkan pemborosan anggaran pendidikan.

Masalah ketuntasan dalam belajar merupakan masalah yang penting, sebab menyangkut masa depan siswa, lebih-lebih bagi mereka

74 Pengajaran Remedial dalam Pendidikan Jasmani

yang mengalami kesulitan belajar. Pendekatan pembelajaran tuntas adalah salah satu usaha Pedoman Pembelajaran Tuntas (Mastery learning) dalam pendidikan yang bertujuan untuk memotivasi siswa mencapai penguasaan (mastery level) terhadap kompetensi tertentu.

Dengan menempatkan pembelajaran tuntas sebagai salah satu prinsip utama dalam mendukung pelaksanaan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), maka berarti pembelajaran tuntas ini merupakan sesuatu yang harus dipahami dan dilaksanakan dengan sebaik-baiknya oleh seluruh warga sekolah. Pada kenyataannya pembelajaran tuntas ini belum banyak dilaksanakan di sekolah, dan masih banyak sekolah yang melaksanakan pembelajarannya secara konvensional. Untuk itu perlu adanya pedoman yang memberikan arah serta petunjuk bagi guru dan warga sekolah tentang bagaimana pembelajaran tuntas (mastery learning) seharusnya dilaksanakan.

Tampaknya orang cenderung untuk menerima sebagai satu prinsip bahwa dalam pengajaran klasikal, hasil prestasi belajar siswa akan tergrafikkan dengan distribusi normal, yaitu keberhasilan optimal hanya dicapai oleh sekitar sepertiga jumlah siswa, sekitar sepertiga berada di kisaran rata-rata, dan sekitar sepertiga lainnya berada di bawah rata-rata. Nasution (1994:91) menyebut prinsip tersebut sebagai prinsip "kurva normal". Prinsip tersebut beranggapan bahwa setiap individu anak berbeda, karena itu akan menunjukkan tingkat penguasaan yang bervariasi sehingga secara keseluruhan penguasaan mereka akan tersebar mulai dari yang paling rendah, rata-rata, dan paling tinggi. Perbedaan tersebut diakibatkan oleh adanya perbedaan individual antara satu siswa dengan siswa lainnya. Akan tetapi, Block (1971:10) mengemukakan bahwa sudah terlalu lama perbedaan individual itu dipergunakan untuk membenarkan bahwa tidak semua individu dapat belajar dan bahwa individu tertentu dapat belajar lebih baik daripada individu lainnya, dan kenyataan tersebut sering dipergunakan sebagai kambing hitam bagi proses pembelajaran yang tidak efektif. Belajar tuntas (mastery learning) (Bloom, 1968 dalam Block, 1971:3) menawarkan satu pendekatan baru yang sangat baik terhadap pembelajaran siswa yang dapat memberikan pengalaman belajar yang berhasil dan memuaskan kepada hampir semua siswa,

Bab IV Belajar Tuntas (Mastery Learning) 75

yang sekarang hanya dialami oleh sedikit siswa saja. Pendekatan tersebut menjanjikan bahwa semua atau hampir semua siswa dapat menguasai seluruh materi yang diajarkan kepadanya. Pendekatan itu juga membuat pembelajaran siswa lebih efisien daripada pendekatan- pendekatan konvensional. Siswa akan belajar materi dalam waktu yang lebih singkat. Pada akhirnya, belajar tuntas akan menghasilkan minat yang lebih besar serta sikap yang lebih baik dari siswa terhadap mata pelajaran yang dipelajarinya daripada metode-metode pengajaran yang biasa. Selama tiga tahun sejak publikasi gagasan-gagasan Bloom itu, penelitian yang ekstensif tentang belajar tuntas telah dilaksanakan, baik di Amerika Serikat maupun di berbagai negara lain. Strategi ini telah berhasil diimplementasikan secara mudah dan murah di semua jenjang pendidikan dan dalam berbagai mata pelajaran berkisar dari aritmatika ke filsafat sampai pada fisika.

Pendekatan-pendekatan belajar tuntas telah dipergunakan untuk sampel hingga 32.000 siswa dan telah terbukti dapat berjalan baik di kelas dengan seorang guru yang mengajar 20 orang siswa ataupun 2 di kelas-kelas dengan seorang guru yang mengajar 70 orang siswa. Hasil dari sekitar 40 penelitian utama menunjukkan bahwa secara umum 75%

siswa yang belajar menggunakan pendekatan belajar tuntas telah mencapai standar prestasi yang sama tingginya seperti 25% prestasi tertinggi yang belajar dengan menggunakan pendekatan pembelajaran berkelompok konvensional. Dalam penelitian di mana strateginya telah diperhalus dan direplikasi, 90% siswa belajar tuntas telah mencapai prestasi yang sama baiknya dengan 20% siswa berprestasi tertinggi yang menggunakan pendekatan non belajar tuntas. (Block, 1971:8).

Siswa belajar tuntas juga menunjukkan minat yang lebih besar dan sikap yang lebih baik terhadap mata pelajaran yang dipelajarinya dibanding dengan siswa non belajar tuntas. (Block, 1971:9).

Hasil kognitif dan afektif yang dramatis tersebut menunjukkan bahwa belajar tuntas patut memperoleh perhatian besar dalam perencanaan dan praktik pendidikan di sekolah.

76 Pengajaran Remedial dalam Pendidikan Jasmani

B. Sejarah Belajar Tuntas

Meskipun strategi yang efektif untuk belajar tuntas baru dikembangkan pada tahun 1960-an, tetapi gagasan belajar untuk ketuntasan materi secara optimal sudah dikenal lama. Pada tahun 1920- an terdapat sekurang-kurangnya dua upaya utama untuk menghasilkan ketuntasan dalam kegiatan belajar siswa. Satu di antaranya adalah the Winnetka Plan dari Carleton Washburne dan sejawatnya (1922), dan yang lainnya adalah satu pendekatan yang dikembangkan oleh profesor Henry C. Morrison (1926) di sekolah laboraturium pada the University of Chicago. Kedua pendekatan tersebut memiliki banyak kesamaan.

Pertama, ketuntasan didefinisikan berdasarkan tujuan khusus pendidikan yang diharapkan dicapai oleh masing-masing siswa. Bagi Washburne tujuan itu adalah kognitif, sedangkan bagi Morrison tujuan itu adalah kognitif, afektif maupun psikomotor.

Kedua, pembelajaran diorganisasikan ke dalam unit-unit kegiatan belajar yang dirumuskan dengan baik. Setiap unit terdiri dari sekumpulan materi kegiatan belajar yang disusun secara sistematis untuk mencapai tujuan unit yang ditetapkan.

Ketiga, penguasaan yang lengkap terhadap setiap unit merupakan persyaratan bagi siswa sebelum dapat maju ke unit berikutnya. Aspek ini sangat penting dalam karena unit-unitnya cenderung dibuat berurutan sehingga kegiatan belajar pada masing- masing unit didasarkan atas unit sebelumnya.

Keempat, tes diagnostik kemajuan belajar, yang tidak diberi nilai, dilakukan pada akhir setiap unit untuk mendapatkan umpan balik mengenai apakah prestasi kegiatan belajarnya sudah memadai. Tes tersebut dapat menunjukkan apakah unit itu sudah terkuasai atau apakah masih perlu dipelajari lagi untuk mencapai penguasaan.

Kelima, atas dasar diagnostik tersebut, kegiatan belajar setiap siswa dilengkapi dengan kegiatan belajar korektif (learning correctives) yang tepat sehingga dia dapat menyelesaikan kegiatan belajarnya. Dalam Winnetka Plan, pada dasarnya siswa diberi bahan latihan untuk kegiatan belajar mandiri, meskipun kadang-kadang guru memberikan tutorial kepada individu atau kelompok kecil. Dalam pendekatan Morrison, berbagai macam teknik korektif dipergunakan

Bab IV Belajar Tuntas (Mastery Learning) 77

misalnya, pengajaran ulang (reteaching), tutorial, restrukturisasi kegiatan belajar, dan mengubah kebiasaan belajar siswa.

Keenam, faktor waktu dipergunakan sebagai satu variabel dalam meng-individualisasikan pembelajaran dan dengan demikian dapat menghasilkan ketuntasan belajar siswa.

Dalam Winnetka Plan, kecepatan kegiatan belajar siswa ditentukan oleh siswa sendiri masing-masing siswa diberi waktu sesuai dengan kebutuhannya untuk menuntaskan satu unit. Dalam metode Morrison, masing-masing siswa diberi waktu belajar sesuai dengan tuntutan guru hingga semua atau hampir semua siswa menuntaskan unit itu. (Block, 1971:4). Metode Morrison populer hingga tahun 1930-an, tetapi akhirnya gagasan belajar tuntas itu tenggelam terutama karena tidak tersedianya teknologi yang dibutuhkan untuk mempertahankan keberhasilan strategi tersebut. Gagasan tersebut baru muncul kembali pada akhir tahun 1950-an dan awal tahun 1960-an sebagai akibat dari diperkenalkannya pembelajaran terprogram (programed instruction).

Ide pokok yang mendasari pembelajaran terprogram itu adalah bahwa untuk mempelajari setiap perilaku, betapa pun kompleksnya, tergantung pada kegiatan belajar satu urutan komponen perilaku yang tidak begitu kompleks (Skinner, 1954 dalam Block, 1971:5). Oleh karena itu, secara teoritis, dengan memecah-mecah satu perilaku yang kompleks menjadi satu rantai komponen perilaku, dan dengan siswa dapat menguasai setiap sambungan pada rantai tersebut, akan memungkinkan bagi setiap siswa untuk menguasai keterampilan yang paling kompleks sekali pun.

Pembelajaran terprogram baik untuk siswa yang lambat belajar terutama mereka yang memerlukan langkah-langkah belajar yang kecil- kecil, latihan, dan banyak penguatan (reinforcement), tetapi tidak efektif untuk semua atau hampir semua siswa (Block, 1971:5). Jadi, model pembelajaran terprogram merupakan alat yang berharga untuk membantu beberapa siswa untuk mencapai penguasaan, tetapi bukan merupakan model belajar tuntas yang baik. Namun satu model yang baik ditemukan oleh John B. Carroll (1963) (Block, 1971:5), yang dinamainya "Model of School Learning". Pada hakikatnya ini merupakan sebuah paradigma konseptual yang menggariskan faktor-

78 Pengajaran Remedial dalam Pendidikan Jasmani

faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan siswa dalam belajar di sekolah, dan menunjukkan bagaimana faktor-faktor tersebut berinteraksi. Model tersebut sebagian didasarkan pada pengalaman Carroll dalam mengajar bahasa asing. Di sini dia menemukan bahwa aptitude (bakat/potensi) seorang siswa dalam bahasa tidak hanya memprediksi tingkat ketuntasan belajarnya dalam waktu yang ditentukan, tetapi juga memprediksi jumlah waktu yang dibutuhkannya untuk belajar hingga mencapai tingkat ketuntasan tertentu. Oleh karena itu, Carroll tidak memandang aptitude sebagai penentu tingkat ketuntasan belajar siswa, melainkan dia mendefinisikan aptitude sebagai pengukur jumlah waktu yang diperlukan untuk mempelajari satu tugas hingga mencapai tingkat standar tertentu dalam kondisi pembelajaran yang ideal. Secara sederhana, dia mengemukakan bahwa jika masing-masing siswa diberi waktu sesuai dengan kebutuhannya untuk belajar hingga tingkat ketuntasan tertentu dan dia menggunakan seluruh waktu yang dibutuhkannya itu, maka dia dapat diharapkan mencapai tingkat ketuntasan tersebut. Akan tetapi, jika siswa tidak diberi cukup waktu, maka tingkat ketuntasan belajarnya adalah fungsi rasio antara waktu yang benar-benar dipergunakannya untuk belajar dengan waktu yang dibutuhkannya.

Model Carroll tersebut memandang belajar di sekolah sebagai terdiri dari rentetan tugas belajar yang jelas. Dalam setiap tugas, siswa maju dari ketidaktahuan mengenai fakta atau konsep tertentu ke pengetahuan atau pemahaman mengenai fakta atau konsep tersebut, atau dari ketidakmampuan melakukan suatu perbuatan ke kemampuan melakukannya. (Carroll, 1963 dalam Block, 1971:5). Menurut model ini, dalam kondisi belajar tertentu, waktu yang dipergunakan dan waktu yang dibutuhkan tergantung pada karakteristik tertentu dari individu serta karakteristik pengajarannya. Waktu yang dipergunakannya ditentukan oleh jumlah waktu yang ingin dipergunakan oleh siswa untuk terlibat aktif dalam kegiatan belajar (kesungguhannya) dan jumlah keseluruhan waktu yang tersedia baginya. Waktu belajar yang dibutuhkan oleh masing-masing siswa ditentukan oleh aptitude-nya untuk tugas yang bersangkutan, kualitas pengajarannya, dan kemampuannya untuk memahami pengajaran tersebut. Kualitas

Bab IV Belajar Tuntas (Mastery Learning) 79

pengajaran didefinisikan berdasarkan tingkat pendekatan terhadap kapasitas optimum bagi setiap pelajar melalui penyajian, penjelasan, dan pengurutan elemen-elemen tugas belajar. Kemampuan untuk memahami pengajaran menggambarkan kemampuan siswa untuk memperoleh manfaat dari pengajaran itu, dan erat kaitannya dengan kecerdasannya secara umum. Model ini memandang bahwa kualitas pengajaran dan kemampuan siswa untuk memahami pengajaran itu berinteraksi untuk mempengaruhi jumlah waktu yang dibutuhkannya untuk menguasai tugas secara tuntas sesuai dengan aptitude-nya. Jika kualitas pengajarannya dan kemampuannya untuk memahami itu tinggi, maka dia hanya akan membutuhkan sedikit waktu tambahan atau tidak sama sekali. Sebaliknya, jika kedua faktor tersebut rendah, maka dia akan membutuhkan banyak waktu tambahan.

Model konseptual dari Carroll di atas ditransformasikan oleh Bloom ke dalam model kerja efektif untuk mastery learning (Block, 1971:6).

C. Definisi Belajar Tuntas

Belajar tuntas adalah sebuah filsafat tentang kegiatan belajar siswa dan seperangkat teknik implementasi pembelajaran (Burns, 1987:2). Sebagai filsafat, belajar tuntas memandang masing-masing siswa sebagai individu yang unik, yang berbeda antara satu dengan lainnya, yang mempunyai hak yang sama untuk mencapai keberhasilan belajar optimal. Block (1980 dalam Nasution, 1994:92) memandang bahwa individu itu pada dasarnya memang berbeda, namun setiap individu dapat mencapai taraf penguasaan penuh asalkan diberi waktu yang cukup untuk belajar sesuai dengan tingkat kecepatan belajar individualnya. Jadi, yang membedakan satu individu dengan individu lainnya dalam belajar adalah waktu. Artinya, ada individu yang dapat menguasai sesuatu dengan penuh dalam waktu singkat dan ada yang memerlukan waktu lebih lama, namun pada akhirnya individu akan mencapai penguasaan penuh. Prinsip bahwa anak harus diberi kesempatan untuk belajar sesuai dengan kecepatannya sendiri merupakan prinsip menghargai kodrat individu. Atas dasar konsep bahwa guru dapat membantu siswa belajar dengan lebih baik untuk

80 Pengajaran Remedial dalam Pendidikan Jasmani

mencapai keberhasilan optimal tersebut, belajar tuntas sebagai teknik implementasi pembelajaran dilaksanakan dengan terlebih dahulu mengidentifikasi segmen-segmen belajar spesifik dan kemudian mengarahkan penguasaannya oleh setiap siswa. Belajar tuntas memberikan struktur untuk pengajaran yang mencakup pembelajaran kelas diikuti oleh kerja kelompok kecil.

Menurut Hierarchy of Needsdari Maslow (1962 dalam Baum, 1990:4), individu harus merasa sebagai bagian dari kelompok dan dihargai agar dapat mencapai potensinya atau mengaktualisasikan dirinya. Guru seyogyanya menciptakan lingkungan yang mengasuh (nurturing environment), yaitu lingkungan yang memberi perhatian untuk mengembangkan potensi siswa dengan menghargai perbedaan- perbedaan individual. Hal tersebut menyiratkan bahwa siswa dapat belajar dengan baik apabila ditempatkan dalam kelompok yang kooperatif di mana satu siswa dengan siswa lainnya dapat saling mendukung dan mengandalkan. Cimino (1980:2) memandang belajar tuntas sebagai suatu group-based approach (pendekatan kelompok) untuk mengindividualisasikan pembelajaran di mana siswa sering dapat belajar secara kooperatif dengan teman-teman sekelasnya. Belajar tuntas merupakan satu cara untuk meng-individualisasikan pembelajaran di dalam setting pembelajaran berkelompok tradisional.

D. Prosedur Pembelajaran Tuntas

Model pembelajaran dengan pendekatan belajar tuntas menurut Cimino (1980:8) meliputi lima langkah:

(1) Mengajarkan unit pelajaran secara klasikal kemudian membagi siswa ke dalam kelompok-kelompok belajar;

(2) Memberikan tes untuk mengecek pencapaian belajar siswa pada akhir setiap unit belajar;

(3) Melakukan asesmen untuk melihat penguasaan siswa terhadap keseluruhan mata pelajaran;

(4) Memberikan kegiatan pengayaan atau kegiatan korektif sesuai dengan kebutuhan siswa;

(5) Memberikan tes kedua untuk mengukur ketuntasan.

Bab IV Belajar Tuntas (Mastery Learning) 81

Fuchs (1995:3) mendeskripsikan pelaksanaan belajar tuntas sebagai berikut:

(1) Kurikulum dipecah-pecah menjadi satu rangkaian sub- keterampilan, dan mengurutkannya berdasarkan hierarki tujuan pembelajaran.

(2) Untuk setiap tahap dalam hierarki pembelajaran tersebut, guru merancang tes acuan patokan (criterion-referenced test), dan menentukan kriteria kinerja yang mengindikasikan ketuntasan bagi setiap sub-keterampilan.

(3) Mendahului kegiatan pembelajaran dengan melaksanakan pretest.

(4) Guru memulai kegiatan pembelajaran dari tahap yang paling rendah dalam hierarki tersebut di atas untuk mencapai tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan untuk setiap tahap hierarki.

(5) Memberikan posttest mengenai materi pembelajaran.

(6) Jika pada hasil posttest tersebut siswa tidak menunjukkan ketuntasan, maka guru menggunakan strategi-strategi korektif hingga ketuntasan dicapai.

(7) Kemudian guru mengantar siswa ke tahap berikutnya dalam hierarki tersebut, yang merupakan tahap yang lebih sulit.

Berdasarkan Model of School Learning dari Carroll sebagaimana dikemukakan pada bagian terdahulu, Bloom merancang strategi belajar tuntas untuk dipergunakan dalam kelas di mana waktu yang disediakan untuk belajar relatif terikat. Mastery (ketuntasan belajar) didefinisikan berdasarkan seperangkat tujuan khusus utama isi (content) dan perilaku kognitif) yang diharapkan diperlihatkan oleh para siswa pada saat tamatnya satu mata pelajaran (Block, 1971:7).

Selanjutnya model belajar tuntas Bloom tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut.

(1) Mata pelajaran dipecah-pecah ke dalam sejumlah unit belajar yang lebih kecil (misalnya pengajaran dua mingguan), dan tujuan setiap unit ditentukan, yang ketuntasannya sangat penting untuk menuntaskan tujuan utama.

(2) Guru mengajarkan setiap unit menggunakan metode belajar kelompok tetapi dilengkapi dengan prosedur umpan balik/koreksi (feedback/correction procedures) sederhana untuk meyakinkan