• Tidak ada hasil yang ditemukan

HASIL PEMBAHASAN

ANP FRAMEWORK

4. HASIL PEMBAHASAN

Migrasi pekerja adalah salah satu proses migrasi internasional. Pada awalnya, migrasi pekerja terjadi untuk memenuhi kekurangan pekerja jangka pendek, seperti di Amerika Serikat sekitar tahun 1950 yang dilakukan oleh pekerja asal Meksiko. Melambatnya pertumbuhan warga dipadukan dengan kondisi ekonomi yang cukup baik di Eropa utara dan Eropa Barat pada 1960 hingga pertengahan 1970 juga menyebabkan pekerja migran berdatangan ke area tersebut.

Agenda global memandang migrasi pekerja sebagai proses yang tidak dapat dipisahkan dari pembangunan, yang menjadikan migrasi itu sebagai potensi positif untuk mendukung pembangunan. Migrasi pada awalnya, dianggap sebagai kegagalan suatu negara sebagai penyedia pekerjaan untuk menyediakan pekerjaan yang dibutuhkan warganya, dan sekarang itu menjadi salah satu upaya negara untuk mengurangi kemiskinan dan pengangguran dinegara meraka.

Pekerja migran tidak berdokumen adalah pihak yang lemah. Mereka sering menghadapi perlakuan buruk dan pelanggaran karena status mereka sebagai migran tidak berdokumen. Mereka mendapat gaji lebih rendah dari pekerja migran yang terdokumentasi, mereka bahkan tidak mendapat bayaran, dan mereka juga menghadapi perlakuan buruk lainnya seperti pelanggaran, pelecehan seksual, dan sebagainya. Mereka tidak dapat menuntutnya karena status mereka membuat mereka takut melaporkannya. Selain itu mereka juga mendapatkan pelanggaran dan dilarang oleh majikan mereka untuk melaporkan pelanggaran yang dilakukan oleh majikan mereka.

Masalah yang dihadapi oleh pekerja migran tidak berdokumen telah diakui oleh komunitas internasional dan telah mendorong tanggapan dari Perserikatan Bangsa-Bangsa dan Organisasi Buruh Internasional (ILO). Baik Perserikatan Bangsa-Bangsa dan ILO telah mengeluarkan deklarasi dan mengumumkan perjanjian hak asasi manusia yang mencakup semua individu, termasuk pekerja migran tidak berdokumen. Konvensi Internasional PBB tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR) dan Konvensi Internasional tentang Hak Sosial, Budaya dan Ekonomi (ICESCR) menjamin hak asasi manusia bagi semua orang, tanpa ada perbedaan apa pun. Perserikatan Bangsa-Bangsa secara khusus membahas hak- hak migran dalam Deklarasi tentang hak asasi manusia dari individu-individu yang bukan warga negara dari negara tempat mereka tinggal. Demikian juga, Deklarasi ILO tentang Prinsip-prinsip Mendasar dan Hak-hak di Tempat Kerja, mengikat semua Negara Anggota ILO, menjamin hak kebebasan berserikat, perundingan bersama, dan penghapusan diskriminasi, tanpa kecuali. Baik ICESCR dan ICCPR telah diratifikasi oleh negara-negara maju yang menampung sejumlah besar imigran gelap, termasuk Amerika Serikat dan sebagian besar Eropa dan Asia.

Berdasarkan penjelasan di atas, pekerja migran tidak berdokumen rentan untuk mendapatkan pelanggaran dan perlakuan kasar, dan mereka tidak memiliki

ISBN Number: 978-623-90930-6-8

153

kekuatan untuk melawan dan melindungi diri mereka sendiri karena posisi mereka yang lemah sebagai pekerja, mereka juga tidak dapat melaporkannya kepada pejabat negara karena status mereka sebagai migrasi tidak berdokumen.

Hak Asasi Manusia adalah hak yang diatribusikan kepada setiap manusia sejak mereka dilahirkan dan berlaku hingga akhir hayatnya dan tidak dapat diperebutkan oleh orang lain. Sebagai manusia kita harus menjunjung tinggi hak asasi manusia tanpa membedakan status, kelompok, keturunan, posisi, dan lainnya.

Hak asasi manusia didasarkan pada prinsip dasar bahwa setiap manusia memiliki martabat timbal balik tanpa memandang jenis kelamin, ras, warna kulit, bahasa, usia, pandangan politik, dan agama. Mereka memiliki hak untuk menikmati hak- hak mereka. Definisi sederhana ini akan sangat kompleks ketika dihadapkan dengan kenyataan.

Hak untuk bekerja dan hak-hak dalam kondisi kerja adalah hal yang sangat penting tidak hanya dalam perspektif hak ekonomi, sosial, dan budaya tetapi juga lebih luas berdasarkan perspektif hak asasi manusia. Secara tradisional, bahkan dalam interpretasi yang sempit, pekerjaan dianggap sebagai satu-satunya alat untuk mendapatkan kebutuhan dasar kehidupan, atau dengan kata lain sebagai alat untuk mempertahankan kelangsungan hidup. Namun demikian, sejak abad ke-20 muncul perspektif pekerjaan lain, yaitu interpretasi yang menekan ketergantungan antara kondisi kerja, keadilan sosial, dan rekonsiliasi dunia. Lebih jauh, persepsi modern telah mempertinggi konsep kerja dengan benar, itu adalah sebagai nilai kemanusiaan, kebutuhan sosial, alat untuk membuktikan kesuksesan, dan pengembangan pribadi manusia.

5. SIMPULAN

Ada dua faktor utama yang menyebabkan orang menjadi pekerja migran tidak berdokumen. Yang pertama adalah faktor internal, ini adalah faktor yang terjadi karena keinginan diri orang yang ingin menjadi pekerja migran tidak berdokumen seperti masalah ekonomi, hambatan hukum, persyaratan sulit untuk menjadi pekerja migran dan sebagainya yang membuat orang sengaja melintasi perbatasan negara. untuk datang ke negara penerima dan bekerja di sana tanpa dokumen, atau mengikuti agen pekerja migran yang tidak sah dengan sengaja untuk bekerja di luar negeri, atau pergi ke luar negeri dengan visa lain dan kemudian bekerja di sana tanpa dokumen kerja resmi.

Yang kedua adalah faktor eksternal, faktor-faktor ini berbeda dengan faktor internal, karena faktor-faktor ini berasal dari pihak lain bukan orang yang menjadi pekerja migran tidak berdokumen seperti kita, mereka menjadi korban perdagangan manusia atau agen pekerja migran tanpa izin tanpa mengetahui fakta bahwa mereka dijual kepada majikan mereka, mereka melarikan diri dari majikan mereka tanpa dokumen hukum mereka, mereka terus bekerja setelah visa mereka berakhir dan tidak memperluasnya, dan berbagai masalah yang menyebabkan mereka melarikan diri dari majikan mereka tanpa membawa dokumen mereka.

Meskipun pekerja migran tidak berdokumen menyebabkan kerugian bagi negara penerima dan tidak ada peraturan dari hukum HAM internasional yang secara khusus melindungi hak dan perlindungan mereka, namun hukum HAM internasional secara konsisten memberikan perlindungan terhadap pekerja migran

ISBN Number: 978-623-90930-6-8

154

tidak berdokumen yang serupa dengan pekerja migran yang terdokumentasi. Ini terlihat dari adanya prinsip non-diskriminasi dalam hukum hak asasi manusia internasional yang tidak mendiskriminasi siapa pun dalam hal pekerjaan dan hal- hal lain termasuk pekerja migran tidak berdokumen. Adanya prinsip ini membuat pekerja migran tidak berdokumen memiliki hak yang sama dengan pekerja migran terdokumentasi seperti gaji yang sama, fasilitas kesehatan yang sama, fasilitas kerja yang sama, perlakuan yang sama, dan lainnya yang terkait dengan pekerjaan mereka.

ISBN Number: 978-623-90930-6-8

155

DAFTAR PUSTAKA

Budiman Iskandar (2004), Dilema Buruh Di Rantau: Membongkar Sistem Kerja TKI di Malaysia :Ar-Ruzz.

Darwan Prints (2000), Hukum Ketenagakerjaan Indonesia: PT. Citra Aditya Bakti.

Eddi Soppandi (2003), “Selayang Pandang Profil Tenaga Kerja Indonesia di Hongkong,” in Sosiohumaniora, Vol.V, No.1.

Erna Chotim, Lisa Noor Humaidah, and Tati Krisnawaty (2005), Migrasi Tanpa Dokumen ”Strategi Perempuan Mempertahankan Kehidupan, Studi kasus lima Buruh Migran Perempuan Indonesia yang bekerja di Malaysia”:

KOMNAS Perempuan.

John Weeks (1974), Population: An Introduction to Concepts and Issues:

Wadsworth Publishing Company.

Lala M. Kolopaking(1999), “Ketidaksamaan Pemberdayaan Perempuan Melalui Penghijrahan,” makalah dipresentasikan pada Forum Peduli Perempuan di Jakarta, 25 Maret 1999

Moh, Yasir Alimi, and Friends (1999), Advokasi Hak-hak Perempuan Membela Hak Mewujudkan Perubahan, Jakarta: LKIS.

Munir Fuady (2009), Teori Negara Hukum Modern (Rehctstaat): Refika Aditama.

Muslan, Abdurahman (2006), Ketidak patuhan TKI Sebuah Efek Diskriminasi Hukum, Malang: UMM Press.

Muslan, Abdurrahman (2009), Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, Malang:

UMM Press.

Sharon Stanton Russel dan Michael G. Titelbaum,”International Migration and International Trade,” on World Bank Discussion Papers, No 160 (Washington DC : The World Bank, 1992)

The United Nations Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of Their Families

ISBN Number: 978-623-90930-6-8

156

ISBN Number: 978-623-90930-6-8

157

PREVENTION OF CORRUPTION IN THE PERSPECTIVE OF ISLAMIC CRIMINAL LAW

Siti Farhani1

1Lecturer of University of Al Azhar Indonesia Email: [email protected]

Abstract

Corruption is an extraordinary crime that is very influential on the stability of the country's economy, because corruption acts against the joints of the country's economy that can destroy the Indonesian nation slowly and surely. Because corruption is a criminal act that is systemic and detrimental to sustainable development, it requires preventive measures at the national and international levels. In order to carry out the prevention and eradication of corruption that is efficient and effective it is necessary to support good governance management and international cooperation including the return of assets originating from criminal acts of corruption. Because it is said that corruption is an extra ordinary crime, therefore extraordinary legal efforts are needed to eradicate corruption.

One of them is by conducting studies on efforts to tackle corruption from various disciplines, one of which is in the perspective of Islamic criminal law. This research will try to assess the needs and quality of efforts to eradicate corruption in Indonesia from the perspective of Islamic criminal law. The results of this research are expected to provide input to resolve problems regarding efforts to tackle corruption in another perspective, namely from the perspective of Islamic criminal law.

Keywords: Corruption, Criminal Law, Islamic Law Perspective, Corruption Eradication.

1. INTRODUCTION

Corruption is an extraordinary crime, because corruption is a very serious problem, corruption can endanger the stability, security of the country and its people, endanger the social and economic development of society, politics, and can even damage the values of the value of democracy and the morality of the nation because it can have an impact on the culture of corruption.1

Corruption, as an international legal term, may include various crimes that have special links with each other, which are all called (corruption crimes). In this

1 Ermansjah Djaja, Memberantas Korupsi Bersama KPK: Kajian Yuridis Normatif UU Nomor 31 Tahun 1999 juncto UU Nomor 20 Tahun 2001 versi UU Nomor 30 Tahun 2002, Cet. 1, Jakarta: Sinar Grafika, 2008. Page. 2.

ISBN Number: 978-623-90930-6-8

158

context, there is not specific crime that can be called corruption crime, but this term includes various ones. Accordingly, the UN convention in counter- corruption has put rules and investigative, judicial procedures for corruption fighting and to inflect punishment thereof.2

Islam views corruption as a crime against human property (akl amwal al-nas bi al-bathil) and is essentially similar to ghulul, namely betrayal of the mandate in the management of spoils of war (ghanimah). Ghulul is clearly forbidden in the Qur'an with the threat that the culprit will bring the corrupted goods as accountability in the afterlife.3

The word of Allah in the Quran surah Al-Baqarah verse 188:4

“"And let not one of you eat the treasure of another part of you by way of the way and (do not) you bring (the affairs) of that treasure to the judge, so that you can eat a portion of the property of others by (way of committing) sin, even though you know. "

According to M. Cholil Nafis, there are at least three crimes in corruption, namely: First, crimes that have an impact on the loss of state money so that acute acts of corruption will cause loss of people's lives, widen social-economic inequality, and eliminate justice. Second, corruption can eliminate the citizens' right to life and regulation of state finances. A corrupt country will lead to poverty and ignorance. Third, corruption crimes undermine the honor and safety of future generations. The finding that Indonesia is the most corrupt country causes our self-esteem as a nation to be tarnished. Based on this, corruption is contrary to the objectives of Sharia (maqashid alsyari'ah), namely protecting the soul (hifd al- nafs), protecting property (hifd al-mal), and protecting offspring (al-aql) and blasphemy against religion (hifd al-din).5

Because it is said that corruption is an extra ordinary crime, therefore extraordinary legal efforts are needed to eradicate corruption. Various efforts have been made by the Government to tackle corruption, but the plague of corruption is still mushrooming and increasingly widespread, as if the efforts made by the Government have no effect to minimize corruption.

Based on the background above, the author is interested in studying the Corruption Crime Countermeasure in the Perspective of Islamic Criminal Law.

For this reason, research is expected to generate new thinking, the need for overcoming the crime of corruption through another perspective, namely through the perspective of Islamic criminal law. The results of this study are expected to

2 Ghaleb Hawamdeh, Countering The Crimes of Administrative Corruption in The International Law, International Journal of Asian Social Science, Vol. 8, No. 9, 751-769, 2018.

Page 1.

3 Agus Kasiyanto, Teori dan Praktik Sistem Peradilan Tipikor Terpadu di Indonesia, Jakarta: Kencana, 2018. Page. 31.

4 Departement Agama Republik Indonesia, Al Quran Terjemahan, Bandung: CV Darus Sunah, 2017. Surah Al-Baqarah verse 188

5 Op.Cit. Agus Kasiyanto. Page. 32.

ISBN Number: 978-623-90930-6-8

159

help provide solutions to the handling of corruption, as well as provide recommendations in the form of formulas in dealing with corruption.

2. LITERATURE REVIEW