• Tidak ada hasil yang ditemukan

Hermeneutika Gadamerian

Dalam dokumen KIAT SUKSES SEORANG ENTREPRENEUR - SIMAKIP (Halaman 106-117)

BAB II KAJIAN TEORITIK

2.7. Hermeneutika Gadamerian

pandangan nilai-nilai manusia. Etika adalah bidang ilmu umum yang mengeksplorasi sifat dasar umum dari moral dan pilihan moral spesifik yang diambil oleh individu ketika berinteraksi dengan orang lain.

Membaca Truth and Method (edisi 1975), misalnya bukan usaha yang gampang.

Ini seolah mencerminkan pemikirannya tentang perpaduan cakrawala (fusion of borizone) antara pemikiran Kant, Dilthey dan Aquinas, serta tentu saja gagasan Gadamer sendiri.

Pernyataan dan permasalahan seringkali menjadi sub judul dari tiga bagian besar buku Truth and method. Ini menunjukkan bahwa dalam menguraikan pikirannya, Gadamer tidak mengandalkan proposisi-proposisi yang serba pasti, melainkan justru dengan mengajukan pertanyaan. Gadamer berpikir melalui bertanya. Demikian pula, walaupun Gadamer member judul bukunya Truth and method, buku itu ternyata tidak bermaksud menjadikan hermeneutic sebagai metode dan berada jauh dari klaim kebenaran. Gadamer tidak berupaya mencapai kebenaran melalui metode, melainkan melalui dialektika, sebab dlam proses dialektik kesempatan untuk mengajukan pertanyaan secara bebas lebih banyak kemungkinannya daripada dalam proses metodik.

Seperti judul yang diberikan terhadap bukunya, persoalan hermeneutik pertama yang dikritik oleh Gadamer (1975) adalah tentang hubungan antara metode dan kebenaran. Dia menolak pendapat sangat umum, sejak masa Descartes, bahwa metode merupakan jalan emas menuju kebenaran. Telah diterima begitu saja bahwa prosedur-prosedur metodik bias menghilangkan gangguan dari unsure-unsur lain, termasuk subjektivitas seorang pengkaji. Alih- alih menerima begitu saja pendapat tersebut, Gadamer (1975) memperkenalkan pandangan hermeneutic filosofisnya.

He argues that this tradition erred in restricting the problem of understanding to methods for ascertaining an agent’s or author’s intentions; rather, understanding remains primarily a historically situated understanding og the possible validity of texts or such

“text-analogous” as actions, practices and social norms. Inthis critique of the hermeneutic tradition, Gadamer already introduces

two of the important tenets of his own ”philosophical hermeneutics”

: the possible “truth” of texts or text-analogous and the historically conditioned or prejudice character of understanding (Warnke, 1987:ix).

Pemikiran tersebut dibangun di atas landasan “matinya sang pengarang”, sebuah idiom yang jika dilacak ke belakang akan ditemukan referensinya pada gagasan Friedrich Nietzsche tentang kematian Tuhan. Konsep hermeneutika ini menemukan titik kulminasinya pada Hans-Georg Gadamer yang menyatakan bahwa sekali teks hadir di ruang public, ia telah hidup dengan nafasnya sendiri.

Hermeneutika tidak lagi bertugas menyingkap maksa objektif yang dikehendaki oleh pengarangnya, tetapi adalah untuk memproduksi makna yang seluruhnya memusat pada kondisi historisitas dan sosialitas pembaca (Hamdi, 2003:48).

Harus diakui bahwa konsep pemikian ini telah menggeser secara revolusioner perlakuan atas teks. Makna teks tidak lagi terbatas pada pesan yang dikehendaki pengarangnya, sebabteks bersifat terbuka bagi pemaknaan pembacanya. Dengan demikian, penafsiran merupakan kegiatan produktif, memberikan makna atau lebih tepatnya mengaktualisasikan makna yang potensial dalam teks itu.

2.7.2. Pokok-Pokok Hermeneutika Gadamer

Salah satu persoalan penting- yang menjadikan pemikiran Gadamer relevan – dalam ilmu-ilmu sosial adalah jawaban yang tepat terhadap pertanyaan mengapa (why). Problema ini melahirkan dua aliran utama filsafat ilmu sosial.

Kelompok pertama, yang sering disebut sebagai aliran positivism, mengajukan jawaban berupa penjelasan tindakan manusia (explaining human actions).

Kelompok kedua, yang sering disebut sebagai aliran interpretivisme, mengajukan jawaban berupa pemahaman tindakan manusia (understanding human action).

Kaum positivis berupaya mengenali sejumlah penyebab (causes) perilaku, sedangkan kaum interpretivis berupaya menggali alasan (reasons) tindakan.

Throughout his work, however, he emphasizes the necessity of distinguishing between two forms of understanding: the understanding of truth-content and the understanding of intentions.

The first form of understanding refers to the kind of substantive knowledge one has when one is justified in claiming the one understanding Euclidean geometry or an ethical principle, for example. Here understanding means seeing the “truth” of something, grasping that the sum of the sequence of the two side of a right triangle is equal to the square of the hypotenuse, that the validity of Euclidean geometry is relativized by the discovery of other forms of geometry or that murder is wrong. Understanding in this sense involves insight into a subject-matter or, as Gadamer puts it, an understanding of die Sacbe. The second sense of understanding, in contrast, involves a knowledge of conditions: the reason why a particular person says that murder is wrong or the intention behind someone’s claiming that a geometrical proposition is true. This kind of understanding thus involves an understanding of the claim or action as opposed to a substantive understanding of the claim or action itself. What is understood is not the truth-content of a claim or the poin of an action but the motives behind a certain person’s making certain claim or performing a given action (Warnke, 1987 : ix).

Menurut pandangan Gadamer, pemahaman yang sebenarnya lebih menunjuk pada bentuk pemahaman pertama, yakni sebagai suatu pemahaman substantive terhadap kebenaran dan bukan pemahaman intensional.

Pemahaman intensional, yang mengacu pada keniatan produsen wacana belum bias dinyatakan sebagai pemahaman yang sebenarnya. Hal ini merupakan cirri utama hemeneutika Gadamer. Jadi, pemahaman bukan sekedar keniatan pelaku tindakan, melainkan kesepakatan bersama.

Understanding (Verstanding) is first of all agreement (Einvertandnis). So human beings usually understanding one another immediately or they comminisate (sich veerstandigen) until they reach an agreement. Reaching an understanding (Verstandigung) is thus always reaching an understanding about something (Gadamer, 1975 : 156).

Tampak jelas bahwa suatu makna bersifat baik multivalen atau diadik:

multivalent karena tindak intensional atau produknya akan memiliki banyak makna tergantung pada penafsir yang terlibat; dan diadik karena makna hanya muncul dar hubungan antara dua subjek, pelaku dan pensfsirnya.

This sharply contrasts with intentionalism, according to which meaning is both univalent (each act has a specific meaning) and monadic (this meaning results fromjust one subject, namely, the agent). Notice that according to intentionalism the meaning of the act is already contained in it by virtue of the intentionality it embodies. Meaning is something already present waiting to be grasped, a meaning which exists independently of those who seek to discover it (Fay, 1996: 142-143).

Dalam hermeneutika Intensionalisme sebenarnya makna sudah menanti, tinggal ditemukan oleh penafsiran. Tidak diperlukan kegiatan lain, terutama kegiatan penafsiran agar sesuatu tindakan bermakna, sebab locus makna ada pada kegiatan penciptanya, bukan dari kegiatan khalayak penafsirnya.

Penegasan locus makna bukan pada keniatan pelaku tindakan, tetapi sebagai hasil komunikasi – ada yang menyebut dialog, dialektika, dan kadang- kadang Gadamer menyebut kesepakatan – antara pelaku tindakan dengan khalayak penafsirannya merupakan “pembaharuan” yang dilakukan oleh Gadamer terhadap sejumlah kecenderungan hernebeutika sebelumnya.

Implikasi lebih lanjut dari penempatan locus makna ini adalah makna selain niscaya majemuk, makna niscaya juga membaharui Majemuk karena tergantung pada hasil komunikasi antara produsen teks dengan penafsir.

Membaharu karena walaupun bias saja teksnya tidak mengalami perubahan, tentu ada perubahan pada diri penafsir teks tersebut. Implikasi ini dijelaskan oleh Grondin (1994: 15) sebagai berikut:

This can best be seen ny means of a negative example, non- understanding. Whenever we cannot understanding a text, the reason is that it says nothing to us or has nothing to say. So there is

noting to be surprised or complain about if understanding occurs differently from one period to another, or even from one individual to another. Motivated by particular question of the moment, understanding is not just reproductive but because it involves application, always also a productive activity.

Makna tindak intensional dan produknya tidak bias merupakan peninjauan kembali atau penemuan kembali niat masa lalu para agen atau menemukan intensionalitas pada tindak-tindak itu sendiri. Tindak yang bermakna menjadi bermakna hanya jika ditempatkan dalam suatu konteks interpretif tertentu oleh seorang interpreter khusus yang melakukannya guna mengejawantahkan maknanya. Bila horizon interpretif berbagai interprenter berbuah, dimensi-dimensi baru makna akan muncul. Hal ini menyiratkan bahwa makna tindak dan produknya tidak hanya akan berubah di sepanjang waktu namun tidak akan pernah disadari secara pasti. Makna tindak intensional atau produknya akan berbeda bagi orang yang berbeda. Dalam ungkapan lebih ringkas, “… meaning only emerges when it is interpreted, and continues with each new interpretation” (Fay, 1996: 143).

Unsur penting lainya dari hermeneutika Gadamer (1975) menyangkut hakikat penafsiran. Penafsiran bukan proses psikologis empati, namun proses membiarkan signifikansi suatu objek atau tindak intensional mengemuka sendiri.

Gadamer menguraian interpretasi sebagai suatu “fusi horizon-horison” di mana suatu objek atau tindak yang bermakna yang berasal dari satu dunia konseptual diterjemahkan ke dalam pengertian yang sesuai bagi orang lain.

Hence an essential part of the concept of situation is the concept of

“horizon”. The horizon is the range of vision that includes everything that can be seen from a particular vantage point.

Applying this to the thinking mind, we speak of narrowness of horizon, of the possible expansion of horizon, of the opening up of new horizon etc. (Gadamer, 1990: 269)

Horison, bagi Gadamer adalah “kepenempatan” (situatedness) semua penafsiran yang terjadi dalam suatu wacana. Horizon bergerak sewaktu mereka yang memandang horizon itu juga bergerak. Dengan “fusi” (verschmelzung), Gadamer bermaksud menunjuk pada proses penuturan objek asing atau masa lalu kepada penafsir tertentu di tempat atau lingkungan budaya mereka. Jadi penafsiran lebih mudah dan lebih baik dipahami sebagai proses penerjemahan.

Penafsir menerjemahkan teks yang diproduksi oleh pelaku.

“Fusi” menunjuk pada pertemuan dua horizon sehingga menyatu, yakni ketika perbedaan antara kedua horizon telah dihilangkan. Di sini pembaca Gadamer perlu waspada. Hermeneutika Gadamer bukan bersifat subjektivis, yang menyatakan bahwa suatu teks adalah apapun yang dikatakan oleh seorang penafsir mengenai teks tersebut. Ini berarti bahwa meskipun Gadamer mengakui peran aktif penafsir dalam proses aktualisasi makna(Bertens, 1981: 231) tidak berarti bahwa penafsir sekedar membaca secara sendiri terhadap peristiwa- peristiwa dan objek-objek, atau dengan ungkapan lagi sekadar melakukan refleksi-diri. Sebab dalam prose penafsiran ini, penafsir menyertakansemacam cadangan makna yang tersembunyi dalam diri mereka, sehingga dikatakan oleh Fay (1996: 144) bahwa dalam konteks baru, aspek-aspek berbeda dari makna mengemuka.

In this it is interpreted speaking to interpreters in their own tongue, not the interpreters speaking to themselves using the interpreted as a mere stimulus for their own self-enclosed conversation.

Interpretation, according to Gadamer, is not a hall of mirrors in which interpreters only see themselves in different proses and shapes depening on the shape and angle of the morror which confronts them. Rather, interpretation is a process of listening to what others through their words and deeds have to say to us (in full recognition that what an act or its product says to us maywell differ from what it says to others in different interpretive situations) (Fay, 1996: 144).

Pokok pikiran penting berikutnya dari Gadamer (1975) berkenaan dengan siklus hermeneutika (hermeneutic circle). Sebelumnya lazim diterima bahwa pemahaman kita terhadap suatu bagian akan mengubah pemahaman kita pada keseluruhan (Gadamer, 1988: 68). Sebaliknya, pengubahan pada pemahaman kita terhadap keseluruhan akan mengubah pemahaman kita pada bagian, dan seterusnya. Lingkaran hermeneutika sering digambarkan sebagai logika bagian- keseluruhan (part-whole) sebagai berikut (Alvesson and Skoldberg, 2000: 53):

Gambar 2.2

Lingkaran Hermeneutik

Siklus hermeneutika Gadamer digambarkan agak bebeda, yang pada dasarnya justru merupakan salah satu kekhususan hermeneutikanya. Bagian- bagiannya terdiri dari objek-objek yang ditafsirkan, sedangkan keseluruhannya terdiri atas hubungan antara objek-objek dan berbagai khalayak penafsirnya.

Dengan kata lain, dalam hermeneutika Gadamer, siklus hermeneutika terdiri atas pencabangan terus-menerus antara sesuatu yang diinterprestasikan dan interpreternya, karena makna bukan sifat suatu objek namun bidang tempat suatu objek dalam interpretasi. Hanya dengan berhubungan dengan penafsirnya, maka makna objek atau peristiwa teraktualisasi. Keseluruhan, dalam hermeneutika Gadamer adalah gabungan antara objek yang ditafsirkan (the

PART

WHOLE

interpreted) dan yang menfsirkan (the interpreter). Mengacu pemikiran ini, maka ketika pemahaman atas “ keseluruhan teks” menurut Hirsch tercapai, sebenarnya menurut Gadamer itu baaru sebagian, sebab makna sejati adalah suatu bahasa bersama, yang di depan diistilahkan sebagai mencapai kesepakatan.

The view separates him not only from Hirsch but from so-called

“reception” theorists and reader-response critics as well. For, if textual meaning cannot be located in the author’s intentions, neither can it be indentified with a reader’s – even an informed or ideal reader’s – experiende. Rather, when a text is understood its meaning cannot be attributed to either writer or reader. The meaning of the text is a shared language, shared in the sense that it is no one persons’ possession but is rather a common view of subject-matter (Warnke, 1987: 48).

Kalau varian-varian hermeneutika yang lain, sebagaimana telah diuraikan sebelumnya cenderung menegasi atau cenderung mengabaikan kenyataan bahwa setiap penafsir niscaya memiliki prasangka-prasangka, tradisi, kepentingan praktis, bahasa dan budaya masing-masing, maka Gadamer justru menempatkan hal ini sebagai bagian (part) dari keseluruhan (whole) siklus hermeneutika. Lebih dari itu, interaksi antara objek yang bermakna dengan masyarakat interpretif bukan peristiwa yang terjadi sekali saja.

Pemahaman menuntut partisipasi (understanding as participation). Tidak ada pemahaman terhadap buku, bila tidak ada partisipasi dari para pembacanya.

Not text and book speaks if it does not speak the language that reaches the other person”, (Gadamer, 1981: 50). Karena pada dasarnya penafsir berpartisipasi dalam menciptakan makna, maka makna pun niscaya bukan sekedar cerminan, seperti teori mimesis, juga bukan sekadar ulangan, seperti dalam teori reproduksi, melainkan hasil penciptaan kembali.

Interpretation is probably in a certain sense recreation. This recreation however, does not follow a preceding creative act; it rather follows the figure of the created work that each person has to

bring to respresentation in accord with the meaning he finds in it (Gadamer, 1975: 107).

Sebagai hasil penciptaan ulang, maka makna selain berbeda antara satu orang penafsir dengan penafsir lain, juga bias berubah-ubah. Ini semua akan membentuk suatu proses pertukaran terus-menerus, sehingga ada perubahan pada makna objek dan hakikat masyarakat interpretif. Lingkaran hemeneutik akan membentuk suatu spiral keberulangan karena interpretasi baru aras objek- objek bermakna di masa lalu mengubah hakikat penafsirnya (Gadamer, 1988:

68). Masyarakat mengubah penafsiran atas objek-objek yang bermakna, dan terus terjadi seperti itu sampai tak terhingga. Tampak bahwa siklus hermeneutika Gadamer membentuk semacam spiral pemahaman yang menautkan objek penafsiran dengan subjek penafsirnya.

Hal yang sama juga berlaku pada peristiwa-peristiwa yang penting dalam sejarah. Makna suatu kejadian sejarah terus berubah dan apresiasi terhadap cara perubahan makna itu merupakan salah satu faktor penyumbang pada perubahan-perubahan di masyarakat.

2.7.3. Penerapan Hermeneutika Gadamerian

Dalam proses interpretif, menurut Gadamer, terjadi interaksi antara penafsir dan teks, di mana penafsir mempertimbangkan konteks historisnya bersama dengan prasangka-prasangka sang penafsir seperti tradisi, kepentingan praktis, bahasa dan budaya. Secara ringkas, Maulidin (2003: 27) menggambarkannya sebagai berikut:

Gambar 2.3

Hermeneutika Dialogis Gadamer

P=Penafsir A=Author (pengarang)

Sebagaimana tampak dalam bagan 2.2., kerangka pemikiran Gadamer mengandaikan ada dua pihak yang terlibat dalam penafsiran, antara wacana (text) dengan penafsir (intepreter). Kerangka demikian, sejauh hanya diperlukan oleh seseorang untuk menafsirkan karya orang lain memang cukup memadai.

Namun demikian, bila seorang bermaksud menggunakan perspektif Gadamer, maka yang tentu saja haarus melaporkan hasilannya, tidak bias dihindari harus melakukan modifikasi agar perspektif tersebut menjadi aplikatif.

Dengan ungkapan lain, sejauh hanya bermaksud memahami wacana entrepreneur Soetrisno Bachir, maka cukup bagi untuk memakai kerangka pemikiran Gadamer. Justru yang harus banyak dilaporkan adalah tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan kultur, serta konteks historis ketika wacana entrepreneur yang ditafsirkan muncul.

Akan halnya bila bermaksud menjangkau pemaknaan yang diberikan oleh orang lain, maka harus mengumpulkan datanya dari orang lain yang bersangkutan. Dalam hal ini, apa yang sangat diperlukan oleh adalah tetap peka

Tradisi Kepentingan Praktis Bahasa Kultur

Pemaknaan

KEBENARAN

Konteks Historis

P TEKS A

dan mempertimbangkan tradisi, kepentingan praktis, bahasa, dan kultur orang lain tersebut, serta konteks historis ketika wacana politik yang ditafsirkan muncul.

Secara metodologis, ini tampak pada bagan sebagaimana disajikan pada bab pendahuluan.

Karena menggunakan perspektif Gadamer yang sudah di modifikasi, alih- alih menggunakan istilah Hermeneutika Gadamer, penulis memilih istilah Hermeneutika Gadamerian. Kerangka dasar yang digunakan tetap mengedepankan pokok-pokok pemikiran Gadamer, tetapi dilakukan penyesuaian agar kerangka tersebut aplikatif untuk kepentingan kajian ini.

Dalam dokumen KIAT SUKSES SEORANG ENTREPRENEUR - SIMAKIP (Halaman 106-117)