BAB V PEMBAHASAN
5.1 Identifikasi Karakteristik Responden Pada Kelompok
5.1.1 Usia
Distribusi data usia pada penelitian ini menunjukkan bahwa usia responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol terbanyak terdapat pada rentang usia 45-65 tahun. Distribusi data penelitian yang dilakukan peneliti sejalan dengan hasil penelitian oleh Hakim et al (2015) yang menunjukkan bahwa responden penderita tuberkulosis paru terbanyak pada kelompok usia 56-70 tahun yaitu sebesar 35,19%. kelompok usia tersebut merupakan faktor resiko paling tinggi terkena tuberkulosis paru.71 Selain itu hasil penelitian Gunawan et al (2017) juga menunjukkan bahwa usia terbanyak yang mengalami penyakit TB paru adalah usia >45 tahun (36%) atau pada usia pertengahan. Usia pertengahan merupakan usia yang aktif
78
beraktivitas diluar lingkungan rumah sehingga lebih beresiko mudah menularnya penyakit TB paru terutama di lingkungan padat penduduk.
World Health Organization (WHO) menyatakan usia mempengaruhi pertahanan tubuh seseorang, semakin tinggi usia maka semakin menurun pertahanan tubuh seseorang tersebut.70,42,72
Distribusi data penelitian yang dilakukan oleh peneliti berbeda dengan hasil penelitian oleh Juliati et al (2020) yang menunjukkan bahwa variabel usia tidak berhubungan dengan kepatuhan pengobatan tuberkulosis. Seluruh pasien TB maupun TB MDR disemua usia dapat memiliki perilaku yang sama untuk mencapai kesembuhan dengan mengkonsumsi makanan bergizi dan juga mengkonsumsi obat TB.73,74
5.1.2 Jenis kelamin
Distribusi data jenis kelamin pada penelitian ini menunjukkan pada kelompok intervensi lebih banyak responden dengan jenis kelamin perempuan sedangkan pada kelompok kontrol lebih banyak responden laki- laki. Distribusi data penelitian yang dilakukan sesuai dengan penelitian Juliati et al (2020) menunjukkan bahwa jenis kelamin tidak berhubungan dengan kepatuhan pengobatan. Sebagian besar responden penelitian yaitu perempuan yang sehari-hari bekerja dirumah sebagai ibu rumah tangga.
Sedangkan hasil penelitian lainya oleh Gunawan et al (2017) menunjukkan bahwa pasien TB paru di lima puskesmas se-Kota Pekanbaru yaitu berjenis kelamin laki-laki (64%).72
Perempuan rentan terkena penyakit TB paru, karena beban kerja mereka yang berat dengan kurangnya sumber daya finansial. Perempuan juga lebih sering mengalami pemikiran akan dijauhi oleh keluarga dan lingkungan akibat penyakitnya karena kurangnya pemahaman tentang penyakit TB paru.7373 Tuberkulosis juga lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan wanita karena laki-laki lebih sering beraktivitas di luar rumah dan sebagian besar mempunyai kebiasaan merokok sehingga memudahkan terjangkitnya infeksi TB.75 Distribusi berdasarakan jenis kelamin baik laki-laki dan perempuan memiliki peran yang penting dalam meningkatkan kesehatan diri dan mempertahankan perilaku kepatuhan dalam pengobatan TB.
5.1.3 Pendidikan
Distribusi data tingkat pendidikan pada penelitian ini menunjukkan bahwa responden pada kelompok intervensi lebih banyak pada tingkat pendidikan SMA atau lebih tinggi sebanyak 16 (94,1%) dan tingkat pendidikan SMP atau dibawahnya sebanyak 1 (5,9%) sedangkan pada kelompok kontrol tingkat pendidikan SMA atau lebih tinggi sebanyak 14 (82,4%) dan tingkat pendidikan SMP atau dibawahnya sebanyak 3 (17,6%).
Distribusi data penelitian yang dilakukan sesuai hasil penelitian oleh S, Muljono et al (2018) menunjukkan tingkat pendidikan pasien tidak memberi pengaruh yang signifikan terhadap kepatuhan pengobatan, pada penelitian ini sebagian besar penderita TB pada tingkat SMP dan SMA.73 Hasil penelitian oleh Hakim et al (2015) juga menunjukkan bahwa tidak ada
hubungan antara tingkat pendidikan dengan kepatuhan minum obat pada penderita tuberkulosis paru.71
Pasien dengan pendidikan rendah dan pendidikan tinggi mempunyai kecenderungan yang sama dalam kepatuhan pengobatan. Hal ini terjadi karena pola pengobatan tuberkulosis yang memiliki aturan jenis obatnya yang lebih dari satu dan lama pengobatan minimal 6 bulan sehingga penderita merasa bosan atau terbebani serta ditengah pengobatan penderita merasa sudah membaik sehingga menghentikan pengobatan ditengah waktu (drop out).71 Faktor lain yang terkait dukungan, motivasi dari keluarga, dan lingkungan sosialnya.76
Distribusi data penelitian ini berbeda dari hasil penelitian Juliati et al (2020) yang menunjukkan bahwa sebagian besar responden berpendidikan menengah yang terbagi atas SMP dan SMA yang secara garis besar adalah responden yang memiliki kemampuan pengetahuan yang baik.
Pengetahuan yang baik ditunjang oleh tingkat pendidikan yang tinggi sehingga pasien mengerti tentang bahaya penyakit TB Paru dan pada akhirnya akan cenderung berperilaku patuh. 77,75
5.1.4 Pekerjaan
Distribusi data pekerjaan pada penelitian ini menunjukkan bahwa responden kelompok intervensi dan kelompok kontrol sebagian besar memiliki pekerjaan (swasta, wiraswasta dan PNS). Distribusi data penelitian yang dilakukan sejalan dengan penelitian oleh Gunawan et al (2017) yang menunjukkan bahwa rata-rata pekerjaan pasien TB paru adalah sebagai
wiraswasta (30,7%) dan IRT (21,3%), pekerjaan mempengaruhi pasien TB paru dalam kepatuhan pengobatan TB paru. 72 Hal ini disebabkan perkerjaan yang berhubungan erat dengan kejadian TB adalah pegawai swasta dan wiraswasta seperti garmen, kuli pabrik dan pedagang.70
Penderita TB yang bekerja sebagai wiraswasta lebih sering berada di luar ruangan dengan kondisi lingkungan yang mudah terpapar polusi udara dan sebagian pasien tidak patuh dalam menggunakan masker, pola hidup tidak sehat dan waktu istirahat yang kurang sehingga mudah mengalami penyakit TB paru.77 Selain itu penderita yang memiliki pekerjaan dengan tingkat ekonomi yang rendah mengalami keterbatasan biaya untuk pengobatan TB. Akibatnya berdampak terhadap ketidakpatuhan penderita dalam berobat.73
5.2 Identifikasi Distribusi Kepatuhan Sebelum dan Setelah Intervensi Telegram Chatbot dan VOT dengan pendekatan Motivational Interviewing Pada Kelompok Intervensi dan Kontrol
Distribusi tingkat kepatuhan pada penelitian ini menunjukkan bahwa nilai pretest kepatuhan pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol masing- masing pada tingkat kepatuhan rendah sedangkan nilai posttest kepatuhan pada kelompok intervensi yaitu pada tingkat kepatuhan tinggi sedangkan pada kelompok kontrol yaitu pada tingkat kepatuhan rendah dan sedang. Dimana tingkat kepatuhan pada kedua kelompok mengalami peningkatan.
Responden pada penelitian ini dibagi secara acak menjadi kelompok kontrol dan kelompok intervensi. Responden pada kelompok kontrol diberikan treatment sesuai DOTS standar pengobatan TB di rumah sakit. Sedangkan pada kelompok intervensi diberikan intervensi pesan pengingat minum obat melalui chatbot telegram yang dikirimkan pada pasien setiap hari dan intervensi VOT yang dilakukan setiap minggu untuk memantau pengobatan TB melalui video call pada media sosial telegram dengan memantau pada saat pasien mengkonsumsi obat, mendiskusikan keluhan atau efek samping pengobatan dan memberikan motivasi melalui motivational interviewing.
Pasien TB yang menjalani pengobatan di RSUD Kabupaten Sidoarjo mendapatkan terapi atau kesempatan kontrol dan mendapatkan resep obat di setiap 10 hari sekali sesuai standar pengobatan di rumah sakit. Sehingga peneliti juga melakukan pemantauan baik pada kelompok intervensi dan kelompok kontrol setiap 10 hari sekali untuk mengetahui dan melakukan pemantauan pada pasien melakukan kontrol ulang pengobatan TB di rumah sakit.
5.3 Analisis Efek Program Telenursing Kombinasi Telegram Chatbot Dan