BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.5 Kepatuhan Treatment
2.5.1 Definisi kepatuhan treatment
Ketidakpatuhan pengobatan tuberkulosis menjadi kendala di Indonesia dalam menanggulangi permasalahan TB. Hal ini menjadi penghalang untuk mencapai keberhasilan dalam pengobatan TB yang diinginkan yakni sesuai tingkat keberhasilan standar. Kepatuhan (compliance atau adherence) merupakan tingkat klien melaksanakan pengobatan dan terkait perilaku yang disarankan dari petugas kesehatan ataupun orang lain. Dalam menjalani pengobatan jangka panjang, kepatuhan pasien sangat di tuntut untuk mengetahui sikap dan perilaku pasien terhadap program pengobatan yang telah di berikan oleh petugas kesehatan.
Kepatuhan yang buruk terhadap pengobatan yang direkomendasikan dapat mengakibatkan efek samping yang merugikan. Hal tersebut dapat disebabkan akibat pengaturan diri pasien yang tidak baik. Adanya kepatuhan dalam
mengkonsumsi obat TB di harapkan membuat kemampuan bakteri yang ada dalam tubuh berkurang dan mati sehingga hal ini menjadi penting dan diperlukan oleh penderita TB Paru.55
2.5.2 Faktor kepatuhan
Faktor yang mempengaruhi tingkat kepatuhan saling terkait antara satu sama lain. faktor tersebut antara lain faktor klien, faktor terapi, faktor sistem kesehatan, faktor lingkungan dan faktor sosial dan ekonomi. 55
Berdasarkan penelitian Asriati et al (2019) bahwa terdapat 3 faktor yang berhubungan dengan kepatuhan minum obat TB paru di Wilayah Kerja Puskesmas Siak Hulu II yaitu pengetahuan, dukungan keluarga, dan peran petugas Kesehatan.56 Hal ini tentu penyebabnya bukan hanya satu faktor saja seperti pengetahuan akan tetapi faktor lain yang memengaruhi pengetahuan ibu sendiri ikut berkontribusi, misalnya jenis pekerjaan responden yang kemungkinan menyebabkan keterpaparan terhadap informasi sangat minim. Faktor kedua yang mungkin berhubungan dengan ini adalah akses terhadap media baik media elektronik maupun media cetak.
Pengetahuan yang cukup akan mempengaharui penderita untuk mampu melakukan sesuatu karena penderita akan mencari tau tentang informasi yang yang ada di lingkungan sekitarnya. Semakin baik pengetahuan yang dimiliki penderita maka tingkat kepatuhan dalam mengkonsumsi obat anti Tuberkulosis semakin tinggi dan sedangkan jika pengetahuan penderita kurang maka penderita tidak tahu terkait informasi atau kurangnya informasi yang dimiliki penderita terkait penyakitnya sehingga kemungkin besar penderita tersebut tidak akan patuh dalam mengkonsumsi obat anti tuberkulosis. 56
Peran tenaga Kesehatan juga mempengaruhi tingkat kepatuhan. Umumnya penderita yang tetap patuh berobat walaupun petugas kurang berperan, mempunyai akses lebih mudah dan dekat ke pelayanan Kesehatan.56 Faktor lainnya yakni Peran seorang PMO (Pengawas Minum Obat). Peran dari PMO sendiri dalam proses pengobatan tuberkulosis yakni melakukan kontroling pasien TB ke tenaga kesehatan, mengingatkan penderita dalam mengkonsumsi obat TB, memotivasi penderita serta mengantarkan penderita dalam melakukan pengobatan di Puskesmas.56
Menurut Erawatyningsih et al. (2009) dalam Zuliani et al (2019), yang menunjukkan keberhasilan manajemen minum obat TB dipengaruhi oleh beberapa faktor medis dan faktor non medis. Faktor medis dapat meliputi keluhan sebelum pengobatan, efek samping, penyakit penyerta dan retensi obat. Faktor non medis meliputi umur, jenis pekerjaan, Komunikasi Informasi Edukasi (KIE), PMO, keteraturan minum obat, sikap petugas TB, dan kemudahan jangkauan pada layanan kesehatan.18
Mengingat perlunya kepatuhan yang ketat terhadap pengobatan TB, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) merekomendasikan DOT sebagai pendekatan pilihan untuk memantau pengobatan TB secara global. Ketidakpatuhan terhadap pengobatan TB merupakan tantangan kompleks yang didorong oleh faktor sosial ekonomi, penyakit yang menyertai, dan perilaku dan faktor terkait pengobatan.11 2.5.3 Instrumen kepatuhan
Kepatuhan treatment tuberkulosis ditentukan dengan menggunakan kuesioner dari Morisky yakni MMAS-8 (Morisky Medication Adherence Scale)
yang terdiri dari beberapa pertanyaan terkait lupa mengkonsumsi obat (1, 4, 8), tidak mengkonsumsi obat (2, 5), berhenti mengkonsumsi obat (3, 6), terganggu akibat jadwal mengkonsumsi obat (7). Kriteria penilaian pada item nomor 1 hingga 7, jika jawaban “ya” maka penilaian diberi skor 0 dan jika jawaban “tidak” maka penilaian diberi skor 1. Pada Item nomor 5, jika jawaban “ya” maka penilaian diberi skor 1 dan jika jawaban “tidak” maka penilaian diberi skor 0. Dan pada Item nomor 8 menggunakan skala likert 5 poin (0 sampai 1).
Hasil perhitungan kuisioner total skor ditambahkan dengan skor item 1 sampai 7 dan berentang antara skor 0 sampai 8. Pada Skala likert dengan 5 poin terdiri atas 5 jawaban klien yaitu jawaban “tidak pernah” (maka penilaian diberi skor 1), “pernah sekali” (skor 0,75), “kadang kadang” (skor 0,50),
“Biasanya/sering” (skor 0,25), dan “selalu” (skor 0). Tingkat kepatuhan pengobatan pada kuisioner MMAS-8 dibagi menjadi 3 kategori yaitu tingkat kepatuhan tinggi (jumlah skor 8), tingkat kepatuhan sedang (jumlah skor 6-<8), dan tingkat kepatuhan rendah (jumlah skor < 6).57
2.6 Teori behavioral system model jhonson terhadap ketidakpatuhan treatment tuberkulosis
Johnson (1968) dalam Parker (2012) menyatakan bahwa penelitian keperawatan akan perlu dalam mengidentifikasi dan menjelaskan sistem gangguan perilaku yang muncul sehubungan dengan penyakit, dan mengembangkan alasan serta kontribusi perawat yakni (1) kontribusi memahami dasar tentang sistem perilaku manusia, dan (2) kontribusi untuk memahami
masalah sistem perilaku dan alasan pengobatan dan metodologi penelitian. Sistem perilaku sebagai keseluruhan termasuk masalah seperti stabilitasi, perubahan, organisasi, interaksi, dan regulasi yang efektif serta mekanisme kontrol dari perubahan perilaku.20
Small (1980) dalam Smith et al (2018) menggunakan teori Johnson sebagai konseptual kerangka kerja saat merawat anak-anak tunanetra. Dengan mengevaluasi dan membandingkan yang dirasakan citra tubuh dan kesadaran spasial dari penglihatan normal anak-anak dengan anak-anak tunanetra, dan disimpulkan bahwa saat itu sistem manusia mengalami stres yang berlebihan, tujuan system tidak bisa dipertahankan.58
Behavioral system model merupakan cara berperilaku dengan pola yang berulang, dan terarah. Bentuk perilaku terorganisir dan terintegrasi pada unit fungsional yang menentukan hubungan antara individu maupun lingkungannya dan membangun hubungan antar individu dengan situasi, keadaan dan peristiwa didalam lingkungannya.
Sistem perilaku pada seseorang diharapkan agar mencapai keadaan stabilitas dan keseimbangan dalam penyesuaian dan adaptasi untuk fungsi yang efektif dan efisien. Pada model teori jhonson terdapat bagian subsistem yakni sistem perilaku yang bagian dari sistem berevolusi menjadi subsystems dengan kriteria khusus. Subsistem memiliki fungsi khusus dan tujuan tersendiri yang dapat mempertahankan keseimbangan jika hubungan dengan subsistem lainnya atau lingkungannya tidak terjadi masalah. Terdapat
tujuh subsistem diidentifikasi oleh Johnson terbuka dan saling terkait untuk melihat sistem perilaku keperawatan secara holistik.19
Mengembangkan Model Sistem Perilaku dari perspektif filosofis, dalam teori Johnson dijelaskan bahwa keperawatan berkontribusi dengan memfasilitasi fungsi pada perilaku pasien yang efektif baik sebelum, selama proses, dan setelah sakit dengan menggunakan konsep dan teori dari disiplin ilmu lain, seperti pembelajaran sosial, motivasi, adaptasi, stimulasi sensorik, modifikasi perilaku, proses perubahan, ketegangan, dan stres untuk memperluas teorinya untuk praktik keperawatan.19 Hal ini sesuai dengan faktor yang mempengaruhi terjadinya ketidakpatuhan treatment pada penderita Tuberkulosis antara lain kurangnya pengetahuan dan sikap patuh terhadap pengobatan, minimnya sumber daya keuangan untuk biaya transportasi ke fasilitas kesehatan, dan dukungan sosial (dukungan emosional, dukungan informasi, dukungan pelayanan kesehatan) baik dari keluarga maupun rekan penderita TB yang kurang memotivasi penderita serta kurangnnya manajemen diri penderita TB dalam menjalani pengobatan.18
Stimulus internal maupun eksternal yang mengakibatkan tekanan dan meningkatkan ketidakstabilan disebut stressor. Sistem perilaku bertujuan untuk menjaga keseimbangan dan merespon faktor lingkungan dengan menyesuaikan dan beradaptasi dengan kekuatan yang dimiliki setiap orang.
Faktor lingkungan yang sangat kuat mengganggu keseimbangan sistem perilaku dan mengancam stabilitas. Lingkungan dapat menjadi sumber berkelanjutan dari perlindungan, stimulasi dan pengasuhan yang merupakan prasyarat yang dibutuhkan untuk menjaga kesehatan (keseimbangan sistem perilaku).20
Faktor lingkungan internal pada teori jhonson yakni motivasi biologis dan dipengaruhi oleh keluarga, lingkungan, dan sosiologis. Perawat pada model teori ini menjadi faktor lingkungan eksternal pada pasien ketika terjadinya tekanan dan stress pada pasien. Ketika ketidakseimbangan sistem perilaku (disequilibrium) terjadi, perawat diperlukan untuk menjadi pengatur dan pengontrol sedangkan lingkungan menyediakan suplai kebutuhan fungsional sehingga orang tersebut dapat beradaptasi dengan stressor.59
Stressor pada penderita Tuberkulosis juga di pengaruhi ketika menjalani proses pengobatan menggunakan obat anti tuberkulosis (OAT) dengan kurun waktu yang lama, hal ini menyebabkan penderita mengalami efek samping obat yakni seperti gatal, sakit kepala, mual, muntah, rasa kebosanan, malas, bahkan penderita merasa sudah tidak ada lagi keluhan sehingga menghentikan pengobatan. Dari Kondisi tersebut perlu dilakukan strategi untuk menanggulangi faktor-faktor yang menyebabkan menyebabkan penurunan motivasi yang berdampak pada ketidakpatuhan pengobatan Tuberkulosis yakni salah satunya dengan pendekatan menggunakan motivasi dan manajemen kasus yang lebih efektif.22
Motivasi mengarahkan pada aktivitas bagian subsistem yang terus berubah melalui pengalaman, dan pembelajaran. subsistem dipengaruhi lintas budaya dan dikendalikan oleh biologis, psikologis, dan faktor sosial. Tujuh subsistem pada behavioral system model meliputi yang attachment- afliative , Dependency, ingestive , eliminasii, seksual, Achievement, dan aggressive.20 Aplikasi behavioral system model yang dikaitkan
dengan kepatuhan treatment pasien Tuberkulosis menggunakan tujuh subsistem behavioral system model di analisis sebagai berikut :
2.6.1 Attachment- affliative subsystem
Subsistem Attachment- afliative menjadi hal yang paling penting karena menjadi dasar untuk semua organisasi sosial. Subsistem ini menunjang keberlangsungan hidup dan keamanan. Tujuan subsistem ini berhubungan dengan pembentukan dan pemeliharaan ikatan sosial dan membentuk hubungan peran yang kooperatif dan saling bergantung dalam system sosial.20
Subsistem ini sesuai dengan penelitian oleh Devi et al (2015) yang menyebutkan peningkatan motivasi seseorang untuk dapat sembuh ditunjang dari adanya dukungan baik dari orang terdekat (keluarga), dukungan sosial, maupun petugas kesehatan serta rekan sesama penderita tuberkulosis.21 Hal ini membuat seseorang merasa bahwa dirinya lebih diperhatikan, dicintai serta dihargai sehingga diharapkan meningkatnya kemandirian dalam dirinya dengan menggukan koping adaptif untuk melalui penyakitnya. Melalui pendekatan motivational interviewing menjadi strategi konseling partisipatif yang berpusat pada klien meningkatkan motivasi untuk perubahan perilaku. MI didasarkan pada prinsip motivasi untuk merubah keadaan, bukan merubah sifat individu dan dapat dipengaruhi untuk merubah perilaku ke arah tertentu.34,36
2.6.2 Subsistem dependency
Subsistem Dependency mempromosikan perilaku membantu yang membutuhkan perawatan. Subsistem Dependency berkembang dari keterikatan hampir secara total pada orang lain ke tingkat ketergantungan yang
lebih besar pada diri sendiri dimana saling ketergantungan penting untuk kelangsungan hidup dalam kelompok sosial.19
Tujuan subsistem ini yakni untuk menfokuskan perhatian, pengasuhan, persetujuan, dan bantuan fisik sehingga mempertahankan sumber daya dari lingkungan yang diperlukan, serta agar mendapatkan kepercayaan. Subsistem ini berfungsi untuk mendapatkan kepastian tentang diri sendiri maupun membuat individu lainnya menyadari akan dirinya, mengarahkan individu lainnya agar memperhatikan kebutuhan fisiknya, untuk dapat mengenali dan menerima situasi yang membutuhkan perubahan self-dependence (ketergantungan pada orang lain) dalam kaitannya dengan sosial, psikologis, dan budaya kebutuhan serta keinginan individu.60
Hasil penelitian oleh Lester (2016) yang menyatakan bahwa penderita yang menjalani program TB seringkali mendapat kesulitan untuk menyediakan sumber daya manusia dalam memastikan pertemuan tatap muka berulang selama berbulan- bulan. Dari perspektif orang dengan TB, DOT sangat memakan waktu, bisa secara substansial mengganggu pekerjaan, komitmen keluarga, dan kegiatan sehari-hari lainnya. ponsel dan layanan terkait SMS dapat digunakan dalam mendukung pasien rawat jalan untuk kepatuhan pengobatan yang lebih baik dan kualitas perawatan global pasien TB dengan fokus pada pendekatan yang berpusat pada pasien.61 2.6.3 Ingestive subsystem
Subsistem ingestive dan eliminatif tidak dilihat sebagai mekanisme input dan output dari system. ingestive subsistem berkaitan dengan kapan, bagaimana,
apa, dan dalam kondisi apa yang berhubungan dengan nutrisi yang di konsumsi.
Perilaku ini dikaitkan dengan pertimbangan sosial, psikologis, dan biologis .19 Tujuan subsistem ini yakni untuk menggunakan sumber daya sesuai dari faktor lingkungan untuk tetap menjaga integritas dan keseimbangan, menginternalisasi lingkungan dari luar. Hal ini berfungsi untuk mempertahankan kesehatan melalui asupan nutrisi denganmengubah pola asupan nutrisi yang tidak efektif dan membantu mengatasi masalah fisiologis lainnya seperti nyeri.60
Penelitian yang dilakukan oleh Oleivera (2019) menyatakan bahwa penting untuk mengidentifikasi kemungkinan kelalaian atau perilaku tidak patuh dengan intervensi proaktif untuk pasien misalnya treatment yang diamati secara langsung (DOT) oleh anggota keluarga. Sifat pribadi pasien yang lalai atau pelupa sering termasuk pada penyalahgunaan obat yang menghalangi kepatuhan. Kelalaian berkaitan dengan pengobatan TB yang berkepanjangan, pasien ini membutuhkan lebih banyak bantuan dalam program pengobatan.14
2.6.4 Eliminatif subsystem
Subsistem eliminatif berkaitan dengan kapan, bagaimana , dan dalam kondisi apa terjadinya eliminasi pada setiap orang. Tujuan subsistem ini yakni untuk mengeksresikan limbah biologis tubuh, mengeksternalisasi lingkungan biologis internal dengan fungsi mempertahankan homeostasis fisiologis melalui ekskresi tubuh sehingga menyesuaikan dengan perubahan kemampuan biologis menjaga dan meredakan perasaan tegang dan tekanan dalam diri seseorang dan mampu mengungkapkan perasaan, emosi, dan ide seseorang baik secara verbal atau nonverbal.19
Konsumsi obat OAT memiliki efek samping seperti mual, muntah dengan penggunaan yang jangka panjang menyebabkan resiko ketidakpatuhan terhadap pengobatan TB. Penelitian oleh Khachadourian et al (2016) mengungkapkan bahwa keyakinan dalam menyembuhkan TB mengacu pada keyakinan yang dimiliki seorang pasien bahwa dapat menyembuhkan TB secara tuntas, percaya bahwa rejimennya sederhana, dan merasa sangat percaya diri dalam minum obatm selama enam bulan penuh dan merasa mampu untuk mentolerir efek samping obat.62
Keyakinan seorang pasien untuk menyelesaikan pengobatan TB terbukti memainkan peran yang besar pada kepatuhan pengobatan. Keyakinan untuk penyembuhan TB dipengaruhi oleh pemahaman tentang rejimen TB dan seberapa efektif pengobatannya sehingga pasien siap menghadapi efek samping serta cenderung lebih percaya diri dalam proses penyembuhan TB.
2.6.5 Seksual subsistem
Subsistem seksual memiliki fungsi ganda dari prokreasi dan gratification.
Pengembangan peran identitas gender mencakup berbagai peran perilaku sesuai jenis kelamin.60 Tujuan subsistem ini terkait tentang proses mempertahankan keturunan dan untuk memenuhi harapan yang terkait dengan seseorang, untuk meingkatkan kepedulian dan perhatian pada orang lain. Subsistem ini berfungsi dalam mengembangkan konsep diri atau identitas diri sesuai gender sehingga dapat memproyeksikan citra diri serta hubungan dengan orang lain berdasarkan gender.20
Hal ini sesuai penelitian oleh Science et al (2018) menyatakan bahwa dukungan sosial mengacu pada kepuasan pasien dengan dukungan antara anggota
keluarga yang mengingatkan mereka untuk minum obat, teman yang mengingatkan untuk melakukan sesuatu dan membantu orang-orang di sekitarnya.63 Kurangnya dukungan sosial ditemukan terkait dengan tingkat ketidakpatuhan yang tinggi dan bahwa keluarga, teman dan sikap petugas kesehatan membantu mereka dengan kepatuhan.
2.6.6 Achievement subsystem
Subsistem ini merupakan upaya untuk dapat
memanipulasi lingkungan. Fungsi subsistem ini adalah mengontrol aspek diri atau lingkungan terhadap suatu standar. Area perilaku ini termasuk keterampilan intelektual, fisik, kreatif, mekanik , dan sosial.60 Subsistem ini digunakan untuk pengendalian diri atau lingkungan dan berfungsi untuk menetapkan serta mengarahkan tujuan dengan tepat, membedakan tujuan langsung dan tujuan jangka panjang serta menafsirkan umpan balik (masukan yang diterima) untuk mengevaluasi pencapaian tujuan.19
Penelitian oleh Liu (2015) menyatakan bahwa pengingat elektronik telah digunakan dalam beberapa kondisi penyakit hingga meningkatkan pengobatan. Potensi teknologi dan ponsel untuk meningkatkan kualitas dan memberikan perawatan kesehatan, termasuk diagnosis, pengobatan, telah terbukti.22 Intervensi memiliki tiga komponen umum yakni pengingat untuk asupan obat tepat waktu, pengingat untuk kunjungan bagi tindak lanjut bulanan, dan rekomendasi dokter untuk mengganti pasien dari pengobatan yang diberikan sendiri hingga pendekatan pengobatan yang lebih intensif untuk meningkatkan kepatuhan pengobatan.
2.6.7 Agresif subsistem
Subsistem agresif merupakan subsistem pelindung dan pelestarian yang mengikuti garis berpikir dari penguatan pemikiran perilaku yang menjelaskan bahwa perilaku agresif tidak hanya belajar, tetapi juga terkait dengan perlindungan diri dan orang lain. Tujuan subsistem ini yakni untuk dapat melindungi baik diri sendiri dan individu lain dari objek, orang, atau hal yang mengancam baik secara nyata maupun ide imajiner dalam mencapai perlindungan diri dan penegasan diri.
Selain itu untuk mengenali sistem biologis, lingkungan, atau kesehatan yang berpotensi mengancaman diri sendiri atau orang lain, mengetahui sumber daya dalam menghadapi tantangan yang diidentifikasi sebagai ancaman dan sebagai mekanisme umpan balik untuk mengubah biologi, lingkungan, atau intervensi kesehatan untuk mengurangi ancaman guna mempertahankan pencapaian tujuan, keyakinan dan identitas atau konsep diri seseorang.19
Penelitian oleh Farooqi et al (2017) yang menyatakan bahwa kepatuhan yang buruk terhadap obat anti TB menyebabkan dampak yang lebih buruk meliputi durasi pengobatan yang lama pada stadium infeksi TB, tingkat kekambuhan tinggi setelah pengobatan, resistensi terhadap obat anti-TB, rejimen pengobatan yang mahal untuk jangka waktu lama dengan kemanjuran yang kurang serta meningkat morbiditas dan mortalitas.10 Strategi ini penting dalam meningkatkan pengawasan pasien dengan obat anti TB salah satunya dengan Telegram chatbot-reminder yang efektif dalam meningkatkan pengawasan obat pada pasien TB dan dapat meningkatkan angka kesembuhan TB program nasional.
Tujuan behavioral system model yakni keseimbangan menjadi kunci konsep dalam keperawatan. Keadaan individu selaras antara dirinya sendiri dan lingkungannya sehingga kekuatan baik secara biologis maupun psikologis dapat seimbang dengan kekuatan sosial. Subsistem perilaku saling terkait dan beregulasi sehingga tujuan dapat diwujudkan. Peraturan menyiratkan bahwa penyimpangan akan terdeteksi dan diperbaiki melalui umpan balik dengan perawat yang bertindak sebagai kekuatan dari faktor eksternal agar dapat melestarikan hubungan dan integrasi dari setiap perilaku klien pada tingkat yang optimal baik dalam situasi sakit atau dalam kondisi perilaku seseorang menjadi ancaman bagi kesehatan individu tersebut.64
Penggunaan bukti empiris teori Johnson menjelaskan bahwa sistem berpikir berfokus pada fungsi serta difokuskan pada pemahaman dan penjelasan dari sistem perilaku. Teori Johnson mengusulkan untuk memandang ilmu keperawatan secara holistic dari sistem perilaku yang memberikan pemahaman tentang system perilaku dengan menghubungkan keterkaitan dan interaksi baik antara komponen yang membentuk sistem secara keseluruhan.60
Setiap subsistem dijelaskan dan dianalisis secara struktural maupun fungsional. Terdapat empat komponen struktural yang dapat diidentifikasi yakni meliputi (1) dorongan ataupun tujuan yang merupakan konsekuensi akhir dari perilaku. (2) set atau kecenderungan untuk bertindak dengan cara tertentu. Set dibagi menjadi dua jenis meliputi persiapan atau apa yang biasanya dilakukan seseorang dan memperhatikan, dan gigih, kebiasaan yang dipertahankan dalam situasi; (3) pilihan dalam situasi mewakili perilaku dimana pasien melihat
dirinya dapat digunakan dalam situasi tertentu; dan (4) tindakan maupun perilaku seorang individu. Setiap subsistem dapat dikembangkan melalui motivasi, pengalaman pribadi, dan pembelajaran yang dipengaruhi dari faktor biologis, sosial dan psikologis.19
Tujuan keperawatan adalah menjaga atau memulihkan keseimbangan maupun stabilitas dari sistem perilaku seseorang atau membantu orang mencapai tingkat perilaku secara optimal.58 Model jhonson mengusulkan bahwa perilaku memuat hal meliputi protected, nurtured, stimulation. Sistem perilaku protected ini merupakan perlindungan dari rangsangan yang dapat mengancam kesehatan, Sistem perilaku nurturance merupakan cara memberikan masukan untuk mempertahankan perilaku; dan Sistem perilaku stimulasi, yang mempertahankan kontribusi untuk tepat menyesuaikan perilaku dan melawan terjadinya stagnasi.
Masalah dalam persyaratan fungsional dapat mengancam sistem perilaku secara keseluruhan. 19
Intervensi yang akan digunakan perawat untuk menanggapi ketidakseimbangan dari sistem perilaku. Langkah awal yakni perawat menemukan penilaian menyeluruh tentang sumber masalah. Setidaknya ada tiga intervensi keperawatan yang dapat dilakukan perawat tentang perubahan perilaku. Perawat dapat mencoba memperbaiki dan merubah unit struktural yang telah rusak dengan melakukan perubahan pada set dan pilihan individu. Langkah kedua perawat dapat memberlakukan regulasi dan tindakan pengendalian.
Perawat dapat bertindak pada lingkungan eksternal pasien untuk memberikan
sumber daya, kondisi, dan kontrol yang dibutuhkan untuk memulihkan keseimbangan dari sistem perilaku.58
Perawat dapat berperan dalam memberikan perawatan (baik sumber daya maupun kondisi yang dibutuhkan untuk keberlangsungan hidup dan pertumbuhan pasien; perawat dapat melatih pasien untuk dapat mengatasi masalah baru dan mendukung perilaku efektif), stimulasi (penyediaan rangsangan yang memunculkan perilaku yang baru atau meningkatkan perilaku kearah yang lebih baik dengan mendukung dan memotivasi agar berperilaku tertentu, memberikan kesempatan untuk melakukan perilaku yang diharapkan), serta perlindungan (perawat melindungi dari masalah dan akibat yang membahayakan pasien dan mempertahankan dari ancaman pada individu.65