• Tidak ada hasil yang ditemukan

Integrasi Nasional

Dalam dokumen Pendidikan Kewarganegaraan (Halaman 178-183)

INTEGRASI NASIONAL DAN TOLERANSI

A. Integrasi Nasional

Pendahuluan

Setelah keruntuhan Uni Soviet, pada tahun 1992 Anne Booth, seorang ekonom dan pengamat Indonesia menulis suatu artikel di jurnal Indonesia Circle dengan judul yang provokatif, Can Indonesian Survive as a Unitary State? (Booth: 1992). Artikel Booth ini sangat skeptik terhadap masa depan Indonesia sebagai negara kesatuan dan berargumen bahwa disintegrasi Indonesia tinggal menunggu waktu jika tidak terjadi perubahan fundamental dalam tata cara pengelolaan negara, terutama yang terkait dengan pola hubungan pusat dan daerah. Pada saat itu, tak sedikit pengamat asing yang memprediksi bahwa Indonesia akan mengalami proses Balkanisasi, atau terkoyaknya negara kesatuan menjadi negara-negara kecil seperti di wilayah Eropa Timur, akibat kristalisasi dari gejolak kekecewaan daerah. Untuk menghadapi persoalan ini, nyaris semua pengamat merekomendasikan resep yang seragam, yaitu demokratisasi, desentralisasi dan otonomi daerah dalam berbagai variannya.

Para penganjur otonomi daerah percaya bahwa integrasi nasional hanya dapat dipertahankan secara jangka panjang dengan memberikanmasyarakat lokal hak yang lebih besar untuk mengelola sumber daya alamnya masing- masing. Kini, enam belas tahun setelah terporak-porandanya negara-negara di Eropa Timur, Republik Indonesia masih tetap berdiri dengan segala persoalannya. Sangatlah mungkin jika ternyata otonomi daerah memang memberikan insentif terhadap kelangsungan republik ini pascahilangnya cengkeraman rezim otoriter. Namun tragisnya, ternyata konsep otonomi daerah yang mengikuti arus reformasi yang menerpa republik ini sejak 1998 tidak memberi jaminan terwujudnya stabilitas politik dan ketertiban sosial.

Demokratisasi dan otonomi daerah juga ternyata menampilkan sejumlah persoalan-persoalan baru. Tampilnya raja-raja kecil di daerah, proliferasi korupsi di daerah, perebutan sumber daya dan konfl ik kewenangan di daerah, terbentulknya berbagai organisasi masa yang mengusung sentimen identitas lokal, serta menguatnya sentimen putra daerah nonputra daerah dalam kontestasi politik lokal.

Di banyak daerah, konfl ik kekerasan disebabkan oleh tokoh etnis lokal yang bersaing memperebutkan kekuasaan politik dan akses terhadap sumber daya materil (van Klinken 2001). Terminologi putra daerah kerap

diintrepretasikan secara longgar dengan tidak hanya mengacu kepada aspek etnisitas, melainkan juga kepada domisili dan tempat kelahiran untuk memberikan ruang bagi tampilnya elit nasional yang mengincar posisi

strategis di daerah. Tornquist (2002) secara sinis menjuluki model demokrasi di Indonesia sebagai “bad guys democracy” atau demokrasi yang berpihak pada mafi a – mafi a lokal, preman dan koruptor.

Di Indonesia istilah integrasi masih sering disamakan dengan istilah

pembauran atau asimilasi, padahal kedua istilah tersebut memiliki perbedaan.

Integrasi diartikan dengan integrasi kebudayaan, integrasi sosial, dan

pluralisme sosial. Sementara pembauran dapat berarti penyesuaian antardua atau lebih kebudayaan mengenai berapa unsur kebudayaan (cultural traits) mereka yang berbeda atau bertentangan, agar dapat dibentuk menjadi suatu sistem kebudayaan yang selaras (harmonis). Caranya adalah melalui difusi (penyebaran), dimana unsur kebudayaan baru diserap ke dalam suatu kebudayaan yang berada dalam keadaan konfl ik dengan unsur kebudayaan tradisional tertentu. Cara penanggulangan masalah konfl ik adalah melalui modifi kasi dan koordinasi dari unsur - unsur kebudayaan baru dan lama.

Inilah yang disebut sebagai Integrasi Sosial (Theodorson & Theodorson, 1979 dalam Danandjaja, 1999).

Integrasi sosial adalah penyatupaduan dari kelompok- kelompok masyarakat yang asalnya berbeda, menjadi suatu kelompok besar dengan cara

melenyapkan perbedaan dan jatidiri masing- masing. Dalam arti ini, integrasi sosial sama artinya dengan asimilasi atau pembauran(ICCE, 2003).

Perbedaan dengan pembauran adalah bahwa kelompok- kelompok sosial yang telah bersatu itu, tetap mempunyai kebudayaan yang berbeda satu sama lain, karena adanya loyalitas terhadap kelompok- kelompok asalnya yang mempunyai kebudayaan yang berbeda. Sedangkan pada kelompok- kelompok masyarakat yang telah membaur itu, perbedaan tersebut sudah tidak ada lagi (Danandjaja, 1999).

Pluralisme kebudayaan adalah pendekatan heterogenis atau kebhinnekaan kebudayaan, dengan kebudayaan suku-suku bangsa dan kelompok-kelompok minoritas diperkenankan mempertahankan jatidiri mereka masing-masing

Paket 7 Integrsi Nasional dan Toleransi 7 - 9 masyarakat menjadi suatu keseluruhan yang lebih utuh, atau memadukan masyarakat-masyakarat kecil yang banyak jumlahnya menjadi suatu bangsa (ICCE,2007). Masalah integrasi nasional di Indonesia yang sangat kompleks bahkan belum fi nal.

Masalah integrasi nasional di Indonesia sangat kompleks dan multidimensional.

Untuk mewujudkannya diperlukan keadilan kebijakan yang diterapkan oleh pemerintah dengan tidak membedakan ras, suku, agama, bahasa, gender, dan sebagainya. Sebenarnya, upaya membangun keadilan, kesatuan, dan persatuan bangsa merupakan bagian dari upaya membangun dan membina stabilitas politik di samping upaya lain seperti banyaknya keterlibatan

pemerintah dalam menentukan komposisi dan mekanisme parlemen.

Dengan demikian upaya integrasi nasional dengan strategi yang mantap perlu terus dilakukan agar terwujud integrasi bangsa Indonesia yang diinginkan.

Upaya pembangunan dan pembinaan integrasi nasional ini perlu, karena pada hakekatnya integrasi nasional tidak lain menunjukkan tingkat kuatnya kesatuan dan persatuan bangsa yang diinginkan (Mahfud, 1993). Pada akhirnya persatuan dan kesatuan bangsa inilah yang dapat lebih menjamin terwujudnya negara yang makmur aman dan tentram. Jika melihat konfl ik yang terjadi di Aceh, Ambon, Kalimantan Barat, dan Papua merupakan cermin dari belum terwujudnya integrasi nasional yang diharapkan selama ini.

Menuju Integrasi Nasional

Jatuhnya rezim otoriter Orde Baru, berbagai konfl ik sosial politik di Indonesia terus menerus terjadi. Antara tahun 1997 dan 2002, sekurang-kurangnya 10.000 orang terbunuh dalam konfl ik kekerasan di seluruh pelosok negeri (Bentrand, 2004). Di Maluku setidaknya 5.000 orang tewas dalam konfl ik berdarah antara umat Islam dan Kristen yang dimulai sejak awal 1999.

Walaupun di masa, Orde Baru, konfl ik antara umat Islam dan Kristen juga kerap terjadi, namun setelah tahun 1998, konfl ik antara dua kelompok agama ini mengalami eskalasi yang sangat signifi kan dengan tingginya jumlah korban jiwa (Tadjoeddin 2004). Pada bulan, Oktober 2002, ledakan bom di daerah wisata Kuta di Bali merupakan serangan sekelompok oknum terbesar kedua setelah tragedi 11 September 2001 di New York, karena memakan korban hampir sekitar 200 orang, sekaligus menjadi peristiwa paling berdarah yang menyangkut gerakan Islam radikal di tanah air. Konfl ik kekerasan bukanlah hal yang baru dalam episode sejarah Indonesia. Sejak masa keemasan kerajaan Majapahit, hingga era kolonialisme dan perjuangan kemerdekaan, dinamika konfl ik kekerasan selalu lekat mengiringi. Karenanya, Indonesianis sekaliber Ben Anderson tidak segan-segan untuk berpendapat bahwa kultur kekerasan bukanlah monopoli penguasa Orde Baru saja, tetapi sudah sejak lama diidap oleh semua lapisan di dalam masyarakat (Anderson, 2001).

Namun demikian, dahsyatnya tingkat konfl ik dan kekerasan atas nama

agama, kepentingan etnis dan kelompok di berbagai pelosok negeri, menuntut penjelasan yang lebih luas ketimbang sekedar faktor kultural ataupun dampak dari euphoria politik dari proses demokratisasi.

Jika pada masa Orde Baru, ancaman terbesar bagi integrasi nasional cenderung datang dari akumulasi kekecewaan daerah terhadap pusat, atau konfl ik yang bersifat vertikal, maka dewasa ini, kekerasan dan konfl ik horisontal menjelma menjadi ancaman serius bagi integrasi nasional. Kuatnya tradisi dominasi kekuatan politik otoriter selama 32 tahun sebagai pemaksa utama integrasi nasional menimbulkan kekhawatiran besar atas kemampuan bangsa ini untuk secara demokratis mengelola perbedaan dan mengatasi konfl ik internal. Tak kurang dari seorang Bill Liddle yang pada era 80 –an, dalam salah satu artikelnya menyatakan dugaannya bahwa mayoritas elit di Indonesia memiliki keyakinan bahwa tanpa pola kepemimpinan yang paternalistik, Indonesia akan terjerumus kedalam kekacauan karena begitu parahnya tingkat keterbelakangan mayoritas rakyat Indonesia serta dalamnya pengkotakan kultural dalam masyarakat (Liddle, 1985).

Eskalasi konfl ik horisontal di tanah air pascaruntuhnya rezim Orde Baru mengindikasikan satu hal penting, yaitu belum tuntasnya proses integrasi bangsa atau nation building. Merujuk kepada tipologi konfl ik dari Sosiolog Ralf Dahrendorf, bahwa konfl ik dapat dimaknai sebagai akibat dari proses integrasi di

dalam masyarakat yang tidak tuntas. Dengan kata lain, konfl ik adalah patologi sosial yang muncul sebagai akibat dari gagalnya upaya untuk membangun identitas bersama.

Proses nation building di masa Orde Baru terbukti sangatlah rentan ketika dihadapkan pada situasi dimana terjadi perubahan karakter rezim yang sangat drastis. Kegagalan proses nation building di Indonesia dicirikan oleh sejumlah fenomena. Pertama adalah hubungan masyarakat di republik ini yang bersifat low-trust society. Secara umum, minimnya tingkat kepercayaan terjadi di tiga jenis relasi di masyarakat, yaitu relasi antara masyarakat dengan elit, antara elit sendiri, dan antara masyarakat. Menurunnya tingkat partisipasi politik rakyat di pemilihan kepala daerah (Pilkada) langsung misalnya, merupakan indikasi rendahnya kepercayaan masyarakat terhadap elit politik. Konfl ik etnis dan agama adalah ilustrasi paling gamblang dari

Paket 7 Integrsi Nasional dan Toleransi 7 - 11 dengan tradisional), jaringan patronase politik-ekonomi ataupun sekedar

lingkaran-lingkaran pertemanan (kompetisi antara alumni Amerika dan alumni Australia). Keyakinan yang nyaris absolut dari setiap kelompok tentang nilai kebenaran kelompoknya merupakan penyakit `ekstrimitas’ yang menjangkiti masyarakat Indonesia dewasa ini. Penyakit ekstrimitas telah menyingkirkan kultur ‘kritik diri’ (self criticism) yaitu kemampuan untuk melihat secara kritis sejauhmana upaya perjuangan identitas kelompok menemukan

relevansinya dalam konteks perbaikan kehidupan bermasyarakat. Konfl ik dan persaingan gagal untuk dimaknai sebagai positive sum-game (sama-sama menguntungkan), tetapi lebih berupa zero-sum game (satu untung, satu rugi).

Ketiga, adalah ambruknya nilai-nilai kemanusiaan dan menguatnya nilai- nilai pragmatisme dan materialisme. Sekelompok pakar berpendapat bahwa proses pembangunan di negara-negara berkembang berpotensi untuk menjadi violent-generating process (proses pembentukan kekerasan).

Olson misalnya menyatakan bahwa perubahan secara cepat di dalam teknik produksi dan prilaku ekonomi akan membawa masyarakat pada situasi anomy yang dicirikan dengan perasaan hilangnya pijakan dan hilangnya norma-norma (Olson 1997). Ironi dari bangsa Indonesia hari ini adalah rontoknya tradisi meritokrasi dan hilangnya kapasitas visioner yang diiringi dengan menggejalanya “tradisi instan” di segala lapisan masyarakat. Belajar dari pengalaman negara-negara di Amerika Latin, suatu sistem politik yang didominasi oleh kalkulasi materi dan agenda-agenda politik yang pragmatis, tidaklah memiliki kemampuan jangka panjang untuk mengantarkan suatu negara bangsa mencapai fase demokrasi yang terkonsolidasi.

Selanjutnya, dampak dari proses nation building yang belum tuntas tadi semakin diperparah dengan adanya kecenderungan yang kuat dari pemerintah Indonesia pascaorde baru yang lebih mengalokasikan energi yang dimiliki untuk melakukan penataan perangkat-perangkat kekuasaan formal (state building) seperti revitalisasi parlemen, penguatan sistem presidensil, pembentukan Dewan Perwakilan Daerah (DPD) dan penataan sistem pemilu dan kepartaian. Tidak banyak konsep dan rencana jangka panjang yang digagas oleh pemerintah dalam konteks nation building untuk mengokohkan identitas kolektif sebagai bangsa, selain upaya membangun dialog antarelemen dan merumuskan resolusi konfl ik di beberapa

wilayah konfl ik. Hal ini agaknya dapat dijelaskan dengan melihat bahwa ketidakpastian konstelasi politik sebagai konsekuensi dari sistem demokrasi liberal cenderung telah memaksa para elit politik untuk berpikir secara jangka pendek lima tahunan. Hanya program-program jangka pendek yang terukur oleh publiklah yang kemudian diminati oleh para elit politik, daripada gagasan-gagasan jangka panjang seperti upaya mengokohkan identitas kolektif sebagai bangsa yang besar dan majemuk.

Untuk keluar dari komplikasi permasalahan mengenai konfl ik dan integrasi nasional, perlu diteliti sisi lain dari konfl ik menurut Dahrendorf, yaitu bahwa

konfl ik juga dapat dilihat sebagai mekanisme alamiah dalam konteks rekonstruksi sosial untuk mencari keseimbangan baru dan menghilangkan unsur-unsur disintegratif dalam masyarakat. Karenanya, jika mengacu kepada sisi tersebut, analisis terhadap, konfl ik kekerasan yang kini terjadi dapat diarahkan untuk mengidentifi kasi unsur-unsur disintegratif, serta kemudian menghilangkan unsur-unsur tersebut guna mencapai keseimbangan baru.

Unsur-unsur disintegratif yang paling menonjol dewasa ini seperti yang telah diurai diatas adalah menonjolnya sifat ekstrimitas, defi sit kepercayaan sosial dan ambruknya nilai-nilai kemanusiaan. Unsur-unsur disintegratif tersebut hanya dapat dihilangkan dengan cara melakukan proses transformasi konfl ik, yaitu menyalurkan energi negatif konfl ik kepada saluran-saluran alternatif yang akan mengelola konfl ik tersebut. Karenanya, untuk mengatasi komplikasi antara konfl ik kekerasan, politik identitas dan konsolidasi

demokrasi, diperlukan komitmen politik dari para elit politik untuk memulai suatu projek jangka panjang, merumuskan suatu cetak biru mengenai strategi dan taktik proses nation building untuk membangun kultur baru bangsa yang mengapresiasi perbedaan sebagai modal sosial dan mencetak generasi baru yang terinspirasi oleh kata-kata bijak dari Voltaire (1694-1778): I detest what you say but will defend to the death your right to say it.

Dalam dokumen Pendidikan Kewarganegaraan (Halaman 178-183)