• Tidak ada hasil yang ditemukan

Teori Terbentuknya Negara

Dalam dokumen Pendidikan Kewarganegaraan (Halaman 88-101)

Uraian Materi 3.2

D. Teori Terbentuknya Negara

Proses Terjadinya Negara Secara Teoritis

Secara teoritis, para ahli politik dan hukum tata negara negara berusaha membuat teoresasi tentang terjadinya negara. Pertama, teori hukum alam.

Pemikiran ini muncul pada masa Plato dan Aristoteles: Terjadinya negara adalah sesuatu yang alamiah. Kedua, teori ke-Tuhanan (Islam dan Kristen).

Segala sesuatu adalah ciptaan Tuhan. Ketiga, teori perjanjian (Thomas Hobbes). Manusia menghadapi kondisi alam dan timbullah kekerasan.

Manusia akan musnah bila tidak mengubah cara-caranya. Manusia pun bersatu untuk mengatasi tantangan dan menggunakan persatuan dalam gerak tunggal untuk kebutuhan bersama (Sumarsono dkk, 2005). Keempat, teori kontrak sosial. Teori kontrak sosial atau teori perjanjian masyarakat beranggapan bahwa negara dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat dalam tradisi sosial masyarakat barat. Kelima, teori kekuatan.

Teori kekuatan dapat diartikan bahwa negara terbentuk karena adanya dominasi negara kuat, melalui penjajahan. (Ubaidillah, 2006)

Menurut Samidjo (1986) asal mula negara merupakan persoalan yang cukup sulit. Kesulitan ini disebabkan karena genetika negara (ilmu keturunan) negara, saat-saat negara yang pertama dibentuk, belum terdapat bukti-bukti yang meyakinkan. Karena itu, teori tentang asal mula negara bercorak spekulatif dan abstrak dan lebih banyak merupakan renungan-renungan dan pemikiran- pemikiran teoritis-deduktif daripada uraian-uraian yang empiris-induktif.

Teori tentang asal mula negara dapat dimasukkan ke dalam dua golongan besar, yakni teori spekulatif dan teori historis. Berikut ini termasuk teori-teori yang spekulatif.

a. Teori Perjanjian Masyarakat

Teori perjanjian masyarakat atau teori kontrak sosial menganggap

“perjanjian” sebagai dasar negara dan masyarakat; negara dan

masyarakat yang dibentuk berdasarkan perjanjian-perjanjian masyarakat adalah teori asal mula negara yang ditemukan dalam tulisan-tulisan sepanjang zaman, sejak pemikiran politik yang mulai rasional dimulai, dalam tulisan-tulisan fi losof-fi losof Yunani Purba sampai pada teori-teori Rousseau dalam abad ke XVIII.

Teori ini pertama kali disusun oleh Thomas Hobbes (1588-1679), digambarkannya diantaranya dalam karya De Ci dan Leviathan, bahwa manusia itu pada mulanya sekali hidup dalam keadaan liar dan kacau, dimana si kuat menjadi raja. Akan lahir dan tampil si kuat yang baru.

Bertarunglah si kuat dengan si kust, lalu si lemah akan terjepit mati.

Merajalela hukum rimba dan struggle of fi ttest. Jean Jacques Rousseao (1712-1778), mengemukakan suatu teori perjanjian dan kekuasaan dalam karyanya Contrac Sosial. John Locke (1632-1704) melahirkan teori

perjanjian dan pembagian kekuasaan. Sedangkan Montesqieu (1688-1755), melahirkan teori trias politica, (pembagian kekuasaan) (Hutauruk, 1983).

b. Teori Teokratis (Ke-Tuhanan)

Tuhan Yang Maha Kuasa (Monotheisme) atau dewa-dewi (Polytheisme) yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya. Jadi negara dan kekuasaan pun mesti bersumbar pada-Nya. Dianugerahkan-Nya kekuasaan itu kepada kaum alim ulama yang tahu dari buku suci hukum yang ditetapkan oleh Tuhan buat hidup di dunia dan akhirat.Tokoh-tokoh teori ketuhanan: Augustinus (354-430); Thomas Aquinas (Aquino) (1225- 1274); Dante Aligheiri (1265-1321); Marsillius (1270-1340).

c. Teori Kekuatan

Teori ini berpendapat bahwa yang memiliki kemampuan untuk berkuasa atau yang berhasil mengumpulkan kekuasaan, mereka itu berpendapat bahwa, sewajarnyalah mereka yang memegang pimpinan negara. Warga lainnya mesti tunduk saja karena pada mereka tidak ada kualitas untuk berkuasa. Kekuatan untuk berkuasa, terbagi dalam: kekuatan fi sik, kekuatan ekonomi, kekuatan sosial (Hutahuruk, 1983). Tokoh-tokoh teori ini: Ludwin Gumplowicz, Kallikles, Voltaire, Karl Marx, Harold J. Laski, Dugit, Jellinek, Plato, dan F. Oppenheimer.

d. Teori Patriarkhial dan Matriarkhal

Dalam budaya patriarkhi bapaklah yang berkuasa, dalam sebuah keluarga. Keluarga berkembang biak dan terjadilah beberapa keluarga yang kesemuanya dipimpin oleh kepala keluarga (bapak). Lambat laun kelompok keluarga tersebut merupakan kesatuan etnis yang besar dan terjadilah suku patriarkhi yang pertama. Kepala-kepala suku merupakan primus interpares, sampai saat dibentuk semacam pemerintahan yang disentralisir. Lambat laun persekutuan suku meluas, karena lancarnya hubungan dengan suku-suku tetangga. Karena lancarnya perhubungan ini timbul pula masalah-masalah baru yang memperluas fungsi kepala-kepala keluarganya. Suku menjadi persekutuan-persekutuan etnis yang bercorak ragam dan inilah benih-benih pertama terbentuknya suatu negara. Jadi negara adalah perkelompokan suku.

Matriarkhal merupakan stelsel persekutuan, dimana terdapat hak-hak keibuan (mother right) yang mungkin didampingi oleh pimpinan kaum ayah (father rule). Menurut teori matriarkhal, persekutuan primitif yang

Paket 3 Konsep Masyarakat, Bangsa dan Negara 3 - 15 disamakan dengan kepala dan para individu sebagai dagingnya.

f. Teori Daluwarsa

Teori daluwarsa (prescriptive possession theory) dikenal juga sebagai doktrin legitimisme. Teori ini mengatakan bahwa raja bertahta bukan karena jure divino (kekuasaan berdasarkan hak-hak ke-Tuhanan) melainkan berdasarkan “kebiasaan”, jure consuetudinario. Raja dan organisasinya yaitu negara kerajaan, timbul karena adanya milik yang sudah lama ada yang kemudian melahirkan hak milik. Raja bertahta karena hak milik itu, yang didasarkan atas hukum kebiasaan. Menurut Jean Bodin (Sarjana Prancis), menghubungkan teori daluwarsa dengan teori patriarkhi. Loyseau mengatakan raja bertahta dengan cara yang berbeda-beda, yaitu dengan seizin rakyat, dengan kekuatan (perebutan dan perampasan) belaka dan pada negara monarkhi. Raja yang bertahta, baik atas seizin rakyat maupun tanpa izin rakyat, kemudian memperoleh kedaulatan daluwarsa.

g. Teori Alamiah

Teori alamiah ini dikemukakan oleh Aristoteles (384-322 SM). Menurutnya negara adalah ciptaan alam. Kodrat manusia membenarkan adanya negara karena manusia pertama-tama adalah mahluk politik (zoon

politikon) dan baru kemudian menjadi mahluk sosial. Karena kodrat itulah manusia ditakdirkan untuk hidup bernegara. Tokoh lainnya adalah Grotius (Hugo de groot).

h. Teori Idealistis

Teori ini dikenal dengan beberapa istilah lain, yaitu teori mutlak, teori fi losofi s dan yang lebih lazim lagi dikenal dengan istilah teori metafi sis.

Penggunaan istilah-istilah tersebut diatas, masing-masing memperlihatkan sifat-sifat/ciri-ciri khas dari teori idealis. Teori ini berpendapat bahwa negara memiliki kemampuan sendiri, kepentingan sendiri dan nilai-nilai moralitas sendiri. Menentang kekuasaan negara tidak pernah dibenarkan.

Kewajiban mentaati negara adalah merupakan tugas suci, sekalipun penguasa itu tidak sah dan pemerintah dilaksanakan oleh usurpator (yang merebut negara, penakluk), karena negara menjemalkan idea yang suci dan bersifat ketuhanan. Bapak teori ini adalah Immanuel Kant (1724- 1804), G.W.F. Hegel (1770-1831).

Sementara itu, tentang teori historis diuraikan berikut. Teori hukum alam yang rationalistis mendapat tantangan dari golongan ahli hukum yang

mendasarkan teorinya atas perkembangan hukum dalam sejarah.Tokoh aliran ini adalah Freiderich Carl Von Savigny (1779-1861). Menurut dia, masyarakat manusia di dunia terbagi dalam banyak masyarakat bangsa (rakyat) dan tiap- tiap masyarakat bangsa itu mempunyai volksgeist (jiwa rakyat)nya sendiri yang berbeda-beda menurut tempat dan zaman. Karena volksgeist rakyat berbeda-beda menurut tempat dan zaman, maka isi hukum ditentukan oleh sejarah masyarakat manusia tempat hukum itu berlaku (Samidjo, 1986).

Proses Terjadinya Negara di Zaman Modern

Menurut pandangan ini dalam kenyataanya, terjadinya negara bukan

disebabkan oleh teori-teori seperti atas. Negara-negara di dunia ini terbentuk karena melalui beberapa proses berikut.

Penaklukan atau occupation

Penaklukan yaitu suatu daerah yang tidak dipertuan kemudian diambil alih dan didirikanlah negara di wilayah itu. Misal, Liberia adalah daerah kosong yang dijadikan negara oleh para budak Negro yang telah dimerdekakan orang Amerika. Liberia dimerdekakan pada tahun 1847.

Peleburan atau fusi

Peleburan (fusi) adalah suatu penggabungan dua atau lebih negara menjadi negara baru. Misal, Jerman Barat dan Jerman Timur bergabung menjadi negara Jerman.

Pemecahan

Pemecahan adalah terbentuknya negara-negara baru akibat terpecahnya negara lama sehingga negara sebelumnya menjadi tidak ada lagi. Contoh:

Yugoslavia terpecah menjadi negara Serbia, Bosnia, dan Montenegro. Uni Soviet terpecah menjadi banyak negara baru. Cekoslovakia terpecah menjadi negara Ceko dan Slovakia.

Pemisahan diri

Pemisahan diri adalah memisahnya suatu bagian wilayah negara kemudian terbentuk menjadi negara baru. Pemisahan berbeda dengan pemecahan di mana negara lama masih ada. Misal India kemudian terpecah menjadi India, Pakistan, dan Bangladesh.

Perjuangan atau revolusi

Perjuangan merupakan hasil dari rakyat suatu wilayah yang umumnya dijajah negara lain kemudian memerdekakan diri. Contohnya adalah Indonesia yang melakukan perjuangan revolusi sehingga mampu membentuk negara merdeka. Kebanyakan kemerdekaan yang diperoleh negara Asia Afrika setelah perang dunia II adalah hasil perjuangan rakyatnya.

Penyerahan/pemberian

Penyerahan atau pemberian adalah pemberian kemerdekaan kepada suatu

Paket 3 Konsep Masyarakat, Bangsa dan Negara 3 - 17 dengan konstitusi, misalnya berkewajiban untuk menjamin dan melindungi seluruh warga negara Indonesia tanpa kecuali. Negara berkewajiban untuk menjamin dan melindungi hak-hak warga negara dalam beragama sesuai dengan keyakinannya, hak mendapatkan pendidikan, kebebasan berorganisasi dan berekspresi.

Hubungan Agama dan Negara: Kasus Islam

Dalam Islam, hubungan agama dan negara masih menjadi perdebatan yang intensif di kalangan pakar muslim hingga kini. Menurut Azyumardi Azra, ketegangan perdebatan hubungan tentang hubungan agama dan negara dalam Islam disulut oleh hubungan yang agak canggung antara Islam sebagai agama (din) dan negara (dawlah). Berbagai eksperiman telah dilakukan untuk menyelaraskan antara din dan dawlah dengan konsep dan kultur politik masyarakat muslim. Seperti halnya percobaan demokrasi di sejumlah negara di dunia, penyelarasan din dan dawlah di banyak negeri-negeri muslim telah berkembang secara beragam. Perkembangan wacana demokrasi di kalangan negara-negara muslim dewasa ini semakin menambah maraknya perdebatan Islam dan negara.

Hubungan Islam dan negara modern secara teoritis dapat diklasifi kasikan kedalam tiga pandangan: integralistik, simbiotik, dan sekularistik.

Paradigma Integralistik

Paradigma ini hampir sama persis dengan pandangan negara teokrasi Islam.

Paradigma ini menganut paham dan konsep agama dan negara merupakan suatu kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Keduanya merupakan dua lembaga yang menyatu (integrated). Faham ini juga memberikan penegasan bahwa negara merupakan suatu lembaga politik dan sekaligus lembaga agama. Konsep ini menegaskan kembali bahwa Islam tidak mengenal pemisahan antara agama (din) dan politik atau negara (dawlah).

Paradigma simbiotik

Menurut paradigma simbiotik, hubungan agama dan negara berada pada posisi saling membutuhkan dan bersifat timbal balik (symbiosis mutualita).

Dalam konteks ini, agama membutuhkan negara sebagai instrumen dalam melestarikan dan mengembangkan agama. Begitu juga sebaliknya, negara juga memerlukan agama, karena agama juga membantu negara dalam

pembinaan moral, etika, dan spiritualitas warga negaranya. Menurut pendapat Ibnu Taimiyah antara negara dan agama merupakan dua entitas yang

berbeda, tetapi saling membutuhkan. Oleh karenanya, konstitusi yang berlaku dalam paradigma ini tidak saja berasal dari adanya kontrak sosial (social contract) tetapi bisa diwarnai oleh hukum agama (syari’at). Dengan kata lain, agama tidak mendominasi kehidupan bernegara, sebaliknya ia menjadi sumber moral bagi kehidupan berbangsa dan bernegara. Model pemerintahan negara Mesir dan Indonesia dapat digolongan kepada kelompok paradigma ini.

Paradigma sekularistik

Paradigma ini beranggapan ada pemisahan yang jelas antara agama dan negara. Agama dan negara merupakan dua bentuk yang berbeda dan satu sama lain tidak boleh melakukan intervensi. Negara adalah urusan publik, sementara agama merupakan wilayah pribadi masing-masing individu warga negara (Rosyada, 2003).

Hubungan Agama dan Negara di Indonesia

Masalah hubungan Islam dan negara di Indonesia merupakan persoalan yang menarik untuk dibahas, karena tidak saja Indonesia merupakan negara yang mayoritas warga negaranya beragama Islam, tetapi karena kompleksnya persoalan yang muncul. Mengkaji hubungan agama dan negara di indonesia, secara umum digolongkan menjadi dua bagian, yakni hubungan yang bersifat antagonistik dan hubungan yang bersifat akomodatif.

Hubungan agama dan negara yang bersifat antagonistik

Eksistensi politik Islam pada awal kemerdekaan sampai pascarevolusi pernah dianggap sebagai pesaing kekuasaan yang dapat mengusik basis kebangsaan negara. Persepsi tersebut, membawa implikasi terhadap keinginan negara untuk berusaha menghalangi dan melakukan domestikasi terhadap gerak ideologi politik Islam. Sebagai hasil dari kebijakan semacam ini, bukan saja para pemimpin dan aktivis politik Islam gagal untuk

menjadikan Islam sebagai ideologi dan atau agama negara (pada tahun 1945 dan dekade 1950an), tetapi mereka juga sering disebut sebagai kelompok yang secara politik ‘minoritas” atau “outsider”. Lebih dari itu, bahkan politik Islam sering dicurigai sebagai anti ideologi negara Pncasila (Bachtiar Efendy dalam Rosyada: 2003)

Lebih lanjut Bahtiar mengatakan, bahwa di Indonesia, akar antagonisme hubungan politik Islam dan negara tak dapat dilepaskan dari konteks kecenderungan pemahaman keagamaan yang berbeda. Awal hubungan antagonistik ini dapat ditelusuri dari masa pergerakan kebangsaan, ketika elit politik nasional terlibat dalam perdebatan tentang kedudukan Islam di alam Indonesia merdeka. Perdebatan ini mencapai klimaknya di Konstituante pada paruh kedua dasawarsa 1950-an. Pergulatan ini memunculkan mitos tertentu sejauh yang menyangkut pemikiran dan praktik politik Islam.

Paket 3 Konsep Masyarakat, Bangsa dan Negara 3 - 19 mengembangkan wacana politiknya serta munculnya kebijakan-kebijakan yang dianggap positif bagi umat Islam. Menurut Affan Gaffar (dalam Rosyada, 2003) kecenderungan akomodasi negara terhadap Islam juga ditengarahi adanya kebijakan pemerintah dalam bidang pendidikan dan kegamaan serta kondisi dan kecenderungan politik umat Islam sendiri. Pemerintah menyadari kelompok Islam merupakan kekuatan politik yang potensial, oleh karenanya negara lebih memilih akomodasi terhadap Islam, karena jika negara

menempatkan Islam sebagai outseder, maka konfl ik akan sulit dihindari yang pada akhirnya akan membawa imbas terhadap proses pemeliharaan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Munculnya sikap akomodatif dari negara terhadap Islam khususnya ditandai dengan pengesahan Rancangan Undang-Undang Pendidikan Nasional, Rancangan Undang-Undang Peradilan Agama, munculnya ICMI dan lain sebagainya. Menurut Affan Gaffar (dalam Dede Rosyada: 2003), munculnya sikap akomodatif negara terhadap Islam ada beberapa alasan, pertama, dari kacamata pemerintah, Islam merupakan kekuatan yang tidak dapat diabaikan yang pada akhirnya kalau diletakkan pada posisi pinggiran, akan menimbulkan masalah politik yang cukup rumit. Oleh karenanya sudah sewajarnya diakomodasi, sehingga konfl ik dapat diredam sejak dini.Kedua, di kalangan pemerintah sendiri, terdapat sejumlah fi gur yang tidak terlalu fobia terhadap Islam, bahkan mereka mempunyai dasar ke-Islaman yang kuat sebagai akibat dari latar belakangnya, misalnya Emil Salim, B.J. Habibie, Akbar Tanjung dan lain sebagainya. Mereka tentu saja berperan dalam membentuk sikap politik pemerintah paling tidak untuk tidak menjauhi Islam.

Ketiga, adanya perubahan persepsi, sikap dan orientasi politik di kalangan Islam itu sendiri.

Rangkuman

1. Konsep masyarakat, bangsa dan negara itu berbeda secara mendasar.

Bangsa adalah masyarakat etnis atau budaya, sumber jati diri untuk masyarakat. Sementara itu, negara adalah institusi politik, sumber dari kekuasaan. Jika suatu bangsa sedang mencari jati dirinya, sementara negara yang menghimpun mereka tak mampu memberikan jawabannya, maka bisa dibayangkan, bahwa negara kebangsaan itu akan kolaps.

2. Dalam konsepsi Islam, menurut kebanyakan ahli politik modern, tidak ditemukan rumusan yang pasti (qath’i’) tentang konsep negara. Dua sumber Islam, al-Qur’an dan al-Sunnah, tidak secara tersurat mendefi nisikan

model negara dalam Islam. Namun demikian, keduanya memuat prinsip- prinsip dasar tata cara hidup bermasyarakat. Ketidakadaan konsep yang pasti tentang negara telah melahirkan beragam pemikiran tentang konsep negara dalam tradisi pemikiran politik.

3. Fungsi negara merupakan gambaran yang dilakukan negara untuk

mencapai tujuannya. Fungsi negara dapat dikatakan sebagai tugas negara.

Keseluruhan fungsi negara tersebut diselenggarakan oleh pemerintah untuk mencapai tujuan negara yang telah ditetapkan bersama. Adapun tujuan suatu negara berbeda-beda satu dengan yang lain. Tujuan negara Indonesia tercantum pada Pembukaan UUD 1945 alenia IV (empat) yaitu untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial. Selain itu, dalam amandemen ketiga UUD 1945 Pasal 1 ayat 3 ditetapkan bahwa “Negara Indonesia adalah negara hukum”. Dari Pasal tersebut, dapat dikatakan bahwa Indonesia merupakan suatu negara hukum (rechtstaat) tidak berdasarkan kekuasaan belaka (machstaat) yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan umum, membentuk suatu masyarakat adil dan makmur.

4. Dalam Konvensi Montevidio tahun 1933 disebutkan bahwa suatu negara harus memiliki 3 (tiga) unsur penting, yaitu rakyat, wilayah, dan pemerintah.

Sejalan dengan itu, Mac Iver merumuskan bahwa suatu negara harus memenuhi 3 (tiga) unsur pokok, yaitu pemerintahan, komunitas atau rakyat, dan wilayah tertentu. Ketiga unsur ini oleh Mahfud MD di sebut dengan

Paket 3 Konsep Masyarakat, Bangsa dan Negara 3 - 21 sesuai dengan keyakinannya, hak mendapatkan pendidikan, kebebasan berorganisasi dan berekspresi. Hubungan agama dan negara di Indonesia, secara umum digolongkan menjadi dua bagian, yakni hubungan yang bersifat antagonistik dan hubungan yang bersifat akomodatif.

Lembar PowerPoint 3.3

Paket 3 Konsep Masyarakat, Bangsa dan Negara 3 - 23

Paket 3 Konsep Masyarakat, Bangsa dan Negara 3 - 25

Dalam dokumen Pendidikan Kewarganegaraan (Halaman 88-101)