• Tidak ada hasil yang ditemukan

Isi Peraturan Hukum

Dalam dokumen BUKU DASAR-DASAR ILMU HUKUM (Halaman 41-45)

MENGENAL HUKUM

C. Peraturan Hukum Konkrit

2. Isi Peraturan Hukum

yang menentukan.

In casu a quo, Pasal 10 ayat (2) secara rubrica est lex berada dalam Bab II tentang Perlindungan Dan Hak Saksi Dan Korban, sedangkan substansi pasal tersebut tidak menjamin perlindungan terhadap whistle blower dari tuntutan hukum terutama hukum pidana. Demikian pula secara titulus est lex, judul undang-undang tersebut adalah perlindungan saksi dan korban. Jadi apapun status dari saksi tersebut harus tetap diberi perlindungan. Ketentuan Pasal 10 ayat (2) undang- undang a quo terlepas dari konteks perlindungan itu sendiri. Dengan demikian ketentuan tersebut tidak menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia.

Akan tetapi permohonan tersebut ditolak oleh Mahkamah Konstitusi dengan alasan bahwa Pasal 10 ayat (2) tersebut harus dimaknai sebagai ketentuan yang secara jelas dan tegas bersifat eksepsional dari Pasal 10 ayat (1), sehingga ketentuan yang terdapat pada Pasal 10 ayat (1) harus dimaknai tidak berlaku terhadap saksi yang juga tersangka dalam kasus yang sama. Pasal 10 ayat (2) mempunyai makna atau merupakan penegasan bahwa saksi yang dilindungi hanyalah saksi yang sama sekali tidak terlibat sebagai pelaku dalam tindak pidana tersebut26.

Ketiga, isi peraturan hukum yang bersifat larangan. Di sini isi peraturan tersebut melarang untuk melakukan perbuatan-perbuatan tertentu.

Bentuk standar dari undang-undang pidana selalu berisi perintah atau larangan yang disertai ancaman pidana27. Jika suatu aturan pidana berisi perintah, maka ancaman pidana ditujukan kepada setiap orang yang tidak melaksanakan perintah. Dalam konteks hukum pidana dikenal dengan delicta omissionis atau delik omisi yaitu tidak melakukan perbuatan yang diwajibkan atau diharuskan oleh undang- undang. Delicta ommisionis didasarkan pada adagium qui potest et debet vetara, tacens jubet. Artinya, seseorang yang berdiam, tidak mencegah atau tidak melakukan sesuatu yang harus dilakukan, sama saja seperti yang memerintahkan. Jika suatu aturan pidana berisi larangan, maka ancaman pidana ditujukan kepada setiap orang yang melanggar larangan tersebut. Dalam hukum pidana dikenal dengan istilah delicta commisionis atau melakukan perbuatan yang dilarang dalam undang-undang28.

Dari ketiga jenis isi peraturan hukum sebagaimana yang diutarakan di atas, terdapat dua sifat dari peraturan hukum. Pertama, peraturan hukum yang bersifat memaksa atau imperatif. Peraturan hukum tersebut secara a priori mengikat dan harus dilaksanakan dan tidak memberikan wewenang lain selain apa yang telah diatur dalam undang-undang. Isi peraturan hukum yang bersifat memaksa selalu berbentuk perintah atau larangan. Kedua, peraturan hukum yang bersifat pelengkap atau subsidair atau dispositif atau fakultatif. Di sini peraturan hukum tersebut tidak secara a priori mengikat. Dengan kata lain peraturan hukum tersebut sifatnya boleh digunakan, boleh tidak digunakan. Tujuan dari peraturan hukum yang bersifat fakultatif adalah untuk mengisi kekosongan hukum. Peraturan hukum yang berisi perkenan atau perbolehan bersifat fakultatif.

27 H.L.A Hart, Op.Cit, hlm.21.

28 Eddy O.S Hiariej, 2016, Prinsip-Prinsip Hukum Pidana, Cahaya Atma Pusataka, Yogyakarta, hlm. 137.

Selanjutnya adalah perumusan peraturan hukum berdasarkan isi dan sifat peraturan hukum itu sendiri. Pertama, isi peraturan hukum berwujud perintah dan bersifat memaksa atau imperatif. Dalam bidang hukum ketatanegaraan, misalnya Ketetapan MPR-RI/IV/1988,

Menugaskan kepada Presiden Republik Indonesia/Mandataris MPR untuk mengemban dan melaksanakan Ketetapan ini dengan bagian ketetapan yang berupa GBHN sesuai dengan bunyi dan makna sumpah jabatannya.”

Dalam hukum perdata isi peraturan hukum berwujud perintah dan bersifat memaksa adalah seperti ketentuan dalam Pasal 16 Undang- Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi : 1. ”Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya

perkawinan apabila ketentuan-ketentuan dalam Pasal 7 ayat (1), Pasal 8, Pasal 9, Pasal 10, dan Pasal 12 Undang-undang ini tidak dipenuhi”.

2. ”Mengenai pejabat yang ditunjuk sebagaimana tersebut pada ayat (1) pasal ini diatur lebih lanjut dalam Peraturan perundang- undangan”.

Dalam hukum pidana sebagai contoh peraturan hukum berwujud perintah dan bersifat memaksa adalah ketentuan Pasal 224 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang berbunyi :

Barang siapa dipanggil sebagai saksi, ahli atau juru bahasa menurut undang-undang dengan sengaja tidak memenuhi suatu kewajiban yang menurut undang-undang selaku demikian, diancam ke – 1. dalam perkara pidana, dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan

ke – 2. dalam perkara lain, dengan pidana penjara paling lama enam bulan”

Ketentuan Pasal 224 KUHP pada dasarnya merupakan perintah terhadap setiap orang untuk memenuhi kewajibannya sebagai saksi, ahli atau juru bahasa jika diminta oleh pengadilan. Berikutnya adalah isi peraturan hukum berwujud larangan dan bersifat memaksa. Sebagai

contoh adalah ketentuan dalam Pasal 362 KUHP yang menyatakan,

”Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Ketentuan Pasal 362 KUHP pada dasarnya berisi larangan kepada setiap orang untuk tidak melakukan perbuatan mencuri. Formulasi delik sebagaimana terdapat dalam Pasal 362 KUHP dirumuskan secara formil atau delik formil. Delik ini lebih menitikberatkan pada perbuatan dan bukan akibat.

Di samping isi peraturan hukum berwujud larangan dan bersifat memaksa yang berbentuk delik formal, terdapat juga delik materiil yang berwujud larangan dan bersifat memaksa. Misalnya adalah ketentuan yang terdapat dalam Pasal 359 KUHP yang berbunyi,

”Barang siapa karena kealpaannya menyebabkan matinya orang lain, diancam dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau kurungan paling lama satu tahun”. Ketentuan Pasal 359 KUHP adalah larangan terhadap perbuatan yang mengakibatkan matinya seseorang namun berwujud delik materiil yaitu delik yang menitikberatkan pada akibat dari suatu perbuatan. Perumusan delik dalam Pasal 359 KUHP juga dapat dikatakan sebagai delik commissio per ommissionem yang berarti akibat yang dilarang yang ditimbulkaan karena suatu kealpaan.

Kedua, isi peraturan hukum berwujud perkenan dan bersifat fakultatif.

Sebagai contoh adalah ketentuan Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang menyatakan, ”Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Adanya kata ”dapat” dalam rumusan pasal tersebut menandakan ketentuan Pasal 29 berwujud suatu perkenan dan bersifat fakultatif.

Selain perumusan suatu peraturan hukum baik yang berwujud perintah,

larangan maupun perkenan, terdapat juga perumusan suatu peraturan hukum yang bersifat hipotesis atau suatu pernyataan belaka seperti ketentuan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi :

1. ”Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.

2. ”Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.

3. ”Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga”.

Dalam dokumen BUKU DASAR-DASAR ILMU HUKUM (Halaman 41-45)

Dokumen terkait