• Tidak ada hasil yang ditemukan

Konsekuensi Peraturan Hukum

Dalam dokumen BUKU DASAR-DASAR ILMU HUKUM (Halaman 45-52)

MENGENAL HUKUM

C. Peraturan Hukum Konkrit

3. Konsekuensi Peraturan Hukum

larangan maupun perkenan, terdapat juga perumusan suatu peraturan hukum yang bersifat hipotesis atau suatu pernyataan belaka seperti ketentuan dalam Pasal 31 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan yang berbunyi :

1. ”Hak dan kedudukan isteri adalah seimbang dengan hak dan kedudukan suami dalam kehidupan rumah tangga dan pergaulan hidup bersama dalam masyarakat”.

2. ”Masing-masing pihak berhak untuk melakukan perbuatan hukum”.

3. ”Suami adalah kepala keluarga dan isteri ibu rumah tangga”.

berbunyi :

1. Dengan tidak mengurangi ketentuan pidana sebagaimana dimaksud dalam Pasal 65, Pasal 66, Pasal 67, Pasal 68, Pasal 69, Pasal 70 dan Pasal 71, Dewan Gubernur dapat menetapkan sanksi administrasi terhadap pegawai Bank Indonesia serta pihak- pihak lain yang tidak memenuhi kewajiban sebagaimana ditentukan dalam undang-undang ini.

2. Sanksi administrasi sebagimana dimaksud pada ayat (1) dapat berupa

a. denda; atau

b. teguran tertulis; atau

c. pencabutan atau pembatalan izin usaha oleh instansi yang berwenang apabila pelanggaran dilakukan oleh badan usaha;

atau

d. pengenaan sanksi disiplin kepegawaian.

Konstruksi pasal yang demikian menunjukan bahwa tidak semua pelanggaran terhadap peraturan hukum tersebut membawa implikasi sanksi pidana namun juga dapat berupa sanksi administrasi.

Sebagai misal ketentuan Pasal 15 ayat (1) huruf b yang mewajibkan penyelenggara jasa sistem pembayaran untuk menyampaikan laporan tentang kegiatannya kepada Bank Indonesia. Dalam pasal tersebut tidak terdapat konsekuensi bilamana kewajiban tersebut dilanggar. Demikian pula tidak ada ketentuan pidana yang memberi ganjaran jika kewajiban tersebut tidak dilaksanakan. Oleh karena itu berdasarkan interpretasi sistematis terhadap ketentuan Pasal 72 ayat (1), pelanggaran terhadap Pasal 15 ayat (1) huruf b dikenakan sanksi adaministrasi sesuai dengan salah satu sanksi yang terdapat dalam Pasal 72 ayat (2).

Implikasi atas pelanggaran terhadap suatu peraturan hukum di bidang hukum pidana biasanya berupa sanksi pidana yang diancamkan secara tegas dalam peraturan hukum tersebut. Sebagai misal ketentuan dalam Pasal 362 KUHP yang seperti yang telah diutarakan di atas :”Barang siapa mengambil barang sesuatu, yang seluruhnya

atau sebagian kepunyaan orang lain, dengan maksud memiliki secara melawan hukum, diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah”.

Agar dapat dikenakan sanksi pidana penjara paling lama lima tahun atau denda paling banyak enam puluh rupiah maka seseorang harus memenuhi semua unsur delik dalam Pasal tersebut. Berdasarkan konstruksi Pasal 362 ada lima unsur delik yang harus dipenuhi.

Pertama, unsur barang siapa yang berarti bahwa orang yang melakukan perbuatan yang dilarang mampu bertanggung jawab secara hukum. Kedua, unsur mengambil barang. Mengambil di sini berarti memindahtangankan kepemilikan atau penguasaan suatu barang dari orang yang berhak memiliki atau menguasai kepada orang lain.

Sedangkan pengertian barang di sini baik barang berwujud maupun barang tidak berwujud. Ketiga, unsur barang tersebut seluruh atau sebagian kepunyaan orang lain. Keempat, unsur dengan maksud memiliki. Kelima, unsur secara melawan hukum.

Sanksi sebagai konsekuensi terhadap pelanggaran Pasal 362 dirumuskan secara alternatif. Artinya, sanksi tersebut dapat berupa pidana penjara atau pidana denda. Penentuan sanksi mana yang akan dijatuhkan kepada orang yang melakukan pelanggaran sepenuhnya diserahkan kepada putusan pengadilan, namun pengadilan tidak boleh menjatuhkan sanksi secara kumulatif atas pelanggaran terhadap pasal tersebut. Demikian pula hakim tidak boleh menjatuhkan pidana melebihi maksimum pidana yang boleh dijatuhkan.

Dalam hukum pidana, perumusan sanksi sebagai implikasi atas pelanggaran suatu peraturan hukum ada yang berbentuk defenite sentence, indefenite sentence dan indeterminate sentence. Contoh perumusan sanksi pidana berbentuk defenite sentence terdapat dalam Pasal 59 ayat (3) Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1997 Tentang Psikotropika yang menyatakan bahwa penyalahgunaan psikotropika golongan I yang dilakukan oleh korporasi dijatuhi pidana denda sebesar 5 miliar rupiah. Perumusan yang demikian bersifat absolut

dalam pengertian pembentuk undang-undang telah memberikan ancaman pidana yang pasti atas pelanggaran terhadap peraturan tersebut. Tegasnya, hakim dilarang menjatuhkan pidana kurang atau lebih dari apa yang telah dicantumkan.

Contoh perumusan sanksi pidana berbentuk indefenite sentence sebagaimana terdapat dalam pasal-pasal KUHP. Di sini pembentuk undang-undang mencantumkan ancaman maksimum penjara atau ancaman maksimum denda yang dapat dijatuhkan hakim. Perumusan berbentuk indefenite sentence juga disebut sistem maksimum khusus atau sistem minimum khusus. Jika dalam perumusan delik, ancaman pidana penjara yang dicantumkan adalah maksimum khusus, maka minimum umum penjara yang dapat dijatuhkan adalah satu hari.

Sebaliknya jika dalam perumusan delik, ancaman pidana penjara minimum khusus yang dicantumkan misalnya satu tahun, maka maksimum pidana penjara yang dapat dijatuhkan adalah 20 tahun.

Berikutnya adalah perumusan sanksi pidana berbentuk indeterminate sentence sebagaimana terdapat dalam Pasal 5 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 5 tersebut berbunyi :

1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp.

250.000.000,- (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang : a. Memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri

atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajiban; atau

b. Memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.

2. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).

Perumusan yang demikian, selain terdapat ancaman pidana minimum khusus juga terdapat ancaman pidana maksimum khusus dalam satu pasal. Konsekuensi lebih lanjut hakim hanya boleh menjatuhkan pidana dengan batasan minimum sampai batas maksimum sebagaimana yang telah dicantumkan.

Antara sanksi administrasi dan sanksi pidana adalah dua hal yang berbeda. Kendatipun demikian terdapat pula sanksi administrasi dan sanksi pidana dalam suatu peraturan hukum. Sebagai misal adalah peraturan hukum di bidang perpajakan. Ada ketentuan-ketentuan tertentu dalam bidang perpajakan yang bila mana dilanggar akan membawa implikasi penjatuhan sanksi pidana bersamaan dengan sanksi administrasi. Akan tetapi ada juga ketentuan-ketentuan tertentu dalam bidang perpajakan yang bila mana dilanggar, sanksi administrasi yang lebih dulu harus diterapkan. Jika sanksi administrasi telah diterapkan dan ternyata ketentuan-ketentuan tersebut masih dilanggar barulah sanksi pidana diterapkan. Dalam konteks yang demikian, sanksi pidana berfungsi sebagai ultimum rimedium. Artinya, sanksi pidana adalah sarana yang paling akhir untuk menegakkan hukum bila instrumen hukum lainnya tidak dapat lagi menegakkan aturan hukum30.

Sebagai misal ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009. Secara eksplisit ketentuan Pasal 38 menyebutkan :

30 Jan Remmelink, 2003, Hukum Pidana : Komentar Atas Pasal-Pasal Terpenting Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Belanda Dan Padanannnya Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Indonesia, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm. 7.

Setiap orang yang karena kealpaannya

a. tidak menyampaikan Surat Pemberitahuan; atau

b. menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan setelah perbuatan yang pertama kali sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13A, didenda paling sedikit 1 (satu) kali jumlah pajak terutang yang tidak atau kurang dibayar dan paling banyak 2 (dua) kali jumlah pajak terutang yang tidak atu kurang dibayar, atau dipidana kurungan paling singkat 3 (tiga) bulan atau paling lama 1 (satu) tahun.

Penjelasan Pasal 38 antara lain menyatakan, “... Pelanggaran terhadap kewajiban perpajakan yang dilakukan oleh Wajib Pajak, sepanjang menyangkut tindakan administrasi perpajakan, dikenai sanksi administrasi dengan menerbitkan Surat Ketetapan Pajak atau Surat Tagihan Pajak, sedangkan yang menyangkut tindak pidana di bidang perpajakan dikenai sanksi pidana...” Masih menurut penjelasan Pasal 38, “ ... Perbuatan atau pelanggaran sebagaimana dimaksud dalam pasal ini bukan merupakan pelanggaran administrasi melainkan merupakan tindak pidana di bidang perpajakan...”

Berdasarkan ketentuan Pasal 38 berikut penjelasannya dapat ditarik kesimpulan : Pertama, jika menyampaikan Surat Pemberitahuan, tetapi isinya tidak benar atau tidak lengkap atau melampirkan keterangan yang isinya tidak benar sehingga dapat menimbulkan kerugian pada pendapatan negara dan perbuatan tersebut merupakan perbuatan untuk pertama kali, maka hanya dikenakan sanksi administrasi.

Kedua, jika masih terjadi kesalahan bukan untuk kali yang pertama, maka sanksi pidanalah yang kemudian diterapkan. Ketiga, sanksi adaministrasi dapat dijatuhkan bersama-sama dengan sanksi pidana karena pelanggaran terhadap pasal tersebut bukanlah pelanggaran administrasi tetapi merupakan tindak pidana di bidang perpajakan.

Selanjutnya adalah konsekuensi terhadap suatu peraturan hukum

yang berisi perkenan dan bersifat fakultatif biasanya tanpa disertai sanksi. Sebagai misal Pasal 29 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diutarakan di atas : ”Pada waktu atau sebelum perkawinan dilangsungkan, kedua pihak atas persetujuan bersama dapat mengadakan perjanjian tertulis yang disahkan oleh pegawai pencatat perkawinan, setelah mana isinya berlaku juga terhadap pihak ketiga sepanjang pihak ketiga tersangkut”.

Inti dari pasal ini perjanjian kawin antara para pihak.

Jika para pihak tidak melaksanakan perjanjian kawin maka tidak ada sanksi atau implikasi apapun. Akan tetapi sebaliknya jika para pihak mengadakan perjanjian kawin maka terdapat implikasi apabila salah satu pihak melanggar perjanjian tersebut. Hal ini didasarkan pada asas pacta sunt servanda yang berarti suatu perjanjian mengikat para pihak ibarat undang-undang. Artinya, jika salah satu pihak melakukan cidera janji atau wanprestasi maka ada konsekuensi atau sanksi yang isinya telah ditentukan oleh para pihak dalam perjanjian tersebut.

Selain implikasi suatu peraturan hukum sebagaimana diutarakan di atas, ada juga peraturan hukum yang kendatipun berisi perintah atau larangan namun pelanggaran terhadap peraturan hukum tersebut tidak terdapat konsekuensi apapun. Peraturan hukum yang demikian disebut dengan lex imperfecta atau peraturan hukum tanpa sanksi.

Contohnya adalah Pasal 298 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata yang berbunyi, ”Setiap anak dalam usia berapapun juga berkewajiban menghormati dan segan terhadap ibu – bapaknya”. Tidak ada implikasi hukum apapun jika seorang anak tidak menghormati atau segan terhadap orang tuanya.

Demikian pula beberapa ketentuan dalam KUHAP yang tidak mencantumkan sanksi apapun bilamana ketentuan tersebut dilanggar.

Di dalam KUHAP terdapat ketentuan bahwa Polisi sebagai penyidik wajib memberitahukan kepada jaksa penuntut umum bila mulai melakukan penyidikan terhadap suatu perkara. Akan tetapi tidak ada konsekuensi lebih lanjut jika polisi tidak menyampaikan surat

pemberitahuan dilakukan penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum.

Hukum acara pidana, demikian pula hukum acara lainnya pada hakikatnya adalah peraturan hukum yang bukan merupakan suatu norma tetapi lebih pada prosedur atau tata cara untuk melakukan proses hukum terhadap suatu perkara.

Selain peraturan hukum yang berisi perintah atau kewajiban tanpa disertai sanksi, ada juga peraturan hukum yang berisi larangan namun tidak disertai sanksi. Dalam hukum perdata maupun dalam hukum beracara di Mahkamah Konstitusi terdapat peraturan yang melarang hakim untuk menjatuhkan putusan melebihi apa yang digugat atau melebihi apa yang dimohonkan atau yang disebut ultra petita. Namun pelanggaran terhadap larangan tersebut sering kali dilakukan tanpa ada implikasi apapun.

Putusan Mahkamah Konstitusi 003/PUU-IV/2006 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Putusan tersebut menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) mengenai unsur melawan hukum tidak mengikat secara hukum. Padahal yang dimohonkan pemohon kepada Mahkamah Konstitusi adalah perihal kata “dapat” dalam rumusan delik Pasal 2 ayat (1) dan bukan mengenai pengertian unsur melawan hukum dalam pasal tersebut. Kendatipun putusan tersebut bersifat ultra petita namun tidak ada implikasi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial.

Dalam dokumen BUKU DASAR-DASAR ILMU HUKUM (Halaman 45-52)

Dokumen terkait