• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sumber Hukum Normal

Dalam dokumen BUKU DASAR-DASAR ILMU HUKUM (Halaman 104-110)

SUMBER HUKUM

A. Sumber Hukum Normal

Sumber hukum normal dapat juga dikatakan sebagai sumber hukum formil. Secara garsis besar sumber hukum normal ini dibagi menjadi dua yaitu sumber hukum normal yang secara langsung atas pengakuan undang-undang dan sumber hukum normal yang secara tidak langsung atas pengakuan undang-undang. Sumber hukum normal yang secara langsung atas pengakuan undang-undang meliputi undang-undang, kebiasaan dan traktak, sedangkan sumber hukum normal yang

130 Ibid, hlm. 83.

131 Sugeng Istanto, 1998, Hukum Iternasional, Penerbitan Universitas Atma Jaya Yogyakarta, hlm. 10 – 11.

secara tidak langsung atas pengakuan undang-undang mencakup yurisprudensi, perjanjian dan doktrin.

1. Undang-Undang

Sumber hukum yang paling utama adalah undang-undang. Undang- undang di sini baik dalam pengertian materiil, maupun formil. Undang- undang dalam arti materiil adalah segala sesuatu yang bersifat mengatur, dibentuk oleh yang berwenang dan keberlakukannya dapat dipaksakan serta mengikat setiap orang secara umum. Sedangkan undang-undang dalam pengertian formil adalah produk hukum yang dibuat oleh DPR dengan persetujuan Presiden.

Undang-undang dalam pengertian formil biasanya terdiri dari konsideran atau pertimbangan, dictum atau amar dan penjelasan.

Pada bagian konsideran terdiri dari “menimbang”, “membaca” dan

“mengingat”. “Menimbang” dan “membaca” berkaitan erat dengan aspek filosofis dibentuknya suatu peraturan hukum, sedangkan pada bagian “mengingat” selalu merujuk pada aturan yang lebih tinggi atau aturan yang sederajat. Dictum atau amar merupakan substansi dari undang-undang tersebut. Pada bagian penjelasan selalu terdiri dari penjelasan umum dan penjelasan pasal demi pasal.

Ada beberapa asas yang berkaitan dengan undang-undang. Pertama, adalah asas preverensi yang terdiri dari lex superior derogat legi inferior, lex posterior derogat legi priori dan lex specialis derogat legi generali. Mengenai asas perevernsi ini akan diulas lebih lanjut dalam bab tentang Asas Hukum. Ada juga asas yang menyatakan bahwa undang-undang berlaku untuk masa mendatang dan tidak boleh berlaku surut. Selain itu ada pula asas yang menyatakan bahwa undang-undang tidak bisa diganggu gugat.

Setiap undang-undang pada umumnya mempunyai kekuatan mengikat pada saat diundangkan. Kendatipun demikian, dapat saja suatu undang-undang mempunyai kekuatan mengikat ditentukan secara

khusus dalam undang-undang tersebut. Ada kalanya suatu undang- undang diberlakukan surut untuk peristiwa tertentu seperti Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 yang memberlakukan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nonmor 1 Tahun 2002 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme khusus terhadap peristiwa bom di Bali pada tanggal 20 Oktober 2002. Ada juga undang-undang yang kekuatan mengikatnya ditunda untuk beberapa tahun kemudian.

Selain kekuatan mengikat, undang-undang juga harus memiliki kekuatan berlaku yang secara garis besar dibagi menjadi tiga.

Pertama, kekuatan berlaku secara yuridis. Artinya, persyaratan formil terbentuknya suatu undang-undang telah terpenuhi. Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji syarat formil terbentuknya suatu undang-undang bial ada yang memohonkan hal tersebut kepada Mahkamah Konstitusi. Kedua, kekuatan berlaku secara sosiologis yang berarti undang-undang tersebut dapat diterima ataukah tidak oleh masyarakat terlepas dari persyaratan formil terbentuknya suatu undang-undang. Ketiga, kekuatan berlaku secara filosofis. Artinya, kaedah hukum dalam suatu undang-undang harus sesuai dengan cita- cita hukum suatu negara. Dalam konteks Indonesia, cita-cita hukum kita adalah Pancasila.

2. Kebiasaan

Dapatlah diartikan bahwa kebiasaan atau custom adalah suatu perbuatan yang dilakukan berulang-ulang dalam suatu kehidupan masyarakat pada waktu dan tempat yang sama. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap suatu perbuatan yang selalu dilakukan dianggap sebagai pelanggaran hukum. Keberlakuan hukum kebiasaan yang bersifat mengikat didasarkan pada postulat longa et invetarata consuetudo, opinio necessitates. Artinya, sesuatu yang berlangsung secara terus menerus dalam jangka waktu yang lama menimbulkan anggapan sebagai sesuatu hal yang mengikat. Frequentia actus multum operator yang berarti perbuatan yang diulang – ulang akan

memberikan pengaruh.

Custom atau kebiasaan harus dibedakan dengan habit, kendatipun dalam kosa kata Indonesia, baik custom maupun habit diartikan sebagai kebiasaan. Habit diartikan sebagai perbuatan yang dilakukan namun tanpa ada keterkaitannya dengan kewajiban atau suatu keharusan untuk melakukannya132. Hal ini berbeda dengan custom seperti yang telah dijelaskan di atas. Sedagkan konvensi pada hakikatnya suatu hukum kebiasaan dalam praktik ketatanegaraan yang telah berlangsung lama dan secara terus menerus.

Hukum kebiasaan merupakan sumber hukum yang mandiri dan diakui oleh undang-undang. Sejumlah pasal dalam KUH Perdata mengakui kebiasaan sebagai sumber hukum. Pasal 1339 KUH Perdata menyatakan, “Perjanjian tidak hanya mengikat untuk hal- hal yang tegas dinyatakan di dalamnya, tetapi juga untuk segala sesuatu yang menurut sifat perjanjian diharuskan oleh kepatutan, kebiasaan atau undang-undang”. Demikan pula dalam Pasal 1347 KUH Perdata yang berbunyi, “ Hal-hal yang menurut kebiasaan selamanya diperjanjikan, dianggap secara diam-diam dimasukkan dalam perjanjian, meskipun tidak dengan tegas dinyatakan”.

3. Traktak

Traktat atau perjanjian internasional atau treaty diartikan sebagai persetujuan dua negara atau lebih untuk mengadakan hubungan antar mereka menurut ketentuan hukum internasional. Sugeng Istanto menyatakan bahwa istilah ”treaty” sebagai nomengeneralissium yang mencakup setiap persetujuan antar negara tanpa memperhitungkan bentuknya dan juga tanpa memperhitungkan petugas yang melaksanakannya. Sebagai istilah yang sangat umum, treaty juga mencakup persetujuan antar negara dengan organisasi internasional

132 Dennis Lloyd, Op.Cit., hlm 228.

maupun persetujuan antara satu organisasi internasional dengan oraganisasi internasional lainnya133.

Sebagai sumber hukum yang secara langsung diakui, perjanjian internasional diatur dalam Pasal 11 UUD 1945 yang menyatakan bahwa Presiden dengan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat menyatakan perang, membuat perdamaian dan perjanjian dengan negara lain. Perjanjian dengan negara lain dalam pasal a quo adalah perjanjian antar negara atau perjanjian internasional. Mengikatnya perjanjian internasional didasarkan pada asas pacta sunt servanda yang berarti perjanjian mengikat para pihak ibarat undang-undang.

Bahkan menurut pandangan dualisme dalam hukum internasional, perjanjian internasional adalah sumber hukum yang paling utama.

Tahapan pembuatan perjanjian internasional meliputi beberapa tahap134 : Pertama, akreditasi petugas perundingan. Pada tahap ini negara mengakreditasi petugas yang mewakili negaranya termasuk kewenangan. Akreditasi ini diperoleh dari kepala negara atau menteri luar negeri. Kedua, perundingan. Dapatlah dikatakan bahwa inti dari pembuatan perjanjian internasional adalah perundingan karena pada tahap ini apa yang menjadi substansi perjanjian akan dibicarakan bersama antar kedua negara atau lebih. Tahap perundingan ini diakhiri dengan penetapan keputusan antar negara yang melakukan perundingan. Dalam perundingan multilateral, keputusan diambil berdasarkan suara terbanyak atau dua pertiga dari negara peserta.

Ketiga, penandatanganan keputusan hasil perundingan. Tahap ini dilakukan pada waktu dan tempat yang sama di mana para negara peserta menghadiri penandatanganan tersebut. Penandatanganan dimaksudkan sebagai otentikasi naskah keputusan hasil perundingan.

Keempat, ratifikasi. Dapatlah diartikan ratifikasi adalah perbuatan negara menetapkan persetujuannya untuk terikat pada perjanjian

133 Sugeng Istanto, Op.Cit., hlm. 64.

134 Ibid, hlm. 66 – 69.

iternasional yang telah ditandatangani oleh utusannya. Kelima, tukar menukar naskah ratifikasi antar negara yang melakukan perjanjian atau penyerahan naskah kepada negara penyimpan dalam hal perjanjian multilateral.

4. Yurisprudensi

Secara umum yurisprudensi dapat diartikan setiap putusan hakim.

Namun juga ada yang mengartikan yurisprudensi sebagai kumpulan putusan hakim yang disusun secara sistematis dari pengadilan tingkat pertama sampai kasasi dan pada umumnya diberi annotatie.

Pengertian lain dari yurisprudensi adalah pandangan atau pendapat para ahli yang dianut oleh hakim dan dituangkan dalam putusannya.

Dalam beberapa literartur, yurisprudensi diartikan berbagai macam penelaahan intelektual yang bersifat umum mengenai hukum yang tidak dibatasi semata-mata oleh teknis penafsiran.

Yurisprudensi tetap adalah kaedah dalam suatu putusan kemudian diikuti secara konstan oleh para hakim dalam putusannya dan dapat dianggap menjadi bagian dari keyakinan hukum umum. Dalam konteks penemuan hukum, yurisprudensi dapat dijadikan sumber penemuan hukum jika dapat dijelaskan hubungan antara perkara yang sedang ditangani dengan yurisprudensi tersebut135. Hal ini didasarkan pada postulat citationes non concedantur priusquam exprimatur super qua re fieri debet citation. Artinya, penggunaan yurisprudensi tidak akan diterima sebelum dijelaskan hubungan antara perkara dengan yurisprudensi tersebut.

5. Perjanjian

Perjanjian yang dibuat oleh para pihak mengikat ibarat undang-undang.

Kendatipun demikian, perjanjian adalah sumber hukum normal yang

135 Sudikno Mertokusumo, Op.Cit.,hlm. 50 – 52.

secara tidak langsung diakui oleh undang-undang. Paling tidak ada tiga unsur dalam setiap perjanjian. Pertama, unsur essentialia. Unsur ini terkait dengan syarat sahnya perjanjian. Bila merujuk pada Pasal 1320 KUH Perdata, maka syarat sahnya perjanjian terdiri dari kesepakatan, kecakapan para pihak, objek tertentu dan kausa yang halal.

Kedua, unsur naturalia. Unsur ini dianggap ada mekipun tidak diperjanjikan secara tegas. Sebagai misal, pembeli dilindungi terhadap cacat tersembunyi suatu barang yang dibelinya dari penjual. Ketiga, unsur accidentalia. Unsur ini harus secara tegas diperjanjikan. Selain ketiga unsur tersebut, ada juga asas-asas dalam perjanjian seperti asas kebebasan berkontrak, asas itikat baik dan lain sebagainya.

Perihal asas-asas tersebut akan dibahas lebih lanjut dalam bab asas- asas hukum.

6. Doktrin

Sumber hukum yang terakhir adalah doktrin. Kata ‘doktrin’ berasal dari bahasa Latin ‘doctrina’ yang berarti kesatuan ajaran, instruksi atau keyakinan, asas-asas berfikir dalam suatu cabang ilmu pengetahuan tertentu (‘teaching’, ‘instruction’ is a codification of beliefs or a body of teaching or instruction, taugh principles, as the essence of teaching in a given branch of knowledge or in a belief system)136. Doktrin juga sering disebut sebagai ajaran para ahli hukum.

Dalam dokumen BUKU DASAR-DASAR ILMU HUKUM (Halaman 104-110)

Dokumen terkait