• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembatasan Peraturan Hukum

Dalam dokumen BUKU DASAR-DASAR ILMU HUKUM (Halaman 52-59)

MENGENAL HUKUM

C. Peraturan Hukum Konkrit

4. Pembatasan Peraturan Hukum

pemberitahuan dilakukan penyidikan (SPDP) kepada penuntut umum.

Hukum acara pidana, demikian pula hukum acara lainnya pada hakikatnya adalah peraturan hukum yang bukan merupakan suatu norma tetapi lebih pada prosedur atau tata cara untuk melakukan proses hukum terhadap suatu perkara.

Selain peraturan hukum yang berisi perintah atau kewajiban tanpa disertai sanksi, ada juga peraturan hukum yang berisi larangan namun tidak disertai sanksi. Dalam hukum perdata maupun dalam hukum beracara di Mahkamah Konstitusi terdapat peraturan yang melarang hakim untuk menjatuhkan putusan melebihi apa yang digugat atau melebihi apa yang dimohonkan atau yang disebut ultra petita. Namun pelanggaran terhadap larangan tersebut sering kali dilakukan tanpa ada implikasi apapun.

Putusan Mahkamah Konstitusi 003/PUU-IV/2006 Tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Putusan tersebut menyatakan bahwa Penjelasan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU PTPK) mengenai unsur melawan hukum tidak mengikat secara hukum. Padahal yang dimohonkan pemohon kepada Mahkamah Konstitusi adalah perihal kata “dapat” dalam rumusan delik Pasal 2 ayat (1) dan bukan mengenai pengertian unsur melawan hukum dalam pasal tersebut. Kendatipun putusan tersebut bersifat ultra petita namun tidak ada implikasi terhadap putusan Mahkamah Konstitusi yang kontroversial.

menjamin kepastian hukum semata tetapi juga harus menjamin keadilan dan kemanfaatan. Semakin rigid suatu peraturan hukum lebih menjamin kepastian hukum akan tetapi sedikit – banyaknya peraturan hukum tersebut akan bertentangan dengan keadilan dan kemanfaatan32. Menurut teori etis, hukum semata-mata untuk mencapai keadilan. Isi peraturan hukum harus ditentukan oleh kesadaran etis kita (etika) mengenai apa yang adil dan apa yang tidak adil. Sedangkan Jeremy Bentham sebagai tokoh yang mengemukakan teori utilitas menyatakan bahwa hukum bertujuan mewujudkan kemanfaatan. Isi peraturan hukum harus menjamin kebahagiaan sebesar-besarnya pada orang sebanyak- banyaknya33.

Dalam kaitannya dengan pembatasan peraturan hukum, pada hakikatnya pelaksanaan suatu peraturan aturan hukum dibatasi oleh keadilan dan kemanfaatan. Ada kalanya di satu sisi putusan pengadilan lebih menitikberatkan pada kepastian hukum dengan mengesampingakan keadilan dan kemanfaatan. Akan tetapi sering kali juga suatu putusan pengadilan memberi porsi yang lebih pada keadilan dan kemanfaatan di satu sisi, sedangkan mengesampingkan kepastian hukum di sisi lain sebagai pembatasan terhadap suatu peraturan hukum itu sendiri.

Ilustrasi kedua kasus di bawah ini akan memperlihatkan tarik menarik antara kepastian hukum, keadilan dan kemanfaatan : Kasus pertama, seorang residiv yang sudah sering keluar – masuk penjara. Suatu ketika ia tertangkap tangan pada saat mencuri untuk kesekian kalinya. Orang tersebut kemudian dijatuhi pidana penjara dengan pemberatan namun tidak melebihi batas maksimum yang boleh dijatuhkan terhadapnya

32 van Apeldoorn, Op.Cit., hlm. 13

33 Jeremy Bentham, 2006, Teori Perundang-Undangan : Prinsip-Prinsip Legislasi, Hukum Perdata Dan Hukum Pidana, Penerjemah Nurhadi, Nuansa, Bandung, hlm. 378. Bandingkan pula dengan Harkristuti Harkrisnowo, 2003, Rekonstruksi Konsep Pemidanaan : Suatu Gugatan Terhadap Proses Legislasi Dan Pemidanaan Di Indonesia, Orasi Pada Upacara Pengukuhan Guru Besar Tetap Dalam Ilmu Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 8 Maret 2003, hlm. 9.

menurut ketentuan undang-undang.

Kasus kedua, seorang ibu rumah tangga yang suaminya telah meninggal, hidup miskin dan tidak mempunyai uang, sementara anaknya yang masih bayi sudah seharian tidak makan. Ibu tersebut tertangkap tangan pada saat mencuri makanan di super market agar anaknya bisa makan. Pengadilan kemudian memutuskan hukuman percobaan terhadap sang ibu dengan ketentuan meskipun terbukti bersalah melakukan pencurian tetapi tidak perlu mendekam dalam penjara selama masa percobaan yang telah ditetapkan pengadilan.

Dari aspek kepastian hukum tampak kedua putusan tersebut tidak menjamin adanya kepastian karena kendatipun keduanya melakukan pencurian namun hukuman yang dijatuhkan berbeda. Akan tetapi dari aspek keadilan dan kemanfaatan putusan pengadilan tersebut telah membatasi berlakunya peraturan hukum tentang larangan mencuri.

Pada kasus pertama, penjatuhan pidana dengan pemberatan terhadap seorang residiv lebih menjamin kepastian hukum sekaligus keadilan karena orang tersebut kembali mengulangi kejahatan yang sama.

Di sini aspek kemanfaatan diabaikan karena tidak ada kemanfaatan yang akan diperoleh orang tersebut dengan mendekam dalam penjara dalam waktu yang lama.

Pada kasus kedua yang hanya menjatuhkan pidana percobaan terhadap sang ibu, tidak menjamin kepastian hukum namun lebih berorientasi pada keadilan dan kemanfaatan. Meskipun keadaan anaknya yang masih bayi dan sudah seharian tidak makan bukan merupakan alasan pembenar untuk mencuri, namun sang ibu melakukan perbuatan yang dilarang karena suatu keterpaksaan untuk mempertahankan hidup anaknya sehingga cukup adil jika diputus bersalah tetapi tidak perlu mendekam dalam penjara. Di sini berlaku teori pointless punishment34 atau memidana yang tidak perlu. Selain itu aspek kemanfaatan lebih

34 George P. Fletcher, 2000, Rethinking Of Criminal Law, Oxford University Press, hlm. 813.

menonjol karena dengan tidak dipenjarakan sang ibu jauh lebih bermanfaat bagi kehidupan anaknya. Selain sang ibu tetap dapat mengasuh anaknya, ia juga dapat mencari nafkah untuk memenuhi kebutuhan hidup anaknya.

Pembatasan terhadap peraturan hukum juga terlihat jelas dalam beberapa putusan Mahkamah Konstitusi berikut ini : Pertama, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor : 069/PUU-II/2004 tanggal 14 Februari 2005. Pokok perkara yang dimintakan kepada Mahkamah Konstitusi pengujian Pasal 68 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Korupsi terhadap Pasal 28 I ayat (1) Undang-Undang Dasar Tahun 1945 yang diajukan oleh Bram H.D Manoppo MBA. Pasal 68 secara tegas menyatakan, “Semua tindakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang proses hukumnya belum selesai pada saat terbentuknya Komisi Pemberantasan Korupsi, dapat diambil alih oleh Komisi Pemberantasan Korupsi berdasarkan ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9.” Pasal tersebut dianggap oleh pemohon bertentangan dengan asas non-retroaktif karena Komisi Pemberantasan Korupsi dapat melakukan pemeriksaan perkara korupsi sebelum komisi terbentuk.

Dengan berbagai pertimbangan, Mahkamah Konstitusi menyatakan menolak apa yang diajukan oleh pemohon. Salah satu pertimbangannya adalah bahwa Pasal 68 undang-undang a quo tidak mengandung asas retroaktif. Komisi Pemberantasan Korupsi dapat mengambil alih penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana yang dilakukan setelah diundangkannya Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2002. Dengan kata lain, meskipun menolak permohonan pemohon, dalam konsiderannya Mahkamah Konstitusi berpendapat bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi hanya dapat melakukan pemeriksaan terhadap perkara korupsi setelah komisi tersebut terbentuk35.

35 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor : 069/PUU-II/2004 tanggal 14 Februari 2005, hlm. 73. Bandingkan pula dengan Eddy O.S Hiariej, 2009, Asas Legalitas Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat

Kedua, Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor : 065/PUU- II/2004 tanggal 3 Maret 2005. Pokok perkara yang dimintakan kepada Mahkamah Konstitusi adalah Pengujian Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia Terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang diajukan oleh Abilio Jose Osorio Soares. Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang Pengadilan Hak Asasi Manusia yang memberikan adanya suatu landasan persidangan berdasarkan asas berlaku surut atau asas retroaktif, dianggap bertentangan dengan Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan, “Hak untuk hidup, hak untuk tidak disiksa, hak kemerdekaan pikiran dan hati nurani, hak beragama, hak untuk tidak diperbudak, hak untuk diakui di hadapan hukum, dan hak untuk tidak dituntut atas dasar hukum yang berlaku surut adalah hak asasi manusia yang tidak dapat dikurangi dalam keadaan apa pun”.

Berdasarkan berbagai pertimbangan Mahkamah Konstitusi, permohonan Abilio ditolak. Salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi, penolakan terhadap pengenyampingan asas non-retroaktif adalah dapat dibenarkan sepanjang menyangkut kejahatan-kejahatan biasa (ordinary crimes), sedangkan kejahatan-kejahatan luar biasa (extraordinary crimes) sebagaimana yang diatur dalam undang- undang pengadilan hak asasi manusia secara universal telah dianggap sebagai kejahatan serius terhadap masyarakat internasional secara keseluruhan. Apabila itu terjadi, maka telah terjadi pelanggaran terhadap suatu prinsip fundamental yang telah diterima secara universal sebagai asas hukum yaitu “tidak boleh ada kejahatan yang dibiarkan berlalu tanpa hukuman”36.

Di sini larangan terhadap pemberlakuan surut suatu ketentuan pidana

(Disertasi), hlm. 3.

36 Putusan Mahkamah Konstitusi Perkara Nomor : 065/PUU-II/2004 tanggal 3 Maret 2005, hlm. 60 – 61. Bandingkan pula dengan Eddy O.S Hiariej, 2010 , Pengadilan atas Beberapa Kejahatan Serius terhadap HAM, Penerbit Erlangga, Jakarta, hlm. 60.

diabatasi oleh prinsip-prisnip yang fundamental yakni keadilan sebagai nilai dasar. Memberlakukan surut ketentuan pidana terhadap suatu kejahatan yang dilakukan merupakan ketidakadilan namun jauh lebih tidak adil jika pelaku kejahatan dibiarkan berlalu begitu saja tanpa hukuman yang setimpal atas kejahatan yang telah dilakukannya37. Dalam konteks yang demikian John Rawls menyatakan ketidakadilan dibolehkan untuk menghindari ketidakadilan yang lebih besar38. Ketiga, Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 012-016-019/PUU- IV/2006. Pokok perkaranya adalah Permohonan Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 oleh Mulyana W. Kusumah, Tarcisius Wala, dan sejumlah Anggota Komisi Pemilihan Umum dengan kuasa hukum Mohamad Assegaf. Pada intinya ada 6 permasalahan pokok yang dimohonkan pengujian kepada Mahkamah Konstitusi yaitu : 1. Keberadaan Komisi Pemberantasan Korupsi

2. Keberadaan Pengadilan Tindak Pidana Korupsi

3. Penerapan Asas Praduga Tidak Bersalah berkaitan dengan tidak adanya kewenangan KPK mengeluarkan Surat Perintah Penghentian Penyidikan dan Penuntutan (SP3)

4. Keberadaan Instrumen Penyadapan dan Perekaman

5. Ketentuan dan Penerapan Frasa “Mendapatkan Perhatian yang Meresahkan Masyarakat” pada Pasal 11 huruf b undang- undang KPK

6. Asas Retroaktif pada penanganan perkara oleh KPK

Terkait penyadapan dan perekaman, pendapat para pemohon, Pasal 12 Ayat (1) huruf a undang-undang KPK39 melanggar Hak Warga Negara

37 Eddy O.S Hiariej, 2009, Asas Legalitas Dalam Pelanggaran Hak Asasi Manusia Yang Berat (Disertasi), hlm. 342.

38 John Rawls, 1971, A Theory Of Justice, The Belknap Press Of Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, London, England, , hlm. 59.

39 Pasal 12 Ayat (1) huruf a : ” Dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan“.

atas rasa aman, jaminan perlindungan dan kepastian hukum, sehingga bertentangan dengan Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 194540. Adapun alasan pemohon adalah bahwa keberadaan KPK yang diberi kewenangan untuk melakukan penyadapan sangat jelas melanggar hak warga negara dari rasa aman untuk berkomunikasi, selain itu proses penyadapan yang tanpa ada aturan tersebut, jelas- jelas melanggar prinsip praduga tidak bersalah (presumption of innocence) yang merupakan prinsip utama dalam penegakkan hukum.

Perihal penyadapan dan perekaman seperti yang dimohonkan oleh para pemohon, ada dua tanggapan. Pertama, penyadapan dan perekaman adalah dalam rangka menemukan bukti untuk membuat terang suatu peristiwa pidana. Artinya, kita sedang berbicara mengenai apa yang dikenal dengan istilah bewijsvoering dalam hukum pembuktian. Secara harafiah bewijsvoering berarti penguraian cara bagaimana menyampaikan alat-alat bukti kepada hakim di pengadilan. Bewijsvoering ini semata-mata menitikberatkan pada hal-hal yang bersifat formalistis. Konsekuensi selanjutnya, seirngkali mengkesampingkan kebenaran dan fakta yang ada.

Kedua, kebebasan untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 28 F ayat (1) UUD 194541, demikian pula Pasal 28 D Ayat (1) dan Pasal 28 G Ayat (1) UUD 1945 sebagaimana yang dimaksud oleh para pemohon, bukanlah pasal-pasal yang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun. Hal ini berbeda dengan ketentuan dalam Pasal 28 I ayat (1) UUD 1945

40 Pasal 28 G Ayat (1) : ” Setiap orang berhak atas perlindungan diri pribadi, keluarga, kehormatan, martabat dan harta benda yang di bawah kekuasaannya, serta berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi”.

41 Pasal 28 F : “Setiap orang berhak untuk berkomunikasi dan memperoleh informasi untuk mengembangkan pribadi dan lingkungan sosialnya, serta berhak untuk mencari, memperoleh, memiliki, menyimpan, mengolah, dan menyampaikan informasi dengan menggunakan segala jenis saluran yang tersedia”.

yang menyebutkan dengan tegas dan rinci hak-hak yang tidak dapat disimpangi dalam keadaan apapun. Meskipun ada yang berpendapat bahwa pembatasan terhadap Pasal 28 I ayat (1) terdapat dalam Pasal 28 J UUD 1945, namun masih bisa diperdebatkan lebih lanjut.

Peraturan hukum dalam Pasal 28 F ayat (1) UUD 1945, pemberlakuannya tidak bersifat mutlak namun dapat dibatasi. Kedua tanggapan terhadap alasan pemohon perihal penyadapan dan perekaman seperti yang telah diutarakan di atas menjadi salah satu pertimbangan Mahkamah Konstitusi untuk menolak permohonan tersebut42.

Dalam dokumen BUKU DASAR-DASAR ILMU HUKUM (Halaman 52-59)

Dokumen terkait