Kegiatan public relations tidak lepas dari komunikasi.
Komunikasi yang dilakukanpun harus persuasif. Untuk melakukan komunikasi secara persuasif seorang praktisi public relations harus memperhatikan kondisi psikologis orang dalam berkomunikasi. Beberapa realitas psikologis tersebut oleh Onong disingkat dengan akronim AIDDA, yaitu;
Attention = Perhatian Interest = Kepentingan Desire = Hasrat/Keinginan Decision = Keputusan Action = Kegiatan
Pertama attention yang berarti perhatian. Dalam hal ini seorang komunikator dituntut untuk menarik perhatian komunikan atau khalayak. Setiap khalayak memiliki perhatian yang berbeda. Seorang pecinta alam memiliki perhatian terhadap hal-hal yang berkaitan dengan alam.
Seorang politikus memiliki perhatian terhadap hal-hal yang berbau politik. Seorang pendidik memiliki perhatian lebih terhadap masalah pendidikan. Seorang agamawan cenderung
tertarik pada hal-hal yang berkaitan dengan keagamaan.
Oleh karenanya, seorang praktisi public relations dituntut untuk mampu mencermati dan mengenali hal-hal apa yang menjadi perhatian khalayaknya. Tentu setiap khalayak berbeda-beda. Dan sudah barang tentu beraneka ragam tema harus diangkat oleh praktisi public relations dalam komunikasi agar dapat menarik perhatian para khalayaknya.
Kedua, interest yakni minat/kepentingan. Komunikan dituntut untuk menumbuhkan minat yang ada dalam diri khalayak. Minat di sini muncul ketika seseorang merasa memiliki kepentingan terhadap suatu masalah yang menjadi tema pembicaraan/komunikasi. Seorang politikus menyampaikan masalah pembangunan tempat ibadah, misalnya. Istilah tempat ibadah identik dengan kepentingan orang terhadap agama. Term agama menjadi faktor penumbuh minat karena masalah agama menyangkut kepentingan setiap orang.
Ketiga, desire. Yaitu keinginan khalayak. Komunikasi persuasif akan dapat terlaksana ketika seorang komunikator mampu menggugah keinginan khalayak. Ketika kepentingan khalayak sudah disentuh, maka satu langkah yang tidak boleh dilupakan adalah bagaimana pikiran dan emosi khalayak digugah sehingga mereka berkeinginan melakukan sesuatu yang dapat memenuhi kepentingan tersebut. Ketika seorang politikus menyampaikan bahwa pemilu adalah kepentingan bersama untuk memilih wakil-wakilnya yang akan duduk di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Hanya dengan pemilihan wakil inilah demokrasi dapat dijalankan. Hanya melalui pemilihan inilah kehidupan bernegara dapat diperbaiki.
Maka langkah selanjutnya adalah menumbuhkan keyakinan dan semangat bahwa menyukseskan pemilihan dengan cara
datang ke Tempat Pemungutan Suara (TPS) adalah hal yang harus dilakukan.
Keempat, decision/keputusan. Langkah berikutnya dalam komunikasi persuasif adalah mendorong khalayak untuk mau mengambil keputusan. Perhatian sudah dimunculkan, kepentingan khalayak sudah disuguhkan, keinginan sudah ditumbuhkan. Satu langkah sebagai tindak lanjutnya adalah keberanian khalayak mengambil keputusan. Seorang komunikator tidak boleh berhenti berkomunikasi dan meyakinkan khalayak sebelum mereka mengambil keputusan.
Kelima, action, yakni khalayak melakukan apa yang sudah diputuskannya. Berbondong-bondongnya masyarakat pergi ke TPS untuk melakukan pilihan dalam pemilu adalah suatu bentuk pelaksanaan dari keputusan. Kesuksesan pemilihan dengan indikator tingginya tingkat partisipasi pemilih merupakan sebuah kesuksesan komunikasi persuasif.
Tanpa dilakukan komunikasi secara persuasif maka pemilu tidak akan sukses dijalankan.190
Untuk dapat melakukan komunikasi secara persuasif, ada beberapa teknik yang dapat dilakukan;
1. Teknik asosiasi, yaitu penyajian pesan komunikasi dengan cara menumpangkan pesan pada suatu obyek atau peristiwa yang sedang menarik perhatian khalayak.
Misal, menggunakan orang terkenal (public figure) sebagai bintang iklan. Penggunaan public figure sebagai penyampai pesan akan memunculkan asosiasi bahwa khalayak luas seperti public figure yang diidolakan jika melakukan apa yang disampaikan oleh sang public figure tersebut. Iklan sabun Lux yang menampilkan Tamara
190Onong Uchjana Effendy, Dinamika….hal. 25.
Blezyski sebagai bintang iklan mengasosiasikan khalayak seperti Tamara jika menggunakan sabun Lux.
2. Teknik integrasi, yakni komunikator berupaya menyatukan diri dengan khalayak luas. Melalui kata, simbol, serta identitas komunikator berupaya menyamakan dirinya dengan mereka. Dalam bahasa formal, penggunaan kata ’kita’ dan ’kami’ memberikan makna bahwa komunikator memiliki kesamaan dengan khalayak yang diwakilinya. Sehingga dengan demikian, khalayak merasa terwakili dengan apa yang dikemukakan oleh komunikator. Seorang aktifis mahasiswa melakukan demonstrasi tentang tuntutan kenaikan upah buruh.
Ia menggunakan kata ’kami’ dalam menyampaikan tuntutan kepada para pengusaha serta pemerintah.
Kata ’kami’ yang digunakan merupakan bentuk integrasi yang dilakukan mahasiswa, sehingga para buruh merasa terwakili, sehingga mereka memberikan dukungan atas demonstrasi yang dilakukan oleh mahasiswa.
3. Teknik ganjaran. Teknik ini dilakukan dengan cara memberikan janji tertentu kepada pihak lain yang mau memberikan dukungan atau apa yang diinginkan oleh komunikator. Contoh, seorang calon anggota dewan menjanjikan perbaikan jalan jika ia terpilih nanti.
Janji anggota dewan ini merupakan suatu iming-iming agar orang mau menjatuhkan pilihan kepadanya atau memilihnya. Dengan iming-iming tersebut kemungkinan besar orang mau memilihnya.
4. Teknik tatanan (to ice), yaitu menata pesan sedemikian rupa sehingga enak didengar, mudah diingat, dan mendorong orang untuk ringan melakukannya. Kata icing bermakna dasar menata kue yang baru keluar dari
tempat pembakaran dengan menggunakan lapisan gula warna-warni. Penataan kue dengan gula ini sebagai upaya menumbuhkan selera makan. Teknik ini dapat dilakukan dengan cara, misalnya, menyajikan lagu, kesenian, pentas budaya, dan sebagainya dalam sebuah undangan. Dengan demikian para undangan senang dan betah untuk tetap tinggal dalam sebuah acara sambil mendengarkan pesan-pesan tertentu.
5. Teknik red-herring, yakni teknik tipu muslihat. Dalam hal ini adalah teknik mengalihkan perhatian ketika sedang terdesak dalam adu argumentasi dan kemudian mengarahkan pada hal yang dikuasainya agar mampu melakukan serangan dalam bentuk melemahkan argumentasi lawan demi untuk memperoleh kemenangan.
Teknik ini biasa digunakan oleh para politikus dalam perdebatan politik.191
191Onong Uchjana Effendy, Dinamika….hal 22-24.