• Tidak ada hasil yang ditemukan

Menilik Teori Pendidikan Khas Indonesia

BAB IV ANTISIPASI ANCAMAN DAN

F. Menilik Teori Pendidikan Khas Indonesia

Selama ini, teori-teori lokal belum banyak mewarnai dalam perbincangan tentang pendidikan. Teori-teori yang digunakan untuk menganalisis realitas perubahan di Indonesia lebih banyak dicangkok dari para tokoh asing (Barat). Teori Barat lebih juga dominan mewarnai dalam diskursus pada institusi pendidikan mulai pendidikan dasar hingga Perguruan Tinggi. Menurut pendapat Sodiq A.

Kuntoro, praktik peminjaman atau pencangkokan metode atau model pendidikan dari negara lain mengabaikan faktor sosial budaya yang menjadi landasan praktik pendidikan tersebut. Peminjaman praktik pendidikan dari negara lain secara teknis kurang mendorong guru untuk memikirkan dasar filosofis, nilai-nilai budaya, sosial-historis yang harus dibangun sebagai dasar pelaksanaan suatu praktik pendidikan. Padahal pendidikan sebagai pengembangan diri secara utuh, pengembangan kepribadian, pengembangan

226http://kongrespendidikan.web.id/pendidikan-sebagai-sarana-peneguhan- karakter-bangsa-di-era-global.html, diakses pada 7 Agustus 2015

intelektual, moral, dan fisik untuk pencapaian kemajuan suatu bangsa selalu terjadi dalam konteks pandangan hidup, kesejarahan, dan sosial budaya masyarakatnya. Praktik pendidikan yang tidak sesuai dengan dimensi filosofis, historis, dan sosio-budaya masyarakatnya cenderung akan menghalangi keterlibatan kecerdasan, emosi, perasaan siswa secara keseluruhan, sehingga kegiatan belajar atau pendidikan kurang memberi makna bagi pengembangan diri secara utuh. Inilah urgensi dari para guru untuk memiliki socio-cultural knowledge, tidak sekedar menguasai kompetensi yang sifatnya teknikal praktis.227

Lebih lanjut disampaikan oleh Sodiq A. Kuntoro (2011:2) bahwa yang penting bagi praktik pendidikan dalam menghadapi tantangan kehidupan modern dan global ini adalah kebutuhan akan landasan paradigma pendidikan yang bersifat transformasional, bukan praktik pendidikan yang bersifat transmisif dan transaksional semata. Pendidikan transformatif adalah pendidikan yang membangun perubahan pada diri anak, mencakup seluruh kehidupan dirinya, emosi, pikiran, nilai-nilai, dan kepribadiannya yang mendorong untuk perbaikan kehidupan. Sejalan dengan pendapat tersebut, HAR. Tilaar (2002) menyampaikan bahwa dalam konsep pendidikan transformatif, perubahan sosial mempengaruhi pendidikan dan juga sebaliknya. Perubahan sosial disebabkan karena kreativitas dari manusia. Pendidikan tidak terjadi dalam ruang kosong, tetapi merupakan bagian dari aktivitas manusia.

Nilai-nilai budaya masyarakat hanya dapat dimiliki melalui perannya dalam aktivitas sosial budaya dalam lingkungannya

227Sodiq A. Kuntoro, Pendidikan dalam Kehidupan untuk Perbaikan Kehidupan. (Makaah Seminar Nasional Ilmu Pendidikan 18 Oktober 2011), 2.

(aktif partisipatif). Hal tersebut tidak akan terjadi jika manusia belum memposisikan dan diposisikan sebagai subjek/lokomotif dalam suatu proses perubahan.228

Tugas untuk menilik kembali pandangan-pandangan lokal urgen untuk dilakukan untuk memberikan spektrum yang lebih beragam dalam diskursus tentang praksis pendidikan yang sesuai dengan koonteks Indonesia. Seperti tertuang dalam kata sambutan Presiden RI Sukarno pada tanggal 20 Januari 1962 dalam Buku Karya Ki Hadjar Dewantara Bagian Pertama (Pendidikan): “Karangan-karangan beliau adalah sangat luas dan mendalam, yang tidak saja dapat membangkitkan semangat perjuangan nasional sewaktu jaman penjajahan, tetapi juga meletakkan dasar-dasar yang kuat bagi pendidikan nasional yang progresif untuk generasi sekarang dan generasi yang akan datang”.229 Ungkapan tentang Ki Hadjar Dewantara yang telah membangun teori pendidikan yang progresif-transformasional menunjukkan betapa pandangan-pandangan tokoh lokal masa lampau tak lekang oleh waktu, bahkan masih relevan untuk menjelaskan dan memahami realitas di era kekinian yang terentang dan terhubung dalam garis historis dengan masa lampau.230

Posmodernisme dalam antropologi menawarkan suatu refleksi diri, suatu cara untuk ngraga sukma lewat etnografi, yang memungkinkan kita melihat diri kita sendiri dari atas, membandingkan diri kita dengan orang lain, menilai dan menerangkan kembali asukmsi-asumsi yang mendasari berbagai

228Sodiq A. Kuntoro,Ibid., 2.

229Ki Hadjar Dewantara, Karya Ki Hadjar Dewantara, Bagian Pertama:

Pendidikan (Yogyakarta: Majelis Luhur Persatuan Taman Siswa, 1977), 13.

230http://kongrespendidikan.web.id/pendidikan-sebagai-sarana-peneguhan- karakter-bangsa-di-era-global.html, diakses pada 10 Agustus 2015

pemikiran dan perilaku kita. Refleksi ini pada gilirannya akan membuka cakrawala pemikiran kita serta memberikan pemahaman baru dan segar tentang dunia di sekeliling kita.

Tepatlah kiranya apa yang disampaikan oleh H.A.R.

Tilaar, mengandaikan bahwa sudah dapat dibayangkan betapa suatu proses pendidikan yang terlepas dari kebudayaan dalam masyarakat tertentu. Begitu pula dapat digambarkan betapa suatu kebudayaan tanpa adanya proses pendidikan yang berarti kemungkinan kebudayaan tersebut punah.231 Pendidikan yang terlepas dari kebudayaan akan menyebabkan alienasi dari subjek didik dan seterusnya kemungkinan matinya kebudayaan itu sendiri. Dalam perkembangan kehidupan manusia, proses yang sangat kompleks itu tidak selamanya berjalan dengan semestinya apalagi di dalam kehidupan modern dewasa ini. Bukan tidak mustahil, proses kebudayaan dan proses pendidikan berjalan sendiri-sendiri bahkan kemungkinan saling bertabrakan satu dengan yang lain.

Sejalan dengan pendapat tersebut, Suyata (2000) mengungkapkan bahwa pendidikan tidak dapat dilepaskan dari kebudayaan, karena mendidik anak dalam keterpisahan dengan kebudayaan, ibarat mencerabut siswa dari akar kebudayaannya. Kegiatan pendidikan yang terlepas dari akar budaya, pandangan hidup, dan kesejarahan masyarakatnya akan menimbulkan keterasingan yang mematikan semangat, gairah, atau motivasi untuk membangun kemajuan budaya dalam masyarakatnya.232 Dengan demikian, kita perlu mengembalikan posisi pendidikan sebagai proses pembudayaan untuk mewujudkan manusia dan masyarakat

231H.A.R. Tilaar, Perubahan Sosial Dan Pendidikan.., 8.

232Sodiq A. Kuntoro, Pendidikan dalam Kehidupan.., 3.

Indonesia yang beradab (civilized human beeing), sesuai dengan konteks sosial budayanya.233

Dalam konteks refleksi budaya inilah, tilikan (insight) terhadap nilai-nilai kearifan budaya lokal khas (local wisdom) dari perspektif teori pendidikan Indonesia (local indigenous) perlu dilakukan, seperti pernah dituliskan oleh Ki Hadjar Dewantara dalam Azas Trikon, yaitu:

1. Kontinuitas, perlunya menjamin keberlanjutan kebudayaan melalui berbagai forum.

2. Konvergensi, pentingnya membuka diri terhadap dunia luar, 3. Konsentrisitas, tetap menjaga dan meneguhkan

identitas supaya tetap kokoh. Cita-cita ini memerlukan komitmen bersama dan sinergi berbagai pihak untuk mewujudkannya.

Untuk mengimplementasikan Azas Trikon tersebut, dapat ditempuh melalui upaya berikut ini:

1. Pendidikan kebudayaan.Melalui berbagai forum, alat, dan media, suatu kebudayaan masyarakat dapat dipertahankan, diwariskan, dan dikembangkan.

2. Pendidikan di dalam kebudayaan. Proses pendidikan baik formal, informal, maupun nonformal tidaklah berada di dalam ruang hampa, melainkan berlangsung di dalam konteks sosial budaya yang ada.

3. Pendidikan antar kebudayaan/lintas kebudayaan. Fenomena interaksi dan kontak antar sejumlah sistem dan/atau unsur kebudayaan, dampaknya, dan upaya mengharmoniskan hubungan antar pendukung kebudayaan tersebut.

Revolusi media dan sistem informasi menjadi fenomena

233http://kongrespendidikan.web.id/pendidikan-sebagai-sarana-peneguhan- karakter-bangsa-di-era-global.html, diakses pada 10 Agustus 2015

meningkatkan kontak antaraneka ragam kebudayaan dengan konsekuensi terhadap pendidikan.234

G. Penguatan Nilai Iman dalam Menghadapi Arus Globalisasi