4
Sejarah Lahirnya Pancasila
Sejarah Indonesia modern sejak awal tumbuhnya kesadaran nasionalisme (kebangkitan nasional) hingga memasuki fase revolusi fisik, bahkan sampai memasuki tahapan pembentukan negara, perumusan dasar negara, dan penyusunan sistem konstitusi nasional (1945) memang tidak bisa lepas dari peran mayoritas umat Islam (Maarif, 2017: 173-174). Sebagai mayoritas, umat Islam di Indonesia terbentuk dalam komunitas-komunitas besar yang diikat secara ideologis dan kultural dalam wadah organisasi atau perkumpulan yang telah tumbuh jauh sebelum Indonesia merdeka. Beberapa organisasi atau perkumpulan umat Islam yang tumbuh sejak zaman kolonial dan sampai saat ini masih eksis, seperti: Muhammadiyah, Nahdlatul Ulama (NU), Persatuan Islam (Persis), Al-Irsyad, dan lain-lain.
1.
Eksistensi organisasi atau perkumpulan tersebut menjadi bukti historis bahwa umat Islam selama ini sejalan dengan visi kebangsaan Indonesia. Masing-masing organisasi atau perkumpulan tersebut telah beradaptasi dengan konstelasi perpolitikan di tanah air, sejak zaman kolonial, memasuki masa kemerdekaan, hingga pascareformasi. Ketika bangsa Indonesia memasuki tahapan krusial pembentukan negara, perumusan dasar negara, dan penyusunan sistem konstitusi nasional pada tahun 1945, dapat dikatakan nyaris tidak ditemukan pandangan atau konsepsi yang berseberangan tentang visi kebangsaan antara organisasi-organisasi Islam tersebut dengan pemerintah Indonesia yang direpresentasikan lewat Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK) dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).
34
Muhammadiyah yang didirikan pada 18 November 1912 merupakan organisasi Islam modernis di Indonesia yang masih eksis hingga kini. Sewaktu Muhammadiyah dideklarasikan, nusantara masih dalam kondisi tercerai-berai.
bangsa dan negara Indonesia belum terbentuk. Filosofi dasar negara dan sistem konstitusi nasional juga belum dirumuskan. Pada masa awal pertumbuhan Muhammadiyah belum dikenal konsep ”bangsa” (nation) dan ”negara” (state), apalagi ”negara-bangsa” (nation-state). Rumusan dasar negara yang menjadi menjadi falsafah kehidupan berbangsa dan bernegara juga belum terwujud.
Namun demikian, pemikiran kebangsaan yang tumbuh di Muhammadiyah yang direpresentasikan lewat tokoh-tokohnya, sejalan dengan dinamika politik kebangsaan dan tuntutan zaman pada waktu itu. Sebagai organisasi Islam yang lahir paralel dengan semangat kebangkitan nasional, menurut sejarawan Anhar Gonggong, Muhammadiyah sebenarnya merupakan gerakan kebangsaan yang menempatkan jalur pendidikan sebagai instrumen perlawanan terhadap kolonialisme yang akan mengantarkan bangsa Indonesia menuju kemerdekaan.
Fase kehidupan berbangsa dan bernegara yang sangat krusial adalah ketika pembentukan dua badan khusus untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia, yaitu BPUPK dan PPKI. Tokoh-tokoh yang mewakili kelompok Muslim dalam sidang-sidang BPUPK, meliputi: Sukiman Wiryosanjoyo, Ki Bagus Hadikusumo, Prof. K.H.A. Kahar Muzakkir, K.H.A. Wahid Hasyim, Abikusno Cokrosuyoso, Mr. Ahmad Subarjo, Agus Salim, dan lain-lain. Dalam keanggotaan BPUPK, setidak-tidaknya beberapa tokoh telah merepresentasikan organisasi Muhammadiyah, seperti: Ki Bagus Hadikusuma, Sukiman Wiryosanjoyo, dan Prof. K.H.A. Kahar Muzakkir.
KH.A. Dahlan Pendiri Muhammadiyah sumber gambar:
suaramuhammadiyah.id
Logo Muhammadiyah sumber gambar:
suaramuhammadiyah.id
Rapat BPUK sumber gambar:
https://www.freedomsiana.id/hasil-sidang-ppki-1-2-3- lengkap-18-19-22-agustus-1945/
Pasca pembubaran BPUPK yang diiringi dengan pembentukan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI), lembaga baru tersebut langsung menggelar sidang- sidang maraton pada 7-19 Agustus.
Keanggotaan PPKI ditambah 6 (enam) orang a n g g o t a b a r u t a n p a s e p e n g e t a h u a n pemerintah Jepang. Dari anggota tambahan t e r s e b u t t e r d a p a t s a t u t o k o h y a n g dipandang merepresentasikan kelompok Muslim modernis (Muhammadiyah), yaitu Mr. Kasman Singodimedjo. Tokoh inilah yang menjadi juru kunci pemecah kebuntuan
dialog antara kelompok muslim dengan nasionalis pada detik-detik akhir sidang-sidang PPKI yang menghendaki penghapusan “7 (tujuh) kata” dalam Piagam Jakarta (Jakarta Charter). Kegigihan Kasman meyakinkan Ki Bagus untuk menghapus tujuh kata dalam Piagam Jakarta sebenarnya merupakan suatu bentuk afirmasi terhadap konsep Dasar Negara Indonesia tanpa harus memasukkan ajaran Islam secara formal-eksplisit. Inilah bentuk “kesepakatan bersama” (konsensus)—yang dalam bahasa Kasman disebut sebagai gentlemen's agreement—dari para pendiri bangsa, terutama dari kelompok Muslim (Bajasut dan Hakiem, 2014: 210). Negara Indonesia bukan “negara agama” yang berdasarkan Pancasila, tetapi juga bukan “negara sekuler” yang memisahkan agama dalam kehidupan politik-kenegaraan. Akan tetapi, ajaran- ajaran Islam diakomodasi dalam sistem konstitusi negara dan umat Islam dijamin kebebasannya untuk menjalankan ajaran agama Islam.
Mr. Kasman Singodimedjo sumber gambar:
https://deals.weku.io/
Dengan pendekatan arkeologi pemikiran, bab ini bermaksud mengungkap jejak-jejak pemikiran para tokoh Muhammadiyah sejak 1912-1945 yang menjadi embrio nasionalisme Indonesia. Dengan meminjam teori arkeologi pengetahuan Michel Foucault (Ritzer, 2015: 574), penjabaran ini bertujuan untuk menemukan
Abdul Kahar Muzakir sumber gambar:
https://minews.id Ki Bagus Hadikusumo
sumber gambar:
https://pwmu.co/
jejak-jejak konseptual dalam Muhammadiyah yang turut memengaruhi pembentukan rumusan Pancasila. Dalam konteks ini, Pancasila diletakkan sebagai diskursus utama yang lahir dari khazanah pemikiran dan budaya bangsa, sedangkan Muhammadiyah sebagai salah satu organisasi pilar pendiri bangsa diletakkan sebagai perangkat aturan dan kondisi-kondisi khas yang turut memengaruhi kemunculan sebuah diskursus utama. Titik singgung terpenting dalam kajian sejarah pemikiran ini adalah konsep-konsep atau nilai- nilai keislaman dari tokoh-tokoh Muhammadiyah yang sejalan dengan falsafah Pancasila sebagai Dasar Negara Republik Indonesia.
Pancasila pada Era Awal Kemerdekaan Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang. Sehari kemudian BPUPK, yang berganti nama menjadi PPKI, menegaskan keinginan dan tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bom atom kedua dijatuhkan di Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya. Peristiwa ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan kemerdekaannya.
2.
Untuk merealisasikan tekad tersebut, pada tanggal 16 Agustus 1945 golongan muda berunding dengan golongan tua untuk menyusun teks proklamasi yang berlangsung singkat, mulai pukul 02.00-04.00 WIB dini hari.
Teks proklamasi disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr. Ahmad Soebardjo di ruang makan rumah Laksamana Tadashi Maeda di jalan Imam Bonjol Nomor 1. Konsepnya ditulis oleh Ir. Soekarno. Sukarni (dari golongan muda) mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu adalah Ir.
Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia. Kemudian teks proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik.
Proklamasi Sumber gambar:
https://www.goodnewsfromindonesia.id/uploads/
post/large-hei-ade44e82b4378e2a758ead071c234dce.jpg
36
Isi Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang tertuang dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis pemberontakan melawan imperialisme- kapitalisme dan fasisme serta memuat dasar pembentukan Negara Republik Indonesia.
Piagam Jakarta yang lebih tua dari Piagam Perjanjian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15 Agustus 1945) itu ialah
Naskah Proklamasi Sumber gambar:
https://id.wikipedia.org/wiki/Berkas:Proklamasi.png
sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi Kemerdekaan Republik Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini kemudian disahkan oleh sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi pembentukan UUD 1945, setelah terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya”, diubah menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Awal dekade 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak melakukan interpretasi ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan perspektif yang dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama, beberapa tokoh berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi politik atau kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka yang menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-sidang BPUPK dan PPKI. Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di antara golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan Takdir Alisyahbana dkk) dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar negara.
Pancasila pada Era Orde Lama
Terdapat dua pandangan besar terhadap Dasar Negara yang berpengaruh terhadap munculnya Dekrit Presiden. Pandangan tersebut yaitu mereka yang memenuhi
“anjuran” Presiden/Pemerintah untuk
“kembali ke Undang- Undang Dasar 1945”
dengan Pancasila sebagaimana dirumuskan dalam Piagam Jakarta sebagai Dasar Negara.
Sedangkan pihak lainnya menyetujui
“kembali ke Undang-Undang Dasar 1945”, tanpa cadangan. Artinya dengan Pancasila seperti yang dirumuskan dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar yang disahkan PPKI tanggal 18 Agustus 1945 sebagai Dasar Negara. Namun, kedua usulan tersebut tidak mencapai kuorum keputusan sidang Konstituante (Anshari, 1981: 99).
Majelis (Konstituante) ini menemui jalan 3.
Ir. Soekarno Sumber gambar:
https://id.berita.yahoo.com/25-kata-bijak- soekarno-tentang
buntu pada bulan Juni 1959. Kejadian ini menyebabkan Presiden Soekarno turun tangan dengan usulan Dekrit Presiden yang disetujui oleh kabinet tanggal 3 Juli 1959 konsepnya dirumuskan di Istana Bogor pada tanggal 4 Juli 1959. Dekrit ini kemudian diumumkan secara resmi oleh presiden pada tanggal 5 Juli 1959 pukul 17.00 di depan Istana Merdeka (Anshari, 1981: 99-100). Dekrit Presiden tersebut berisi:
Sosialisasi terhadap paham Pancasila yang konklusif menjadi prelude penting bagi upaya selanjutnya; Pancasila dijadikan “ideologi negara” yang tampil hegemonik. Ikhtiar tersebut tercapai ketika Ir. Soekarno memberi tafsir Pancasila sebagai satu kesatuan paham dalam doktrin “Manipol/USDEK”.
Manifesto politik (manipol) adalah materi pokok dari pidato Soekarno tanggal 17 Agustus 1959 berjudul “Penemuan Kembali Revolusi Kita” yang kemudian ditetapkan oleh Dewan Pertimbangan Agung (DPA) menjadi Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN). Selanjutnya, materi pidato tersebut dikukuhkan dalam Penetapan Presiden (Penpres) Nomor 1 tahun 1960 dan Ketetapan MPRS No.
1/MPRS1960 tentang GBHN (Ali, 2009: 30). Manifesto politik Republik Indonesia tersebut merupakan hasil perumusan suatu panitia yang dipimpin oleh D.N.
Aidit yang disetujui oleh DPA pada tanggal 30 September 1959 sebagai haluan negara (Ismaun, 1978: 105).
Oleh karena itu, tokoh-tokoh yang berseberangan paham memilih taktik
“gerilya” di dalam kekuasaan Ir. Soekarno. Mereka menggunakan jargon-jargon Ir. Soekarno dengan agenda yang berbeda. Taktik demikian digunakan oleh sebagian besar kekuatan politik, baik oleh PKI maupun kelompok-kelompok yang antikomunisme (Ali, 2009: 33). Walaupun kepentingan politik mereka berbeda, kedua arus tersebut sama-sama menggunakan Pancasila sebagai justifikasi. Ir. Soekarno menghendaki persatuan di antara beragam golongan dan ideologi termasuk komunis, di bawah satu payung besar, bernama Pancasila (doktrin Manipol/USDEK), sementara golongan antikomunis berkonsolidasi diri sebagai kekuatan berpaham Pancasila yang lebih “murni” dengan menyingkirkan paham komunisme yang tidak ber-Tuhan (ateisme) (Ali, 2009:
34).Dengan adanya pertentangan yang sangat kuat ditambah carut marutnya perpolitikan saat itu, maka Ir. Soekarno pun dilengserkan sebagai Presiden Indonesia, melalui sidang MPRS.
38
Pembubaran Konstituante
Undang-Undang Dasar 1945 kembali berlaku
Pembentukan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara.
a b c
Wajah Perempuan dalam Pancasila
Peranan kaum perempuan dalam perjuangan mewujudkan cita-cita kemerdekaan telah diakui luas. Nama-nama Tjut Nyak Dien, Christina Martha Tiahahu, Maria Walanda Maramis, Raden Ajeng Kartini, Dewi Sartika, dituliskan dalam sejarah Indonesia sebagai tokoh kemerdekaan dan pendidikan. Namun, peran perempuan dalam perumusan Pancasila dan gagasan pembetukan Negara-Bangsa kurang dikenal oleh ingatan publik. Tak heran jika kita sering menyebutkan “founding fathers” yang hanya merujuk pada jenis kelamin lelaki yaitu “para bapak pendiri bangsa”. Padahal, dalam perumusan pembentukan Negara Indonesia menjelang proklamasi kemerdekaan melalui BPUPKI, ada peran 2 orang perempuan: Maria Ulfah, dan Raden Ayu Sukaptinah Sunaryo.
Dengan itu, semestinya penyebutan yang tepat bagi para pendiri bangsa bukanlah founding fathers, melainkan founding parents karena ada kiprah dan sumbangsih dari perempuan dan para ibu.
Banyak perempuan Indonesia turut berjuang melawan keterbelakangan, dan meningkatkan kedudukan serta martabat perempuan dalam semangat menghapuskan feodalisme, kolonialisme, otoritarianisme, dan patriarki. Di masa ketika kawin paksa, poligami, kekerasan terhadap perempuan, adat dipingit, dan larangan sekolah bagi perempuan menjadi kultur dominan, pejuang perempuan seperti Nyai Siti Walidah, Raden Ajeng Kartini, dan Siti Munjiyah melakukan terobosan gerakan literasi pendidikan dan gerakan sosial untuk meningkatkan harkat dan martabat kaum perempuan.
Perempuan berjuang bersama laki-laki bahu-membahu untuk mencapai persatuan bangsa, meraih kemerdekaan, dan mengisi pembangunan untuk kemajuan bangsa. Kesadaran dari keterbelakangan menuju kemajuan perempuan bagi umat dan bangsa ini diilhami ide pencerahan, egalitarianisme, liberasi dari penindasan, dan emansipasi untuk humanisasi perempuan yang setara dengan kaum lelaki. Sebagai contoh, Raden Ajeng Kartini dan Nyai Siti Walidah melakukan perubahan kultural penting melalui pendidikan untuk menghapuskan kebodohan, untuk meningkatkan derajat dan martabat perempuan. Siti Munjiyah memperjuangkan hak suara perempuan di ruang publik melalui kiprah dan kepemimpinannya di Aisyiyah dan Kongres Perempuan: ia turut mengubah dunia perempuan dan memperluas peran 4.
Siti Walidah
Raden Ayu Maria Ulfa
Siti Munjiyah
Raden Nganten Siti Sukaptinah Sunaryo
39 Pancasila pada Era Orde Baru
Setelah lengsernya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal Soeharto yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki.
Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan, “Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita mempertahankan Pancasila”. Selain i t u , P r e s i d e n S o e h a r t o j u g a mengatakan, “Pancasila sama sekali bukan sekadar semboyan untuk dikumandangkan, Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekadar dikeramatkan dalam naskah UUD, m e l a i n k a n P a n c a s i l a h a r u s diamalkan (Setiardja, 1994: 5).
Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan ritual.
Untuk memperkuat Pancasila sebagai dasar negara, pada 1 Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa jika Pancasila sebagai pegangan hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila pasti dapat digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010:42).
Selanjutnya, pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12 tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu:
Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada tanggal 22 Maret 1978 ditetapkan ketetapan (disingkat TAP) MPR Nomor II/MPR/1978 tentang Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) yang salah satu pasalnya, Pasal 4, menjelaskan,
“Pedoman Penghayatan dan Pengamalan pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan bermasyarakat berbangsa dan bernegara
Satu : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab Tiga : Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan
Lima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia 5.
40
bagi setiap warga negara Indonesia, setiap penyelenggara negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan utuh”. Adapun nilai dan norma- norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) berdasarkan ketetapan tersebut meliputi 36 butir kemudian pada tahun 1994 disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4. Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir. Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang- undangan di negara Indonesia diatur dalam Ketetapan MPRS No.
XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan, “Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila secara paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan-ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu negara hukum yang konstitusional sebagaimana yang dinyatakan dalam pembukaan UUD 1945” (Ali, 2009:37). Pada masa Orde Baru, dasar negara itu berubah menjadi ideologi tunggal dan satu-satunya sumber nilai serta kebenaran. Negara menjadi maha tahu mana yang benar dan mana yang salah. Nilai-nilai itu selalu ditanam ke benak masyarakat melalui indoktrinasi (Ali, 2009: 50).
Presiden Soeharto meresmikan Monumen Pancasila Sakti di Lubang Buaya.
Sumber gambar:
FOTO/Antara Foto
Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak desakan oleh pemerintah dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila. Hal itu membuat Presiden Soeharto marah sehingga Presiden Soeharto berbicara keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya, Pemerintah Orde Baru tidak akan mengubah Pancasila dan UUD 1945, tetapi justru memperkuatnya menjadi comparatist ideology. Jelas sekali MPR pemerintah Orde Baru merasa perlu membentengi Pancasila dan TAP MPR itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru menjalankan “Asas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Asas Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44).
Dengan semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar masuk Indonesia pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula, gerakan demokratisasi semakin santer mengkritik praktik pemerintah Orde Baru yang tidak transparan dan otoriter, represif, korup dan manipulasi politik yang sekaligus mengkritik praktik Pancasila. Meski demikian, kondisi ini bertahan sampai dengan lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed), 2010:
45.