• Tidak ada hasil yang ditemukan

Full Buku Ajar Pancasila sebagai Laku

N/A
N/A
ANANTASYA YULI ASRIDA

Academic year: 2024

Membagikan "Full Buku Ajar Pancasila sebagai Laku"

Copied!
151
0
0

Teks penuh

(1)
(2)

Yayah Khisbiyah M.A. Fattah Santoso Ahmad Muhibbin Achmad Mutholi’in Agus Prasetyo Eko Prasetyo

Danang Tunjung Laksono Arief Maulana

PENULIS

Mu’arif Sri Lestari

KONTRIBUTOR

Editor

Yayah Khisbiyah M. Thoyibi Yanuar Ihtiyarso Mohammad Ali Yafi

ILUSTRATOR & LAYOUT EDITOR

NOMOR HAKI

000441003

Muhammad Ni'malmaula Lukman Fathurrohman

(3)

Januari 2023 Tim Penyusun

buku ajar Pancasila ini.

Buku ajar ini disusun sebagai panduan bagi dosen mata kuliah

buku aja ini bisa menjadi salah satu referensi

(4)

Setelah reformasi politik 1998, Indonesia mengalami kegamangan orientasi kebangsaan. Pergantian para pemimpin bangsa pasca Orde Baru melalui pemilihan umum dan pemilihan kepala daerah secara demokratis nampaknya belum cukup konsisten membawa Indonesia ke arah lebih baik. Ketidakadilan hukum dan politik serta ketimpangan sosial-ekonomi masih mendera berbagai komunitas anak bangsa. Korupsi “berjamaah” yang sistemik, kemiskinan struktural, perusakan lingkungan hidup, serta diskriminasi akses layanan publik terutama di bidang kesehatan, pendidikan berkualitas, perumahan dan transportasi, telah memperparah ketidakadilan dan ketimpangan yang terjadi dalam berbagai ranah kehidupan berbangsa dan bernegara. Akumulasi permasalahan ini menciptakan kenestapaan bagi sebagian warga negeri, yang pada gilirannya menorehkan kekecewan psikososial dan mengekskalasi kemarahan sosiopolitik. Rasa marah dan kecewa individual maupun kolektif kerap disalurkan melalui kanal media sosial dan digital, dan sesewaktu mewujud dalam letupan kekerasan bernuansa suku, agama, ras (SARA), dan kelas sosial-ekonomi.

Pengantar Koordinator Tim Penyusun Buku Ajar Pancasila

Rajutan harmoni sosial mudah dirusak saat muncul tantangan-tantangan baru seperti maraknya populisme, politisasi agama, hasutan kebencian seperti terjadi saat ini. “Imaji musuh” (enemy image) terhadap pihak yang berbeda atau berlawanan mudah dikonstruksi, baik melalui media sosial maupun berbagai forum perkumpulan massa. Kondisi demikian makin memperparah intoleransi dan mempertajam segregasi, eksklusi, polarisasi serta fragmentasi sosial berbasis SARA.

Atmosfir ini memengaruhi pula eskalasi ekstremisme kekerasan (violent extremism) yang menjustifikasi spiral kekerasan yang sulit diurai. Upaya meredakan ketegangan dan kekerasan yang manifes maupun yang laten oleh pemerintah maupun kelompok masyarakat sipil cukup menguras energi bangsa, yang seharusnya dimanfaatkan untuk bergotongroyong menguatkan persatuan dan kemajuan negeri.

Di bagian dunia lainnya, negara-negara tetangga seperti Malaysia, Singapura, bahkan Vietnam telah bangkit untuk menjadi pesaing-pesaing di kawasan Asia yang liat dan lenting. Indonesia, sebuah negara yang jauh lebih kaya akan sumber daya alam dan sumber daya budaya ragam Nusantara, bisa jadi hanya menjadi bangsa inferior, “kuli dan jongos” di negaranya sendiri, jika arah kebudayaan, politik dan perekonomian kita tetap dikendalikan oleh oligarki kuasa dan ketamakan vested interests hegemon. Fenomena inferioritas ini merupakan tantangan nyata dalam hal persaingan peradaban baru di kawasan Asia maupun global, dan terlebih di dalam negeri sendiri.

(5)

Berbagai kondisi suram internal dan eksternal yang membuat rapuh bangsa juga terjadi di kalangan generasi muda, termasuk mahasiswa. Sebagai garda terdepan generasi baru, mahasiswa mengalami krisis dalam pemahaman dan praktik kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Salah satu penyebabnya adalah kurangnya keteladanan dalam mengimplementasikan nilai-nilai Pancasila di ranah publik. Sulit mencari keteladanan dari sesama anak muda, terlebih dari orang- orang dewasa utamanya pejabat dan penyelenggara negara, politisi, pengusaha, pendidik, tokoh masyarakat, serta tokoh agama. Mahasiswa mengalami defisit keteladanan, panutan, dan cermin jernih untuk bangga menjadi manusia Indonesia, menjadi bangsa Indonesia. Mahasiswa juga kurang mendapatkan penguatan praksis keadaban berlandaskan nilai-nilai Pancasila, melalui transfer of values pada ranah pendidikan di dunia akademik-kampus. Nilai-nilai yang membentuk budi pekerti dan karakter berkeadaban universal dalam Pendidikan Pancasila di perguruan tinggi belum terinternalisasikan sampai ke ranah afektif dan perilaku, namun ditengarai banyak riset sebagai sekadar berada di lapisan superfisial ranah kognitif.

Pancasila sebagai dasar negara dan Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa memang ditengarai mengalami kelunturan, karena ketidakseriusan kita membumikan Pancasila selama 2 dekade terakhir. Nilai-nilai dan praksis Pancasila belum menjadi habituasi atau pembiasaan pada masyarakat Indonesia. Habitus ber- Pancasila belum tertanam kokoh dalam pelembagaan di bidang politik, hukum, ekonomi, dan budaya, termasuk di lembaga-lembaga pendidikan dan organisasi- organisasi keagamaan. Akibatnya, mahasiswa mencari “kiblat lain” diluar Pancasila yang diyakini mampu memulihkan kedaulatan negara yang dipersepsikan gagal membahagiakan seluruh rakyat Indonesia. Kelompok-kelompok ekstrem-intoleran dan ideologi takfiri kemudian mudah mengintrusi ke dalam dunia pendidikan melalui doktrin ideologi alternatif yang diyakini mampu memecahkan berbagai persoalan bangsa dan negara.

Di tengah berbagai pertimbangan dan pemikiran di atas, Pusat Studi Budaya dan Perubahan Sosial Universitas Muhammadiyah Surakarta (PSBPS UMS) turut terpanggil untuk menguatkan kembali ideologi Pancasila ke dalam kesadaran berbangsa dan bernegara, melalui alam pikiran (pengetahuan), keyakinan dan penghayatan (afektif dan sikap), serta praktik hidup (pengamalan dalam perilaku nyata) di kalangan dosen pengampu dan mahasiswa peserta mata kuliah wajib Pancasila. Pendekatan melalui pendidikan Pancasila di universitas dipilih, karena bersifat strategis jangka panjang dan berkesinambungan dalam membentuk mind- set mahasiswa. Setelah lulus, mereka akan menjadi penerus bangsa. Program bertajuk “Revitalisasi dan Institusionalisai Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi”

(RIPPT) ini tidak hanya merespon bermacam permasalahan sosial di atas, tetapi juga sejalan dengan amanah pelaksanaan Kepdirjen Pendidikan Tinggi Kemendikbud Nomor 84/E/KPT/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Mata Kuliah Wajib pada Kurikulum Pendidikan Tinggi.

(6)

Salah satu luaran dari program RIPPT adalah berupa buku ajar hasil revitalisasi pembelajaran Pancasila, yang kini berada di tangan para pembaca yang budiman.

Buku ajar didesain oleh tim PSBPS bekerjasama dengan tim Lembaga Bahasa dan Ilmu Pengetahuan Umum (LBIPU) UMS, berisi muatan materi dan metode yang terbaharukan, kontekstual, kreatif, adaptif dengan berbagai platform pembelajaran, serta mendorong daya kritis dan sensibilitas mahasiswa terhadap isu-isu toleransi keragaman, keadilan sosial, kebangsaan, dan kemanusiaan universal. Hal ini sejalan dengan amanat dalam surat keputusan di atas, yaitu bahwa Mata Kuliah Wajib Pancasila “berfungsi untuk membentuk watak dan keadaban mahasiswa yang bermartabat serta mengandung muatan yang aktual dan kontekstual”.

Program RIPPT dimaksudkan sebagai upaya untuk membantu pemerintah khususnya DIKTI KEMENDIKBUD dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) oleh masyarakat sipil --dalam hal ini Persyarikatan Muhammadiyah--, melalui jalur pendidikan. Program RIPPT dilakukan sebelum pandemi, tepatnya sejak 2019.

Pandemi Covid-19 memberikan tantangan berupa penundaan dan perubahan pelaksanaan kegiatan pelatihan dan pembelajaran klasikal di ruang kelas. Namun, pandemi Covid-19 juga membawa blessings in disguise tersendiri, yaitu kesadaran tentang tak terhindarkannya metode online atau daring dalam proses belajar- mengajar era digital, dan perolehan capacity building berupa keterampilan baru tentang sistem manajemen pembelajaran berbasis online untuk jangkauan dan replikasi PMB mata kuliah Pancasila yang lebih luas. Alhamdulillah, program pilot Revitalisasi dan Institusionalisasi Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi yang diinisiasi oleh PSBPS UMS telah diakui oleh berbagai pihak sebagai success stories.

Melalui penerbitan buku ajar ini, kami berharap agar cerita keberhasilan program kami bisa direplikasi untuk institusi pendidikan tinggi lainnya, khususnya di lingkup perguruan tinggi swasta di seluruh Indonesia. Buku ajar ini disusun sebagai panduan bagi dosen mata kuliah Pancasila dalam mengajar mata kuliah Pancasila, dengan tujuan utama menggugah kesadaran berbangsa dan bernegara di kalangan mahasiswa selaku garda depan bangsa melalui pemahaman, penghayatan dan pengamalan Pancasila dengan model Pendidikan baru.

Pendekatan yang dipakai oleh buku ajar ini diinspirasi pedagogi andragogis, interaktif-refleksif, berorientasi problem solving, dan berpusat-pada-pembelajar.

Latihan dan penugasan dalam buku ajar didesain untuk menumbuhkan kesadaran dan menguatkan komitmen peserta didik untuk melakukan tindak lanjut dan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila secara konkret dalam kehidupan keluarga, pertetanggaan, bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara. Buku ajar ini diharapkan menjadi panduan dosen pengampu dan mahasiswa Pendidikan Pancasila dalam menerapkan materi dan metode Proses Belajar-Mengajar (PBM). Desain buku ajar dengan menggunakan ilustrasi grafis a la anime oleh illustrator berusia milenial dari kalangan mahasiswa sendiri, juga diharapkan menarik perhatian mahasiswa dalam

v

(7)

berpartisipasi aktif di perkuliahan sehingga tujuan pembelajaran tercapai lebih efektif. Buku ajar ini menyajikan ulasan teoretis historis tentang Pancasila, mulai sejarah lahirnya, peran dan fungsi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara serta bagaimana urgensinya di institusi pendidikan, khususnya di perguruan tinggi. Selain itu, yang lebih signifikan, pembekalan praksis pengamalan Pancasila di masing- masing Sila disajikan secara terinci sehingga nilai-nilai Pancasila diharapkan dapat terinternalisasi secara baik ke dalam laku perbuatan mahasiswa dalam konteks lingkungan sosial.

Buku ajar ini dilengkapi dengan Learning Management System (LMS) dengan aplikasi yang berbasis Modular Object-Oriented Dynamic Learning Environment (MOODLE). Dengan demikian, aplikasi LMS Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi ini memudahkan pengelolaan pembelajaran dan pengelolaan kelas, serta memungkinkan pelaksanaan kegiatan proses-belajar mengajar secara daring.

Aplikasi ini juga memungkinkan pelaksanaan pembelajaran lintas perguruan tinggi, yang menawarkan peluang pengalaman kebhinekaan lebih tinggi untuk latar belakang mahasiswa dan dosen yang beranekaragam.

Program RIPPT ini didukung oleh lembaga-lembaga pemangku kepentingan yang relevan dalam mendesain buku ajar ini beserta implementasi standarisasinya di perguruan tinggi: BELMAWA DIKTI KEMENDIKBUD RI, Majelis DIKTI-LITBANG Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Muhammadiyah, dan Badan Pembinaan Ideologi Pancasila BPIP), dan tentu afirmasi kuat secara internal kelembagaan oleh Rektor serta Lembaga Riset dan Inovasi Universitas Muhammadiyah Surakarta sendiri, dengan pendampingan oleh lembaga donor HARMONI-MSI USAid. Program RIPPT ini juga disokong oleh partisipasi dan kontribusi 15 perguruan tinggi swasta yang tersebar di 6 kota sebagai mitra penggerak sekaligus sebagai penerima manfaat:

Universitas Muhammadiyah Surakarta, Universitas Aisyiyah Surakarta, Universitas Batik, Universitas Veteran, Universitas Duta Bangsa, Universitas Slamet Riyadi (Solo Raya); Universitas Ahmad Dahlan, Universitas Aisyiyah Yogya, Universitas Muhammadiyah Yogyakarta, dan Universitas Cokroaminoto (Yogyakarta);

Universitas Paramadina dan Universitas Muhammadiyah Jakarta (Jakarta), Universitas Muhammadiyah Cirebon, Universitas Muhammadiyah Purwokerto, dan Universitas Muhammadiyah Semarang. Pada mulanya, gagasan kami hanyalah berlingkup di perguruan tinggi Muhammadiyah dan Aisyiyah. Namun ternyata program RIPPT ini disambut secara antusias oleh perguruan tinggi swasta lainnya.

Untuk semua dukungan dan kontribusi ini, PSBPS UMS menghaturkan terima kasih kepada seluruh lembaga penyokong dan universitas mitra yang telah berperan instrumental bagi kesuksesan, amplifikasi dan sustainabilitas program RIPPT. Kami berharap program RIPPT melalui buku ajar “Pancasila Dalam Laku” dan kegiatan Standarisasi Dosen Pendidikan Pancasila (yang on-going sedang difinalisasi oleh

(8)

PSBPS bekerjasama dengan LBIPU UMS) dapat disambut hangat pula oleh PTMA dan universitas-universitas swasta lain dari seluruh Indonesia.

Jakarta-Surakarta, 31 Januari 2023.

Koordinator Tim Penyusun, Dra. Yayah Khisbiyah, M.A. (Fakultas Psikologi UMS & PSBPS UMS)

Dr. M. Thoyibi (FKIP UMS & LBIPU UMS)

v

Menyadari di dunia ini tidak ada yang sempurna, tim penyusun sangat terbuka atas segala kritik, saran, dan juga masukan dari semua pihak untuk perbaikan buku ajar ke depan. Semoga buku ajar ini bisa menjadi salah satu referensi utama bagi dosen dan mahasiswa dalam mempelajari dan mengamalkan nilai-nilai luhur Pancasila.

(9)

Perumusan Pancasila dalam kesejarahannya mengalami proses dinamis sejak Pidato 1 Juni 1945, Piagam Jakarta 22 Juni 1945, dan rumusan final 18 Agustus 1945.

Rumusan final Pancasila tanggal 18 Agustus 1945 itu merupakan konsensus nasional dari seluruh golongan bangsa Indonesia yang majemuk, yang mengandung rumusan resmi dan konstitusional mengikat seluruh warga dan institusi negara.

Pemahaman Pancasila tersebut tentu saja tidak lagi bersifat tafsir perseorangan, atau hanya buah Pidato Bung Karno 1 Juni 1945, atau milik golongan tertentu, tetapi merupakan hasil pemahaman dan konsensus kolektif sebagaimana terkandung dalam Pembukaan UUD 1945.

Pancasila secara official (resmi) dan konstitusional terkandung dalam Pembukaan UUD 1945, yang ditetapkan pada sidang PPKI tanggal 18 Agustus 1945. Kelima Sila Pancasila tersebut ialah: “Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesa, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmah kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”.

Konsensus seluruh komponen bangsa untuk menerima Pancasila sebagai dasar negara dihasilkan dari jiwa kenegarawanan para pendiri negara. Peran krusial Ki Pancasila sebagai dasar negara memiliki fungsi sebagai hasil konsensus nasional, yang oleh para ahli disebut sebagai titik persetujuan (common denominator) segenap elemen bangsa. Kelima prinsip itu disebut Soekarno sebagai Pancasila.

Tawaran lima prinsip mendapat respon dan masukan-masukan yang beragam dari anggota BPUPKI hingga akhirnya lima prinsip Pancasila itu menjadi seperti sekarang.

Sila yang berarti dasar, atas dasar lima prinsip Pancasila bangsa ini mendirikan negara (Latif, 2011).

PANCASILA DALAM KEHIDUPAN KEBANGSAAN DAN PENDIDIKAN TINGGI

Sambutan oleh Ketua Umum Pimpinan Pusat Muhammadiyah Prof. Dr. Haedar Nashir, M.Si.

Pancasila adalah dasar negara Republik Indonesia. Soekarno dalam Pidato 1 Juni 1945 di BPUPKI menempatkan Pancasila sebagai philosophische grondslag yaitu

“fundamen, filsafat, pikiran yang sedalam-dalamnya, jiwa, hasrat yang sedalam- dalamnya untuk di atasnya didirikan gedung Indonesia Merdeka yang kekal dan abadi.” Soekarno juga menyebut Pancasila sebagai Weltanschauung atau

“pandangan dunia”, yaitu konsep dasar filsafat dan epistemologi Jerman dan mengacu pada persepsi dunia luas yang mengacu pada keranga kerja ide dan kepercayaan ketika suatu individu, kelompok, atau budaya menafsirkan dunia dan berinteraksi dengannya. Artinya, Pancasila itu suatu dasar filosofis atau pandangan dunia hasil pemikiran manusia.

(10)

Bagus Hadikusumo (Ketua Pimpinan Pusat Muhammadiyah periode 1942-1953) bersama tokoh Islam lain dalam konsensus yang bersejarah itu sangatlah besar, dengan kesediaan melepas “tujuh kata” Piagam Jakarta dikonversi menjadi sila pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Menurut Menteri Agama Alamsjah Ratu Perwiranegara, itulah “hadiah terbesar dari umat Islam”.

Pancasila sebagai titik temu dari kemajemukan terjadi atas jiwa kenegarawanan para tokoh bangsa melalui proses musyawarah-mufakat. Kontribusi dan pengorbanan umat Islam sangatlah besar. Muhammadiyah memandang konsensus Pancasila dan berdirinya negara Indonesia yang bersejarah itu sebagai “Negara Pancasila Darul Ahdi Wasyahadah.” Negara hasil “gentlemen's agreement” atau konsensus nasional yang harus dipegang kuat sebagai janji bersejarah. Indonesia juga harus dibangun agar menjadi negara dan bangsa yang bersatu, berdaulat, maju, adil, dan makmur sebagaimana cita-cita pendiri Indonesia.

Karenanya Pancasila harus menjadi milik bersama seluruh rakyat dan komponen bangsa, serta tidak boleh dimiliki dan ditafsirkan sendiri oleh pihak manapun, yang keluar atau tidak sejalan dengan hakikat Pancasila itu sendiri. Jangan ada yang menganggap diri atau kelompok sendiri paling Pancasilais, sementara yang lain dianggap kurang ber-Pancasila atau radikal atau malah dipandang mengancam Pancasila dan NKRI, UUD 1945, dan Kebhinekaan. Pancasila sebagai pandangan dunia tidak perlu disakralkan, lebih dari itu penting untuk dipraktikkan dalam kehidupan berbangsa dan bernegara sehingga Negara Kesatuan Republik Indonesia dengan segala hal-ihwalnya diselenggarakan dan dikelola dengan lima nilai dasar tersebut, serta Indonesia tidak berjalan secara pragmatis tanpa pijakan dan arah tujuan.

Pancasila dan Agama

Negara Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan konstitusi UUD 1945 mengakui keberadaan agama. Sila pertama Pancasila ialah “Ketuhanan Yang Maha Esa”, yang dalam ajaran agama sangatlah esensial karena mengandung keyakinan, yang dalam Islam disebut tauhid, yakni ajaran tentang keesaan Tuhan. Pada pasal 29 UUD 1945 negara mengakui secara resmi agama sebagai ajaran yang dipeluk oleh warga negara sebagai pedoman kehidupan serta menjadi jiwa dalam berbangsa dan bernegara. Pasal 29 UUD 1945 terdiri atas dua ayat yang berbunyi: “(1) Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa". (2) "Negara menjamin kemerdekaan tiap- tiap penduduk untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan kepercayaan itu." Pancasila jangan dipertentangkan dengan agama. Keduanya dalam tataran yang berbeda secara historis dan sosiologis telah menyatu dalam perikehidupan bangsa Indonesia. Pancasila sebagai dasar negara, sedangkan Agama sebagai ajaran Tuhan yang menjadi pedoman hidup fundamental bangsa yang dipeluk oleh setiap penganut agama sesuai

v

(11)

keyakinannya.

Karenanya bagi yang berpaham nasionalisme, jangan sekali-sakali mempertentangkan agama dengan Pancasila, apalagi menempatkan agama sebagai nilai pinggiran dan dianggap sebagai sumber masalah dalam kehidupan bangsa dan negara Indonesia. Agama juga jangan dipinggirkan atau dianggap bukan menjadi urusan bangsa dan negara Indonesia, serta harus dijauhkan dari negara, sebagaimana pandangan kaum sekuler yang tentu saja bertentangan dengan Pancasila dan UUD 1945. Bagi umat beragama sebaliknya, jangan mempertentangkan agama dengan Pancasila, serta menganggap Pancasila sebagai tidak penting bagi umat beragama, apalagi ingin mendirikan negara berdasarkan agama. Semua pihak mesti proporsional dan konstitusional dalam menempatkan agama dan Pancasila sesuai posisi dan fungsinya.

Agama sebagai sumber nilai utama yang fundamental berfungsi sebagai kekuatan transendental yang luhur dan mulia bagi kehidupan bangsa. Posisi agama sebagai Way of Life yang absolut dan nilai utama kehidupan umat manusia di atas nilai-nilai lainnya. Nilai-nilai intrinsik agama telah memberi inspirasi bagi para pendiri bangsa dan perumus cita-cita negara dalam mewujudkan kehidupan kebangsaan yang berbasis pada ajaran agama. Nilai-nilai agama bahkan tercermin dalam Pancasila sebagai ideologi negara, terutama pada Sila Pertama “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Sila Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan Keadilan bagi seluruh rakyat Indonesia secara substantif sejalan dengan nilai-nilai agama. Nilai-nilai agama menyatu dalam Pancasila. Negara Indonesia bahkan disebutkan “berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa” sebagaimana termaktub dalam pasal 29 UUD 1945.

Agama bersifat suci karena bersumber dari Wahyu Allah yang termaktub dalam Kitab Suci dan dibawa oleh para Nabi utusan Tuhan. Agama tidak memaksa manusia untuk memeluknya, tetapi setelah menganutnya harus diyakini, dipahami, dan diamalkan dalam kehidupan untuk menebarkan rahmat bagi semesta alam. Dalam hubungan dengan umat beragama yang berbeda keyakinan, Islam mengajarkan prinsip Lakum dinukum waliya din, yakni “bagimu agamamu dan bagiku agamaku”

(QS Al-Kafirun: 5). Agama harus diamalkan dengan benar dan baik secara autentik oleh pemeluknya sehingga menciptakan kehidupan yang rahmatan lil-‘alamin.

Agama harus dipahami dengan benar, mendalam, luas, dan komprehensif agar tidak melahirkan sikap keberagamaan yang sempit, picik, statis, dan ekstrem. Agama juga jangan dipolitisasi untuk kepentingan-kepentingan duniawi yang ambisius dan oportunistik guna mencari keuntungan sesaat, sehingga terjadi penyalahgunaan ajaran agama.

(12)

Agama juga jangan disalahpahami sebagai sumber radikalisme dan politik identitas. Radikal dalam makna keras dan membenarkan kekerasan dapat bersumber dari segala paham, baik dari agama maupun ideologi dan pemikiran keduniawian atau pandangan dunia, sehingga bersifat umum atau universal.

Radikalisme yang melahirkan ekstremisme sering disebabkan oleh banyak faktor, sehingga terjadi saling-silang kepentingan (cross cutting of interests). Dalam menghadapi fenomena radikalisme apapun diperlukan antitesis moderasi yang moderat, sehingga radikal tidak dapat dilawan dengan bentuk radikal lain (deradikalisasi) sebab yang akan terjadi adalah radikal baru. Menanamkan paham dan sikap hidup wasathiyyah atau tengahan atau moderat memerlukan proses pendidikan dan pembudayaan yang intensif dan berkelanjutan, tidak dapat instan.

Di sinilah pentingnya pendidikan agama, Pancasila, dan nilai kehidupan lainnya yang bersifat moderat atau tengahan.

Melaksanakan Pancasila

Pancasila sebagai dasar negara dan pandangan dunia bagi bangsa Indonesia haruslah dilaksanakan jika kehidupan keindonesiaan ingin berjalan sebagaimana jiwa, pemikiran, dan cita-cita luhur yang diletakkan oleh para pendiri negara. Nilai- nilai dasar Pancasila dan kebudayaan yang hidup dalam masyarakat Indonesia juga penting terus ditransformasikan dalam kehidupan kebangsaan, terutama dalam perwujudan atau implementasinya. Setiap sila dalam Pancasila harus teraktualisasi dan diimplementasikan dalam kehidupan sehari-hari serta menjadi alam pikiran para elite dan warga bangsa.

Pancasila harus dipahami moderat dan diletakkan sebagai milik bersama, bukan secara ekstrem dan milik orang perorang secara sepihak. Kontroversi seputar Tes Wawasan Kebangsaan (TWK), Survei Lingkungan Belajar (SLB), Lomba Pidato tentang hukum menghormat bendera, dan pemikiran-pemikiran pro-kontra lainnya mesti dihindari. Bila ada perbedaan paham harus didialogkan dan dicarikan titik temu dengan rujukan konstitusi. Semua pihak harus meletakkan Pancasila bersama tiga pilar lainnya yaitu NKRI, UUD 1945, dan Kebhinekaan sebagai ideologi moderat serta menjadi milik bersama. Pancasila tidak dapat dipahami dan dikonstruksi secara radikal-ekstrem, sebaliknya memerlukan pemahaman yang moderat karena hakikatnya Pancasila itu sendiri berwatak moderat.

Seluruh institusi negara dan bangsa penting menjalankan Pancasila dalam kehidupan keindonesiaan. Kepentingan mendesak dan prioritas bagi DPR, pemerintah, lembaga yudikatif, dan seluruh institusi negara dan rakyat saat ini ialah menjalankan dan memraktikkan Pancasila dalam sistem ketatanegaraan dan kehidupan kebangsaan. Kelima sila dari Pancasila harus dilaksanakan secara mendalam, luas, dan menyeluruh sehingga Indonesia benar-benar menjadi Negara dan Bangsa yang ber-Pancasila. Pancasila harus tercermin dalam seluruh kebijakan

x

(13)

negara dan perilaku warga negara. Kebijakan politik, ekonomi, budaya, dan kebijakan lainnya termasuk di bidang pendidikan dan kesehatan mesti dijiwai Pancasila dan tidak boleh bertentangan dengan prinsip dan nilai Pancasila.

Penyusunan dan penetapan seluruh perundang-undangan menjadi Undang- undang semestinya mencerminkan dan berfondasikan Pancasila serta tidak boleh menyalahi Pancasila. Demokrasi, hak asasi manusia, pluralisme, serta segala paham kebangsaan dan kenegaraan mesti sejalan dengan Pancasila dan mencerminkan nilai dasar negara itu. Perilaku elite dan warga Indonesia dalam berbangsa dan bernegara juga mesti mengaktualisasikan Pancasila. Pancasila jangan indah dalam jargon, kata-kata, dan retorika tetapi harus tercermin dalam kehidupan nyata ber- Indonesia. Sistem politik dan Pemilu harus dijiwai Pancasila sehingga bebas dari absolutisme kekuasaan, korupsi, oligarki, politik uang, dan segala transaksi pragmatis yang merusak kehidupan kebangsaan dan kenegaraan. Semua energi politik, ekonomi, sosial, intelektual, dan sumberdaya semestinya dkerahkan untuk mengimplementasikan Pancasila, termasuk dalam kehidupan para pejabat negara sebagai teladan bagi rakyat.

Pendidikan Pancasila

Bangsa Indonesia memiliki sejarah dan kebudayaan yang terbilang positif, bahkan merasa dirinya sebagai masyarakat dengan kebudayaan yang luhur terutama dalam tatakrama dan pergaulan antarsesama. Warisan kebudayaan fisik seperti masjid, candi, keraton, kain batik, keris, dan peninggalan-peninggalan budaya lainnya (heritage) mendukung kebudayaan masa lampau bangsa ini. Berbagai kerajaan yang pernah jaya di Nusantara seperti Samudra Pasai, Aceh Darussalam, Kutai, Sriwijaya, Singosari, Demak, Pajang, Banten, Majapahit, Mataram, dan lain-lain menunjukkan jejak kebudayaan dan peradaban bangsa Indonesia yang gemilang. Kendati diakui, bangsa ini juga mengalami masa penjajahan yang terbilang lama dan berat sejak Portugis hingga Belanda dan pendudukan Jepang, yang berujung pada kemerdekaan tahun 1945.

Perkembangan sejarah dan kebudayaan Indonesia tersebut menunjukkan kemampuan bangsa Indonesia yang sebenarnya memiliki potensi tradisi besar (the great tradition), seberapapun tingkatan kualitasnya. Dalam kehidupan sehari-hari (everyday life) masyarakat Indonesia memiliki pengalaman yang positif sebagai manusia-manusia yang damai, toleran, ramah, rukun, kerja keras, dan sifat-sifat baik lainnya. Tetapi seiring dengan perkembangan zaman kadang mengalami masalah- masalah yang berkaitan dengan mentalitas akibat berbagai pengaruh, sehingga mengalami pelemahan atau penurunan karakter sebagai bangsa yang besar.

Karenanya diperlukan transformasi atau rancang-bangun perubahan yang lebih sistematis dalam membangkitkan kembali karakter bangsa atau manusia Indonesia menuju masa depan yang lebih maju dan unggul. Keunggulan kualitas manusia akan

(14)

mementukan masa depan kebudayaan dan peradaban bangsa.

Dalam pembangunan kebudayaan yang berkarakter keindonesiaan dan terkoneksi dengan universalitas global diperlukan pendidikan nilai, yakni Pendidikan Pancasila sekaligus pendidikan yang berbasis dan berwawasan Pancasila. Pendidikan karakter dalam konteks membangun karakter bangsa memiliki pertautan erat dengan basis kebudayaan bangsa Indonesia sebagai bangsa yang berkepribadian luhur. Dalam konteks kebudayaan yang lebih luas, pendidikan karakter tentu merupakan pranata penting dan strategis untuk membangun kebudayaan dan peradaban bangsa. Pendidikan termasuk bentuk institusi atau pranata sosial untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia yang berhubungan dengan pencerahan akal- budi, sehingga terbentuk manusia yang berkebudayaan dan berkeadaban mulia. Di sinilah pentingnya pendidikan karakter sebagai proses dan strategi untuk transformasi kebudayaan bangsa menuju masa depan yang lebih maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.

Pendidikan karakter bagi bangsa Indonesia mesti berbasis pada Pancasila, selain pada agama yang hidup di negeri ini. Di sinilah pentingnya pendidikan Pancasila untuk mengenalkan, memahamkan, dan mengaplikasikan nilai-nilai Pancasila kepada subjek didik di lembaga pendidikan melalui proses edukasi dan pembudayaan yang tersistem dan berkelanjutan. Sejak dini Pancasila diperkenalkan kepada generasi bangsa secara keilmuan dan pembudayaan, sehingga melekat atau mendarah-daging dalam kehidupan mereka khususnya sebagai acuan nilai dasar dalam berbangsa dan bernegara. Sedangkan untuk membina pandangan hidup yang lebih menyeluruh dan fundamental ditanamkan nilai-nilai agama sesuai agama dan kepercayaan subjek didik. Dalam kaitan nilai yang fundamental itulah antara nilai agama dan Pancasila serta kebudayaan luhur bangsa senantiasa terkoneksi dan terintegrasi dalam dunia pendidikan maupun kehidupan kebangsaan di Indonesia.

Pendidikan Nasional tidak terlepas dari nilai kehidupan yang mendasar seperti iman, takwa, akhlak mulia, dan nilai agama sebagaimana diperintahkan konstitusi. Pasal 31 Ayat 1 - 5 UUD 1945: (1) Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan; (2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya; (3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa yang diatur dengan undang- undang; (4) Negara memrioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional; (5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi

x

(15)

dengan menjunjung tinggi nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.

Khusus dalam perspektif Muhammadiyah, Pimpinan Pusat Muhammadiyah mendorong transformasi pendidikan nasional yang mencerahkan sebagaimana terkandung dalam pokok pikiran “Indonesia Berkemajuan”. Dalam pandangan Muhammdiyah, “Manusia yang cerdas adalah manusia Indonesia seutuhnya yang memiliki kekuatan akal budi, moral, dan ilmu pengetahuan yang unggul untuk memahami realitas persoalan serta mampu membangun kehidupan kebangsaan yang bermakna bagi terwujudnya cita-cita nasional. Manusia Indonesia yang cerdas memiliki fondasi iman dan taqwa yang kokoh, kekuatan intelektual yang berkualitas, kepribadian yang utama, dan menjadi pelaku kehidupan kebangsaan yang positif sesuai dengan nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila.”

Disebutkan lebih lanjut, bahwa sumberdaya manusia Indonesia yang cerdas dan berkarakter utama hanya dapat dihasilkan oleh sistem pendidikan yang

"mencerdaskan kehidupan bangsa" sebagaimana diamanatkan Pembukaan UUD 1945. Pendidikan tersebut dalam prosesnya tidak hanya menekankan pada kemampuan membaca, menulis, dan berhitung, tetapi sekaligus sebagai proses aktualisasi diri yang mendorong peserta didik untuk memiliki ilmu pengetahuan tinggi dan berkeadaban mulia. Pendidikan nasional yang selama ini berlaku sejalan dengan UU Nomor 20 tahun 2003 harus ditransformasikan menjadi sistem pendidikan yang mencerahkan, dengan visi terbentuknya manusia pembelajar yang bertakwa, berakhlak mulia, dan berkemajuan. Sedangkan misinya ialah: (1) Mendidik manusia agar memiliki kesadaran ilahiah, jujur, dan berkepribadian mulia; (2) Membentuk manusia berkemajuan yang memiliki jiwa pembaruan, berfikir cerdas, kreatif, inovatif, dan berwawasan luas; (3) Mengembangkan potensi manusia berjiwa mandiri, beretos kerja keras, wira usaha, dan kompetitif; (4) Membina peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki kecakapan hidup dan ketrampilan sosial, teknologi, informasi, dan komunikasi; (5) Membimbing peserta didik agar menjadi manusia yang memiliki jiwa, daya-cipta, dan kemampuan mengapresiasi karya seni- budaya; dan (6) Membentuk kader bangsa yang ikhlas, bermoral, peka, peduli, serta bertanggungjawab terhadap kemanusiaan dan lingkungan. Pendidikan nasional yang holistik tersebut melibatkan seluruh elemen bangsa, sehingga menjadi gerakan dan strategi kebudayaan nasional yang menyeluruh menuju kemajuan hidup bangsa yang bermartabat berdasarkan Pancasila, agama, dan kebudayaan luhur Indonesia (PP Muhammadiyah, 2014).

Karenanya pendidikan Pancasila tidak lepas dari pendidikan yang mencerahkan yang terkait dengan pendidikan agama dan pendidikan kebudayaan sebagai satu kesatuan sehingga menjadi pendidikan holistik dalam sistem pendidikan nasional.

Dengan demikian insan Indonesia yang dihasilkan dari lembaga dan sistem

(16)

pendidikan nasional, baik yang diselenggarakan oleh negeri maupun swasta, merupakan sosok manusia Indonesia yang utuh. Jika tujuan pendidikan nasional secara makro terkait dengan usaha “mencerdaskan kehidupan bangsa”, maka manusia Indonesia yang utuh niscaya menjadi insan yang cerdas secara menyeluruh, yakni kecerdasan rohani, spiritual, intelektual, sikap, tindakan, dan kehidupan sosial yang holistik. Pendidikan Pancasila dalam substansi konstitusi UUD 1945 pasal 31 bahkan memiliki tautan dengan pendidikan iman dan takwa, akhlak mulia, dan nilai agama untuk membangun peradaban bangsa sebagaimana dicita-citakan para pendiri Indonesia.

x v

(17)
(18)
(19)

URGENSI DAN DASAR HUKUM

PENDIDIKAN PANCASILA

BAB I

(20)

Materi “Urgensi dan Dasar Hukum Pendidikan Pancasila” pada bab ini penting sebagai pengantar, sebelum masuk pada materi yang lebih spesifik pada bab-bab berikutnya. Mahasiswa dapat dikatakan menguasai materi pada Bab I jika capaian pembelajaran sebagaimana berikut ini terpenuhi,

Mata kuliah pendidikan Pancasila merupakan usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar serta proses pembelajaran agar mahasiswa secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki pengetahuan, kepribadian, dan

URGENSI DAN DASAR HUKUM PENDIDIKAN PANCASILA

INTRODUKSI

Mampu mendeskripsikan urgensi penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi.

1.

Mampu memberikan argumen dasar hukum dan sumber penyelenggaraan Pendidikan Pancasila.

2.

Mampu menguraikan visi, misi,

dan tujuan Pendidikan Pancasila.

4.

Monumen Pancasila sumber gambar:

https://www.bankjim.com /2016/06/museum-monumen- pancasila-sakti.html

2

keahlian, sesuai dengan program studinya (Kemenristek Dikti, 2016).

Dengan menempuh mata kuliah pendidikan Pancasila, mahasiswa diharapkan dapat memberikan kontribusi yang konstruktif dalam bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara dengan mengacu kepada nilai-nilai Pancasila.

Mampu membuktikan kedudukan Pancasila sebagai kesepakatan dan persaksian bangsa.

3.

(21)

STIMULAN

Kasus Pertama

Pendidikan Pancasila telah dilakukan sejak siswa duduk di bangku Sekolah Dasar hingga Sekolah Menengah Atas. Tujuan Pendidikan Pancasila adalah menanamkan nilai-nilai Pancasila agar menjadi panduan dalam berperilaku bagi peserta didik.

Dengan cara tersebut, idealnya warga negara Indonesia mampu mempraktikkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari di berbagai aktivitas yang dilakukan. Namun realitas menunjukkan tindakan-tindakan yang bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila masih mudah dijumpai di masyarakat.

Kasus Pertama

Kasus Kedua

Masyarakat seharusnya bahu-membahu dalam membangun bangsa ini agar Indonesia menjadi negara yang maju, makmur, adil, dan bermartabat. Beberapa daerah sudah menunjukkan kerukunan antarkelompok masyarakat, namun di sebagian wilayah yang lain terkadang masih muncul adanya konflik. Perselisihan tidak hanya terjadi secara horizontal antargolongan, namun juga vertikal antara masyarakat dengan pemerintah.

Pertanyaan untuk mahasiswa:

Bagaimana pengalaman belajar tentang Pancasila yang pernah Saudara jalani sejak SD hingga SMA?

Belajar dari pengalaman tersebut, apa saran dan harapan Saudara untuk Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi?

Pertanyaan untuk mahasiswa:

Bagaimana menurut Saudara tentang konflik horizontal dan vertikal yang terjadi di masyarakat Indonesia?

Jika Saudara berada di dalam masyarakat yang mengalami konflik, apa yang akan Saudara lakukan?

1.

2.

1.

2.

Bagian ini berisi contoh kasus-kasus yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Mahasiswa diminta untuk memahami kasus yang dipaparkan kemudian memberikan tanggapan. Selain itu, mahasiswa juga diminta untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan dari kasus-kasus tersebut.

3

(22)

Metode perkuliahan adalah bagian dari strategi pembelajaran yang berfungsi sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi latihan kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan tertentu. Penyajian materi pada bab ini berupa:

BAHASAN

Metode pembelajaran

ceramah, brainstorming, Focus group discussion,

dan tanya jawab.

Alokasi waktu

100 menit

Alat, bahan dan sumber belajar

alat tulis, papan tulis, LCD, dan lembar kerja

kelompok.

Urgensi Penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi

Pendidikan Pancasila sangat penting diberikan kepada mahasiswa di Perguruan Tinggi. Pendidikan Pancasila diharapkan dapat memperkokoh modalitas akademik dalam berperan serta membangun pemahaman masyarakat.

Setelah mendapatkan perkuliahan Pendidikan Pancasila, mahasiswa diharapkan memiliki sikap:

ASUPAN

1.

Kasus Ketiga

Negara menjamin kebebasan bagi warga negara di dalam Undang-Undang Dasar NRI 1945 untuk memilih agama yang diakui. Masyarakat pun saling menghormati perbedaan agama dan keyakinan tersebut dalam kehidupan sehari- hari. Namun, terkadang terjadi gesekan-gesekan di masyarakat terkait masalah keyakinan.

Pertanyaan untuk mahasiswa:

Bagaimana menurut Saudara tentang gesekan antarumat beragama pada masyarakat Indonesia?

Jika di tempat Saudara terjadi perselisihan antarumat beragama, apa yang akan Saudara lakukan?

1.

2.

4

(23)

Dasar Hukum dan Sumber Penyelenggaraan Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi

Undang-Undang Dasar NRI 1945 yang diamandemen dalam pasal 31 mengamanatkan negara untuk menyelenggarakan pendidikan bagi seluruh rakyat Indonesia. Penyelenggaraan Pendidikan Pancasila sebagai mata kuliah di Perguruan Tinggi ditegaskan dalam Surat Edaran Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi Nomor 914/E/T/2011, tertanggal 30 Juni 2011. Selanjutnya, Undang-Undang Republik Urgensi Pendidikan Pancasila di Perguruan Tinggi juga tidak bisa dilepaskan dari beberapa alasan yakni historis, sosiologis, dan politis.

Indonesia Nomor 12 tahun 2012 tentang Pe n d i d i k a n T i n g g i , m e m u a t p e n e g a s a n ketentuan pentingnya penyelenggaraan Pendidikan Pancasila sebagaimana termaktub dalam pasal 2 dan 35 ayat 1 dan 3. Dasar hukum penyelenggaraan Pendidikan Pancasila juga dipertegas dengan Surat Edaran Ristek Dikti Nomor: 435/B/SE/2016 terkait bahan ajar mata kuliah wajib umum yang memuat Pendidikan Pa n c a s i l a . D a s a r h u k u m l a i n n y a a d a l a h Permendikbud nomor 3 tahun 2020 tentang S t a n d a r N a s i o n a l P e n d i d i k a n T i n g g i , sebagaimana termaktub dalam rumusan sikap pada poin c yang berbunyi berkontribusi dalam peningkatan mutu kehidupan bermasyarakat, 2.

a. Kesadaran gaya hidup sederhana dan cinta produk dalam negeri.

b. Kesadaran pentingnya kelangsungan hidup generasi mendatang;

c. Kesadaran pentingnya semangat kesatuan persatuan (solidaritas ) nasional.

d. Kesadaran pentingnya norma-norma dalam pergaulan;

e. Kesadaran pentingnya kesahatan mental bangsa.

f. Kesadaran tentang pentingnya penegakan hukum.

g. Menanamkan pentingnya kesadaran terhadap ideologi Pancasila.

(Kemenristek Dikti, 2016).

4

(24)

Pada bagian pengantar PP Muhammadiyah (2015) terhadap buku “Negara Pancasila: Darul ahdi wa Syahadah”, disebutkan bahwa konsep Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah didasarkan pada pemikiran-pemikiran resmi yang selama ini telah menjadi pedoman dan rujukan organisasi. Di antaranya Matan Keyakinan dan Cita-cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), Kepribadian Muhammadiyah, Khittah-khittah Muhammadiyah, Membangun Visi dan Karakter Bangsa, serta hasil Tanwir Muhammadiyah di Bandung tahun 2012 dan Tanwir Samarinda tahun 2014. Pemikiran tentang Negara Pancasila itu dimaksudkan untuk menjadi rujukan dan orientasi pemikiran serta tindakan bagi seluruh anggota Muhammadiyah dalam berkehidupan berbangsa dan bernegara secara kontekstual berdasarkan pandangan Islam Berkemajuan yang selama ini menjadi perspektif ke- Islam-an Muhammadiyah.

Visi, Misi, dan Tujuan Pendidikan Pancasila

Visi pendidikan Pancasila adalah “Terwujudnya kepribadian sivitas akademika yang bersumber pada nilai-nilai Pancasila”. Kemudian misi pendidikan Pancasila sebagai berikut:

a. Mengembangkan potensi akademik peserta didik (misi psikopedagogis) b. Menyiapkan peserta didik untuk hidup dan berkehidupan dalam masyarakat, bangsa dan negara (misi psikososial)

c. Membangun budaya ber-Pancasila sebagai salah satu determinan kehidupan (misi sosiokultural)

d. Mengkaji dan mengembangkan pendidikan Pancasila sebagai sistem pengetahuan terintegrasi atau disiplin ilmu sintetik (synthetic discipline), sebagai misi akademik (Kemenristek Dikti, 2016)

4.

Pancasila sebagai Kesepakatan dan Persaksian Bangsa

Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi wa Syahadah telah diputuskan dalam Muktamar Muhammadiyah ke 47 pada 3-7 Agustus 2015 di Makassar. Darul ahdi dapat diartikan sebagai negara tempat masyarakat Indonesia melakukan konsensus nasional. Negara Indonesia berdiri karena seluruh kemajemukan bangsa, golongan, daerah, hingga kekuatan politik yang kemudian mencapai kesepakatan. Di satu sisi darul syahadah dapat diartikan tempat pembuktian atau kesaksian untuk menjadi negeri yang aman dan damai menuju kehidupan yang maju, adil, makmur, bermartabat, dan berdaulat.

3.

6

berbangsa, bernegara, dan kemajuan peradaban berdasarkan Pancasila. Di samping itu, Kepdirjendikti nomor 84/E/KPT/2020 tentang Pedoman Pelaksanaan Mata Kuliah Wajib pada Kurikulum Pendidikan Tinggi yang menyatakan bahwa mata kuliah Pancasila merupakan pendidikan untuk memberikan pemahaman dan penghayatan kepada mahasiswa mengenai ideologi bangsa Indonesia.Dengan demikian, keberadaan mata kuliah Pendidikan Pancasila merupakan kehendak negara, bukan kehendak perseorangan atau golongan, demi terwujudnya tujuan negara.

(25)

Memiliki kemampuan analisis, berpikir rasional, bersikap kritis dalam menghadapi persoalan-persoalan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara.

Mampu berkontribusi dengan mengenali masalah-masalah dan memberikan solusi berdasarkan nilai-nilai Pancasila.

Mampu menjelaskan dasar-dasar kebenaran bahwa Pancasila adalah ideologi yang sesuai bagi bangsa Indonesia yang majemuk (Bineka Tunggal Ika)

Mampu mengimplementasikan secara konsisten nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan

Memiliki rasa ingin tahu dan karakter pemelajar yang berkomitmen terhadap nilai-nilai Pancasila dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

a.

b.

c.

d.

e.

Bangku di Ruang Kelas sumber gambar:

www.pexels.com

Capaian Pembelajaran Pendidikan Pancasila

Capaian pembelajaran mengandung maksud kumpulan kompetensi yang diharapkan diperoleh oleh mahasiswa setelah mengikuti perkuliahan dalam satu semester. Berdasarkan urgensi, visi, misi, dan tujuan Pendidikan Pancasila diharapkan dapat memenuhi capaian pembelajaran sebagaimana berikut:

5.

Empat pilar pendidikan menurut UNESCO digunakan sebagai rujukan pada proses pembelajaran Pendidikan Pancasila. Empat pilar ini terdiri dari: learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together. Penekanan Pendidikan Pancasila melalui empat pilar tersebut penting untuk membangun kehidupan bersama atas dasar kesadaran akan realitas keragaman yang saling membutuhkan.

(26)

Tugas Individu

Mahasiswa diminta untuk mencari minimal 3 permasalahan dari berita di internet, siaran di televisi, atau surat kabar terkait lemahnya proses Pendidikan Pancasila berikut juga mencarikan solusi dari persoalan tersebut. Tugas ditulis di kertas folio bergaris, dikumpulkan paling lambat 3 hari setelah pemberian tugas di meja dosen pengampu.

Tugas Kelompok

Dosen pengampu membagi seluruh mahasiswa menjadi 5 (lima) kelompok besar kemudian meminta membuat poster dengan ketentuan:

TES

Tema “Indonesia sebagai darul syahadah

Poster dapat dibuat berwarna ataupun hitam putih

Tugas dikumpulkan paling lambat 7 hari setelah pembagian tugas melalui LMS Spada

a.) b.) c.) 1.

2.

8

(27)

Cogan, J.J. & Derricott, R.. 1998. Citizenship Education for The 21st Century: Setting the ...Contex. In: R. Derricott, ed. Citizenship For The 21st Century: An International

...Perspective on Education. New York: Routledge Taylor & Francis Group, pp. 1-22.

Kaelan. 2000. Pendidikan Pancasila. Yogyakarta: Paradigma.

Kemenristek Dikti. 2016. Pendidikan Pancasila untuk Perguruan Tinggi. Jakarta:

...Direktorat Jenderal Pembelajaran & Kemahasiswaan Kemenristek Dikti.

Nurdin, Encep S. 2015. Pengaruh Implementasi Kebijakan Pendidikan

...Kewarganegaraan di Perguruan Tinggi terhadap Nasionalisme dan Patriotisme ...Mahasiswa. Penelitian Mandiri. Bandung: Tidak diterbitkan.

Pimpinan Pusat Muhammadiyah. 2015. Negara Pancasila sebagai Darul Ahdi Wa ...Syahadah. Disampaikan pada Muktamar Muhammadiyah ke-47 di Makassar 3-7 ...Agustus 2015.

Surat Edaran Ristek Dikti Nomor: 435/B/SE/2016.

Undang-Undang Dasar NRI.

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 tahun 2012.

SUMBER BACAAN

(28)

KEDUDUKAN DAN FUNGSI

PANCASILA

BAB I I

(29)

Materi “Kedudukan dan Fungsi Pancasila” pada bab ini memusatkan perhatian pada pokok bahasan terkait Pancasila sebagai dasar negara, ideologi negara, sistem filsafat, dan sistem etika. Mahasiswa dapat dinyatakan menguasai materi Bab II ini apabila mampu memenuhi capaian pembelajaran sebagaimana berikut ini:

Begitu kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila terus berjaya sepanjang masa.

Hal tersebut disebabkan ideologi Pancasila tidak sekadar confirm and deepen identitas bangsa Indonesia, lebih dari itu Pancasila adalah identitas Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak digali menjadi dasar dan ideologi n e g a r a , P a n c a s i l a m a m p u m e m b a n g k i t k a n i d e n t i t a s y a n g

“ t e r t i d u r ” d a n “ t e r b i u s ” s e l a m a kolonialisme (Abdulgani, 1979:22).

B e r d a s a r k a n k e n y a t a a n i t u l a h kedudukan dan fungsi Pancasila bagi masyarakat Indonesia harus terus disosialisasikan pada generasi muda.

KEDUDUKAN DAN FUNGSI PANCASILA

INTRODUKSI

Mampu menguraikan kedudukan Pancasila sebagai dasar negara

1.

Mampu memperbandingkan kedudukan Pancasila sebagai ideologi negara

2.

Mampu memerinci kedudukan Pancasila sebagai sistem filsafat

3.

Mampu menelaah kedudukan Pancasila sebagai sistem etika

4.

Dasar Dasar Negara NegaraDasar Negara Sistem

Sistem Filsafat FilsafatSistem Filsafat

Sistem Sistem Etika Etika Sistem

Etika

Ideologi Ideologi Negara Negara Ideologi

Negara

(30)

STIMULAN

Pancasila adalah ideologi bangsa Indonesia. Berdasarkan hal tersebut setiap warga negara harus menjadikan nilai-nilai Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa dan bernegara. Realitasnya banyak pihak yang sudah menjadikan Pancasila sebagai pedoman hidup berbangsa, namun ada pula yang mengambil sikap berbeda dengan menerapkan ideologi komunis di Indonesia.

Kasus Pertama

Kasus Kedua

Pancasila selain menjadi ideologi, juga memiliki kedudukan sebagai dasar negara Indonesia yang tertuang dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Dilihat dari kacamata hukum positif, Pancasila adalah sumber hukum tertinggi dalam ketatanegaraan yang menjadi rujukan peraturan di bawahnya. Ada pemimpin atau pejabat yang sudah menjalankan praktik pemerintahannya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, namun ada pula yang menyimpang sehingga harus berurusan dengan hukum.

Pertanyaan untuk mahasiswa:

Bagaimana pendapat Saudara dengan berkembangnya ideologi komunis di Indonesia?

Jika Saudara melihat ada pihak-pihak yang menyebarkan ajaran komunis, apa yang akan Saudara lakukan?

Apa yang akan Saudara lakukan jika ada pihak-pihak yang ingin mengganti ideologi Pancasila dengan ideologi khilafah?

1.

2.

3.

Pertanyaan untuk mahasiswa:

Bagaimana pendapat Saudara mengenai perilaku para pemimpin atau pejabat yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila sebagai dasar negara?

Jika Saudara melihat praktik pemimpin atau pejabat yang menyimpang dari nilai-nilai Pancasila, apa yang akan Saudara lakukan?

1.

2.

3

Pada bagian ini, berisi contoh kasus yang terjadi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia. Mahasiswa diminta untuk memahami kasus yang dipaparkan kemudian memberikan tanggapan. Selain itu, mahasiswa juga diminta untuk menjawab berbagai pertanyaan yang diajukan dari kasus-kasus tersebut.

13

(31)

Metode perkuliahan adalah bagian dari strategi pembelajaran yang berfungsi sebagai cara untuk menyajikan, menguraikan, memberi contoh, dan memberi latihan kepada mahasiswa untuk mencapai tujuan tertentu. Penyajian materi pada bab ini berupa:

BAHASAN

Metode pembelajaran

Debat

(Kelompok Pro dan Kontra)

Alokasi waktu

200 menit

Alat, bahan dan sumber belajar

alat tulis, papan tulis, LCD, dan lembar kerja individu dan lembar kerja kelompok.

Pancasila sebagai Dasar Negara

Dasar negara Indonesia dalam pengertian historisnya merupakan hasil pergumulan pemikiran para pendiri negara untuk menemukan landasan atau pijakan yang kokoh untuk di atasnya didirikan negara Indonesia merdeka. Walaupun rumusan dasar negara itu baru mengemuka pada masa persidangan Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan (BPUPK), namun bahan-bahannya telah dipersiapkan sejak awal pergerakan kebangsaan Indonesia. Semenjak UUD NRI Tahun 1945 ditetapkan dalam sidang PPKI pertama menjadi konstitusi Indonesia, pada saat itu telah terdapat rumusan dasar Negara Indonesia yang terdapat dalam pembukaan alinea ke-4.

ASUPAN

1.

Kasus Ketiga

Bagaimana pendapat Saudara tentang stigma dan pengucilan yang dilakukan terhadap warga yang menderita gangguan jiwa atau penyakit HIV/AIDS?

(32)

4

15 Hubungan Pancasila dengan Pembukaan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945

Pancasila menjiwai seluruh bidang kehidupan bangsa Indonesia. Pancasila sebagai cerminan dari jiwa dan cita-cita hukum bangsa Indonesia tersebut merupakan norma dasar dalam penyelenggaraan bernegara dan yang menjadi sumber dari segala sumber hukum sekaligus sebagai cita hukum, baik tertulis maupun tidak tertulis di Indonesia. Kedudukan Pancasila inilah yang mengarahkan hukum pada cita-cita bersama bangsa Indonesia. Cita-cita ini secara langsung merupakan cerminan kesamaan kepentingan di antara sesama warga bangsa. Dalam pengertian yang bersifat yuridis kenegaraan Pancasila yang berfungsi sebagai dasar negara tercantum dalam Alinea Keempat Pembukaan UUD NRI Tahun 1945, yang dengan jelas menyatakan:

a.

“...maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasar kepada Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab,

Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia”

Penjabaran Pancasila dalam Pasal-Pasal UUD NRI Tahun 1945

Pembukaan UUD NRI tahun 1945 mengandung pokok-pokok pikiran yang meliputi suasana kebatinan, cita-cita hukum dan cita-cita moral bangsa Indonesia. Pokok-pokok pikiran yang bersumber dari Pancasila itulah yang dijabarkan ke dalam pasal-pasal UUD NRI tahun 1945. Hubungan Pembukaan UUD NRI tahun 1945 yang memuat Pancasila dengan pasal-pasal UUD NRI tahun 1945 bersifat kausal dan organis. Hubungan kausal mengandung pengertian Pembukaan UUD NRI tahun 1945 merupakan penyebab keberadaan pasal-pasal UUD NRI tahun 1945, sedangkan hubungan organis berarti Pembukaan dan pasal-pasal UUD NRI tahun 1945 merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Pembukaan mengandung pokok-pokok pikiran yang diciptakan dan dijelaskan dalam pasal-pasal.

b.

(33)

MPR RI telah melakukan amandemen UUD NRI tahun 1945 sebanyak empat kali yang secara berturut-turut terjadi pada 19 Oktober 1999, 18 Agustus 2000, 9 November 2001, dan 10 Agustus 2002. Beberapa contoh penjabaran Pancasila ke dalam pasal-pasal UUD NRI tahun 1945 hasil amandemen antara lain terkait sistem pemerintahan negara dan kelembagaan negara (Pasal 1 ayat 3 serta Pasal 3 Ayat 1, 2, dan 3), dan hubungan antara negara dengan penduduknya (pasal 26 ayat 2, pasal 27 ayat 3, pasal 29 ayat 2, pasal 26 ayat 2, serta pasal 27 ayat 3).

Implementasi Pancasila dalam Pembuatan Kebijakan Negara di Bidang Politik, Ekonomi, Sosial Budaya dan Hankam

Penjabaran keempat pokok pikiran Pembukaan ke dalam pasal-pasal UUD NRI tahun 1945 mencakup empat aspek kehidupan bernegara yaitu: politik, ekonomi, sosial budaya, dan pertahanan keamanan yang disingkat menjadi POLEKSOSBUD HANKAM. Aspek politik dituangkan dalam pasal 26, pasal 27 ayat 1, dan pasal 28. Aspek ekonomi dituangkan dalam pasal 27 ayat 2, pasal 33, dan pasal 34. Aspek sosial budaya dituangkan dalam pasal 29, pasal 31, dan pasal 32. Aspek pertahanan keamanan dituangkan dalam pasal 27 ayat 3 dan pasal 30 (Bakry, 2010: 276).

Implementasi Pancasila dalam pembuatan kebijakan negara dalam bidang sosial budaya mengandung pengertian bahwa nilai-nilai yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat Indonesia harus diwujudkan dalam proses pembangunan masyarakat dan kebudayaan di Indonesia. Menurut Koentowijoyo, sebagaimana dikutip oleh Kaelan (2000:240), kerangka kesadaran Pancasila dapat merupakan dorongan untuk: 1) universalisasi, yaitu melepaskan simbol-simbol dari keterkaitan struktur; dan 2) transendentalisasi, yaitu meningkatkan derajat kemerdekaan, manusia, dan kebebasan spiritual.

Dengan demikian, Pancasila sebagai sumber nilai dapat menjadi arah bagi kebijakan negara dalam mengembangkan bidang kehidupan sosial budaya Indonesia yang beradab, sesuai dengan sila kedua, kemanusiaan yang adil dan beradab.

c.

(34)

Adam Smith Tokoh Liberal sumber gambar:

https://id.wikipedia.org/wiki/Adam_Smith

17 Pancasila sebagai Ideologi Negara

Ideologi merupakan alat untuk mendefinisikan aktivitas politik yang berkuasa atau untuk menjalankan suatu politik “cultural management”, suatu muslihat manajemen budaya (Abdulgani, 1979: 20). Menurut Oesman dan Alfian (1990: 6), ideologi berintikan serangkaian nilai (norma) atau sistem nilai dasar yang bersifat menyeluruh dan mendalam yang dimiliki dan dipegang oleh suatu masyarakat atau bangsa sebagai wawasan atau pandangan hidup bangsa mereka. Ideologi merupakan kerangka penyelenggaraan negara untuk mewujudkan cita-cita bangsa.

Ideologi bangsa adalah cara pandang suatu bangsa dalam menyelenggarakan negaranya.

Pancasila sebagai ideologi Indonesia mempunyai ajaran-ajaran yang memang mengandung nilai-nilai yang terkandung dalam ideologi lain. Ajaran yang dikandung Pancasila bahkan dipuji oleh seorang filsuf Inggris, Bertrand Russel, yang menyatakan bahwa Pancasila merupakan sintesis kreatif antara Declaration of American Independence (yang merepresentasikan ideologi demokrasi kapitalis) dengan Manifesto Komunis (yang mereprensentasikan ideologi komunis). Lebih dari itu seorang ahli sejarah, Rutgers, beranggapan dari semua negara Asia Tenggara, Indonesia-lah yang dalam konstitusinya pertama-tama dan paling tegas melakukan latar belakang psikologis yang sesungguhnya daripada revolusi melawan penjajah.

Dalam filsafat negaranya, yaitu Pancasila, dilukiskan alasan-alasan secara lebih mendalam dari revolusi-revolusi itu (Latif, 2011: 47).

2.

Pancasila dan Liberalisme

Indonesia tidak menerima liberalisme k a r e n a i n d i v i d u a l i s m e B a r a t y a n g mengutamakan kebebasan makhluknya, sedangkan paham integralistik yang kita anut memandang manusia sebagai individu dan sekaligus juga makhluk sosial (Oesman dan Alfian, 1990:201). Negara demokrasi model Barat lazimnya bersifat sekuler, hal ini tidak dikehendaki oleh segenap elemen bangsa Indonesia (Kaelan, 2012: 254). Hal tersebut diperkuat d e n g a n p e n d a p a t K a e l a n y a n g menyebutkan bahwa negara liberal memberi kebebasan kepada warganya untuk memeluk agama dan menjalankan ibadah sesuai dengan agamanya masing- masing, namun juga diberikan kebebasan untuk tidak percaya terhadap Tuhan atau atheis.

a.

(35)

Berdasarkan pandangan tersebut hampir dapat dipastikan bahwa sistem negara liberal membedakan dan memisahkan antara negara dan agama atau bersifat sekuler (Kaelan, 2000: 231). Akan tetapi, Pancasila Sila Pertama berbunyi Ketuhanan Yang Maha Esa, telah memberikan sifat yang khas kepada negara Indonesia, yaitu bukan merupakan negara sekuler yang memisah-misahkan agama dengan negara (Kaelan, 2000:220). Karena alasan-alasan seperti itulah antara lain kenapa Indonesia tidak cocok menggunakan ideologi liberalisme.

Pancasila dan Komunisme

Komunisme tidak pernah diterima dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Hal ini disebabkan negara komunisme lazimnya bersifat atheis yang menolak agama dalam suatu negara. Selain itu, ideologi komunis juga tidak menghormati manusia sebagai makhluk individu. Prestasi dan hak milik individu tidak diakui. Ideologi komunis bersifat totaliter karena tidak membuka pintu sedikit pun terhadap alam pikiran lain.

Ideologi semacam ini bersifat otoriter dan menuntut penganutnya bersikap dogmatis, suatu ideologi yang bersifat tertutup.

b.

Berbeda dengan Pancasila yang bersifat terbuka, Pancasila memberikan kemungkinan dan bahkan menuntut sikap kritis dan rasional. Pancasila bersifat dinamis yang mampu memberikan jawaban atas tantangan yang berbeda-beda dalam zaman sekarang (Poespowardojo, 1989:203-204). Sementara Indonesia sebagai negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan pilihan kreatif dan merupakan proses elektis inkorporatif. Artinya pilihan negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa adalah khas dan tampaknya sesuai dengan kondisi objektif bangsa Indonesia (Kaelan, 2012: 254-255).

D.N. Aidit Tokoh Komunis Sumber gambar:

Wikipedia

Pancasila dan Agama

Pancasila yang di dalamnya terkandung dasar filsafat hubungan negara dan agama merupakan karya besar bangsa Indonesia. Begitu pentingnya memantapkan kedudukan Pancasila, sehingga Pancasila pun mengisyaratkan bahwa kesadaran adanya Tuhan milik semua orang dan berbagai agama. Tuhan menurut terminologi Pancasila adalah Tuhan Yang Maha Esa, yang tak terbagi, yang maknanya sejalan dengan agama Islam, Kristen, Budha, Hindu dan bahkan juga Animisme (Chaidar, 1998:36). Menurut Notonegoro (Kaelan, 2012: 47), asal c.

(36)

mula Pancasila secara langsung salah satunya asal mula bahan (Kausa Materialis). Maksudnya adalah bangsa Indonesia sebagai asal dari nilai-nilai Pancasila yang digali dari nilai-nilai adat-istiadat kebudayaan serta nilai-nilai religius yang terdapat dalam kehidupan sehari-hari bangsa Indonesia.

Dalam hubungan antara agama Islam dan Pancasila, keduanya dapat berjalan saling menunjang dan saling mengokohkan. Keduanya tidak bertentangan dan tidak boleh dipertentangkan. Juga tidak harus dipilih salah satu dengan sekaligus membuang dan menanggalkan yang lain.Para tokoh Muhammadiyah seperti Ki Bagus Hadikusumo, Kahar Muzakir, dan Kasman Singodimedjo sebagai perwakilan dari kaum Nasionalis Islam, dalam sidang PPKI pada 18 Agustus 1945, menyepakati perubahan rumusan Sila pertama Pancasila dengan menghilangkan 7 kata dari rumusan Sila I pada Piagam Jakarta, yang berbunyi “… dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk- pemeluknya.” Kiai Achmad Siddiq menyatakan bahwa salah satu hambatan utama bagi proporsionalisasi ini berwujud hambatan psikologis, yaitu kecurigaan dan kekhawatiran yang datang dari kaum Nasionalis Islam dan kaum Nasionalis sekuler (Zada dan Sjadzili (ed), 2010:79). Pancasila menjamin umat beragama dalam menjalankan ibadah mereka.

Pancasila sebagai Sistem Filsafat

Pancasila merupakan filsafat bangsa Indonesia mengandung pengertian sebagai hasil perenungan mendalam dari para tokoh pendiri negara ketika berusaha menggali nilai-nilai dasar dan merumuskan dasar negara untuk di atasnya didirikan negara Republik Indonesia. Pengertian suatu sistem, sebagaimana dikutip oleh 3.

19

(37)

Kaelan (2000:66) dari Shrode dan Don Voich, memiliki ciri-ciri sebagai berikut: 1) suatu kesatuan bagian-bagian; 2) bagian-bagian tersebut mempunyai fungsi sendiri-sendiri; 3) saling berhubungan, saling ketergantungan; 4) kesemuanya dimaksudkan untuk mencapai suatu tujuan bersama (tujuan sistem); dan 5) terjadi dalam suatu lingkungan yang kompleks. Berdasarkan pengertian tersebut Pancasila yang berisi lima sila saling berhubungan membentuk satu kesatuan sistem yang dalam proses bekerjanya saling melengkapi dalam mencapai tujuan. Meskipun setiap sila pada hakikatnya merupakan suatu asas sendiri dan memiliki fungsi sendiri-sendiri, namun memiliki tujuan tertentu yang sama yaitu mewujudkan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila.

Pancasila sebagai sistem filsafat mengandung pemikiran tentang manusia yang berhubungan dengan Tuhan, dengan diri sendiri, dengan sesama, dengan masyarakat bangsa yang semua itu dimiliki oleh bangsa Indonesia. Oleh sebab itu, sebagai sistem filsafat Pancasila memiliki ciri khas yang berbeda dengan sistem- sistem filsafat lain yang ada di dunia seperti materialisme, idealisme, rasionalisme, liberalisme, komunisme dan lain sebagainya. Kekhasan nilai filsafat yang terkandung dalam Pancasila berkembang dalam budaya dan peradaban Indonesia, terutama sebagai jiwa dan asas kerohanian bangsa dalam perjuangan kemerdekaan bangsa Indonesia. Selanjutnya nilai filsafat Pancasila, baik sebagai pandangan hidup atau filsafat hidup (Weltanschauung) bangsa maupun sebagai jiwa bangsa atau jati diri (Volksgeist) nasional memberikan identitas dan integritas serta martabat bangsa dalam menghadapi budaya dan peradaban dunia.

Filsafat Pancasila

Filsafat Pancasila dapat didefinisikan sebagai refleksi kritis dan rasional tentang Pancasila sebagai dasar negara dan kenyataan budaya bangsa, dengan tujuan untuk mendapatkan pokok-pokok pengertiannya yang mendasar dan menyeluruh. Pancasila dikatakan sebagai filsafat, karena Pancasila merupakan hasil permenungan jiwa yang mendalam yang dilakukan oleh the founding fathers Indonesia, yang dituangkan dalam suatu sistem. Pengertian filsafat Pancasila secara umum adalah hasil berpikir atau pemikiran yang sedalam- dalamnya dari bangsa Indonesia yang dianggap, dipercaya, dan diyakini sebagai kenyataan, norma-norma dan nilai-nilai yang benar, adil, bijaksana, dan paling sesuai dengan kehidupan dan kepribadian bangsa Indonesia.

Filsafat Pancasila dapat digolongkan sebagai filsafat praktis sehingga filsafat Pancasila tidak hanya mengandung pemikiran yang sedalam-dalamnya atau tidak hanya bertujuan mencari, tetapi hasil pemikiran yang berwujud filsafat Pancasila tersebut dipergunakan sebagai pedoman hidup sehari-hari (way of life atau weltanschauung) agar hidup bangsa Indonesia dapat mencapai kebahagiaan lahir dan batin, baik di dunia maupun di akhirat (Salam, 1988: 23- 24). Pancasila secara filsafat memiliki dasar ontologis, epistemologis, dan a.

(38)

aksiologis.

Hakikat Sila-Sila Pancasila

Kata “hakikat” dapat diartikan sebagai suatu inti yang terdalam dari segala sesuatu yang terdiri dari sejumlah unsur tertentu dan yang mewujudkan sesuatu itu, sehingga terpisah dengan sesuatu lain (bersifat mutlak). Terkait dengan hakikat sila-sila Pancasila, pengertian kata hakikat dapat dipahami dalam tiga kategori.

b.

Hakikat abstrak yang disebut juga sebagai hakikat jenis atau hakikat umum yang mengandung unsur-unsur yang sama, tetap dan tidak berubah.

Hakikat abstrak sila-sila Pancasila menunjuk pada kata ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, kerakyatan, dan keadilan.

Hakikat pribadi sebagai hakikat yang memiliki sifat khusus, artinya terikat kepada barang sesuatu. Hakikat pribadi Pancasila menunjuk pada ciri-ciri khusus sila-sila Pancasila yang ada pada bangsa Indonesia seperti adat istiadat, nilai-nilai agama, nilai-nilai kebudayaan, sifat dan karakter yang melekat pada bangsa Indonesia sehingga membedakan bangsa Indonesia dengan bangsa yang lain di dunia.

Hakikat konkret yang bersifat nyata sebagaimana dalam kenyataannya.

Hakikat konkret Pancasila terletak pada fungsi Pancasila sebagai dasar filsafat negara. Dalam realisasinya Pancasila adalah pedoman praktis yaitu dalam wujud pelaksanaan praktis dalam kehidupan negara, bangsa dan negara Indonesia yang sesuai dengan kenyataan sehari-hari, tempat, keadaan dan waktu.

1)

2)

3)

Pancasila yang berisi lima sila, menurut Notonagoro (1967: 32) merupakan satu kesatuan utuh. Kesatuan sila-sila Pancasila tersebut diuraikan sebagai berikut:

Kesatuan sila-sila Pancasila dalam struktur yang bersifat hierarkis dan berbentuk piramidal. Susunan secara hierarkis mengandung pengertian bahwa sila-sila Pancasila memiliki tingkatan berjenjang yaitu sila yang ada di atas menjadi landasan sila yang ada di bawahnya

Hubungan kesatuan sila-sila Pancasila yang saling mengisi dan saling mengualifikasi. Sila-sila Pancasila sebagai kesatuan dapat dirumuskan pula dalam hubungannya saling mengisi atau mengualifikasi dalam kerangka hubungan hierarkis piramidal seperti di atas.

1)

2)

21

Hakikat

dia ikan sebagai suatu inti yang terdalam dari segala sesuatu
(39)

Pancasila sebagai Sistem Etika 4.

Makna Etika

Secara etimologis etika berasal dari bahasa Yunani yakni ethos, yang artinya watak kesusilaan atau adat. Istilah ini identik dengan moral yang berasal dari bahasa Latin, mos yang jamaknya mores, yang juga berarti adat atau cara hidup.

a.

Sungkeman Sumber gambar:

https://www.learnreligions.com/

Meskipun kata etika dan moral memiliki kesamaan a r t i , d a l a m p e m a k a i a n sehari-hari dua kata ini digunakan secara berbeda.

Pada pengertian lain, etika berbeda dengan etiket.

Etika adalah kajian ilmiah terkait dengan etiket atau moralitas. Etiket secara sederhana dapat diartikan sebagai aturan kesusilaan atau sopan-santun.

Aliran Besar dalam Etika b.

Etika deontologi. Aliran ini memandang bahwa penilaian baik atau buruk berdasarkan apakah tindakan itu sesuai atau tidak dengan kewajiban.

Etika teleologi. Pandangan etika teleologi berkebalikan dengan etika deontologi, yaitu baik buruk suatu tindakan dilihat berdasarkan tujuan atau akibat dari perbuatan itu. Etika teleologi membantu kesulitan etika deontologi ketika menjawab apabila dihadapkan pada situasi konkret yang bertentangan satu dengan yang lain. Etika teleologi dapat digolongkan menjadi dua, yakni:

a) egoisme etis memandang bahwa tindakan yang baik adalah tindakan yang berakibat baik untuk pelakunya;

b) utilitarianisme menilai bahwa baik buruknya suatu perbuatan tergantung bagaimana akibatnya terhadap banyak orang.

Etika Keutamaan. Etika ini tidak mempersoalkan akibat suatu tindakan, tidak juga mendasarkan pada penilaian moral pada kewajiban, tetapi didasarkan atas hukum moral universal.

1) 2)

3)

(40)

Etika Pancasila

Nilai yang pertama adalah ketuhanan. Secara hierarkis nilai ini bisa dikatakan sebagai nilai yang tertinggi karena menyangkut nilai yang bersifat mutlak.

Seluruh nilai kebaikan diturunkan dari nilai ini. Suatu perbuatan dikatakan baik apabila tidak bertentangan dengan nilai, kaidah dan hukum Tuhan. Pand

Referensi

Dokumen terkait

“…………maka disusunlah kemerdekaan bangsa Indonesia itu dalam suatu hukum dasar negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu negara Republik Indonesia yang

ketemtuan Pembukaan UUD 1945 yang menyatakan sebagai berikut :…”maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang

Di dalam Pembukaan UUD 1945 alinea keempat disebutkan, ”maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar negara Indonesia, yang

maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia it u dal am suat u Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang t erbent uk dal am suat u susunan Negara Republ ik Indonesia,

Berdasarkan pada kalimat Pembukaan UUD 1945 yang berbunyi “... maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia...”,

Maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu undang-undang dasar Negara Republik Indonesia yang membentuk dalam suatu susunan negara Indonesia yang

"….maka disusunlah kemerdekaan kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik

maka disusunlah Kemerdekaan Kebangsaan Indonesia itu dalam suatu Undang-Undang Dasar Negara Indonesia, yang terbentuk dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan