• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pelaporan Insiden

Dalam dokumen MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN (Halaman 72-80)

Pelaporan ini penting digunakan untuk memonitor upaya pencegahan terjadinya error sehingga diharapkan dapat mendorong dilakukannya investigasi selanjutnya. Pelaporan insiden ini penting, karena pelaporan akan menjadi awal proses pembelajaran untuk mencegah kejadian yang sama terulang Kembali (Yahya, 2008).

Pelaporan insisden berupa kejadian yang sudah terjadi, potensial terjadi ataupun yang nyaris terjadi. Orang yang membuat Laporan Insiden adalah siapa saja atau semua staf RS yang pertama menemukan kejadian;

Siapa saja atau semua staf yang terlibat dalam kejadian (Yahya, 2008).

Perawat pelaksana mempunyai peran juga dalam pelaporan insiden pada pasien. Laporan insiden RS (internal) adalah pelaporan secara tertulis setiap kejadian nyaris cedera (KNC) atau kejadian tidak diharapkan (KTD) yang menimpa pasien atau kejadian lain yang menimpa keluarga pengunjung, maupun karyawan yang terjadi di rumah sakit (Yahya, 2008).

Alur pelaporan insiden ke Tim KP di RS (internal) adalah (Yahya, 2008):

67 1. Apabila terjadi suatu insiden (KNC/ KTD) di rumah sakit, wajib segera ditindaklanjuti (dicegah/ditangani) untuk mengurangi dampak / akibat yang tidak diharapkan.

2. Setelah ditindaklanjuti, segera buat laporan insidennya dengan mengisi Formulir Laporan Insiden pada akhir jam kerja / shift kepada Atasan langsung. (Paling lambat 2 x 24 jam); jangan menunda laporan.

3. Setelah selesai mengisi laporan, segera serahkan kepada Atasan langsung pelapor. (Atasan langsung disepakati sesuai keputusan Manajemen: Supervisor / Kepala Bagian / Instalasi/ Departemen / Unit, Ketua Komite Medis / Ketua K.SMF).

4. Atasan langsung akan memeriksa laporan dan melakukan grading risiko terhadap insiden yang dilaporkan

5. Hasil grading akan menentukan bentuk investigasi dan analisa yang akan dilakukan sebagai berikut:

• Grade biru: Investigasi sederhana oleh Atasan langsung, waktu maksimal 1 minggu.

• Grade hijau: Investigasi sederhana oleh Atasan langsung, waktu maksimal 2 minggu

• Grade kuning: Investigaasi komprehensif / Analisis akar masalah / RCA oleh Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari.

• Grade merah : Investigaasi komprehensif / Analisis akar masalah / RCA oleh Tim KP di RS, waktu maksimal 45 hari.

6. Setelah selesai melakukan investigasi sederhana, laporan hasil investigasi dan laporan insiden dilaporkan ke Tim KP di RS.

7. Tim KP di RS akan menganalisa kembali hasil Investigasi dan Laporan insiden untuk menentukan apakah perlu dilakukan investigasi lanjutan (RCA) dengan melakukan Regrading.

8. Untuk grade Kuning / Merah, Tim KP di RS akan melakukan Analisis akar masalah / Root Cause Analysis (RCA).

9. Setelah melakukan RCA, Tim KP di RS akan membuat laporan dan Rekomendasi untuk perbaikan serta “Pembelajaran” berupa: Petunjuk /”Safety alert” untuk mencegah kejadian yang sama terulang kembali.

10. Hasil RCA, rekomendasi dan rencana kerja dilaporkan kepada Direksi 11. Rekomendasi untuk “Perbaikan dan Pembelajaran” diberikan umpan

balik kepada unit kerja terkait.

12. Unit Kerja membuat analisa dan trend kejadian di satuan kerjanya masing-masing

68 13. Monitoring dan Evaluasi Perbaikan oleh Tim KP di RS.

D. Informed Consent Tindakan pada Pasien

Salah satu dasar moral dari adanya suatu persetujuan tindakan kedokteran adalah menghormati martabat manusia (respectfor person), yang mana setiap individu (pasien) harus diperlakukan sebagai manusia yang memiliki otonomi (hak untuk menentukan nasib sendiri). Pasien sendiri-lah yang berhak menentukan apa yang boleh dilakukan terhadap dirinya.

Persetujuan tindakan medis (Informed Consent) adalah pernyataan persetujuan (consent) atau izin dari pasien yang diberikan dengan bebas, rasional, tanpa paksaan (voluntary) tentang tindakan kedokteran yang akan dilakukan terhadapnya sesudah mendapatkan informasi yang cukup tentang tindakan kedokteran yang dimaksud. Persetujuan ini bisa dalam bentuk lisan maupun tertulis .

Seperti diketahui bersama bahwa tindakan kedokteran dapat berupa preventif, diagnostik, terapeutik dan rehabilitatif. Persetujuan tindakan kedokteran telah diatur dalam UU No. 29 tahun 2004 tentang Praktik Kedokteran pada Pasal 45 ayat (1) sampai dengan ayat (6) dan dalam Permekes No. 290/Menkes/ Per/III/2008 tentang persetujuan tindakan kedokteran. Dengan adanya UU dan Permenkes yang mengatur tentang Persetujuan tindakan kedokteran, maka setiap tenaga medik wajib melaksanakannya.

Informed Consent untuk pasien yang telah setuju mendapat pelaksanaan tindakan medik dari dokter terhadap dirinya dengan menyadari sepenuhnya atas segala resiko tindakan medik yang akan dilakukan oleh dokter. Pernyataan tersebut juga dicantumkan bahwa dokter telah menjelaskan sifat, tujuan serta kemungkinan (resiko) akibat yang timbul dari tindakan tersebut kepada pasien atau keluarganya.

Dokter yang bersangkutan juga harus menandatangani formulir Persetujuan Tindakan Medik. Pengertian tentang resiko medik (Malpraktek dan Resiko Medik Dalam Kajian Hukum Pidana (Guwandi, 1994) sebagai berikut:

1. Bahwa dalam tindakan medik ada kemungkinan (resiko) yang dapat terjadi yang mungkin tidak sesuai harapan pasien. Ketidak mengertian pasien terhadap resiko yang dihadapinya dapat mengakibatkan diajukannya tuntutan ke pengadilan oleh pasien tersebut.

69 2. Bahwa di dalam tindakan medis ada tindakan yang mengandung resiko

tinggi.

3. Bahwa resiko tinggi tersebut berkaitan dengan keselamatan jiwa pasien.

Tata Cara Pengisian Persetujuan Tindakan Medis (Informed Consent):

Menurut SK Dirjen Pelayanan Medik No.HK.00.06.6.5.1866 Kebijakan dan Prosedur tentang Informed Consent adalah sebagai berikut (Dirjen Yanmed Nomor HK.00.06.6.5.1866 Tahun 1999 – Pedoman Persetujuan Tindakan Kedokteran (Informed Consent), 1999):

1. Pengaturan persetujuan atau penolakan tindakan medis harus dalam bentuk kebijakan dan prosedur yang ditetapkan oleh pimpinan Rumah Sakit.

2. Memperoleh informasi dan penjelasan merupakan hak pasien dan sebaliknya memberikan informasi dan penjelasan adalah hak dokter.

3. Formulir Informed Consent dianggap benar jika memenuhi ketentuan sebagai berikut:

a. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan untuk tindakan medis yang dinyatakan secara spesifik.

b. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan tanpa paksaan (voluntary).

c. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan oleh seorang (pasien) yang sehat mental dan yang memang berhak memberikannya.

d. Persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan setelah diberikan cukup informasi dan penjelasan yang diberikan.

4. Isi informasi dan penjelasan yang diberikan

Informasi dan penjelasan dianggap cukup jika paling sedikit enam hal pokok dibawah ini disampaikan dalam memberikan informasi dan penjelasan.

a. Informasi dan penjelasan tentang tujuan dan prospek keberhasilan tindakan medis yang akan dilakukan.

b. Informasi dan penjelasan tentang tata cara tindakan medis yang akan dilakukan.

c. Informasi dan penjelasan tentang resiko dan komplikasi yang mungkin akan terjadi.

70 d. Informasi dan penjelasan tentang alternatif tindakan lain yang tersedia dan serta resikonya dari masing-masing tindakan tersebut.

e. Informasi dan penjelasan tentang prognosis penyakit apabila tindakan tersebut dilakukan.

f. Diagnosis.

5. Kewajiban memberikan informasi dan penjelasan.

Dokter yang akan melakukan tindakan medis mempunyai tanggung jawab utama memberikan informasi dan penjelasan yang diperlukan.

Apabila berhalangan, informasi dan penjelasan yang diberikan dapat diwakili pada dokter lain dengan sepengetahuan dokter yang bersangkutan.

6. Cara menyampaikan informasi.

Informasi dan penjelasan disampaikan secara lisan. Informasi secara tertulis hanya dilakukan sebagai pelengkap penjelasan yang telah disampaikan secara lisan.

7. Pihak yang menyatakan persetujuan.

a. Pasien sendiri, yaitu apabila pasien telah berumur 21 tahun atau sudah menikah.

b. Bagi pasien dibawah umur 21 tahun, persetujuan (Informed Consent) atau penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka, menurut urutan hak sebagai berikut: 1) Ayah/Ibu adopsi; 2) Saudara-saudara kandung

c. Bagi pasien dibawah umur 21 tahun atau tidak mempunyai orang tua atau orang tuanya berhalangan hadir. Persetujuan (Informed Consent) atau penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka, menurut hak sebagai berikut: 1) Ayah/Ibu adopsi; 2) Saudara- saudara kandung

d. Bagi pasien dewasa dengan gangguan mental, persetujuan (Informed Consent) atau penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka menurut urutan hak sebagai berikut: 1) Ayah/Ibu kandung;

2) Wali yang sah; 3) Saudara-saudara kandung.

e. Bagi pasien dewasa yang berada dibawah pengampunan (curatelle) persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan menurut urutan hak tersebut: 1) Wali, 2) Curator

f. Bagi pasien dewasa yang telah menikah /orang tua, persetujuan atau penolakan tindakan medis diberikan oleh mereka menurut urutan hak tersebut:

71 1) Suami/isteri

2) Ayah/ibu kandung 3) Anak-anak kandung 4) Saudara-saudara kandung.

8. Cara menyatakan persetujuan.

Cara pasien menyatakan persetujuan dapat secara tertulis (expressed) maupun lisan. Persetujuan secara tertulis mutlak diperlakukan pada tindakan medis yang mengandung resiko tinggi, sedangkan persetujuan secara lisan diperlukan pada tindakan medis yang tidak mengandung resiko tinggi

9. Semua jenis tindakan medis yang mengandung resiko harus disertai Informed Consent. Jenis tindakan medis memerlukan Informed Consent disusun oleh komite medik dan kemudian ditetapkan oleh pimpinan Rumah Sakit. Bagi rumah sakit yang belum mempunyai komite medik atau keberadaan komite medik belum lengkap, maka dapat mengacu pada jenis tindakan medis yang sudah ditetapkan oleh rumah sakit lain yang fungsi dan kelasnya sama.

10. Perluasan tindakan medis yang telah disetujui tidak dibenarkan dilakukan dengan alasan apapun juga, kecuali apabila perluasan tindakan medis tersebut terpaksa dilakukan untuk menyelamatkan jiwa pasien.

11. Pelaksanaan Informed Consent untuk tindakan medis tertentu, misalnya Tubektomi/Vasectomi dan Caesarean Section yang berkaitan dengan program keluarga berencana, harus merujuk pada ketentuan lain melalui konsultasi dengan perhimpunan profesi yang terkait.

12. Demi kepentingan pasien, Informed Consent tidak diperlukan bagi pasien gawat darurat dalam keadaan tidak sadar dan tidak didampingi oleh keluarga pasien yang berhak memberikan persetujuan/penolakan tindakan medis.

13. Format isian persetujuan tindakan medis (Informed Consent) atau penolakan tindakan medis, digunakan seperti pada contoh formulir terlampir, dengan ketentuan sebagai berikut :

a. Diketahui dan ditandatangani oleh dua orang saksi. Perawat bertindak sebagai salah satu saksi.

b. Formulir asli dalam berkas rekam medis pasien.

c. Formulir harus sudah diisi dan ditandatangani 24 jam sebelum tindakan medis dilakukan.

72 d. Dokter harus ikut membubuhkan tandatangan sebagai bukti bahwa

telah diberikan informasi dan penjelasan secukupnya.

e. Sebagai ganti tanda tangan, pasien atau keluarganya yang buta huruf harus membubuhkan cap jempol ibu jari tangan kanan.

E. Mengelola Code Blue

Code blue merupakan salah satu kode prosedur emergensi yang harus segera diaktifkan jika ditemukan seseorang dalam kondisi cardiaerespiratory arrest di dalam area rumah sakit. Code blue response team atau tim code blue adalah suatu tim yang dibentuk oleh rumah sakit yang bertugas merespon kondisi code blue didalam area rumah sakit. Tim ini terdiri dari dokter dan perawat yang sudah terlatih dalam penanganan kondisi cardiac respiratory arrest (Endradita M, 2017)

Prosedur Code Blue (Endradita M, 2017):

1. Jika didapatkan seseorang atau pasien dalam kondisi cardiac respiratory arrest maka perawat ruangan (I) atau first responder berperan dalam tahap pertolongan, yaitu:

2. Segera melakukan penilaian dini kesadaran korban.

3. Pastikan lingkungan penderita aman untuk dilakukan pertolongan.

4. Lakukan cek respon penderita dengan memanggil nama atau menepuk bahu.

5. Meminta bantuan pertolongan perawat lain (II) atau petugas yang ditemui di lokasi untuk mengaktifkan code blue.

6. Lakukan Resusitasi Jantung Paru (RJP) sampai dengan tim code blue 7. Perawat ruangan yang lain (II) atau penolong kedua, segera

menghubungi operator telepon “8600” untuk mengaktifkan code blue, dengan prosedur sebagai berikut:

8. Perkenalkan diri.

9. Sampaikan informasi untuk mengaktifkan code blue.

10. Sebutkan nama lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest dengan lengkap dan jelas, yaitu: area ….. (area satu/dua/tiga/empat), nama lokasi atau ruangan.

11. Jika lokasi kejadian di ruangan rawat inap maka informasikan : “ nama ruangan ….. nomor …. “.

12. Waktu respon operator menerima telepon “8600” adalah harus secepatnya diterima, kurang dari 3 kali deringan telepon.

73 13. Jika lokasi kejadian berada di area ruang rawat inap ataupun rawat jalan, setelah menghubungi operator, perawat ruangan II segera membawa troli emergensi (emergency trolley) ke lokasi dan membantu perawat ruangan I melakukan resusitasi sampai dengan tim Code Blue datang. Operator menggunakan alat telekomunikasi Handy Talky (HT) atau pengeras suara mengatakan code blue dengan prosedur sebagai berikut:

14. “Code Blue, Code Blue, Code Blue, di area …..(satu/dua/tiga/empat), nama lokasi atau ruangan…..”.

15. Jika lokasi kejadian diruangan rawat inap maka informasikan: “Code Blue, Code Blue, Code Blue, nama ruangan ….. nomor kamar …..”.

16. Setelah tim code blue menerima informasi tentang aktivasi code blue, mereka segera menghentikan tugasnya masing-masing, mengambil resusitasi kit dan menuju lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest.

Waktu respon dari aktivasi code blue sampai dengan kedatangan tim code blue di lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest adalah 5 menit.

17. Sekitar 5 menit kemudian, operator menghubungi tim code blue untuk memastikan bahwa tim code blue sudah menuju lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest

18. Jika lokasi terjadinya cardiac respiratory arrest adalah lokasi yang padat manusia (public area) maka petugas keamanan (security) segera menuju lokasi terjadinya untuk mengamankan lokasi tersebut sehingga tim code blue dapat melaksanakan tugasnya dengan aman dan sesuai prosedur.

19. Tim code blue melakukan tugasnya sampai dengan diputuskannya bahwa resusitasi dihentikan oleh ketua tim code blue.

20. Untuk pelaksanaan code blue di area empat, Tim code blue memberikan bantuan hidup dasar kepada pasien kemudian segera ditransfer ke Instalasi Gawat Darurat.

21. Ketua tim code blue memutuskan tindak lanjut pasca resusitasi, yaitu:

22. Jika resusitasi berhasil dan pasien stabil maka dipindahkan secepatnya ke Instalasi Perawatan Intensif untuk mendapatkan perawatan lebih lanjut jika keluarga pasien setuju.

23. Jika keluarga pasien tidak setuju atau jika Instalasi Perawatan Intensif penuh maka pasien di rujuk ke rumah sakit yang mempunyai fasilitas

74 24. Jika keluarga pasien menolak dirujuk dan meminta dirawat di ruang perawatan biasa, maka keluarga pasien menandatangani surat penolakan.

25. Jika resusitasi tidak berhasil dan pasien meninggal, maka lakukan koordinasi dengan bagian bina rohani, kemudian pasien dipindahkan ke kamar jenazah.

26. Ketua tim code blue melakukan koordinasi dengan DPJP.

27. Ketua tim code blue memberikan informasi dan edukasi kepada keluarga pasien.

28. Perawat ruangan mendokumentasikan semua kegiatan dalam rekam medis pasien dan melakukan koordinasi dengan ruangan pasca resusitasi.

Dalam dokumen MANAJEMEN ASUHAN KEPERAWATAN (Halaman 72-80)