• Tidak ada hasil yang ditemukan

Pembahasan Temuan

Dalam dokumen PENERAPAN KONSELING BEHAVIORAL DENGAN TEKNIK (Halaman 106-124)

BAB IV PENYAJIAN DATA DAN ANALISIS

C. Pembahasan Temuan

Pembahasan temuan ini berisi bahasan mengenai hasil temuan yang berdasarkan pada data yang telah disajikan dan telah dilakukan penganalisisisan. Hasil temuan ini dituangkan dalam bentuk interpretasi serta diskusi dari teori-teori yang ada dan juga relevan dengan pembahasan dalam penelitian ini. Guna mempermudah pemaparan pada bagian ini, peneliti memaparkan pembahasan temuan sesuai dengan fokus penelitian pada skripsi ini. Berikut rincian pembahasan temuan pada penelitian ini:

1. Penerapan konseling behavioral dengan teknik operant conditioning pada santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember

Berdasarkan temuan penelitian bahwa konseling behavioral dengan teknik operant conditioning kepada para santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember melalui beberapa proses didalamnya. Adapun pembahasan temuan yang peneliti dapatkan sebagai berikut:

a. Langkah-langkah konseling behavioral dengan teknik operant conditioning pada santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember

Penerapan konseling behavioral dengan teknik operant conditioning yang dilakukan oleh musyrifah asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember melalui beberapa langkah-langkah yang meliputi :

1) Tahap assessment

Pada tahap ini musyrifah selaku konselor berupaya melakukan analisis terkait apa yang dilakukan konseli, yakni para santri asrama. Tahap ini menjadi langkah awal konselor dapat memahami apa gangguan ataupun perilaku menyimpang yang dilakukan santri. Beberapa hal yang dianalisis pada tahap assesment meliputi tingkah laku bermasalah yang dialami santri saat ini, tingkah laku ini bersifat khusus. Menganalisis self control dari santri terkait perilakunya yang bermasalah, analisis ini ditujukan agar konseli mengetahui bagaimana kontrol diri santri bisa dilatih sehingga self control dari santri kemudian bisa dikatakan berhasil. Tahap assesment ini juga menganalisis

hubungan sosial santri . Pada akhir tahap ini musyrifah kemudian bisa menentukan layanan atau treatment yang dibutuhkan oleh para santri sesuai dengan kebutuhan mereka juga sesuai dengan tingkah laku bermasalah yang mereka alami. Hasil analisis musyifah pada tahap assesment ini menunjukkan bahwa santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember mengalami gangguan tingkah laku pada aspek religiusitas dalam hal ritual ibadah.

2) Tahap goal setting

Pada tahap ini musyrifah selaku konselor menentukan tujuan konseling dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama dan informasi hasil analisis dari perilaku santri. Kesepakatan ini dilakukan bersama dengan wali asrama selaku pihak yang berwenang mengontrol kegiatan yang berjalan di asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember. Tahap goal setting ini mempertimbangkan beberapa hal didalamnya. Pertama, musyrifah selaku konselor bersama wali asrama memandang masalah dari perilaku santri yang tidak diinginkan dan kemudian dari perilaku bermasalah tersebut disusun tujuan-tujuan yang diinginkan.

Tujuan yang diinginkan dari penerapan konseling behavioral dengan teknik operant conditioning ini adalah meningkatkan religiusitas santri pada aspek ritual dengan teknik-teknik yang bisa diterima mereka. Kedua, musyrifah memperhatikan hambatan-

hambatan yang berkemungkinan akan dihadapi selama proses konseling. Ketiga, tujuan secara besar yakni meningkatkan religiusitas santri kemudian dibagi menjadi beberapa sub tujuan berupa pembiasaan-pembiasaan ritual ibadah yang menunjang aspek religiusitas santri.

3) Tahap implementasi teknik

Tahap ini bisa disebut sebagai tahap penerapan yang mana setelah para musyrifah dan wali asrama sepakat mengenai permasalan tingkah laku dan layanan atau treatment yang sesuai, diputuskan strategi penanganan yang terbaik untuk membantu santri selaku konseli mencapai perubahan tingkah laku yang diinginkan. Musyrifah selaku konselor mengimplementasikan teknik operant conditioning yang telah disepakati bersama, meliputi pemberian contoh, token economy, pembentukan respon, serta perkuatan.

4) Tahap evaluasi dan mengakhiri konseling

Pada tahap ini tingkah laku santri menjadi dasar adanya tahapan evaluasi setalah apa yang musyrifah terapkan dan layanan yang diberikan. Selain itu, tahap evaluasi ini juga berfungsi menimbang efektivitas dari musyrifah selaku konselor dalam menerapakan teknik operant conditioning. Selanjutnya proses pengakhiran konseling yang didalamnya meliputi, tingkah laku terakhir konseli, mengeksplorasi apakah santri membutuhkan konseling ataupun

treatment tambahan, membantu santri men-transfer apa yang didapat selama proses konseling ke tingkah lakunya dan musyrifah memberi jalan untuk memantau secara kontinu tingkah laku santri asrama.80

b. Teknik-teknik operant conditioning kepada santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember

Penerapan konseling behavioral dengan teknik operant conditioning oleh musyrifah kepada santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember melalui beberapa teknik yang sesuai dengan teori B.F. Skinner. Berikut teknik operanct conditioning yang telah diterapkan musyrifah kepada santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember dalam meningkatkan religiusitas:

1) Perkuatan positif

Santri yang menunjukkan sikap religius dalam praktek ubudiyah- nya sehari-hari akan mendapatkan perkuatan positif dari para musyrifah baik berupa perlakuan verbal seperti puji-pujian maupun non-verbal seperti senyuman serta perlakuan yang lebih, diberi amanah atau kepercayaan lebih. Teknik ini dilakukan terus menerus sebagai upaya pendorong bagi santri dalam memahami bahwa ketika melakukan beberapa hal yang menuju pada perilaku yang diinginkan yakni religius maka dirinya akan mendapat pujian ataupun perkuatan positif lainnya.

80 Kokom Komalasari, Pembelajaran Kontekstual Konsep dan Aplikasi. (Bandung: PT. Refika

Aditama).63.

2) Percontohan

Teknik kedua yang menjadi andalan para musyrifah dalam meningkatkan religiusitas santri asrama adalah teknik percontohan.

Menjadi teladan dan selalu mengingatkan santri dalam hal ubudiyah menjadi teknik paling efektif menurut penuturan narasumber, baik santri maupun musyrifah sendiri. Teknik modeling ini mengharuskan musyrifah selaku konseling menjadi model bagi konselinya yakni para santri dan ikut terjun dalam segala kegiatan yang menuju pada peningkatan religiusitas.

3) Token economy

Teknik ketiga yang dilakukan para musyrifah dalam meningkatkan religiusitas santri adalah token economy. Teknik pemberian hologram atau bentuk lain sebagai capaian yang lebih nyata dan lebih bisa diraba menjadi dorongan tersendiri bagi konseli. Musyrifah setiap pekannya mengadakan kegiatan tasmi‟

dengan pembatasan peserta dan bagi peserta yang sanggup melaksanakan tasmi‟ akan mendapat voucher dan kemudian dapat ditukarkan ke koperasi asrama.

4) Penghapusan

Teknik selanjutnya yang diterapkan oleh musyrifah adalah teknik penghapusan perilaku yang tidak diinginkan dengan melakukan penekanan motivasi-motivasi perlaku itu muncul.

Teknik ini ssecara teori merupakan teknik lawan dari perkuatan

positif, bedanya perkuatan intermiten secara terus menerus memberi perkuatan terhadap perilaku yang muncul dan mendekati perilaku yang diinginkan, sebaliknya dengan teknik penghapusan. Teknik iini diterapkan dengan bentuk menghilangkan kebiasaan tidak berjamaah, selalu berdzikir setelah, berdoa dengan khusyu‟ dan bentuk-bentuk ritual lainnya dari aspek religiusitas.

5) Perkuatan intermiten

Teknik perkuatan intermiten ini tidak jauh beda dengan perkuatan positif, hanya saja teknik ini lebih digunakan pada pemeliharaan tingkah laku-tingkah laku baik ataupun yang mendekati tingkah laku yang diinginkan. Musyrifah dalam menerapakan teknik perkuatan intermiten ini berupaya menjaga santri yang telah menunjukkan religiusitasnya. Beberapa santri memiliki sikap religiusitas dalam beberapa ritual ibadah dan perlu meningkatkan pada ritual-ritual yang lain sehingga dengan perkuatan intermiten religisusitas mereka meningkat serta tetap memelihara religisusitas lain yang telah mereka miliki.

c. Hambatan penerapan konseling behavioral dengan teknik operant conditioning pada santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember

Tidak bisa dipungkiri dalam menerapakan suatu layanan akan ada hambatan maupun tantangan didalamnya. Begitu juga yang dialami musyrifah asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember selama

menerapkan konseling behavioral dengan tekni operant conditioning menghadapi beberapa faktor hambatan yang terbagi menjadi tiga, yaitu:

1) Faktor dari segi konseli

Faktor yang menjadi tantangan atau hambatan koseling dari diri konseli yakni santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember meliputi usia, gender, dan pendidikan, motivasi diri, harapan serta kepribadiannya. Musyrifah menuturkan bahwa usia santri yang terbilang kategori remaja menjadi hambatan sekaligus juga mempermudah proses konseling.

a. Usia

Pada usia remaja karakter dan perilaku mereka masih mudah dibentuk menjadikan proses konseling lebih mudah, namun disisi lain karena masa remaja adalah masa dimana teman menjadi salah satu figur berpengaruh juga bagi mereka sehingga perilaku-perilaku mereka juga banyak dipengaruhi oleh teman sebayanya. Hal ini menuntut musyrifah sebagai konseli harusbisa memposisikan dirinya sebagai teman dan juga bisa memberi contoh kepada para santri dalam memfilter agar perilaku-perilaku teman yang kurang baik tidak mereka tiru.

b. Gender

Gender juga berpengaruh dalam proses konseling, musyrifah menuturkan bahwa santri putri lebih mudah diajak berkomunikasi dan mudah menerima pelayanan yang diberikan dibanding dengan santri putra. Namun, diluar itu santri putri juga lebih rentan terbawa perasaan sehingga treatment yang diberikan harus sebisa mungkin tidak menyinggung perasaan mereka dan bisa menyadarkan mereka terhadap perilaku-perilaku menyimpang yang mereka lakukan.

c. Pendidikan

Pendidikan juga menjadi hal yang berpengaruh dalam proses penerapan konseling ini. Seseorang yang berpendidikan lebih mudah menyikapi layanan atau teknik yang diberikan selama proses konseling dibanding mereka yang berpendidikan lebih rendah. Santri asrama tahfidz yang tidak semuanya pernah mengenyam pendidikan di pesantren juga berpengaruh selama proses konseling dalam meningkatan religiusitas santri.

d. Motivasi diri

Motivasi yang timbul atas dasar kemauan santri sendiri berbeda dan mempengaruhi proses penerapan konseling ini berlangsung. Menurut penuturan musyrifah motivasi yang bermacam-macam dari para santri untuk

tinggal di asrama menjadi suatu tantangan dan bisa juga bisa menghambat pemberian layanan konseling.

e. Harapan

Harapan ini merupakan salah satu aspek yang masih berkesinambungan dengan motivasi, dimana ketika seseorang memiliki motivasi yang tinggi dalam melakukan suatu hal dirinya juga akan timbul harapan-harapan serta semangat kedepannya.

f. Kepribadian

Musyrifah menuturkan bahwa kepribadian santri ikut serta mempengarui proses penerapan konseling behavioral dengan teknik operant conditioning. Ketika seorang santri memiliki kepribadian maupun kontrol ego yang kurang maka dirinya akan susah menerima treatment yang diberikan serta mempengaruhi santri dalam menghadapi kecemasan resiko yang akan dialami.

2) Faktor dari segi gangguan atau masalah

Faktor kedua yang menjadi tantangan atau hambatan selama proses konseling behavioral dengan teknik operant conditioning adalah faktor yang bersangkutan dengan gangguan atau masalah yang dialami santri. Jenis gangguan atau perilaku menyimpang yang dialami santri serta bobot permasalahnnya juga menjadi tolak ukur kesulitan yang akan

dihadapi selama proses penerapan. Musyrifah menuturkan bahwa perilaku santri yang menunjukkan tingkat religiusitas yang rendah tergolong sebagai gangguan perilaku yang tidak terlalu berat, sehingga untuk faktor ini musyrifah masih bisa mengendalikan.

3) Faktor dari segi konselor

Kemampuan musyrifah selaku konselor juga menjadi suatu hal yang mempengaruhi proses penerapan konseling behavioral dengan teknik operant conditioning ini. Menurut penuturan para musyrifah, semangat dan koordinasi harus selalu dijaga guna memupuk kemampuan dari tiap-tiap musyrifah.

Hubungan yang harmonis antara musyrifah dengan para santri juga menjadi faktor yang berpengaruh selama proses konseling.81

2. Religiusitas santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember Religiusitas santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember berdasarkan pada hasil penelitian menunjukkan perbedaan-perbedaan antar individu yang ditujukan melalui beberapa ritual ibadah yang dilakukan.

a. Religiusitas santri

Merujuk pada penyajian dan analisis data, santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember memiliki tingkat religiusitas yang berbeda-beda. Hasil data dari penuturan narasumber tingkat religiusitas

81 Latipun, Psikologi Konseling, (Malang: Universitas Muhammadiyah Malang Press.2001)

para santri tergolong cukup dan rendah meski ada beberapa yang memiliki religiusitas tinggi. Hal ini karena dari beberapa ritual ibadah para santri menunjukkan tingkat religiusitas yang baik namun tidak demikian di beberapa ritual ibadah yang lain.

Santri yang terbiasa menjalankan sholat fardhu berjamaah, selalu membaca Al qur’an dengan pelan dan tartil namun dirinya kurang bisa khusyu‟ ketika berdoa dan sering berbicara diwaktu dzikir setelah sholat. Adapula beberapa santri yang tekun dalam bebereapa ritual ibadah namun kurang tekun di beberapa ibadah yang lain. beberapa diantaranya menuturkan bahwa dirinya memang baru membiasakan diri beribadah dengan tekun selama di asrama ini.

b. Faktor yang mempengaruhi religiusitas

Banyak hal yang mempengaruhi perilaku nyata seseorang, begitu juga dengan tingkat religisusitas seseorang. Berdasarkan hasil data yang diperoleh peneliti, faktor yang mempengaruhi religiusitas santri asrama tahfdiz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember bisa diklasifikasikan menjadi faktor beberapa faktor, yakni :

1) Faktor pendidikan

Faktor pendidikan merupakan salah satu fakrot yang mempengaruhi religisusitas seseorang. Pendidikan disini bisa berupa pendidikan formal maupun non- formal dan pendidikan dalam keluarga juga termasuk dalam faktor pendidikan yang mempengaruhi religisuitas seseorang. Santri yang pernah

mendapat pengajaran dari lembaga pesantren memiliki tingkat religiusitas yang berbeda dengan mereka yang tidak pernah mengenyam pendidikan di pesantren. Begitu juga santri yang mendapat pengajaran maupun tradisi agama dari lingkungan keluarga akan menunjukkan religiusitas yang berbeda.

Pengaruh dari faktor pendidikan ini biasanya melalui kurikulum, isi dari pengajaran yang diberikan ataupun teladan- teladan yang ditampakan oleh tenaga pendidik. Hal-hal tersebut yang kemudian menjadi pembiasaan-pembiasaan sebagai upaya penanaman moral baik yang berkaitan dengan perkembangan jiwa keagamaan individu.

2) Faktor lingkungan sosial

Faktor lingkungan sosial dalam mempengaruhi religiusitas seseorang masih bersifat luas. Berdasarkan hasil data yang peneiliti dapat faktor lingkungan sosial yang mempengaruhi religiusitas santri bisa berupa lingkungan keluarga, lingkungan masyarakat setempat dan lingkungan pertemanan.

Figur orang tua dalam membentuk karakter individu sangat berperan penting, mengingat bahwa keluarga merupakan lingkungan pertama yang ditempati manusia serta sekolah pertama baginya. Selain itu, terdapat istilah father image dalam penanaman karakter di lingkungan keluarga. Father image atau citra kebapakan menjadi bentuk nyata dari pengaruh citra seorang

bapak terhadap anaknya. Ketika seorang anak mendapat contoh sikap maupun perilaku religi dari seorang bapak maka anak akan cenderung bersikap demikian dan sebaliknya. Dari hasil penelitian, peneliti medapat data bahwa santri yang mendapat father image baik dengan melihat ayahnya melaksanakan sholat berjamaah bahkan menjadi imam sholat jamaah maka dirinya lebih tertanam sikap religius dengan terbiasa melaksanakan sholat fardhu berjamaah.

Lingkungan sosial masyarakat juga tidak kalah berpengaruh dalam membentuk relegiusitas seseorang. Faktor lingkungan masyarakat ini bersifat norma dan nilai, ketika seseorang hidup di lingkungan sosial masyarakat yang mumpuni dan banyak mendorong pada sikap-sikap religius maka semakin besar pengaruh terhadap pembentukan religiusitas dirinya.82

Terakhir adalah faktor lingkungan pertemanan. Tidak bisa dipungkiri bahwa lingkungan pertemanan menjadi faktor lingkungan yang sangat besar pengaruhnya terhadap perkembangan karakter seseorang termasuk sikap religisiusitasnya. Menurut hasil data yang diperoleh peneliti, santri yang notabene-nya masih usia remaja menjadikan faktor lingkungan teman sangat berpengaruh bagi mereka. Interaksi santri sepanjang hari dan malam antar teman mempengaruhi

82 Jalaludiin. Psikologi Agama. (Jakarta: Raja Wali Pers. 2010) 271-272

semangat dan dorongan dirinya baik dalam hal beribadah maupun hal-hal lainnya. Santri yang banyak berinteraksi dengan teman dengan religiusitas baik akan memberi pengaruh serta menjadikan dirinya berperilaku yang sama.

3. Penerapan konseling behavioral dengan teknik operant conditioning dalam meningkatkan religiusitas santri

Berdasarkan hasil data serta analisis data diatas, maka dipaparkan bagaimana proses dari penerapan konseling behavioral dengan teknik operant conditioning oleh musyrifah dalam meningkatkan religiusitas santri di asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember.

Melalui hasil data yang diperoleh peneliti terdapat beberapa teknik operant conditioning yang diterapkan oleh musyrifah dan sudah disesuai sebagai upaya meningkatkan religiusitas santri. Teknik-teknik tersebut meliputi :

a. Perkuatan positif

Bentuk dari perkuatan positif yang diberikan musyrifah dalam meningkatkan religiusitas santri antara lain :

1) Perkuatan positif verbal berupa pujian.

2) Perkuatan positif non-verbal berupa perlakuan lebih, senyuMandan kepercayaan kepada santri yang menunjukkan perilaku yang diinginkan.

b. Percontohan

Bentuk dari teknik percontohan musyrifah dalam meningkatkan religiusitas santri meliuptu kegiatan-kegiatan ubudiyah yang dibentuk tim musyrifah sendiri, yakni :

1) Memberikan contoh sholat berjamaah lima waktu dan datang ke masjid lebih awal

2) Memberikan contoh pembacaan dzikir setelah sholat fardhu serta fasilitasnya (teks dzikir)

3) Memberikan percontohan sikap khusyu‟ serta tenang ketika berdo’a serta tidak membuat kegaduhan.

4) Mencontohkan dan membiasakan kepada para santri untuk selalu membaca Al qur’an dengan tartil dan pelan berupa kegiatan mudarosah

5) Memberi percontohan dzikir rutin diluar waktu sholat, yakni berupa tahlil dan al maksurot (setiap petang dan pagi hari)

c. Token economy

Teknik token economy ini merupakan teknik yang memliki bentuk lebih konkrit dibanding beberapa teknik operant conditioning lainnya.

Bentuk token economy yang diberikan oleh musyrifah kepada para santri dalam meningkatkan religiusitas santri ini lebih mengerucut lagi pada intensitas mereka dalam membaca Al qur’an. Santri yang memiliki tingkatan hafalan lebih dan intensitas murojaah lebih banyak akan berpotensi mendapat token dibanding mereka yang kurang karena

mereka yang memliki intensitas hafalan lebih banyak dan kuat bisa mengikuti uji tasmi‟ setiap pekan. Peserta tasmi‟ yang dibatasi juga menjadikan semangat dan membentuk dorongan lebih dalam diri santri untuk lebih memperbanyak intensitas membaca Al qur’an agar bisa mengikuti uji tasmi‟ tersebut. Mereka yang telah melaksanakan uji tasmi‟ akan mendapatkan token economy berupa voucher yang kemudian dapat ditukarkan ke koperasi asrama.

d. Penghapusan

Bentuk dari teknik penghapusan yang dilakukan oleh musyrifah berhubungan juga dengan kegiatan ubudiyah yang mereka susun, sama halnya dengan teknik percontohan. Musyrifah melakukan penghapusan-penghapusan perilaku yang tidak diinginkan, seperti telat al maksurot, telat atau tidak melaksanakan sholat berjamaah, bergurau ataupun mengobrol ketika pembacaan dzikir maupun doa, membaca Al qur’an terburu-buru dan tidak tepat, tidak mengikuti mudarosah dan kegiatan lain yang menyangkut ubudiyah.

Musyrifah akan memberi teguran untuk santri yang melakukan pelanggaran atau perilaku-perilaku yang tidak diinginkan. Namun, ketika hal tersebut berulang maka musyrifah akan memberikan sanksi sesuai dengan kesepakatan tata tertib yang telah dibentuk bersama.

Misalnya, mereka yang bergurau ketika pembacaan do’a dan dzikir akan ditegur musyrifah untuk berdiri ditempat sampai kegiatan selesai.

Mereka yang telat sholat berjamaah akan di takzir bersih-bersih asrama

dan mereka yang tidak mengikuti kegiatan mudarosah mendapat takzir membaca Al qur’an dengan lantang di depan asrama dengan berdiri sebanyak setengah juz Al qur’an.

Teknik-teknik tersebut ditujukan untuk menghapuskan sikap-sikap yang tidak diinginkan demi memunculkan dan membiasakan perilaku- perilaku yang mencerminkan religiusitas.

e. Perkuatan intermiten

Teknik perkuatan intermiten yang dilakukan musyrifah dalam meningkatkan religiusitas santri lebih condong pada pemeliharaan dari upaya-upaya atau teknik-teknik sebelumnya. Seperti teknik percontohan, teknik token economy, maupun teknik penghapusan.

Melalui teknik perkuatan intermiten ini musyrifah menjaga konsistensi perilaku-perilaku santri yang mulai ataupun sudah menuju pada peningkatan religiusitas. Musyrifah dengan terus secara kontinu memberikan percontohan, melakukan penghapusan-penghapusan perilaku yang tidak diinginkan menjadi suatu bentuk dari penerapan teknik perkuatan intermiten itu sendiri.

BAB V PENUTUP A. Kesimpulan

Berdasarkan fokus masalah dan hasil penelitian yang dilakukan dengan topik penerapan konseling behavioral dengan teknik operant conditioning dalam meningkatan religiusitas santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember dapat disimpulkan dalam beberapa hal sebagai berikut :

1. Penerapan konseling behavioral dengan teknik operant conditioning dalam meningkatkan religiusitas santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember

a. Langkah-langkah konseling behavioral dengan teknik operant conditioning pada santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember

1) Tahap assessment musyrifah selaku konselor berupaya melakukan analisis gangguan ataupun perilaku menyimpang yang dilakukan santri.

2) Tahap goal setting, musyrifah selaku konselor menentukan tujuan konseling dilakukan berdasarkan kesepakatan bersama dan informasi hasil analisis dari perilaku santri.

3) Tahap implementasi teknik, musyrifah dan wali asrama sepakat mengenai permasalan tingkah laku dan layanan atau yang sesuai yakni teknik operant conditioning, diputuskan strategi penanganan

yang terbaik untuk membantu santri selaku konseli mencapai perubahan tingkah laku yang diinginkan yakni religiusitas santri.

4) Tahap evaluasi dan mengakhiri konseling berfungsi menimbang efektivitas dari musyrifah selaku konselor dalam menerapakan teknik operant conditioning.

b. Teknik-teknik operant conditioning kepada santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember

1) Perkuatan positif

Perkuatan positif verbal berupa pujian dan perkuatan positif non- verbal berupa perlakuan lebih, senyuman dan kepercayaan kepada santri yang menunjukkan perilaku yang diinginkan.

2) Percontohan

a) Memberikan contoh sholat berjamaah lima waktu dan datang ke masjid lebih awal

b) Memberikan contoh pembacaan dzikir setelah sholat fardhu serta fasilitasnya (teks dzikir)

c) Memberikan percontohan sikap khusyu‟ serta tenang ketika berdo’a serta tidak membuat kegaduhan.

d) Mencontohkan dan membiasakan kepada para santri untuk selalu membaca Al qur’an dengan tartil dan pelan berupa kegiatan mudarosah

e) Memberi percontohan dzikir rutin diluar waktu sholat, yakni berupa tahlil dan al maksurot (setiap petang dan pagi hari)

3) Token economy berupa pemberian voucher tiap pelaksanaan uji tasmi‟ perpekan.

4) Penghapusan

a) Pemberian teguran

b) Pemberian takzir berupa mengaji c) Pemberian takzir bersih-bersih

5) Perkuatan intermiten yang mana teknik ini condong sebagai upaya pemeliharaan dari teknik-teknik sebelumnya. Pemberian dorongan serta motivasi kepada para santri.

2. Hambatan penerapan konseling behavioral dengan teknik operant conditioning pada santri asrama tahfidz Madrasah Aliyah Negeri 2 Jember

1) Faktor dari segi santri (konseli) meliputi usia, gender, pendidikan, motivasi diri, harapan, dan kepribadian.

2) Faktor dari segi gangguan atau masalah yang meliputi jenis masalah atau gangguan yang dihadapi santri, dan bobot masalah atau gangguan tersebut.

3) Faktor dari segi musyrifah (konselor) yang meliputi kemampuan musyrifah dalam menerapkan teknik operant conditioning serta hubungan yang harmonis antara musyrifah dengan para santri.

Dalam dokumen PENERAPAN KONSELING BEHAVIORAL DENGAN TEKNIK (Halaman 106-124)

Dokumen terkait