• Tidak ada hasil yang ditemukan

Penafsiran dalam Hukum Tata Negara

Dalam dokumen Hukum Tata Negara Indonesia (Halaman 41-47)

KAJIAN HUKUM TATA NEGARA

D. Metode dan Penafsiran Hukum Tata Negara

2. Penafsiran dalam Hukum Tata Negara

e. Metode pendekatan Filosofis

Metode pendekatan Filosofis, yaitu pendekatan yang berdasarkan pada pandangan hidup bangsa. Misalnya di Indonesia kajian hukum dalam masyarakat harus bersumber pada falsafat bangsa yaitu Pancasila.27

Dengan demikian, dapat dikemukakan bahwa pada awalnya kajian- kajian dalam Hukum Tata Negara dilakukan secara dogmatis yakni dilakukan hanya terhadap ketentuan-ketentuan konstitusi secara tekstual.

Kemudian, kajian secara dogmatis tersebut ditinggalkan, melainkan dilakukan eksplanasi analisis mengenai studi Hukum Tata Negara dengan menggunakan pendekatan historis, sosial, politik, komparatif, filosofis, dan bahkan pendekatan ekonomi.

Penafsiran (interpretasi) merupakan salah satu langkah dalam penerapan hukum, yang dimaksudkan untuk menentukan makna yang tepat bagi suatu peraturan perundang-undangan. Dalam studi ilmu hukum adanya penafsiran tidak dapat dihindari. Hal itu berkaitan dengan adanya kata-kata di dalam peraturan perundang-undangan yang menimbulkan arti ganda dan ketidakpastian hukum. Di samping itu, juga karena ide dan semangat yang terdapat di dalam peraturan perundang-undangan ketika peraturan perundang-undangan itu dibentuk dapat mengalami perubahan sesuai dengan perkembangan waktu dan situasi sebagai akibat dari tuntutan perkembangan masyarakat.

Dalam studi Hukum Tata Negara, kebutuhan untuk mengadakan penafsiran itu timbul karena naskah konstitusi (UUD 1945) tidak memuat semua ketentuan normatif yang diperlukan untuk menata kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan. Apalagi setelah konstitusi itu mengalami perjalanan waktu cukup lama sejak dirumuskan, berbagai peristiwa kenegaraan terjadi dan timbul perkembangan politik dan sosial yang semakin kompleks, yang mungkin belum diprediksikan pada waktu konstitusi itu disusun. Oleh karena itu, di dalam Hukum Tata Negara, mutlak diperlukan penafsiran. Namun demikian, hal itu dilakukan dengan menggunakan metode dan teknik-teknik tertentu yang dapat dipertanggungjawabkan secara rasional dan ilmiah, sehingga usaha untuk menegakkan konstitusi sesuai dengan tuntutan perkembangan sosial-politik yang ada, tetapi tetap sesuai dengan semangat rumusan konstitusi yang lazim digunakan sebagai pegangan normatif dalam menata kehidupan bernegara dan bermasyarakat. Di samping itu, aspek otoritatif juga harus

jelas, sehingga penafsiran tidak dilakukan secara sewenang-wenang, melainkan memiliki legitimasi konstitusional.

Dalam Hukum Tata Negara, selain menggunakan metode penafsiran yang sudah umum dikenal di dalam ilmu hukum, dalam penafsiran konstitusi digunakan metode penafsiran kontemporer yang digandengkan dengan metode penafsiran historis. Dalam kaitannya dengan penafsiran konstitusi, dalam Hukum Tata Negara Amerika (Constitutional Law), kebanyakan teori mewarnai mengenai dasar pembenar Supreme Court untuk menafsirkan konstitusi. Menurut Robert A. Burt, ada empat mazhab yang memberikan pandangan berbeda dalam menentukan titik tolak hakim menafsirkan konstitusi.29

a. Mazhab Originalis (The Originalists) yang berpendapat bahwa maksud yang sesungguhnya dari pembentuk konstitusi yang dapat dibenarkan sebagai dasar melakukan penafsiran terhadap konstitusi.

b. Mazhab Interpretasionis (The Interpretationists) bahwa sulit dan bahkan mungkin tidak dapat diketahui maksud dari pembentuk konstitusi. Oleh karena itu, hakim dalam melakukan interpretasi berdasarkan pada nilai-nilai fundamental (fundamental values) yang terdapat dalam kebudayaan Amerika seperti kebajikan, moralitas, kebenaran, dan integritas.

c. Mazhab Prosessis (The Process School) berpandangan bahwa fundamental values itu tidak tepat dijadikan dasar untuk menyatakan hukum tidak berlaku. Tetapi, hanya jaminan yang cukup terbuka bagi

29 I Gede Yusa, dkk, op. cit, hlm. 18.

semua pesaing untuk mempengaruhi lembaga-lembaga politik yang merupakan legitimasi uji yudisial (judicial review).

Sedangkan menurut Jimly Asshiddiqie dengan mengacu pada pandangan John Hart Ely mengatakan bahwa berbagai pendapat yang berkembang mengenai penafsiran konstitusi itu pada pokoknya dapat dibagi ke dalam dua kelompok besar, yaitu pertama, kelompok originalist atau foundationalist yang konservatif; dan kedua, kelompok kontektualisme nilai-nilai dasar yang mengutamakan upaya menemukan nilai-nilai dasar yang melandasi perumusan suatu konstitusi.

Kelompok pertama mengandalkan pada kekuatan bahasa atau bahkan cenderung menafsirkan konstitusi secara letterlijk atau harfiah dalam memahami teks konstitusi. Kelompok kedua merupakan kebalikan dari kelompok pertama, yang lebih mengutamakan pada nilai-nilai fundamental yang terkandung di dalam teks konstitusi dengan mengaitkan dengan moralitas konvensional sekarang, bukan pada bunyi teks yang tertulis dari konstitusi. Harry Wellington yang menganut pandangan ini menekankan bahwa dalam melakukan penafsiran terhadap teks konstitusi haruslah berdasarkan pada standar moralitas yang secara konvensional berlaku ketika konstitusi dirumuskan. Dalam menyelesaikan setiap kasus hukum, pengadilan harus berdasarkan pada pandangan moral tertentu sehingga putusannya akan dilandasi oleh prinsip-prinsip yang umum bentuknya dan universal penerapannya.

Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa John Hart Ely-lah sebenarnya yang berhasil menemukan pemecahan terhadap

kesimpangsiuran ilmiah dalam teori mengenai penafsiran konstitusi Indonesia, selain uji yudisial dikenal pula adanya uji legislatif (legislative review), seperti ditentukan di dalam Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Nomor III/MPR/ 2000 (selanjutnya disebut: Tap MPR No.

III/MPR/2000) tentang “Sumber Hukum dan Tata Urutan Peraturan Perundang-undangan”. Uji yudisial merupakan suatu cara untuk melakukan pengujian yang dilakukan oleh pengadilan (hakim) terhadap produk hukum yang ditetapkan oleh cabang kekuasaan legislatif, eksekutif maupun yudikatif. Itu merupakan penerapan prinsip checks and balances berdasarkan sistem pemisahan kekuasaan negara. Di dalam UUD 1945, ditentukan ada dua badan pelaksana kekuasaan kehakiman yang memiliki wewenang itu, yakni Mahkamah Agung (MA) dan Mahkamah Konstitusi (MK), namun dengan kewenangan yang berbeda. Makhamah Agung berwenang untuk menguji peraturan perundang-undangan di bawah Undang-undang (UU) terhadap Undang-undang (UU). Pengaturan kewenangan Makhamah Agung itu terdapat pula di dalam Tap MPR Nomor III/MPR/2000, UndangUndang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, dan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung dan Undang-undang. Menurut pasal 4 Ketetapan MPR Nomor I/MPR/2003 tentang “Peninjauan Terhadap Materi dan Status Hukum Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara dan Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia tahun 1960 sampai dengan Tahun 2002", maka Ketetapan MPR Nomor III/MPR/2000 dinyatakan tetap berlaku hingga terbentuknya Undang-Undang yang dimaksudkan oleh pasal 22A UUD 1945. 38 Pasal

24A ayat (1) UUD 1945, pasal 5 ayat (2) Tap MPR No. III/MPR/2000, pasal 11 ayat (2) huruf b Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2004, pasal 31 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 5 Tahun 2004 serta Undang-undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman. 30

Sedangkan, Mahkamah Konstitusi berwenang untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar 1945. Dalam hal ini, Mahkamah Konstitusi merupakan badan peradilan tingkat pertama dan terakhir dan putusannya bersifat final. Uji legislatif merupakan pengujian peraturan perundang-undangan yang dilakukan oleh parlemen (legislatif), bukan oleh hakim. Dalam UUD 1945, wewenang itu dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) terhadap peraturan pemerintah pengganti undang-undang (Perpu). Setiap Perpu yang ditetapkan oleh Presiden harus diajukan ke DPR untuk dilakukan uji legislatif, sehingga DPR akan memutuskan disetujui atau ditolak terhadap Perpu itu. Di samping itu, ada pula uji legislatif yang dilakukan oleh MPR. Namun, wewenang itu tidak ditentukan di dalam UUD 1945, melainkan di dalam pasal 5 ayat (1) Tap.

MPR Nomor III/MPR/2000 bahwa, MPR berwenang menguji Undang- Undang terhadap UUD dan Tap MPR. Pengujian yang dilakukan oleh MPR itu tidak dapat disebut sebagai uji yudisial, melainkan sebagai uji legislatif.

Walaupun ketentuan itu sah adanya, tetapi ada pandangan pesimis bahwa ketentuan itu tidak akan mungkin dapat dilaksanakan karena isinya salah total.

30Ibid. Hlm. 24

Paparan di atas menunjukkan bahwa penafsiran dalam Hukum Tata Negara selain menggunakan metode dan teknik penafsiran yang umumnya digunakan di dalam studi ilmu hukum,31 juga terdapat berbagai aliran dalam penafsiran konstitusi seperti aliran originalis, interpretasionis, nilai-nilai dasar, dan teori hukum kritis. Dalam Hukum Tata Negara Indonesia, dikenal adanya uji yudisial dan uji legislatif. Uji yudisial merupakan wewenang kekuasaan kehakiman yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung, sedangkan uji legislatif dilakukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Majelis Permusyawaratan Rakyat 32

E. Hubungan Hukum Tata Negara Dengan Bidang Ilmu

Dalam dokumen Hukum Tata Negara Indonesia (Halaman 41-47)