• Tidak ada hasil yang ditemukan

Sistem Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan di Indonesia 1. Tiori pemisahan kekuasaan (separation of power)

Dalam dokumen Hukum Tata Negara Indonesia (Halaman 192-197)

BENTUK DAN SISTEM PEMERINTAHAN

B. Sistem Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan di Indonesia 1. Tiori pemisahan kekuasaan (separation of power)

pemerintahan yang memadukan sistem pemerintahan presidensial dan parlementer. Jika lembaga eksekutif yang lebih dominan, maka disebut semi presidensil, tetapi jika parlemen yang lebih dominan, maka disebut dengan semi parlementer.

B. Sistem Pemisahan dan Pembagian Kekuasaan di Indonesia

Lois (1748). Tidak ada satu negara pun di dunia yang sungguh-sungguh mencerminkan gambaran Montesquieu tentang pemisahan kekuasaan (separation of power) demikian itu. Bahkan, struktur dan sistem ketatanegaraan Inggris yang ia jadikan objek penelitian dalam menyelesaikan bukunya itu juga tidak menganut sistem pemisahan kekuasaan seperti yang ia bayangkan.

Banyak sekali pro dan kontra yang timbul dikalangan para sarjana mengenai pandangan Montesquieu dilapangan ilmu politik dan hukum.

Oleh karena itu, dengan menyadari banyak kritik terhadap teori trias politica Monstesquieu, para ahli hukum di Indonesia seringkali menarik kesimpulan seakan-akan istilah pemisahan kekuasaan yang dipakai oleh Montesquieu itu sendiri tidak dapat dipergunakan. Kesimpulan demikian terjadi karena penggunaan istilah pemisahan biasanya diidentikan dengan teori trias politica Montesquieu. Padahal istilah pemisahaan kekuasaan sendiri konsep pembagian kekuasaan yang dipakai oleh banyak sarjana dengan pengertian-pengertian yang berbeda-beda satu dengan yang lain.15 2. Teori pembagian kekuasaan

Istilah pembagian kekuasaan (division of power) digunakan dalam konteks pembagian kekuasaan antara federal dan negara bagian, atau yang menurut pengertian Arthus Mass yang terkait dengan pengertian teritorial division of powers. Sedangkan istilah separation of power dipakai dalam konteks pembagian kekuasaan di tingkat pemerintahan federal, yaitu antara

15 Ibid. Hlm.18

legislature, the executive, dan judiciary. Pembagian yang terakhir inilah yang disebut oleh Arthur Mass sebagai capital division of power.16

Dengan demikian, dapat penggunaan istilah pembagian dan pemisahan kekuasaan itu dalam dua konteks yang berbeda, yaitu konteks hubungan kekuasaan yang bersifat horizontal atau vertikal. Dalam konteks yang vertikal, pemisahan kekuasaan atau pembagian kekuasaan itu dimaksudkan untuk membedakan pemerintahan bawahan, yaitu dalam hubungan antara pemerintah federal dan negara bagian dalam negara federal (federal state), atau antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah provinsi dalam negara kesatuan (unitary state). Persepektif vertikal versus horizontal ini juga dapat dipakai untuk membedakan antara konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dianut di Indonesia sebelum perubahan UUD 1945, yaitu bahwa kedaulatan atau kekuasaan tertinggi dianggap berada di tangan rakyat dan dijelmakan dalam Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) sebagai lembaga tertinggi negara. Sistem yang dianut oleh UUD 1945 sebelum perubahan itu dapat dianggap sebagai pembagian kekuasaan (division of power) dalam konteks pengertian yang bersifat vertikal. Sedangkan sekarang, setelah perubahan keempat, sistem yang dianut oleh UUD 1945 adalah sistem pemisahan kekuasaan (separation of power) berdasarkan prinsip checks and balances.

Dalam pengalaman ketatanegaraan Indonesia, istilah pemisahan kekuasaan (separation of power) itu sendiri cendrung dikonotasikan dengan pendapat MOntesquieu secara absolut. Konsep pemisahan kekuasaan

16 Ibid. Hlm.19

tersebut dibedakan secarra diametral dari konsep pembagian kekuasaan (division of power) yang dikaitkan dengan sistem supremasi MPR yang secaa mutlak menolak ide pemisahan kekuasaan ala trias politica Mostesquieu. Namun demikian sekarang setelah UUD 1945 mengalami empat perubahan, dapat dikatakan bahwa sistem konstitusi kita telah menganut doktrin pemisahan kekuasaan itu secara nyata. Beberapa bukti mengenai hal ini antara lain adalah:

1) Adanya pergeseran kekuasaan legislatif dari tangan presiden ke DPR.

2) Diadopsikannya sistem pengujian konstitusional atas undang-undang sebagai produk legislatif oleh Mahkamah Konstitusi.

3) Diakuinya bahwa lembaga pelaku kedaulatan rakyat itu tidak hanya terbatas pada MPR, melainkan semua lembaga negara baik secara langsung atau tidak langsung merupakan penjelmaan kedaulatan rakyat.

4) MPR juga tidak lagi berstatus sebagai lembaga tertinggi negara melainkan merupakan lembaga (tinggi) negara yang sama derajatnya dengan lembaga tinggi negara lainnya, seperti Presiden, DPR, MK, dan MA.

5) Hubungan-hubungan antar lembaga (tinggi) negara itu bersifat saling mengendalikan satu sama lain sesuai dengan prinsip checks and balances.17

Mengenai ketentuan Pasal 18 Ayat (1) UUD 1945 yang menggunakan istilah: “…. dibagi atas daerah-daerah provinsi, dan daerah provinsi itu dibagi atas kabupaten dan kota, yang tiap-tiap provinsi, kabupaten, dan kota

17Jimly Asshiddiqie, (2006) Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II, Penerbit.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan MK, RI, Jakarta, hlm. 24

itu mempunyai pemerintahan daerah…..”. Dengan menggunakan istilah

“dibagi” ingin ditegaskan bahwa hubungan antara pusat dan daerah dan antar provinsi dan kabupaten/kota kembali bersifat hierarkis vertikal.

Dengan demikian UUD 1945 secara sadar menggunakan istilah pembagian itu dalam konteks pengertiannya yang bersifat vertikal, sehingga konsep pembagian kekuasaan haruslah diartikan sebagai pembagian dalam konteks pengertian yang bersifat vertikal pula.

Prinsip yang senada disampaikan Logemann menyatakan bahwa negara adalah organisasi jabatan-jabatan, struktur jabatan dalam sebuah negara memiliki hubungan horizontal maupun vertikal. Pembagian jabatan secara horizontal akan melahirkan sistem pemerintahan, sedangkan pembagian jabatan secara vertical berkaitan erat dengan hubungan pemerintah pusat dengan pemerintahan di daerah, sehingga akan menyangkut sistem pemerintahan di daerah.18

Oleh karena itu, maka untuk pengertian pembagian kekuasaan dalam konteks pengertian yang bersifat horizontal atau seperti yang diartikan oleh Arthur Mass dengan capital division of power, haruslah diartikan sebagai pemisahan kekuasaan (separation of power), meskipun bukan dalam pengertian Trias Politica Montesquieu. Dengan perkataan lain, menggunakan istilah pemisahan kekuasaan berdasarkan prinsip checks and balances untuk menyebut sistem yang dianut oleh UUD 1945 pasca perubahan keempat. 19

18Ibid, hlm. 25

19Ibid. hlm 26.

Drs. Nuruddin, M.H Dr. H. Ahmad Muhasim, M. HI

A. Pengertian Otonomi Daerah

S

ecara harafiah dimana otonomi daerah memili arti kata yang berasal dari dua kata otonomi dan daerah, dalam bahasa Yunani dimana otonomi ialah berasal dari kata autos dan namos. Dimana pengertian dari autos adalah memiliki arti “sendiri” dan namos adalah aturan atau perundang-undangan, dengan demikian dapat diartikan dimana arti dari Otonomi adalah kewenangan untuk mengatur sendiri atau kewenangan untuk membuat aturan guna mengurus rumah tangganya sendiri. Sedangkan arti dari daerah adalah kesatuan masyarakat hukum yang mana memiliki suatu batasan wilayah.1

Pengertian di atas terlalu sempit, karena dalam kenyataanya pemerintah daerah tidak hanya membuat undang-undang atau menjalankan fungsi legislatif saja, melainkan menjalankan fungsi penyelenggaraan pemerintahan (eksekutif) daerah. Dilihat dari sejarah perkembangan pemerintahan daerah, istilah daerah otonom disebut dengan daerah

1 Obsatar Sinaga, (2010), Otonomi Daerah dan Kebijakan Publik, Bandung, Lepsindo, hlm. 66-68.

BAB

Dalam dokumen Hukum Tata Negara Indonesia (Halaman 192-197)