• Tidak ada hasil yang ditemukan

Perempuan Karang Mluwo dalam Membina Nilai Karakter Religius Pada Anak di Tengah Aktivitas Ekonomi yang Mereka Lakukan

Bagan 2.2 Kerangka Konseptual

A. Perempuan Karang Mluwo dalam Membina Nilai Karakter Religius Pada Anak di Tengah Aktivitas Ekonomi yang Mereka Lakukan

125

Pada bab ini merupakan bagian yang membahas hasil penelitian berdasarkan fokus penelitian yaitu, pertama untuk mendeskripsikan peran perempuan Karang Mluwo dalam membina nilai karakter religius pada anak di tengah aktivitas ekonomi yang mereka lakukan, kedua untuk mendeskripsikan peran perempuan Karang Mluwo dalam membina nilai karakter religius pada anak di tengah aktivitas domestik yang mereka lakukan, dan ketiga mendeskripsikan peran perempuan Karang Mluwo dalam membina nilai karakter religius pada anak di tengah aktivitas sosial kemasyarakatan yang mereka lakukan.

Peneliti menampilkan bab ini untuk membantu menjawab dan menjelaskan temuan yang telah diuraikan pada bab IV, baik melalui wawancara, observasi, maupun dokumentasi dari berbagai macam sumber. Berpijak dari sinilah, peneliti mencoba mendeskripsikan dan menganalisis data yang sudah ditemukan dengan menggunakan teori-teori yang ada sebagaimana berikut ini:

A. Perempuan Karang Mluwo dalam Membina Nilai Karakter Religius

diindikasikan sebagai manusia pekerja utama dalam memenuhi kehidupan ekonomi keluarga, melainkan hanya sebatas membantu suami. Dengan penghasilan yang didapat, istri tidak lagi sepenuhnya bergantung pada suami untuk hidup. Setidaknya, sebagian dari kebutuhan keluarga dibantu dengan pendapatan istri.211 Salah satu faktor yang membuat perempuan bekerja adalah tuntutan ekonomi keluarga. Tuntutan ini kemudian menjadikan perempuan (ibu rumah tangga) juga bekerja untuk membantu memenuhi penghidupan nafkah keluarga.212

Hal ini sejalan dengan yang disampaikan oleh Hidayatullah bahwa masih terdapat persoalan kegenderan yang dihadapi oleh kaum perempuan.

Persoalan tersebut umumnya berasal dari dua arah yaitu eksternal dan internal. Masalah eksternal, misalnya masih kuatnya untuk tidak mengatakan masih ada reaksi kontra yang berbasis pada budaya patriarki dari sebagian masyarakat dan masalah internal, misalnya adalah munculnya kegalauan dan kegamangan psikologis pada diri kaum perempuan ketika mereka mengaktualisasikan peran publiknya (di luar aktivitas rumah tangga).213 Walaupun demikian, tidak dapat dipungkiri bahwa peran perempuan pada ranah ekonomi mampu memberikan kontribusi untuk membantu ekonomi

210 Irwan Abdullah, Sangkan Paran Gender (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006), 13.

211 Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, 104.

212 Jeiska Salaa, “Peran Ganda Ibu Rumah Tangga dalam Meningkatkan Ekonomi Keluarga di Desa Tarohan Kecamatan Beo, Kabupaten Kepulauan Talaud”, Jurnal Holistik, No. 15 (Januari-Juni, 2015), 2.

213 Hidayatullah et. al., Gender dan Islam, 1.

kemaslahatan.214 Bekerja atau meniti karir adalah fitrah manusia, baik laki- laki maupun perempuan, di mana keduanya memiliki potensi serta hak yang sama dalam meningkatkan kualitas personal dalam bekerja, seperti yang telah dijelaskan Allah dalam firman-Nya yang artinya:

“Barangsiapa yang mengerjakan amal shaleh, baik laki-laki ataupun perempuan dalam keadaan beriman, maka sesungguhnya akan Kami berikan kepadanya kehidupan yang baik. Sesungguhnya akan Kami beri balasan kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang mereka kerjakan. [Q.S. an-Nahl (16): 97].”215 Dari ayat tersebut, dapat kita pahami bahwa al-Qur’an sama sekali tidak melakukan diskriminasi antara laki-laki dan perempuan dalam hal apapun. Keduanya dijanjikan akan mendapat ganjaran yang setimpal atas amal kebaikan yang mereka kerjakan. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa Islam dengan kitab suci al-Qur’an dan melalui Rasulullah SAW. telah hadir dengan membawa misi keadilan bagi manusia, baik bagi laki-laki maupun perempuan. Hanya saja ketika misi mulia tersebut turun ke bumi dan berinteraksi dengan beragam budaya manusia, seperti budaya patriarki, maka menjadi tidak sesuai dengan misinya tersebut. Sebagaimana yang terjadi pada masyarakat Kararang Mluwo bahwa budaya yang berkembang di masyarakat masih menjadikan perempuan sebagai manusia kelas dua (second class).

Pada tahun pelajaran 2020/2021, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Indonesia melalui Surat Edaran Mendikbud

214 Ridwan, “Peran Ganda Perempuan”, 160.

215 al-Qur’an, 16: 97. Lihat Agama RI, al- Qur’an, 278.

dengan adanya era new normal yang disebabkan oleh Covid-19. Oleh sebab itu, waktu belajar anak-anak lebih banyak bersama orang tua di rumah.

Sebenarnya pembelajaran jarak jauh yang dilakukan oleh peserta didik di rumah selama pandemi tidaklah sepenuhnya menjadi buruk. Ada sikap karakter positif peserta didik yang mungkin bisa tumbuh di dalam dirinya selama pembelajaran jarak jauh, salah satunya adalah karakter religius.217

Pada kehidupan sehari-hari, seorang perempuan (ibu) lebih sering menemani anaknya dalam mengerjakan tugasnya di rumah. Bagi perempuan pekerja, pembelajaran daring tentu menyebabkan seorang ibu dituntut untuk mengerjakan segalanya secara multitasking.218 Namun kenyataan yang ada di lapangan tidak sejalan dengan pernyataan tersebut. Perempuan Karang Mluwo tetap bekerja seperti biasanya, meskipun ada pengurangan jumlah jam dalam bekerja. Namun, kondisi tersebut tidak dimanfaatkan untuk mendampingi anak-anak belajar (membina karakter religius anak) dengan baik. Selain itu, tidak ada peran yang seimbang antara suami dan istri yang sama-sama pekerja terhadap pendidikan karakter anak selama pembelajaran daring berlangsung. Bahkan, terdapat pula perempuan yang sama sekali tidak

216http://pgdikdas.kemendikbud.go.id/read-news/pembelajaran-jarak-jauh-selama-masa-pandemi (22 Agustus 2020).

217 Purandina, “Pendidikan Karakter di Lingkungan Keluarga”, 270.

218 Made Emy Andayani Citra dan Ni Luh Gede Yogi Arthani, “Peranan Ibu Sebagai Pendamping Belajar Via Daring Bagi Anak Pada Masa Pandemi Covid-19”, Proseding Webinar Nasional Peranan Perempuan/Ibu dalam Pemberdayaan Remaja di Masa Pandemi Covid-19”, (September, 2020), 73.

Karakter religius sangat penting untuk diajarkan kepada anak dalam rangka mengkonstruk pikiran, perkataan, dan tindakannya yang didasarkan pada nilai dan norma ketuhanan yang sesui dengan ajaran agama yang dianut. Intinya bahwa anak benar-benar menghayati, memahami dan melaksakannya pada kehidupan sehari-hari.219 Religius dipandang sebagai ujung tombang dari pendidikan karakter itu sendiri. Tanpa dipungkiri bahwa nilai terhadap karakter religius menghadirkan keutuhan nilai yang tidak bisa terbantahkan yakni berdasarkan pada al-Qur’an dan Hadits. Namun, yang terjadi di lapangan adalah anak-anak masih belum mampu untuk mengimplementasikan karakter religius dalam kehidupannya dengan baik.

Anak-anak di lingkungan masyarakat Karang Mluwo belum memiliki tanggungjawab terhadap dirinya sendiri, baik dalam beribadah, belajar, ataupun yang lainnya. Tidak hanya itu, anak-anak juga semakin malas untuk mengerjakan sholat lima waktu. Anak-anak hanya sekedar sholat, tanpa mengetahui arti dari bacaan tersebut. Bahkan, ada di antaranya yang tidak hafal dengan niat dan bacaan dalam sholat, serta gerakan dan jumlah rakaatnya. Selain itu, mereka juga masih belum memiliki kesadaran untuk melaksanakannya. Anak-anak biasanya akan melakukan sholat apabila disuruh oleh orang tuanya. Ini menandakan bahwa internalisasi nilai karakter religius pada diri anak masih pada tahap terendah yakni moral knowing.

219 Naim, Character Building: Optimalisasi Peran Pendidik, 125.

to be taught.220 (Pengetahuan moral adalah pengetahuan tentang moralitas.

Pengetahuan moral adalah sesuatu yang penting untuk diajarkan). Pada tahap ini anak diharapkan mampu menguasai pengetahuan tentang nilai-nilai, mampu membedakan nilai-nilai dalam akhlak mulia dan akhlak tercela.

Selain itu, anak diharapkan mampu memahami secara logis dan rasional tentang pentingnya akhlak mulia dan mampu mencari sosok figur yang bisa dijadikan panutan dalam berakhlak mulia.221

Uswatun hasanah atau figur yang baik sepertinya masih belum mampu ditemukan pada diri orang tua oleh anak-anak Karang Mluwo.

Karena orang tua lebih sibuk bekerja daripada terlibat dalam pendidikan anak selama pembelajaran dari rumah. Sebagaimana yang disampaikan oleh Wiwin Rohmatin dalam tesisnya bahwa peran keluarga (orang tua) dalam membina karakter anak sudah terlaksana, namun hasilnya belum maksimal.

Hal ini disebabkan oleh kurangnya pengawasan orang tua terhadap anak, dikarenakan kesibukan yang dilakukan dalam mencari nafkah untuk keluarga.222

Orang tua menganggap anaknya terlalu dini untuk dihukum apabila tidak melakukan ibadah yang diperintahkan oleh agama, misal sholat.

Akibatnya, anak enggan untuk melakukan sholat. Di samping itu, aktivitas mengaji anak-anak juga seperti biasanya, mereka hanya mengaji bersama

220 Hindun, “The Balance of Moral Knowing”, 229.

221 Majid dan Andayani, Pendidikan Karakter Perspektif, 31.

222 Rohmatin, “Peran Keluarga dalam Membina Karakter”, 114.

belajar. Malahan, ada di antara mereka yang mengerjakan tugas rumahnya ialah ibu atau kakaknya. Padahal, kita ketahui bersama bahwa dengan adanya pembelajaran jarak jauh diharapkan orang tua mampu membina karakter religius (taat kepada Allah dan mandiri) dengan baik kepada anak. Karena anak-anak lebih banyak menghabiskan waktunya bersama orang tua di rumah, dan orang tua juga berkurang aktivitas ekonominya (pekerjaan mencari uang). Akan tetapi, faktanya orang tua belum mampu mengimplemtasikannya dengan sebaik mungkin.

Jika dikaitkan dengan teori-teori yang telah ada tersebut, maka dapat disimpulkan bahwa perempuan masih dianggap sebagai manusia kelas dua. Ia bekerja hanya sebatas untuk membantu suami dalam menghidupi keluarga. Selain itu, perempuan juga bertanggungjawab untuk membina karakter religius pada anak di tengah kesibukannya dalam melakukan aktivitas ekonomi. Padahal tugas untuk mendidik anak adalah tugas bersama (orang tua, termasuk anggota keluarga yang lain). Orang tua yang sama-sama bekerja tetap memiliki kewajiban untuk membina karakter religius pada anaknya, baik ketika pembelajaran daring ataupun tidak.

Perempuan adalah mahluk yang istimewa. Ia tidak hanya berperan sebagai manusia pekerja, tetapi juga ibu rumah tangga (peran domestik).

Perempuan memiliki tanggungjawab untuk mengurus segala aktivitas rumah tangga yang ada dalam keluarga, mulai dari memasak, mencuci pakaian, membersihkan rumah dan kagiatan domestik lainnya. Hal inilah yang dilakukan oleh perempuan (ibu) masyarakat Karang Mluwo. Padahal seperti yang kita ketahui, bangsa Indonesia tengah menghadapi era new normal yang mengharuskan adanya pembelajaran secara jarak jauh atau dari rumah.

Bagi perempuan yang memiliki banyak peran, maka hal terebut bukan perkara yang mudah. Mereka tidak hanya menanggung beban bekerja profesinya, mengurus rumah tangga, tetapi juga menjadi guru bagi anak- anaknya. Hal ini bukan berarti tidak beralasan, sebagaimana yang disebutkan Herawati bahwa tidak ada tugas mulia bagi seorang terhadap anaknya melainkan menjadi sekolah bagi anaknya. Seorang ibu harus memahami, jika tugas mendidik adalah kewajiban besar yang harus dipikul di pundaknya.

Dialah pilar utama dalam proses pendidikan anaknya.223 Sebagaimana pola relasi suami istri dan suami senior-junior partner yang disampaikan oleh Scanzoni dan Scanzoni dalam Ihromi bahwa istri tetap memiliki

223 Herawati Sri Septina, “Pendidikan Masyarakat Berbasis Islam Melalui Madrasah Ibu”, Jurna;

Obor Penmas (Pendidikan Luar Sekolah), Vol. 2 No. 2 (Oktober, 2019), 176.

Masyarakat Karang Mluwo masih menganggap bahwa pekerjaan rumah tangga dan mengurus serta mendidik anak adalah tanggungjawab istri, sedangkan suami hanya bertugas untuk mencari nafkah keluarga. Jikalaupun suami membantu istri dalam pendidikan anak (pembinaan karakter religius), porsinya tetap lebih banyak istri. Fenomena tersebut sejalan dengan teori nature yang menyatakan bahwa perbedaan peran laki-laki dan perempuan ditentukan oleh faktor biologis. Menurut teori ini, perbedaan biologis antara laki-laki dan perempuan menjadi faktor utama dalam penentuan peran sosial kedua jenis kelamin.225 Padahal keluarga (orang tua) adalah pendidikan pertama dan utama bagi tumbuh kembang anak. Anak akan berkembang optimal apabila mereka mendapatkan stimulasi yang baik dari keluarga.

Anak-anak akan tumbuh menjadi pribadi yang berkarakter, jika tumbuh pada lingkungan yang berkarakter pula, sehingga fitrah anak yang dilahirkan ke dunia dapat berkembang secara optimal,226 sebagaimana Allah Swt berfirman yang artinya “wahai orang-orang yang beriman! Peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka.” [Q.S. at-Tahrim (66): 6].227

Keluarga (terutama orang tua) merupakan lingkungan yang paling dekat dengan kehidupan anak. Keluarga memiliki peran strategis dalam pembinaan karakter religius anak. Ikatan emosional yang kuat antara anak

224 Ihromi, Bunga Rampai Sosiologi Keluarga, 104.

225 Hidayatullah, Gender dan Islam, 5.

226 Ni Putu Suwardani, Quo Vadis: Pendidikan Karakter dalam Merajut Harapan Bangsa yang Bermartabat (Bali: UNHI Press, 2020), 158.

227 al-Qur’an, 4: 19. Lihat Agama RI, al- Qur’an, 560.

cara menciptakan susana yang memungkinkan terinternalisasinya karakter religius dalam diri anak. Selain itu, keluarga (khususnya orang tua) harus menjadi panutan utama agar anak menjadi manusia yang religius.229 Oleh sebab itu, hendaknya orang tua menjadi teladan yang baik bagi anak, karena sebagian besar waktu anak dihabiskan di rumah bersama keluarga, khususnya di era pembelajaran daring seperti saat ini.

Keterlibatan peran orang tua memegang peran penting dalam rangka membina karakter religius yang baik pada anak. Keduanya bisa membagi peran yang seimbang dalam mendidik anak dan mengurus kehidupan rumah tangga, sehingga tidak ada salah satu pihak yang merasa terbebani. Relasi suami istri yang ideal menurut Islam sebagaimana yang disampaikan oleh Mufidah adalah yang berdasarkan pada prinsip mu’asyarah bi al ma’ruf (pergaulan suami istri yang baik),230 seperti dalam Q.S. An- Nisa’ (4): 19 ditegaskan yang artinya “dan bergaullah dengan mereka secara patut. Kemudian bila kamu tidak menyukai mereka, (maka bersabarlah) karena mungkin kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Allah menjadikan padanya kebaikan yang banyak.” [Q.S. An-Nisa (4): 19].231

Kata mu’asyaroh memberi pengertian perserikatan atau persamaan. Jelaslah bahwa seorang suami istri bergaul secara makruf dan

228 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, 68.

229 Naim, Character Building, 125.

230 Mufidah Ch, Psikologi Keluarga, 177.

231 al-Qur’an, 4: 19. Lihat Agama RI, al- Qur’an, 80.

kesalahan-kesalahan kecil dan memelihara kebajikan yang banyak.232 Al- Qur’an tidak memberikan beban gender secara mutlak dan kaku kepada seseorang, namun bagaimana agar adanya kewenangan manusia untuk menggunakan hak-hak kebebasannya dalam memilih pola pembagian peran keduanya yang saling menguntungkan agar beban gender tersebut dapat memudahkan manusia memperoleh tujuan hidup yang mulia di dunia dan akhirat.233

Kesadaran akan kesetaraan kedudukan dan peran antara laki-laki dan perempuan melahirkan kesadaran akan keseimbangan tanggung jawab dalam berbagi tugas domestik dan publik keduanya yang pada tahap selanjutnya akan menciptakan dan menegakkan prinsip keadilan, mencakup pelbagai anjuran untuk menegakkan keadilan ekonomi, politik, kultural termasuk gender. Oleh karena itu, suami istri merupakan suatu pasangan yang harus memiliki komitmen bersama dalam membangun sebuah maghligai rumah tangga yang satu sama lain saling membantu dan melengkapi.

Pembinaan karakter religius selama pembelajaran daring ternyata tidak hanya dilakukan oleh ibu dan ayah saja, melainkan anggota keluarga yang lain (kakak). Kehadirannya juga sangat membantu dalam membina karakter tersebut. Kakak mampu meringankan beban yang dialami oleh ibu.

232 Muhammad, Tafsir al-Qur’an, 786.

233 Hidayatullah, Gender dan Islam, 8.

Walaupun anak memiliki banyak waktu untuk belajar di rumah, ternyata tidak mampu meningkatkan nilai karakter religius pada dirinya.

Anak-anak lebih banyak mengahabiskan waktu untuk bermain bersama teman sebaya atau bermain gadget dan menonton TV. Mereka semakin malas untuk beribadah dan belajar. Dengan adanya kondisi ini, lantas tidak membuat orang tua untuk mengambil tindakan tegas (misal memberi hukuman), melainkan hanya memarahi atau menasehatinya. Selain itu, orang tua juga beranggapan bahwa anak-anak masih terlalu dini untuk dihukum karena perilakunya tersebut. Hal ini bertentangan dengan hadits Rasulullah Saw. yang artinya “perintahkan anak-anakmu untuk mengerjakan sholat pada saat mereka berusia tujuh tahun dan pukullah mereka jika enggan melakukannya pada saat mereka berusia sepuluh tahun dan pisahkanlah tempat tidur mereka.”234

Berdasarkan data yang ada di lapangan dapat kita ketahui bahwa anak-anak informan rata-rata berusia antara 6-12 tahun. Ini menunjukkan bahwa orang tua boleh menghukum anak apabila tidak sholat. Namun, orang tua tidak melakukannya. Oleh sebab itu, dapat disimpulkan bahwa nilai pembinaan karakter religius anak yang dilakukan orang tua selama pembelajaran daring belum berkembang dengan baik. Nilai karakter ini hanya

234 Marzuki, Pendidikan Karakter Islam, 72.

Pengetahuan tentang karakter atau yang biasa disebut dengan moral knowing oleh Lickona adalah langkah pertama yang harus ditempuh dalam membina karakter, kemudian dilanjutkan dengan moral feeling dan moral action. Moral knowing merupakan kemampuan mengetahui, memahami, dan mempertimbangkan mana yang harus dilakukan dan mana yang harus ditinggalkan.235 Menurut William Kilpatrick dalam Muclish, salah satu penyebab ketidakmampuan anak untuk berperilaku baik meskipun secara kognitif ia mengetahuinya (moral knowing) ialah karena ia tidak terlatih untuk melakukan kebaikan (moral action).236 Oleh sebab itu, orang tua tidak cukup memberikan pengetahuan tentang kebaikan, tetapi juga harus membimbing anak sampai pada tahap implementasi (moral action) dalam kehidupan anak sehari-hari. Pembinaan karakter religius yang baik pada anak memang bukan suatu upaya yang mudah dan cepat. Hal ini memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam yang kemudian ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi sesuatu yang praktis dan reflektif.

Berdasarkan kajian-kajian teori tersebut, maka dapat diambil kesimpulan bahwa masih terdapat ketidakadilan peran antara suami dan istri, baik dalam pekerjaan rumah tangga ataupun mendidik anak. Padahal dalam agama Islam, relasi suami istri harus dilakukan secara ma’ruf (tidak ada yang terbebani satu sama lain). Di samping itu, keluarga (khusunya orang tua)

235 Lickona, Educating for Character, 85.

236 Muslich, Pendidikan Karakter, 133.

pendidikan karakter yang pertama dan utama bagi anak.

C. Peran Perempuan Karang Mluwo dalam Membina Nilai Karakter